Contoh Makalah Tasawuf

Contoh Makalah Tasawuf. Sahabar Kampus, Berikut ini adalah contoh makasalah yang bisa admin sajikan, Mengenai Tasawuf, mungkin anda bingun untuk menyelesaikan tugas kampus, Supa tidak bingung lagi silahkan anda silah Contoh makalah Tasawuf, Semoga sedikitnya bisa membantu anda untuk memudahkan menyelesaikan tugas, Silahkan baca dengan cermat. 
BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Di samping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di sebut tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.

        Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, diantaranya Rabi’ah Al-Adawiyah, yang tercatat dengan perkembangan mistisme Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabbah) kepada Allah. Dzu An-Nun Al-Mishri, yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid Al-Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’. Abu Manshur Al-Hallaj, dengan ajaran taswufnya yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka makalah ini di susun untuk membahas mengenai tasawuf irfani dengan rumusan masalah sebagai berikut
1.     Apapengertian tasawuf irfani?
2.      Siapa tokoh-tokoh sufi yang termasuk ke dalam aliran tasawuf irfani?
C.   Tujuan Masalah
Adapun tujuan di susunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tasawuf dan sebagai pengetahuan bagi para mahasiswa khususnya saya sendiri sebagai penyusun.

BAB II
PEMBAHASAN


A.   Pengertian Tasawuf Irfani

        Secara etimologis, kata irfan merupakan kata jadian (masdhar) dari kata ‘arafa’ (mengenal/pengenalan). Adapun secara terminologis, ‘irfan diidentifikasikan dengan ma’rifat sufistik. Orang yang ‘irfat/makrifat kepada Allah adalah yang benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyf (ketersingkapan). Ahli ‘irfan adalah yang bermakrifat kepada Allah. Terkadang kata itu diidentifikasikan dengan sifat-sifat inheren tertentu yang tampak pada diri seorang ‘arif (yang bermakrifat kemada Allah), dan menjadi hal baginya. Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi berkata, ‘Arif adalah seseorang yang memperoleh penampakan Tuhan sehingga pada dirinya tampak kondisi-kondisi hati tertentu (ahwal). ‘Irfan diperoleh seseorang melalui jalan al-idrak al-mubasyir al-wudjani (penangkapan langsung secara emosional), bukan penagkapan langsung secara rasional. Pembicaraan tentang ‘irfan atau makrifat dikalangan sufi dimulai sekitar abad III dan IV H. Tokoh sufi yang sangat menonjol membicarakannya adalah Dzu An-Nun Al-Mishri (w. 245 H/859M). Sementara Al-Ghazali diposisikan sebagai tokoh sufi yang pertama kali mendalaminya secara intens.
        Sebagai sebuah ilmu, ‘irfan memiliki dua aspek yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktisnya adalah bagian menjelaskan hubungan dan penaggungjwaban manusia terhadap dirinya, dunia dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai etika. Bagian praktis ini juga di sebut syar wa suluk (perjalanan rohani). Bagian ini menjelaskan bagaimana seorang penempuh rohani (salik) yang ingin mencapai tujuan puncak kemanusiaan, yakni tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh tahapan-tahapan (maqam) perjalanannya secara berturutan, dan keadaan jiwa (hal) yang bakal dialami sepanjang perjalanannya tersebut.
        Sementara itu, ‘irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud (ontologi), mendiskusikan manusia, serta Tuhan alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi (falsafah Illahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat, bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan problemnya. Namun, jika filsafat hanya mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip rasional, ‘irfan mendasarkan diri pada ketersibakan mistik yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya.
        Di samping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di sebut tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatanikhlasyangpalingtinggi.

B.   Tokoh-tokoh Sufi yang Termasuk dalam Aliran Tasawuf Irfani
Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, diantaranya sebagai berikut:
1.Rabi’ah Al-Adawiyah
a.      Biografi Singkat Rabi’ah Al-Adawiyyah

        Rabi’ah yang bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah, diperkirakan lahir tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di sebuah perkampungan di dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. Ia dilahirkan sebagai putrid keempat dari keluarga yang sangat miskin. Karena ia putrid keempat, orang tua menamakannya Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Konon, pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan di jual kepada keliarga atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini, ia di kenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan karena tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Al-Adawiyyah dan menerangi seluruh ruangan rumah saat ia beribadah.

