PAHAM
‘NASIONALISME BARU’
UNTUK INDONESIA
Abstrak
Memasuki mellenium ke-3
Masehi, khususnya dalam kehidupan berbangsa di negeri-negeri bekas tanah
jelajahan bangsa-bangsa Eropa Barat, kehidupan nasional sudah selayaknya
digagas berdasarkan konfugurasi imajinatif yang baru sebagai kehidupan
berbangsa yang sesungguhnya merupakan hasil integrasi komponen-komponen bangsa
tua dengan tradisi kultural mereka yang majemuk namun berumur tua pula. Kebudayaan tua untuk bangsa baru yang baru
terbentuk pada abad 20 ini, berkat ikrar dan semangat perjuangan generasi baru,
haruslah diterima secara definitif sebagai pilar juga, yang tak kalah penting
sebagai factor pemersatui sebagaimana pilar-pilar lain yang telah disebutkan.
Makalah
Nasionalisme adalah suatu
paham politik yang meyakini kebenaran suatu dalil bahwa manusia sebangsa itu
sudah seharusnyalah – demi masa depannya yang jaya – bersatu dalam suatu satuan
organisasi politik yang disebut negara.
Paham seperti ini sebenarnya merupakan paham yang relatif baru. Dalam sejarah, paham seperti ini baru marak untuk pertama
kalinya di negeri-negeri Eropa Barat, kira-kira selepas abad 16. Sebelum masa itu, bolehlah dikatakan bahwa
ketatanegaraan Eropa diorganisasi di seputar satuan-satuan teritori yang
menurut tradisinya merupakan kekayaan raja-raja atau dinasti keturunannya.
Tak salah kalau dikatakan
bahwa pada abad-abad pertengahan pada masa itu, di bagian benua Eropa itu, the making of Europe is the making of kings
and queens. Dalam situasi
kepenguasaan raja-raja seperti itu, yang namanya ‘bangsa’ itu tak lain daripada
‘wangsa’ alias dinasti berikut seluruh penduduk yang menghamba sebagai
rakyatnya. Maraknya kesadaran
berbangsa dan paham kebangsaan telah mengubah sejarah Eropa Barat. Revolusi-revolusi pemikiran di peralihan abad
17-18 telah menjadikan the making of
Europe is the making of nation, sedangkan revolusi-revolusi kerakyatan pada
akhir abad 18 telah kian memantapkan kenyataan itu..
Sejelas itu perkembangan
kesadaran dan paham kebangsaan, sejelas itu pula riwayat kelahiran paham
politik yang meyakini kebenaran upaya untuk membangun kehidupan bernegara atas
dasar satuan bangsa (sehubungan dengan perubahan sosial-politik di Eropa itu),
namun tidak segera bisa dipahami dengan jelas apa sebenarnya yang kini harus
didefinisikan sebagai ‘bangsa’ itu.
Dalam perkembangan seperti itu, orang mulai mewacanakan, ‘apakah yang
disebut bangsa itu?’.
Bangsa
bukanlah Suatu Realitas Objektif Melainkan Suatu Realitas Inter-Subjektif Yang
Eksis di dalam Alam Imajinasi Para Warga Sekolektiva.
Definisi yang klasik mengartikan ‘bangsa’ (yang dalam bahasa asingnya
diistilahkan nation<natio<naitre yang
berarti kelahiran) dalam artinya yang
harafiah. Didefinisikan secara klasik
begitu, dikatakanlah bahwa satuan manusia yang disebut bangsa itu tak lain
adalah suatu natio; Ialah sejumlah manusia yang sedarah
seketurunan, berasal-usul kelahiran dari satu moyang yang sama. Akan tetapi, definisi seperti ini dalam
praktiknya tidaklah pernah dapat memberikan tolok yang jelas dan tegas guna
memungkinkan penentuan secara pasti, atas dasar kebenaran faktual, bahwa suatu
satuan manusia dapat dikatakan seasal keturunan dari yang yang sama.
Akan
ganti kebenaran faktual, yang kemudian dijadikan tolok untuk memastikan apakah
suatu kolektiva itu boleh disebut ‘suatu bangsa’ atau tidak adalah
tengara-tengara yang sifatnya acapkali asumtif saja. Seasal-usul dari moyang yang sama itu bahkan
tak jarang cuma dibenarkan menurut mitosnya saja, karena untuk membuktikan
berdasarkan kebenaran faktual historiknya acapkali tak dimungkinkan. Salah satu asumsi untuk membenarkan
pernyataan bahwa suatu kolektiva itu adalah sesungguhnya suatu bangsa yang
seasal keturunan adalah kesamaan bahasa dan tradisi yang dianut warga
sekolektiva. Akan tetapi, segera saja
kemudian diketahui bahwa tolok untuk mengasumsikan secara imajinatif bahwa
suatu satuan kolektiva adalah satuan sebangsa hanya karena ‘setradisi’ atau
‘sebahasa’ itu tidak lagi secara tepat dapat digunakan untuk mengidentifikasi
fakta seketurunan itu.
