Nooryan Bahari, NIM 37095001
Abstrak Disertasi Program Doktor Ilmu Seni
Rupa dan Desain ITB
DAYA TAHAN KARAKTERISTIK ESTETIS DAN
SIMBOLISME JAWA PADA KRIA PERAK DI SENTRA
INDUSTRI KOTAGEDE DALAM KONTEKS PERUBAHAN
LINGKUNGAN SOSIAL BUDAYA
Penelitian ini secara umum bertujuan mengidentitlkasi, memahami, dan
menjelaskan bagaimana karya kria perak Kotagede dapat bertahan dari kepunahan,
serta bagaimana kriawan setempat dapat menyerap, mengembangkan, serta
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan sosial budaya. Secara terinci
penelitian ini bertujuan : Memahami daya tahan kria perak Kotagede yang
disebabkan faktor sosial budaya ; Memahami nilai estetis dan sistem simbol Jawa
yang dianut kriawan perak Kotagede ; Membandingkan latar belakang konsep
estetika dan sistem simbol Jawa yang mendasari kriawan perak Kotagede dalam
berkarya dan mengkaji karakteristik karya yang dihasilkan. Guna mencapai tujuan
penelitian ini secara menyeluruh dan mendalam, maka digunakan pendekatan 4wantar
disiplin". Pendekatan ini terdiri dari pendekatan sosial budaya dan
sejarah untuk mengkaji faktor ekstraestetik atau faktor-faktor yang melatar
belakangi, nilai-mlai, pengetahuan, keyakinan dan lingkungan yang turut
mempengaruhi penciptaan karya kria perak Kotagede. Pendekatan estetika, dan
semiotika digunakan untuk menganalisis objek kajian secara nyata yang menunjuk
kepada wujud fisik karya kria perak sebagai bentuk ekspresi atau sering disebut
faktor intraestetik. Implikasi metodologis dari pendekatan antar disiplin ini
bersifat emik, artinya penjelasan dilakukan dengan menggunakan cara pandang
masyarakat yang bersangkutan sebagai subyek penelitian. Kebenaran dipahami dan
diukur oleh logika masyarakat pendukungnya, dan secara etik dikerangkai atau
dibingkai oleh model berpikir dengan pendekatan antar disiplin. Penelitian ini
bersifat kualitatif, meskipun pada beberapa bagian menggunakan data kuantitatif
yang diperlakukan sebagai fakta-fakta atau bukti (evidence). Penjelasan
dilakukan secara mendalam (thick description) mengenai gejala dan
hubungan di antaranya. Penyajian data dan penjelasan keseluruhan hasil
penelitian dilakukan secara deskriptif dan holistik dengan penarikan kesimpulan
menyeluruh secara inttrpretatif. Hasil pembahasan faktor intraestetik karya
kria perak Kotagede, dapat disimpulkan : Ikon yang digunakan dalam karya kria
perak Kotagede kebanyakan mengandung ikon tumbuhan. Banyaknya ikon turnbuhan
tersebut disebabkan motif tumbuhan bentuknya lebih netral dan merupakan motif
hiasan yang cocok untuk menghias berbagai bentuk karya kria perak. Sedangkan
motif tumbuhan yang mendominasi adalah motif bunga teratai atau lotus yang
sudah di gayakan. Bunga teratai adalah bunga kehidupan, bunga keramat dan suci,
serta dapat dilambangkan dengan wujud seperti matahari yang bersinar, roda
(cakra), lingkaran (mandala), dan swastika. Periode 1980 hingga 1998, sebagian
karya kria perak sudah banyak yang dibuat polos tanpa hiasan sama sekali atau
memakai bentuk dasar geometri seperti bentuk lingkaran, segi tiga dan lain-lain
sebagai unsur penghias. Perubahan karya kria perak dengan sedikit hiasan atau
polos sama sekali di samping merupakan mode yang diminati pasar, juga
permintaan dari konsumen dengan alasan untuk lebih mudah dalam proses
perawatan. Motif hiasan banyak memakai hiasan pilin berganda yang
dikombinasikan dengan hiasan tumpal dan pinggir awan, disebabkan bentuk motif
tumbuhan cenderung luwes, sehingga cocok dengan motif tersebut. Bentuk bujur
sangkar atau empat persegi panjang merupakan simbol kuno dari bumi, sedangkan
bentuk lingkaran merupakan simbol kuno untuk sorga. Kombinasi dari kedua bentuk
ini dapat diiihat pada stupa yang terwujud sebuah kubah yang ditempatkan pada
sebuah piramida berundak. Banyaknya pola dasar hiasan yang berbentuk lingkaran
dan dikombinasikan bentuk segi tiga, bujur sangkar, empat persegi panjang,
persegi lima, persegi delapan dan lain-lain disebabkan bentuk lingkaran secara qualisign
bersifat netral, sehingga mudah dikombinasikan dengan bentuk yang lainnya.