        Setelah dimerdekakan oleh tuannya, Rabi’ah pergi hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan beribadah untuk mendekatan diri kepada Allah sekaligus kekasihnya. Ia memperbanya tobat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menplak segala bantuan materi yang diberkan kepanya. Bahkan, dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.

        Pendapat ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi. Rabi’ah menurutnya, sebelum bertobat pernah menjalani kehidupan duniawi .untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Rabi’ah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan yang digunakan Badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat Rabi’ah itu sendiri. Menurut Badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabi’ah kepada Allah begitu ekstremnya, kecuali ia pernah sedemikian jauh dalam menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya.

b.     Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyyah

        Rabi’ah Al-‘Adawiyyah tercatat dalam perkembangan mistisme Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut dan penharagaan kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.

        Sikap dan pandangan Rabi’ah ‘Al-Adawiyyah tentag cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa katika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akan Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu?”Tiba-tiba terdengar suara,”Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.”

        Diantara syair cinta Rabi’ah yang paling masyhur adalah:

Aku mencintai-Mu dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dank arena diri-Mu.
Cinta karena diriku
adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu.
Cinta karena diri-Mu
adalah keadaan mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat.
Baik ini maupun itu, pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya.

        Untuk memperjelas pengertian al-hubb yang diajukan Rabi’ah, yaitu hub al-hawa dan hub anta ahl lahu, perlu di kutip tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-Qubub sebagaimana dijelaskan Badawi, memberikan penafsiran bahwa cinta yang timbul berasal dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah, sedangkan yang di maksud dengan nikmat-nikmat adalah nikmat materil, tidak spiritual, sehingga hub di sini berupa hub indrawi. Walaupun demikian, hub al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah dan tidak berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat. Sebab Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada di balik nikmat. Adapun al-hubb anta lahu adalah cinta yang tidak di dorong kesenangan indrawi, tetapi di dorong Dzat yang di cinta. Cinta yang kedua ini tidak mengaharapkan balasan apa-apa. Kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cintanya kepada Dzat yang dicintai.

2.     Dzu An-Nun Al-Mishri (180-246)
a.Biografi Singkat Dzu An-Nun Al-Mishri

Dzu An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/ 796M. dan meninggal pada tahun 246H/856M. Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Di antaranya ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya dalam keadaan selamat di sungai Nil atas permintaan ibu dari anak tersebut.
        Asal mula Al-Mishri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak diutarakan. Al-Mishri dalam perjalanan hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syria, Pegunungan Libanon, Anthokiah, dan Lembah kan’an. Hal ini menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi, sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia mengambil riwayat hadis dari Malik, Al-Laits, dan lain-lainnya. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain Al-Hasan bin Mush’ib An-Nakha’iy. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil Al-Maghribiy. Ini yang menjadikan ia seorang alim, baik dalam ilmu syariat maupun tasawuf.
        Sebelum Al-Mishri, sebenarnya sudaha ada sejumlah guru sufi, tetapi adalah orang pertama yang member tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia pun merupakan orang pertama di Mesir yang membicarakan tentang Ahwal dan Maqamat para wali dan orang yang pertama member definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.
Pendapat tersebut cukup beralasan mengingat Al-Mishri hidup pada awal pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi pula, ia seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberaniannya menyebabkan ia harus berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengan tuduhan zindiq. Akibatnya, ia pernah di panggil mengahdap Khalifah Al-Mutawakkil. Namun, ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali diakui secara umum tatkala ia meninggalkan dunia yang fana ini.
      b.Ajaran-ajaran Tasawuf