Dalam
pengalaman non-Eropa segera saja
diketahui bagaimana suatu bahasa dan/atau tradisi dengan cepat menyebar
berseiring dengan perluasan kekuasaan politik suatu rezim. Bahasa Arab,misalnya, telah menjadi bahasa
yang tak hanya resmi akan tetapi juga populer berseiring dengan tersebarnya
agama Islam dan ekspnasi kekhalifahan Islam di seluruh kawasan Timur Tengah dan
Afrika Utara. Bahasa Inggris, sebagai
contoh lain, juga telah menjadi bahasa yang resmi dan juga populer di banyak negeri
yang jelas-jelas tak seasal keturunan.
Maka, tatkala kesatuan bahasa dan tradisi – dan bahkan juga keseragaman
warna kulit -- tak lagi bisa dipakai untuk menolok ada-tidaknya suatu bangsa,
definisi klasik mengenai ‘apa yang disebut bangsa atas dasar kesamaan tradisi
dan bahasa‘ itupun lalu serta merta mulai banyak dipertanyakan kesahannya untuk
mengidentifikasi bangsa-bangsa baru..
Adalah seorang berkebangsaan Perancis, bernama Ernest
Renan yang mencoba mendefinisikan ulang pengertian ‘bangsa’, dan dengan
demikian juga pengertian ‘paham kebangsaan’, guna mengatasi masalah tak lagi
tak dapat digunakannya kriteria ‘seketurunan dan setradisi’ untuk
mengidentifikasi adanya suatu bangsa.
Dikatakan oleh Renan -- tatkala ia harus menjawab pertanyaan ‘apakah
sesungguhnya yang harus disebut bangsa itu?’ -- bahwa suatu bangsa adalah
sejumlah populasi yang berkehendak kuat untuk menyatu sebagai suatu kesatuan
bangsa. ‘Une nation est une groupe des gens qui possedent la desire d’etre
ensemble’, demikian katanya.
Apa yang dikatakan oleh Renan ini sebenarnya merupakan
jawaban atas persoalan waktu itu, ialah tatkala mayoritas penduduk di daerah
Alsache di kawasan Perancis Utara menyatakan kehendaknya untuk bergabung ke
dalam Republik Perancis. Padahal
penduduk Alsache ini terbilang keturunan Jerman, bernama khas Jerman dan ber
bahasa Jerman dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui konflik berdarah mereka memenangkan pilihannya untuk bergabung
ke Republik Perancis daripada ke Republik Jerman. Dan definisi Renan tentang apa yang disebut
‘bangsa’, ‘kebangsaan’ dan ‘paham kebangsaan’ telah meneguhkan meneguhkan
pilihan orang-orang Alsache itu.
Definisi Renan ini -- sebagaimana definisi bangsa yang
diajukan penganut paham bahwa bangsa adalah satuan manusia seketurunan – adalah
sesungguhnya tak kurang-kurangnya juga bertolak dari gambaran imajinatif
mengenai apa yang disebut bangsa itu.
‘Kehendak kuat untuk menyatu sebagai suatu satuan bangsa’ sebagai
kriteria satuan bangsa adalah sesungguhnya juga sesuatu yang imajinatif, lebih-lebih
manakala Renan juga mengatakan bahwa kehendak untuk menyatu seperti itu
dianggap ada manakala setiap warga bangsa melaksanakan kehidupannya sehari-hari
secara rutin seperti apa adanya, karena sesungguhnya perilaku seperti itu harus
diterima dan dipahami sebagai ‘suatu referendum diam-diam yang berlangsung dari
hari ke hari’. C’est vraiment une
plebiscite de tous les jours.
Entah didefinisikan sebagai suatu
kolektiva seasal-usul keturunan, entah pula didefinisikan sebagai suatu satuan
kolektiva yang pernah berikrar – entah secara demonstratif lewat
seremoni-seremoni, entah lewat suatu referendum yang diam-diam – apa yang
disebut bangsa ini nyatalah kalau ditolok atas dasar kriterium yang sifatnya
asumtif belaka. Maka tak salah kiranya
kalau teoretisi semisal Benedict Anderson mengatakan bahwa satuan bangsa modern
itu sebenarnya suatu kolektiva yang cuma
eksis dalam alam imajiner para warganya saja.
Dalam hubungan ini benarlah pula apa yang dikatakan oleh Gellner dan
Smiths; bahwa apa yang disebut bangsa atau nation
itu bukan sekali-kali suatu objektivitas, melainkan suatu realitas
inter-subjektif yang mengalami objektivisasi.
Sementara itu, bagi Anthony Giddens, apa yang disebut bangsa itu tak
lebih dari sebatas wujudnya sebagai fenomena sosio-psikologik saja.