Sedangkan bentuk segi tiga, bujur sangkar, dan persegi lima secara qualisign
bersifat kokoh dan stabil. Kombinasi dari kedua bentuk tersebut menunjukkan
sifat kokoh dan stabil, serta sekaligus bersifat netral dan dinamis, sejajar
dengan klasifikasi simbolis dua kategori, merupakan lambang yang berlawanan,
bertentangan, bermusuhan, atau justru yang saling membutuhkan. Positif -
negatif, baik - buruk, tinggi - rendah, panas - dingin, halus - kasar, kanan -
kiri, siang - malatn, dan lain-lain yang cenderung bersifat dwitunggal untuk
mencapai keselarasan. Klasifikasi simbolis dua kategori yang merupakan falsafah
dan pedoman hidup sebagian besar kriawan dan pengusaha kria perak Kotagede
mendasari kemampuan adaptasi masyarakat Kotagede terhadap perubahan lingkungan
fisik dan sosial budaya, termasuk dalam menghadapi perubahan-perubahan
kebijakan sosial politik dan sosial ekonomi.
Agus
Sachari, NIM 37096002
Abstrak Disertasi Program Doktor Ilmu Seni
Rupa dan Desain ITB
MAKNA
NILAI ESTETIS MODERN DALAM PERKEMBANGAN DESAIN ABAD KE – 20 DI INDONESIA
Gejala keterbukaan budaya secara umum ditandai oleh adanya
kebebasan pelintasan antar budaya di pelbagai negara.Situasi keterbukaan itu,
di wilayah nusantara telah menumbuhkan semangat rnodernisasi, dan semakin
mengalami percepatan di awal abad ke-20. Dampak keterbukaan yang terjadi telah
menciptakan tumbuhnya masyarakat modern dengan pelbagai bentuk kebudayaannya.
Demikian pula wujud rnodernisasi berbentuk karya desain merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari proses transformasi budaya secara keseluruhan.
Terdapat bukti yang jelas adanya hubungan sinergis antara
tumbuhnya pola pikir modern, program modernisasi, kebijakan politik, dinamika
ekonomi, tumbuhnya pendidikan, program industrial isasi dan kebijakan
pembangunan yang mendukungnya dengan nilai estetis dalam praktik desain secara
luas. Namun demikian, dalam percaturan sejarah senirupa, nilai estetis dalam
karya desain belum ditempatkan secara bermakna. Untuk itu diperlukan upaya
untuk menempatkannya secara lebih proporsional, baik dalam sejarah senirupa Indonesia ,
maupun dalam kajian-kajian kebudayaan.
Begitu banyak artifak yang dihasilkan selama proses modenisasi
berlangsung di abad ke-20. Hal tersebut memperkuat dugaan bahwa telah terdapat
upaya-upaya pemberdayaan masyarakat untuk menyelaraskan dengan keterbukaan
budaya melalui karya-karya desain. Nilai-nilai estetis yang menjadi bagian
integral dari suatu karya desain tentu tidak terlepas dari dinamika modernisasi
tersebut.