 1.Makrifat
            Al-Mishri adalah pelopor paham makrifat. Penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathi dan Al-Mas’udi yang kemudian dianalisis Nicholson dan Abd Al-Qadir dalam falsafah As-Sufiah fi Al-Islam, Al-Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tetntang makrifat dalam bidang sufisme Islam. Pertama, ia membedakan “makrifat sufiah” dengan “makrifat aqliyah”. Bila yang pertama menggunakan pendapat qalb yang biasa digunakan para sufi, yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua, menurut Al-Mishri, makrifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab makrifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga, teori-teori makrifat Al-Mishri menyerupai gnosisme ala-Platonik. Teori-teorinya itu kemudian di anggapa sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad.
Pandangan-pandangan Al-Mishri tentang makrifat pada umumnya sulit di terima kalangan teolog sehingga di anggap sebagai seorang zindiq. Karena itu pula, di tangkap Khalifah kemudian dibebaskan. Berikut beberrapa pandangannya tentang makrifat:
a.  Sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazar milik para hakim, mutakalimin dan ahli balaghah, tetapi makrifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimilki para ahli Allah. Sebab, mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamban-Nya yang lain.
b. Makrifata yang sebanarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya makrifat yang murni seperti matahari tak dapat di lihat kecuali dengan cahayanya. Senantiasa seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaan-Nya, mereka merasa berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka, mereka melihat demgan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah.

            Kedua pandangan Al-Mishri di atas menjelaskan bahwa makrifat kepada Allah tidak dapat di tempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan makrifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini, sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahanterangkat ke atas dan selanjutnya menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan, samapai akhirnya, ia sepenuhnya di dalam-Nya dan lewat diri-Nya.
Al-Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan (makrifat) menjadi tiga macam, yaitu:

1.      Pengetahuan untuk seluruh Muslim
2.      Pengetahuan khusus untuk filosof dan ulama dan
3.      Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.

2.Maqamat dan Ahwal

            Pandangan Al-Mishri tentang maqamat, dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu at-taubah, ash-shabr, at-tawakal dan ar-ridha. Dalam Dairat Al-Ma’rifat Al-Islamiyyat terdapat keterangan berasala dari Al-Mishri yang menjelaskan bahwa simbol-simbol zuhud itu adalah sedikit cita-cita, mencintai kekafiran, dan memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang di sebut Al-Mishri lebih sedikit dibandingkan dengan apa yang dikemukakan sejumlah penulis sesudahnya.
            Menurut Al-Mishri, ada dua macam taubat, yaitu tobat awam dan tobat khawas. Orang awam bertobat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan). Dalam ungkapan lain, ia mengungkapkan bahwa sesuatu yang di anggap sebagai kebaikan oleh al-abrar di anggap sebagai dosa al-muqqarabin. Pandang ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa tobat adalah “engkau melupakan dosamu”. Pada tahap ini orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju kepada kebesaran Tuhan dan dzikir yang berkesinambungan.

            Keterangan Al-Mishri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam bentuk kepingan dialog dari sebuah riwayat. Suatu ketika ia menjenguk orang yang sakit. Ketika orang sakit itu merintih, Al-Mishri berkata, “Tidak termasuk cinta yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan”. Orang sakit itu kemudian menimpali, “Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”
Berikut ini merupakan sebuah contoh ucapan Al-Mishri selagi kedua tangan dan haknya di belenggu sambil di bawa ke hadapan penguasa dengan disaksikan oleh orang banyak. Ia berkata , “Ini adalah salah satu pemberian  Tuhan dan karunia-Nya. Semua perbuatan Tuhan  merupakan nikmat dan kebaikan.
Berkenaan dengan maqam at-tawakal, Al-Mishri mendefinisikannya sebagai berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki kekuatan.
Ketika di Tanya tentang ar-ridha, Al-Mishri menjawab bahwa ar-ridha adalah kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Al-Qanad, yakni ar-ridha adalah ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan Tuhan. Kedua pendapat ini pada dasarnya menunjukkan makna yang sama. Perbedaanya hanya terletak pada pemilihan kata Al-Mishri memilih kata surur al-qalb untuk ketenangan hati, sedangkan Al-Qanad memilih kata sukun al-qalb.
Berkenaan dengan ahwal, Al-Mishri menjadikan mahabbah “cinta kepada Tuhan” sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab, tanda-tanda orang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad saw, dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah dan sunnahnya.