Eksis
di alam objektif ataupun di alam yang tak objektif, berupa realitas empirik
ataupun berupa realitas yang asumtif dan imajiner belaka, dan apapun
definisinya, namun demikian satu hal telah jelas, ialah bahwa apa yang disebut
bangsa ini akan tetap eksis sebagai suatu realitas manakala identitas kolektif
yang disebut kesadaran berbangsa itu dapat tetap dipertahankan. Kesadaran akan kesamaan identitas – entah
yang harus dicari pada tolok kesamaan asal usul, atau kesamaan kehendak untuk bersatu
atau tolok kesamaan nasib dalam sejarah – inilah yang sungguh potensial untuk
membangunkan soidaritas yang akan menjadi dasar paham kebangsaan untuk
membangun satuan politik yang disebut negara (se)bangsa.
Nasionalisme: Kesadaran Bernegara Bangsa dan Kesadaran Berkesamaan Budaya sebagai Dasar Legitimasi Terbentuknya Negara Bangsa.
Kesadaran berbangsa, apapun tolok
asumtif yang dipakai untuk mendefinisikan ‘bangsa’, adalah sesungguhnya sebuah
awal yang akan berkembang secara sistematik ke wujudnya sebagai suatu ideologi
yang disebut nasionalisme. Seperti telah
dikatakan di muka, nasionalisme adalah suatu paham politik yang meyakini
kebenaran pikiran bahwa setiap bangsa itu -- demi ketahanan hidup dan kejayaannya
-- seharusnya bersatu bulat ke dalam suatu komunitas politik yang diorganisasi
secara rasional ke dalam suatu kehidupan
bernegara. Dari nasionalisme inilah
lahirnya ide dan usaha perjuangan politik untuk merealisasi terwujudnya suatu
negara bangsa. Yang masih menjadi
masalah di sini ialah, ketika eforia politik mulai mereda, sekuat apapun paham
nasionalisme itu, apakah tegaknya suatu nation
itu dapat diupayakan begitu saja tanpa menghadirkan landasan kultural yang
solid?
Telah dikatakan pula, bahwa kehidupan
berbangsa itu adalah kehidupan yang terkonstruksi di atas landasan identitas
yang cenderung abstrak dan imajiner.
Kehidupan berbangsa tidaklah sekonkrit, seempirik atau seobjektif
kehidupan suku (tribal life) atau mungkin juga kehidupan sukubangsa (ethnic
life), yang jelas merupakan suatu pengalaman kultural yang lebih
kongkrit, empirik dan objektif. Dalam
kehidupan suku dan sukubangsa, tradisi dan kebudayaan itu merupakan pengalaman
manusia warga sehari-hari dan berfungsi amat signifikan sebagai rujukan
normatif yang sentral dan berdaya integrative.
Maka akan menjadi persoalan yang pelik, apakah dalam kehidupan berbangsa
modern beyond the tribal and ethnic lifi
itu upaya membangun kesadaran dan solidaritas politik saja sudah cukup? Adakah kehadiran suatu bangsa modern sebagai
suatu realitas akan dapat dipertahankan dan dilestarikan tanpa kehadiran
kesadaran berkesamaan tradisi dan/atau budaya?
Sejarah
mencatat bahwa suatu bangsa modern yang berkembang di atas suatu infrastruktur
budaya etnik tua yang tunggal umumnya akan lebih mampu bertahan kukuh daripada
suatu bangsa yang dibangun di atas suatu infrastruktur suku dan budaya yang
heterogen dan terpilah-pilah, menggambarkan adanya fakta yang serba partikular,
seakan-akan akan mencabar ideologi nasionalisme yang mencitakan unifikasi. Parikularitas sosio-kultural demikian ini
akan menimbulkan problem besar di negeri-negeri yang tak mengenal adanya
homogenitas kultural. Kenyataan sejarah
kontemporer menunjukkan betapa nasionalisme dan solidaritas politik nasional
dalam kehidupan berbangsa bangsa Jepang atau Thai – yang terbangun dari
landasan sosio-kultural yang amat tua -- nyata kalau lebih perkasa daripada
manakala dibandingkan dengan, misalnya saja, pengalaman Srilanka atau
Yugoslavia atau Irak dan Turki dengan suku Kurdinya..
Selama
ini Srilanka terbukti gagal membangun nasionalisme yang mengatasi
etno-nasionalisme suku-suku Singhala dan Tamil dan telah gagal pula membangun
tradisi besar yang baru dan inklusif untuk mengatasi tradisi eksklusif
suku-suku itu. Terbukti pula bagaimana
para pemuka Yugo -- setelah mengupayakannya berdasawarsa lamanya -- telah gagal
membangun rasa dan semangat kebangsaan baru yang mengatasi identitas
etnik-etnik Bosnia, Serbia dan Kroatia yang menjadi elemen-elemennya. Maka, tak ayal lagi bangsa-bangsa di
negeri-negeri tersebut itu, karena gagal membangun suatu suprastruktur politik
dan kultur yang dapat mengatasi gerak sentrifugal elemen-elemennya, terbukti
kalau mengalami berbagai kesulitan besar, yang bahkan sampai mengalami
kegagalan untuk mempertahankan eksistensinya.