Penelitian ini merupakan satu upaya untuk menditeksi hubungan
sinergis antara nilai-nilai estetis pada karya desain dengan aspek lain yang
menjadi unsur-unsur kunci proses modernisasi, seperti perubahan pola pikir,
gaya hidup, dinamika sosial, kebijakan ekonomi dan perkembangan teknologi yang
terjadi di Indonesia di abad ke-20. Disamping untuk memahami dan memetakan
nilai-nilai estetis yang bagimanakah pengisi kegiatan desain di Indonesia , baik
semasa kolonial, maupun setelah era kemerdekaan.
Metoda yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
interdisiplin dan kajian budaya. Pendekatan interdisiplin dipilih sebagai upaya
mendudukkan penelitian ini dalam konteks ruang dan waktu. Sedangkan kajian
budaya perlu difahami dalam rangka upaya menyimak desain dan nilai-nilai
estetisnya sebagai wujud simbolisasi dari sebuah bangsa yang sedang menjalankan
modernisasi. Metoda penelitian kualitatif ditempuh sebagai upaya untuk
menghimpun, memilah, menganalisis dan mengevaluasi data dan informasi yang
diperoleh.
Merujuk kepada
kajian yang telah dilakukan, diperoleh temuan, bahwa peran dan makna nilai
estetis dalam karya desain sebagai bagian dari proses modernisasi adalah
merupakan refleksi dari hasil pemberdayaan masyarakat dalam menghadapi
keterbukaan budaya secara luas. Pertama, makna nilai estetis dalam karya desain
yang membangun penyadaran serta lebih berorientasi kepada upaya untuk menjadi
bagian dari modernisasi ataupun membangun penyadaran akan nilai-nilai
kesejarahan. Kedua, makna nilai estetis yang memberi kontribusi ke arah proses
pembelajaran, ditampakkan pada upaya-upaya yang menyertai proses inovasi
teknologi, baik yang dilakukan secara otodidak maupun oleh masyarakat
profesional.. Ketiga, makna yang bersifat pembudayaan desain, hal itu terjadi
pada pelbagai upaya revitalisasi estetik tradisi, pesilangan antar budaya
maupun sebagai wahana pencanan jatidiri dalam budaya rupa.
Fenomena tersebut
di Indonesia teraga dalam bentuk "sintesis' budaya yang telah menjadi
bagian dari proses transformasi budaya bangsa secara keseluruhan, baik dalam
bentuk karya estetis yang menjadi tanda penting dalam wacana desain secara
nasional, maupun pemikiran konseptual yang melandasi pelbagai kegiatan desain
secara lokal.
Berdasar hasil
penelitian, kajian nilai estetis dapat dijadikan model bagi pembangunan
nilai-nilai estetis pada karya desain di Indonesia untuk masa yang akan datang,
terutama dalam menghadapi aspek keterbukaan budaya yang lebih luas
(Kata Kimci:
Makna, Nilai Estetis Modern, Desain di Indonesia)
DIBYO
HARTONO, NIM: 33398001
Abstrak Disertasi Program Doktor Ilmu Seni
Rupa dan Desain ITB
TRANFORMASI GUBAHAN RUANG-DALAM RUMAH DI KOTA
BANDUNG
KAJIAN DESAIN PADA PERIODE KOLONIAL ABAD 20
KAJIAN DESAIN PADA PERIODE KOLONIAL ABAD 20
Laporan ini menggambarkan
garis pemikiran tentang bagaimana transformasi desain rumah telalh terjadi
di kota Bandung pada masa Kolonial Belanda abad 20. Penelitian berlandaskan
pada analisis Estelika Spasial, dengan menjelaskan apa yang telah
berkenibang dan bagaimana perubahan telah teijadi pada waktu itu. Analisis ini
meliputi tidak hanya menggunakan parameter fisik dari struktur bangunan seperti
lebar, tinggi, dan panjang, akan tetapi juga melihat kualitas estetika yang
terdapat di dalam ruangnya, serta mencari jawaban bagaimana menusia dapat
memperoleh kualitas kehiciupan yang lebih baik dalam lingkungannya
Iklim yang dingin
dan lingkungan alamnya yang indah dari kota Bandung, telah banyak menarik