3.Abu Yazid Al-Bustami

a. Biografi Singkat

            Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 dan wafat tahun 947 M. Nama kecilnya adalah Thaifur. Kakeknya bernama Sursuryan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu yazid termasuk orang kaya di daerahnya, tetapi lebih memilih hidup sederhana. Sejaka dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah mempunyai kelebihan. Menurut ibunya, bayi yang dalam kandungan akan memberontak sampai sang ibu muntah jika sang ibu memakan makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti ajaran agama, serta berbakti kepada  orang tuanya. Suatu hari gurunya menerangkan suatu surat dari Al-Qur’an surat Al-Luqman, “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang kerumahnya untuk menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan Allah.

            Paerjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seoran fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali Al-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu-ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja, ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.

Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahunAbu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan dan minum.

b.Ajaran Tasawuf Abu Yazid

            Ajaran tasawuf Abu Yazid yang tepenting adalah fana’ dan baqa. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata ‘faniya’, yang berate musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar Al-Kalabadzi (w.378 H/988M) mendfinisikannya, “Hilangnya semua hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan segala sesuatu secara sadar, dan ia telah menhilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Jalan menuju fana’, manurut Abu Yazid, dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya,”Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu?Tuhan menjawab,”Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah.” Abu Yazid pernah melontarkan kata ‘fana’ dan salah satu ucapannya:
“Aku tahu kepada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tahu kepada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup.”
Adapun baqa’ berasal dari kata ‘baqiya’. Dari segi bahasa, artinya adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Faham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan faham fana’. Keduanya merupakan faham yang berpasangan. Jika sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.
Ittihad adalah tahapan selanjutnya dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’.
             Hanya saja dalam literature klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan. Apakan karena pertimbangan keselamatan jiwa atau ajaran ini sangat sulit dipraktikan dan masih perlu pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu di analisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution, uraian tentang itthad banyak terdapat dalam buku karangan orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad,”identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Sufi bersangkutan, karena fana’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Denga fana’nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari Syahadat yang diucapkannya. Syahadat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad.

4.Abu Manshur Al-Hallaj

a. Riwayat Hidup Al-Hallaj

            Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi. Ia lahir di Baidha, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/255M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Bagdad. Pada usia 16 tahun ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah Tusturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian ia pergi ke Bashrah dan berguru kepada ‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi. Pada tahun 878 M, ia masuk ke kota Bagdad dan belajar kepada Al-Junaid. Setelah itu ia pergi mengembara dari satu negeri kenegeri lain untuk menambah penegtahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia digelari Al-Hallaj karena penghidupannya yang di peroleh dari memintal wol.

b.Ajaran Tasawuf Al-Hallaj

            Di antara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling tetkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembang Ibn ‘Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu denga Tuhan (hulul). Kata al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mngambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa diri manusia sebenarnya terdapat sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan ayat berikut,

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka, kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.(QS.Al-Baqarah (2):34)

            Bahwa Allah member perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang berhak diberi sujud hanya Allah, Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsure ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya sendiri dan ia pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam. Pada diri Adam lah, Allah muncul.
Menurut Al-Hallaj, pada hulul mengandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak ilahi sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Namun, di lain waktu, Al-Hallaj mengatakan,

“Barang siapa mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri dalam dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.”

            Dengan demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui bahwa dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan. Dapat di tarik kesimpulan bahwa hulu yang terjadi pada Al-Hallaj tidaklah real karena member pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang berlansung pada kondisi fana’, atau menurut ungkapannya, sekadar terlebarnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan.

BAB III
KESIMPULAN

            Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa, di samping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di sebut tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.

            Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, diantaranya Rabi’ah Al-Adawiyah, yang tercatat dengan perkembangan mistisme Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabbah) kepada Allah. Dzu An-Nun Al-Mishri, yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid Al-Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’. Abu Manshur Al-Hallaj, dengan ajaran taswufnya yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.


Demikianlah contoh makalah Tasawuf yang admin sajikan semoga bermanfaat dan terimakasih