Apapun
upaya orang untuk menegaskan nasionalisme sebagai ideologi politik, variabel
kultural rupanya tidaklah dapat diabaikan begitu saja sebagai salah satu faktor
determinan atau predeterminan yang tak dapat diabaikan. Tradisi lokal yang
berkembang sepanjang sejarah eksistensi suku-suku etnisitas tua terbukti
merupakan predeterminan politik dan ide-ide serta ideologi politik, tak
kurang-kurangnya juga tersimak dalam kehidupan bangsa-bangsa baru yang berhasil
memodernisasi diri. Nasionalisme
Perancis dan nasionalisme Jerman, misalnya, jelas terlihat berbeda sehubungan
dengan perbedaan tradisi dan konsep kultural tentang makna kekuasaan, sekalipun
Perancis dan Jerman itu adalah sama-sama Eropa dan pada dasarnya sama-sama
mewarisi tradisi Yudea-Kristiani.
Perbedaan itu akan semakin nyata manakala perbandingan wujud
nasionalisme diperluas untuk pula menyanding-nyandingkan nasionalisme
sebagaimana yang terbangkit di Cina atau Jepang, yang dalam paham-paham kultur
bangsa-bangsa ini terkonsepkan adanya legitimasi kekuasaan negara yang
jelas-jelas berasal dari "kekuasaan yang di atas sana", dan bukan
dari "mereka yang manusia di bawah sini").
Maka, demi fungsinya dalam jangka panjang,
tidaklah akan salah lagi bila nasionalisme modern sebagai kekuatan
pengintegrasi akan memerlukan kekuatan penopang yang lebih riil namun
inspiratif, ialah kekuatan budaya yang mempunyai akar tradisinya dalam
kehidupan kelompok-kelompok etnik setempat.
Legitimitas setiap penggunaan kekuasaan politik tidaklah akan cukup
kalau cuma mendasarkan diri pada produk-produk legislatif yang termonopoli di
tangan para pejabat pengemban kekuasaan negara, yang sayangnya (atau
celakanya?) banyak yang tidak lagi banyak mengenal the first culture of the local (ethnic) people. Padahal, khususnya lagi pada tahap-tahap
implementasinya, variabel-variabel sosial dan budaya mau tak mau pastilah akan
ikut berbicara sebagai determinan, atau setidak-tidaknya sebagai pemengaruh
yang tak dapat diabaikan begitu saja.
Masalah Pluralitas Budaya dan Bangkitnya Kembali Etnonasionalisme
Negeri-negeri baru yang dibangun di
atas puing-puing kekuasaan kolonial, adalah negeri-negeri yang tercipta sebagai
hasil penciptaan suprastruktural kekuasaan asing yang berkultur homogen namun
tak memperhatikan homogenitas wilayah-wilayah jelajahan yang dikuasainya. Perbatasan-perbatasan ditetapkan sepihak
tanpa memperhatikan lingkar-lingkar kewilayahan budaya (Kultuurkreise) yang ada. Banyak migrasi yang melalu-lalangkan
sekian banyak suku asing juga berlangsung melintasi wilayah-wilayah kultural
suku-suku asali untuk kemudian menetap di tempat tanpa terjadinya
integrasi-integrasi budaya yang signifikan.
Semua yang terjadi semasa dan sepanjang masa kekuasaan kolonial ini
telah banyak menimbulkan sekian banyak rumpun kultural bangsa-bangsa tua,
seperti misalnya rumpun Melayu atau rumpun Kurdi, yang terbelah-belah oleh
perbatasan-perbatasan kawasan politik.
Bangkitnya kesadaran berbangsa yang
berujung pada paham ideologik nasionalisme yang lewat perjuangan politiknya
berhasil mendirikan negara baru, menuruti model negara teritorial yang berasal
dari Barat, namun demikian terbukti mengalami kesulitan ketika harus
mengintegrasikan kembali rumpun-rumpun kewilayahan kultural untuk dapat
setumpang-tindih dengan kewilayahan politik yang berada dalam lingkup
perbatasan teritorial negara nasional yang baru ini. Tak ayal lagi, negara-negara baru ex-negeri
kolonial ini hampir tanpa kecualinya mengalami persoalan keragaman kultural-religius,
kemajemukan suku atau etnik, yang apabila di luar kontrol berkembang ke arah
terjadinya nasionalisme kedaerahan atau etno-nasionalisme maka kesatuan
nasional dalam maknanya yang politik akan menjadi amat terganggu.
Etno-nasionalisme gampang mengilhami
banyak eksponen untuk membangun kembali komunitas politiknya sendiri yang
memisah dari komunitas politik besar yang bertumpu pada supranasionalisme
antaretnik. Kesadaran etnonasionalisme
yang lebih bernuansa kultural dan historik daripada bernuansa politik serta
ekonomi yang ahistorik itu akan kian membara dan marak manakala dalam komunitas
politik yang supranasionalistik itu terkesan dominannya peran kekuasaan yang
teridentifikasi sebagai peran kekuasaan etnik tertentu, yang boleh diprasangkai
telah terjadinya apa yang disebut internal kolonialism (yang tak hanya terasa
di bidang kehidupan kultural akan tetapi lebih-lebih lagi di bidang politik dan
ekonomi.