perhatian orang-orang Eropa untuk tinggal di sana. Realisasi konsep kola
taman dan pengembangan bagian utara kota untuk perumahan modern pada
dasawarsa ketiga, telah menampilkan citra yang megah dari gaya hidup masyarakat
Indo Eropa, dan telah dapat mengakomodasikan sebagian besar orang Eropa. Data
sejarah tahun 1940 menunjukkan bahwa di sana terdapat lebih dari 26.000 orang
Eropa, seita lebih dari 50% kawasan kota telah mereka tempati,
Hidup di dalam rumah adalah
merupakan bagian penting dari kehidupan manusia. Bentuk rumah adalah merupakan
hasil saling pengaruh mempengaruhi dari factor konJisi sosial, "budaya dan
lingkungan alain yang sangat kompleks Pcnciitian dimulai dengan pengamatan
terhadap gaya
perumahan tradisional Sunda Lama di bagian selatan kota . Beberapa rurnah yang telah lama
dibangun melalui beberapa generasi menggunakan teknik tradisional. Sedikit dari
rumah tradisional dengan lantai kayu dan dinding anyaman bambu, yang berlokasi
di bagian selatan kota ,
seperti Paledang, Sasakgantung, Cikawao. dan Cihapit, memperlihatkan ekspresi
budaya lama dari masyarakat Sunda. Perbaikan kualitas bahan bangunan seperti
lantai tegel, kaca, cat berwarna untuk kayu, genting, telah merubah pcnampiian
visual rumah. Setelah Perang Dunia Pertama, sehaiyiaii besai masyarakat
Sunda telah mengalami perubahan gaya
hidup dan gaya
rumah menjadi lebih modern.
Selain dengan bentuk tradisional daerah, terdapat juga rumah yang
dibangun dengan gaya tradisional Barat pada dasawarsa pertama, yang dapat
ditemukan di sekitar Stasion Kereta Api, daerah Militer dan di daerah kota lama
lainnya. Rumah dengan fasade monumental, kolom Klasik,
dan dinding tebal adalah beberapa dari ciri gaya tradisional Barat. Klasik
Barat dengan fasade simetris dan tatanan ruang interior yang simetris, serta
dengan adaptasi terhadap iklim dan lingkungan tropis, disebut sebagai gaya Indis
Belanda. Sebuah hasil dari proses akulturasi atara
budaya Belanda, Sunda dan Cina, sejak abad 19.
Alam kehidupan manusia dan kebudayaanya, ada yang bertahan secara
konstan dan ada pula yang mengalami perubahan. Perubahan yang dikenal dengan
istilah transformasi, menghasilkan bentuk rumah baru yang dibangun untuk
meningkatkan kualitas kenyamanan fisik dan kesenangan visual. Kehidupan di
bagian utara kota
setelah Perang Dunia Pertama, menunjukkan banyaknya peninggalan bentuk rumah
baru yang dipengaruhi oleh bentuk Arsitektur Modern Eropa. Beberapa rumah hasil
percobaan yang dibangun, merupakan hasil usaha memperbaiki kualitas lingkungn
hidup di dalam rumah. Bentuk ruang, tatanan ruang, dan besaran ruang, serta
sifat fisik dan visual lainya dari Perubahan desain yang muncul dari suatu
idaman bentuk pemilik, arsitek dan kontraktor ruang hidup di dalam rumah, telah
dianalisis dari sudut kualitas fungsi, teknik dan estetika. untuk menciptakan
bentuk rumah baru.
Transformasi gubahan ruang hidup sebagai hasil dari proses
berubahnya terus menerus dari estetika bentuk visual tradisional, menjadi
estetika bentuk modern. Ruang dengan dekorasi Barat dikembangkan pada awal abad
20. Ruang interior yang berubah menjadi ruang yang lebih nyaman dan
menyenangkan. Kaca-patri jendela dan pintu, dekorasi lantai, dan langit-langit
logam ornamental digunakan memperbaiki penampilan interior sampai akhir
dasawarsa ketiga. Kemudian konsep keindahan ruang mulai berubah kearah ruang
yang dinamis dan plastis, sebagai akibat langsung dari proses perubahan gaya hidup modern.