Pengalaman Indonesia dengan
permasalahan Aceh dan Papuanya, Srilanka di Asia Selatan dengan permasalahan
Tamilnya, Turki di Asia Barat dengan permasalahan Kurdinya, adalah beberapa
contoh saja. Permasalahan serupa juga
dialami Yugoslavia dan Rusia di Eropa Timur, Ghana dan Rwanda di Afrika dan
bahkan juga Kanada di Amerika Utara atau Spanyol dengan permasalahan suku
Basquenya adalah juga sejumlah contoh yang pantas diperhatikan dan dipelajari
dengan sungguh-sungguh.
Apa
yang terjadi di negeri-negeri itu memberikan pelajaran nyata bahwa pluralitas
sehubungan hadirnya berbagai kelompok etnik berikut infrastruktur budaya mereka
dalam suatu kehidupan nasional yang modern itu, bagaimanapun juga, akan tetap
merupakan anasir pembangun yang penting dalam konstruksi politik suatu
bangsa. Manakala diabaikan, boleh diduga -- entah cepat, entah lambat --
kekuatan nasionalisme akan tererosi, dan dengan demikian juga akan gampang
menggoyahkan sendi-sendi politik di negara bangsa yang bersangkutan.
Di dalam kehidupan negara bangsa yang
berbudaya majemuk, setiap langkah pengembangan kultur politik selalu saja
menghadapkan orang kepada keterpaksaan untuk membuat pilihan-pilihan atau
pemihakan-pemihakan yang acapkali sungguh rumit. Terjadilah berbagai permasalahan dilematik
yang memusingkan. Pada awalnya, banyak
eksponen nasionalis yang larut dalam kampanye anti-kolonial mencoba mengabaikan
fungsi budaya etnik sebagai kekuatan penopang kehidupan nasional. Sering malah ada kesan bahwa para nasionalis
ini -- dengan semangat modernisasinya -- mengkhawatirkan akan terjadinya
disrupsi-disrupsi apabila kesetiaan-kesetiaan tradisional pada segala sesuatu
yang bersifat etnik itu terlalu ditenggang.
Dikhawatirkan bahwa kesetiaan kepada tradisi lokal hanya akan mencuatkan
sukuisme, yang pada gilirannya aakan mengganggu solidaritas nasional dan
kehidupan berbangsa. Perkembangan yang
berkesan anti-tradisi seperti ini ternyata tidak hanya dapat disimak pada
tahap-tahap awal tatkala para nasionalis mulai tergugah kesadarannya untuk
berbangsa dan bertanah air pada tingkatnya yang supra dan transetnik. Sampaipun pada tahap implementasi -- ialah
tatkala kehidupan nasional sudah hendak disempurnakan lewat usaha-usaha
pembangunan -- perkembangan ideologik yang anti-tradisi ini tetap saja kuat
tersimak.
Kesadaran Berbangsa dan Paham Kebangsaan
di Indonesia
Sebagaimana kehidupan kebangsaan di
banyak negeri bekas jajahan -- antara lain juga di Indonesia -- adalah
sesungguhnya juga fenomena dan realitas abad 20.. Model kehidupan seperti ini mulai dikenal di
negeri-negeri jajahan dan bekas jajahan, ialah tatkala "para tuan
kolonial" mulai mencoba memperkenalkannya -- melalui lembaga-lembaga
pendidikan modern yang mereka dirikan -- kepada elit-elit terpelajar di
negeri-negeri jajahannya itu. Di
Indonesia, misalnya, konsep kebangsaan itupun baru dikenal pada
dasawarsa-dasawarsa pertama abad 20.
Sebelum itu tidak pernah ada dan tidak pernah dikenallah apa yang
disebut bangsa atau 'nasion' Indonesia itu.
Bahkan nama dan kata Indonesia itu sendiri pun tak dikenal secara umum
pada satu dua dasawarsa pertama abad 20 itu.
Bangkitnya kesadaran berbangsa, yang kemudian disusul
oleh lahirnya paham kebangsaan di Indonesia, ditengarakan secara simbolik
dengan penetapan suatu tanggal, ialah tanggal 20 Mei 1908. Manakala dikaji baik-baik, pada masa itu
kesadaran berbangsa itupun terjadi di atas suatu konsep bahwa yang disebut bangsa
– sebagai terjemahan istilah volk
dalam bahasa Belanda -- pada waktu itu ialah apa yang kini disebut suku
bangsa. Itulah bangsa-bangsa tua yang
mempunyai riwayat amat lama dalam sejarah Kepulauan Nusantara, ditengarai oleh
bahasa dan tradisinya sendiri yang sungguh tua.
Hari Ahad tanggal 20 Mei 1908 itupun apabila dikaji baik-baik menurut
kebenaran sejarahnya sebenarnya merupakan hari lahirnya kesadaran untuk
membangun kehidupan berbangsa di kalangan orang-orang Jawa saja, diprakarsai
oleh para pemudanya yang tengah belajar seni kedokteran di Batavia, ibu kota
negeri kolonial Hindia Belanda pada masa itu.
Dari riwayat yang bisa diceriterakan berdasarkan data
sejarah ini, kesadaran berbangsa dalam definisinya yang baru sebagai bangsa
Indonesia – yang mengatasi kesadaran etnik – barulah datang pada
dasawarsa-dasawarsa berikutnya, sebagian yang penting bahkan bermula di tanah
rantau yang bernama Negeri Belanda. Pada waktu itu para mahasiswa Indonesia
yang tengah belajar di Negeri Belanda mengambil-alih kepemimpinan suatu
organisasi yang telah ada sebelumnya, dan sekaligus mengganti nama organisasi
itu dari ‘Indische Vereeniging’ ke namanya yang baru, ‘Indonesische
Vereeniging’. Organisasi dengan
kepemimpinan baru ini, yang 2 tahun kemudian resmi bernama ‘Perhimpunan
Indonesia’, tak lagi mau berkegiatan di bidang seni-budaya kedaerahan ‘Tanah
Hindia’ yang adi luhung dan Java centris,
dalam alur aliran seni Mooie Indie
(Tanah Hindia yang Indah) seperti yang dijadikan program utama ‘Indische
Vereniging’. Dengan menerbitkan majalah
‘Indonesia Merdeka’, aktivitas organisasi dengan nama baru ini nyata kalau
sudah hendak terang-terangan bergerak dengan program-program politik kebangsaan
meninggalkan aktrivitas organisasi sebelumnya yang lebih bernuansa kebudayaan
dan seni-budaya lokal-etnik.
Kesadaran berbangsa dan gerakan kebangsaan yang
bermula di Negeri Belanda di kalangan mahasiswa yang datang dari berbagai suku
“Tanah Hindia” ini berlangsung terus sepanjang dasawarsa 1920an. Gerakan merebak juga di tanah air, dimarakkan
juga oleh kedatangan para alumni yang tercatat sebagai aktivis gerakan
Indonesia Merdeka di Negeri Belanda. Titik kulminasi gerakan menuju paham dan
solidaritas kebangsaan Indonesia Baru ini terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928,
ialah tatkala para pemuda pelajar bersumpah untuk bertanah air, berbangsa dan
berbahasa yang satu, ialah Indonesia.
Tanggal inilah yang harus dianggap titik alih yang mengubah definisi
bangsa dan kebangsaan di negeri ini, dari definisi lama yang mengartikan bangsa
sebagai satuan etnik tua yang berealitas kultural ke definisnya yang baru
sebagai satuan kolektiva baru yang lebih komprehensif dan berskala luas dalam
realitasnya yang lebih politis.
Itulah peralihan, yang kian tahun kian berlangsung
kian cepat, yang -- merujuk ke apa yang dikatakan oleh Clifford Geertz – dapat
dikenali sebagai proses from old (ethnic)
societies to a new (nation) state.
Peralihan inipun dapatlah disimak sebagai peralihan dari wujud
satuan-satuan kolektiva etnik yang
objektif ke wujudnya yang baru sebagai suatu satuan kolektiva baru yang
lahir dan terjadinya bangsa, ditengarai oleh diucapkannya sumpah pengakuan
bertanahair, berbangsa dan berbahasa yang satu: Indonesia! Itulah pengakuan yang melahirkan suatu
realitas baru di ranah alam kesadaran manusia yang subjektif itu, untuk
kemudian mengembang – atau harus dikembangkan -- menjadi suatu solidaritas
sosial yang inter-subjektif, terobjektivisasi dalam pola perilaku warga
masyarakat yang nyata dari hari ke hari (sebagaimana dinyatakan dalam konsep Ernest Renan sebagai
‘une peblicite des tous les jours’).
Yang masih menjadi persoalan ialah, bagaimana
menjadikan kesadaran dan solidaritas kebangsaan baru yang telah berhasil marak
dan merebak di ranah subjektivitas para pemuda pelajar dan para elit pemuka di
negeri ini juga terobjektivisasi menjadi pola perilaku sehari-hari khalayak
ramai. Manakala ‘Sumpah Pemuda 1928’
hendak dimaksudkan untuk melantangkan kehendak menyatukan fragmen-fragmen suku
tua ke dalam satuan bangsa baru, upaya untuk merealisasi maksud seperti
itu tidaklah bisa diharapkan akan dapat
berjalan dengan mudah. Upaya dengan mencoba memperbaharui ikrar memang sering
dipandang perlu untuk maksud ini.
Akan tetapi patutlah diingat, bahwa ‘ikrar’ untuk
menyatakan kehendak untuk menyatu – yang sesungguhnya lebih bertaraf lanjut
dari sekadar bersatu – sebagai suatu bangsa baru tidaklah bisa dicukupkan hanya
dengan mengulang seremoni-seremoni yang hanya bermakna sebagai replika naif
Sumpah Pemuda dari tahun 1928.
Sesungguhnya, seperti yang juga pernah ditegaskan oleh Renan, keinginan
untuk bersatu sebagai satu bangsa itu harus diwujudkan secara nyata dalam
kehidupan sehari-hari (dan tidak cuma dalam orasi retorik setahun satu-dua
kali). Sayangnya, sampaipun saat ini, di
Indonesia ini orang masih lebih suka berkata-kata lantang tentang kesatuan dan
persatuan daripada berperilaku tertib yang riil dalam kehidupan sehari-hari
untuk menyatakan semangat, paham dan komitmen kebangsaannya.