Abad 20
memperlihatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, serta perubahan
sosial, telah merubah dan meningkatkan standar kehidupan dunia. Desainer
memiliki kemampuan untuk menciptakan standar hidup lebih baik dari masa
sebelumnya, dan bangunan dapat didesain lebih fungsional dan rasional.
Transformasi desain rumah dapat meningkatkan secara optimum kegiatan hidup di
dalam rumah, dengan tatanan, estetika spasial, kenyaman spasial, dan efisien
ruang. Seluruh fungsi spasial dikembangkan mengikuti standar kesehatan dan
persyaratan ergonomi..
Perkembangan
hunian modern di daerah utara kota pada dasawarsa ketiga, dapat melukiskan
transformasi dari berbagai macam fungsi dan bentuk estetika dan pemecahan
teknik untuk kenyamanan dan kesenangan manusia. Sebagian besar adalah rumah
mandiri dengan keterbukaan ruang tamu, ruang keluarga, dan ruang makan yang
menyatu dan mengalir bebas satu dengan lainnya. Beberapa contoh melukiskan
keyakinan dari Sebuah cara hidup barn yang didesain oleh pelopor Gerakan
Modern, seperti C. P. Wolff Schoemaker, A. F. Aalbers, Brinkman, Soekarno dan
lain sebagainya.
Transformasi
terlihat dengan nyata pada perubahan bentuk rumah sebagai akibat dari perubahan
konsep desain ruang. Suatu arus desain yang terkait kebutuhan akan identitas
desain baru. Pengembangan teknik struktur beton dan baja, dapat menciptakan dinding
kerangka yang tipis, bentuk ruang yang kreatif, ruang yang besar, ruang
interior bebas terbuka, dan idaman estetika spasial yang baru. Estetika idaman
ini menghasilkan Bentuk Rumah Plastis Baru dan juga Mebel Plastis dan
Ergonomis Baru. Pintu dan jendela menyimbolkan hubungan dan kebebasan
aktifitas manusia, dan mebel sebagai simbol kehidupan bersama. Produk hasil
perkembangan konsep modern yang secara fisik telah menciptakan kenyamanan dan
kesenangan hidup manusia.
Plastisitas gubahan ruang modern berbentuk hubungan ruang mengalir yang
terkait dengan efisiensi ruang modern dasawarsa keempat, yang dapat menciptakan
permainan cahaya dan bayangan adalah merupakan arus desain interior modern
terakhir periode kolonial. Tiga vila Dago tahun 1937 dan Rumah Jajar
Pagergunung karya Aalbers tahun 1939, adalah merupakan hasil transformasi
terakhir periode kolonial, yang menggambarkan adanya arus bahasa estetika
modern yang mendunia.
ANWAR THOSIBO, NIM : 37099001
Abstrak Disertasi Program Doktor Ilmu Seni Rupa
dan Desain ITB
MENGUNGKAP MAKNA ORNAMEN PASSURAK PADA
ARSITEKTUR VERNAKULAR TONGKONAN MELALUI
PERSEPSI INDRA VISUAL
Ornamen passurak
adalah hasil karya seni grafts yang dibuat oleh etnis Toraja dan menyatu
dengan arsitektur vernakularnya yaitu Tongkonan. Maksud penciptaannya
tidak dominan bertujuan memperindah bangunan dan menyenangkan penglihatan,
ataupun bermakna simbolik sebagai ciri pembeda dalam susunan masyarakat Toraja.
Oleh karena itu, tiba saatnya meninjau ulang pemahaman makna konvensional yang
umum berlaku, dan membuka peluang selebar mungkin untuk menawarkan berbagai
pemaknaan baru, di antaranya dengan melihat dan menempatkan ornamen passurak
sebagai karya seni yang ideografik.
Dalam kedudukannya sebagai konsep, gagasan dan ide abstrak yang tergambar,
maka secara visual dapat dipakai sebagai pangkal untuk mengerti dan memahami
barbagai aspek yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat Toraja.