Nasionalisme dan Masa Depan Indonesia
Kehidupan nasional yang terkesan kian runyam dewasa
ini sesungguhnya tidak cuma terjadi sebagai akibat terlupakannya ikrar untuk
berbangsa yang satu. Secara teoretik
dapatlah dihipotesiskan bahwa semua itu terjadi sebagai akibat kegagalan
mentransformasi realitas nasionalisme sebagai ide subjektif di alam imajinasi
para elit yang berposisi sentral di struktur pemerintahan ke ranahnya yang
lebih riil dan objektif sebagaimana wujudnya sebagai perilaku kultural warga
masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Kegagalan ini hanya akan menghidupkan kembali berbagai nasionalisme
lokal -- yang dikenali dengan istilah etno-nasionalisme – di berbagai daerah
negeri ini. Etno-nasionalisme adalah
nasionalisme yang lebih riil dan konkrit, dan amat nyata kalau lebih
mengedepankan kembali konsep nasionalisme klasik yang mendefinisikan bangsa
sebagai satuan manusia yang menurut mitosnya sedarah keturunan, dan yang dalam
ranah empiriknya lebih tersimak dalam wujud hadirnya kesamaan tradisi dan
bahasa yang berlaku eksklusif.
Etno-nasionalisme seperti ini manakala
terhidupkan dan menguat kembali di dalam kehidupan kebangsaan di negeri-negeri
bekas daerah jajahan – yang (karena tak bisa mengelak dari imperativa sejrah) harus
dibangun dari kehidupan bersuku-suku yang majemuk – hanya akan melahirkan
fragmentasi dan separasi saja dalam kehidupan kebangsaan. Tidak hanya Srilanka atau Irak atau Ghana
yang mengalami masalah pelik yang dilahirkan oleh menguatnya kembali etno-nasionalisme
ini, Indonesia pun mengalaminya. Di
Indonesia, debat mengenai pilihan untuk membangun kehidupan berbangsa atas
dasar paham nasionalisme baru yang mengatasi eksistensi suku-suku tua ataukah
atas dasar paham etno-nasionalisme sebenarnya telah pernah berlangsung pada
tahun-tahun 1918. Inilah debat yang
terkenal antara Tjipto Mangoenkoesoemo dari Indische
Partij dan Soetatmo Soerjokoesoemo dari Comitee
voor het Javaansche Nationalisme yang berlangsung di Kongres Penegembangan
Kebudayaan Jawa di Solo, namun yang
telah dilupakan dalam kajian sejarah politik dan sejarah ketatanegaraan
Indonesia.
Manakala Tjipto Mangoenkoesoemo
merupakan representasi nasionalis yang merindukan terwujudnya Republik Hindia
yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda yang masih tegak waktu itu,
Soetatmo Soerjokoesoemo adalah representasi nasionalis yang merindukan
terwujudnya kerajaan Jawa yang dipermodern sesuai dengan tuntutan zaman. Menurut Soetatmo, nasionalisme sebagaimana yang
terkonstruksi di dalam benak Tjipto akan berkonsekuensi pada terwujudnya model
ketatanegaraan yang pada hakikatnya adalah kelanjutan saja dari model asing
yang Europeesch sebagaimana yang
dibangun dan diperkenalkan oleh para penguasa kolonial. Tidakkah model klasik yang bertumpu pada
kearifan tata nilai dan tradisi budaya setempat akan lebih mendekatkan
bangsa-bangsa di daerah jajahan ini untuk kembali ke kepribadiannya yang
asali.
Dalam
perkembangan yang lebih kemudian, konsesi dan kompromi sebenarnya telah
tercapai. Sumpah Pemuda 1928, misalnya,
sekalipun mengikrarkan kesatuan tanah air, kebangsaan dan kesetiaan berbahasa
sebenarnya masih membukakan peluang untuk menenggang kemajemukan
etnisitas. Pernyataan yang ikut
disuarakan dalam acara Sumpah Pemuda pada tahun 1928 itupun menjanjikan bahwa
hukum di masa depan akan berasaskan hukum adat yang sebenarnya berkarakter
kedaerahan itu. Sila yang disepakatkan
pada tahun 1945 sebagai sila ketiga -- atau yang juga sila yang disebut sila
kebangsaan -- pun bukan sila yang berbunyi ‘Kesatuan Indonesia’ melainkan
‘Persatuan Indonesia’. Undang-Undang
Dasar 1945 yang menjanjikan otonomi daerah yang luas haruslah pula dicermati
sebagai isyarat bahwa kebangsaan dan ketatanegaraan bangsa Indonesia tidaklah
hendak didasarkan pada paradigma kesatuan yang mutlak melainkan yang persatuan
anatar-daerah itulah.