Pengungkapan makna ornamen passurak yang sudah dilakukan umumnya hanya
terarah kepada segi verbalnya dan dipahami di tingkat kognisi, sehingga
mengakibatkan pikiran kita terbawa kepada masalah yang spekulatif abstrak.
Belum dilakukan suatu penelitian yang melihat ornamen passurak dari perspektif
visualnya, sementara ada kesadaran bahwa sesuatu yang visual hanya bisa
dimengerti dengan cara visual.
Menjadikan ornamen passurak sebagai lifegrafis secara
otomatis juga menganggapnya sebagai media komunikasi visual, yaitu tempat
pengirim menyampaikan pesan budaya kepada generasi belakangan serta menjadi
tumpuan bagi penerima untuk memahami isi pesan. Cara penyampaian visual
demikian itu dapat dipahami karena masyarakat Toraja sepanjang perkembangan
budayanya tidak mengenal aksara alfabet dalam bentuk teks tertulis, mereka
hanya menciptakan dan menggunakan motif passurak sebagai media
pengungkapan makna. Namun bila
dilihat dari terjemahan, kata passurak berarti gambar, ukiran garis,
lukis warna-warni dan sebagai tulisan dalam representasi lain.
Upaya mengungkap dan menemukan makna ornamen passurak pada
arsitektur vernakular Tongkonan sudah dilakukan dengan menggunakan pendekatan visual
perception, dipadu dengan penjelasan berdasarkan hermeneutika. Adapun
metode yang digunakan adalah metode grounded research, yang dalam proses
penelitian manempuh beberapa langkah metodologis.
Langkah pertama, mengidentifikasikan unsur-unsur seni rupa yang
dapat ditangkap oleh indra penglihatan sebagaimana yang terdapat pada gambar
permukaan bidang panel. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa unsur rupa terdiri dari garis, warna, bentuk dan tekstur.
Unsur-unsur itu kemudian dianalisis dengan cara mencari nilai masing-masing
unsur, yang selanjutnya saling berkombinasi sesuai dengan prinsip-prinsip
tertentu.
Langkah kedua,
hasil sebuah analisis terhadap gambar dipakai sebagai landasan persepsi dan
penilaian yang melahirkan arti visual dalam bentuk kesan yang ikon is dan
plastis. Dalam tataran ikonis, gambar mewakili obyek tertentu yang dapat
diketahui melalui persepsi dunia hidup yang alamiah dan dalam tataran plastis,
ekspresi gambar ingin menyampaikan konsep-konsep abstrak.
Langkah ketiga,
agar tafsir gambar ornamen passurak yang ditarik dari kesan visual tidak
bersifat subyektif, maka dicari validitasnya dalam masyarakat melalui cara
hermeuneutika, yaitu wawancara dengan informan kunci. Topik percakapan berkisar
pada pertanyaan mengapa etnis Toraja memproyeksikan diri ke luar dalam bentuk
gambar ikonis dan plastis seperti yang terlihat pada ornamen passurak.
Dari hasil
penelitian ditemukan suatu basis kesepahaman yang sama sebagai suatu bentuk
pemahaman yang sifatnya universal, bahwa arah, jumlah penyambungan dan jalinan
antar garis yang diberi warna-warna tertentu, kemudian inembentuk gambar dua
dimensi adalah ciri khas ornamen passurak. Motif ornamen senantiasa
merujuk kepada gambaran kehidupan sosial, budaya dan teknologi etnis Toraja
pada masanya. Bidang kehidupan yang divisualisasikan terutama pada sistem
kepercayaan, perkawinan, kekerabatan, dan status pribadi seseorang. Oleh kerana
hal itu dianggap penting, maka selalu disosialisasikan melalui cara penyatuan
dengan struktur bangunan adat Tongkonan dan mengambil tempat pada bidang
bangunan yang luas. Akhirnya disimpulkan bahwa ornamen passurak adalah
media komunikasi visual yang mempunyai makna dan tidak terikat oleh ruang dan
waktu. Disadari bahwa motif passurak telah mengalami perubahan bentuk
namun dasar pemahaman maknanya masih dapat diketahui.