Sudah waktunya para nasionalis mulai
mengkaji kembali konsep-konsep klasik yang berkenaan dengan masalah
nasionalisme itu. Hanya dengan kesediaan
untuk mengkaji dan merenungkan kembali secara kritis persoalan ini dapatlah
suatu simpulan ditarik dan , dan menyimpulkan dengan penuh kearifan manakah
pilihan konsep yang paling mungkin direalisasi di tengah kenyataan
sosial-kultural yang sungguh majemuk.
Pengakuan
bahwa kehidupan di negeri ini adalah kehidupan yang bhineka tunggal ika sudah waktunya direnungkan dan dikaji ulang,
tidaklah harus lagi diartikan ‘sekalipun berbeda-beda tetapi sesungguhnya
satulah itu’ melainkan dipahami dalam isyaratnya yang baru. Ialah, bahwa ‘sekalipun satu namun sesungguhnya
berbeda-bedalah’ itu. Kesadaran dan
gagasan tentang adanya perbedaan sosial-kultural, namun dengan tetap posseder la desire d’etre ensemble inilah kiranya yang akan lebih dapat
memecahkan masalah.
Inilah kesadaran dan ideologi yang
disebut ‘pluralisme’, yang toh tetap dapat diterima juga kehidupan politik
nasional yang dilandaskan pada ide unitarianisme. Pluralisme akan mengakui peran massa awam
nonelit yang sesungguhnya lebih berkemampuan untuk bertransaksi lintas kultural
secara riil dan otonom dari hari ke hari, dan yang karena itu dalam
kenyataannya juga akan lebih berkemampuan mengakomodasi perbedaan-perbedaan
antar-etnik). Sudah waktunya semua insan
nasionalis menyadari bahwa kehidupan di bumi dewasa ini adalah kehidupan yang kian terbangun di atas
landasan yang telah menghadirkan realitas one world, different
but never divided,
di mana nasionalisme akan dipaksa kian bersatu wajah dengan humanisme. Di sini, manakala dan tatkala semangat kebangsaan telah kian menyatu dengan
semangat kemanusiaan -- seperti yang diaku oleh Mahatma Gandhi:bahwa ‘ (my) nationalism is (my) humanism, paham kebangsaan akan tidak lagi
layak berparadigma kesatuan (mengatasi perbedaan), melainkan sudah kian
berparadigma persatuan (di atas perbedaan-perbedaan). Bukankah perbedaan iu -- seperti yang pernah
dikatakan Nabi Muhammad SAW -- adalah sesungguhnya sebuah rahmat?
Sumber Rujukan dan Bacaan
Anderson, Benedict Imagined
Communities: Reflections on The Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 1991).
Bachtiar,
Harsja W. “Integrasi Nasional
Indonesia”, dalam Wawasan Kebangsaan
Indonesia (Jakarta: Bakom PKB Pusat,
1992), hlm. 7-55.
Billig,
Michael. Banal Nationalism (London: Sage Pbublications, 1995).
Gellner,
Ernest Nations and Nationalism (London:
Basil Blackwell, 1983).
Hardiman, Budi F. “Suku Bangsa Dan Hubungan Antar-Suku
Bangsa Dalam Kehidupan Kebangsaan dan Kenegaraan di Indonesia”, Makalah
Seminar
Nasional Hubungan Struktural Antara Masyarakat Hukum Adat, Suku Bangsa, Bangsa
dan Negara dari Perspektif Hak Asasi Manusia, diselenggarakan oleh Komnas HAM pada 3
Oktober 2005
Horsman,
Mathew dan Andrew Marshall After the Nation State: Citizens, Tribalism
and The New World Order (London: Harper Collins, 1995).
Hutchinson,
John dan Anthony D. Smith, eds. Nationalism
(Oxford: Oxford University Press,
1994, khususnya hlm. 3-159, dan 287-325.
James,
Paul. Nation Formation: Towards a Theory of Abstract Community (London: Sage Publication, 1996)
Nagazumi,
Akira. “Masa Awal Pembentukan ‘Perhimpunan Indonesia’: Kegiatan Mahasiswa
Indonesia di Negeri Belanda, 1916-1917, dalam
Akira
Nagazumi, ed. Indonesia dalam kajian Sarjana Jepang: perubahan Sosial Ekonomi Abad
XIX & XX dan berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor, 1986), hlm. 133-157.
Poeze,
Harry A. dan Cees van Dijk dan Inge van der Meulen, In Het Land van de Obverheerser: Indonesiers in Nederland 1600-1950, khususnya
hlm. 157-330.
Shirahazi,
Takashi. “’Satria’ Vs ‘Pandita’: Sebuah
Debat Mencari Identitas”, dalam Akira Nagazumi, ed. Indonesia
dalam kajian Sarjana Jepang: perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX & XX dan
berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor, 1986), hlm.158-187.
Smith,
Anthony D. The Ethnic Origins of Nations (London:
Basil Blackwell, 1986).
Wertheim,
W.F. Indonesian Society in Transition (Bandung:
W. van Hoeve, 1956), khususnya Bab 11 tentang “Nationalism and After”, hlm.
309-332.