Meskipun
penelitian yang dilakukan dapat mengungkap makna ornamen passurak melalui
persepsi indra visual, namun pemahaman maknanya yang seratus persen obyektif
belum mungkin terjadi. Oleh karena itu bisa timbul berbagai penafsiran yang
bukan hanya membawa pada pemahaman yang berbeda, melainkan juga menampilkan
persoalan tentang ketepatan dan kebenarannya. Dalam hal uji ketepatan dan kebenaran
maknanya itulah, maka penelitian ini diakhiri dengan mengajukan rekomendasi
untuk melakukan penelitian lanjut dengan penekanan pada studi kuesioner.
Kata kunci : ornamen, persepsi visual, makna
PRIYANTO
SUNARTO, NIM: 37099004
Abstrak Disertasi Program Doktor Ilmu Seni
Rupa dan Desain ITB
METAFORA
VISUAL KARTUN EDITORIAL PADA SURAT KABAR JAKARTA 1950-1957
Kartun Editorial
merupakan kolom gamhar sindiran di media massa cetak yang mengomentari berita
dan isu yang sedang ramai dibahas di masyarakat. Scbagai editorial visual,
kartun tcrsebut mencerminkan kcbijakan dan garis politik media yang memuatnya.
sekaligus mencerminkan pula budaya komunikasi masyarakat masanya. Dalam
mengungkap komcntar. kartun menampilkan masalah tidak secara harfiah tetapi
melalui metafora. agar terungkap makna yang tersirat di balik peristiwa.
Metafora merupakan pcngalihan sebuah simbol (topik) ke sistem simbol lain
(kendaraan). Penggabungan dua makna kata / situasi menimbulkan konflik antara
persamaan dan perbedaan, hingga terjadi perluasan makna menjadi makna baru. Dalam kartun editorial, metafora visual
muncul pada aspek rupa dasar, pada bahasa tubuh. serta pada pengalihan objek
dan situasi. Melalui metafora visual pada kartun editorial dapat diteliti
situasi sosial dengan sikap emotif kartun.
Penelitian ini
mengambil pilihan situasi masa demokrasi Parlementer di Indonesia (1950 - 1957)
dengan tujuan memahami bagaimana metafora kartun editorial berelasi dengan
situasi politik dan budaya. Berbcda dcngan situasi politik pada masa Orde Lama
maupun Orde Baru di mana media mendapat represi keras dari pcnguasa, periode
Demokrasi Parlementer merupakan masa paling dinamis saat maria bangsa Indonesia
mulai bereksprimen dengan demokrasi. Sistem parlementer multi partai dengan kekuatan bcrimbang memicu persaingan
antar berbagai faksi politik untuk saling menjatuhkan. Hal itu terbaca melalui
polemik terbuka dan keras antar surat kabar di Jakarta masa itu. Dalam suasana
demikian kartun editorial muncul sebagai cerminan dinamika politik tcrsebut.
Dalam situasi keterbukaan dapat ditcmukan beragam corak metafora visual dan
sikap emotif kartun editorial.
Secara umum
penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. memahami artifak melalui jejaring
budaya yang melingkupinya. Sebagai penelitian seni rupa. telaah ini berfokus
pada penyingkapan metafora visual dalam kartun editorial dan relasinya dengan
situasi politik dan budaya. Hal tersebut dilakukan dcngan menelaah segi
perupaan pada metafora dari artifak terkumpul pada surat kabar terkemuka di
Jakarta, memaparkan situasi politik masa itu. serta latar budaya yang mendasari
ungkapan kartun editorial tersebut. Relasi antara situasi politik dan aspek
budaya dijadikan acuan untuk menelaah bagaimana ungkapan emotif metafora visual
dibangun melalui kartun editorial.
hasil penelitian
mcnunjukkan bahwa terdapat rclasi yang kuat antara kartun editorial dan
keberpihakan media, dengan situasi politik dan kebudayaan yang mendukungnya.
Keseimbangan situasi politik mcmberi peluang kebebasan pada kartun editorial
mengungkap metafora dengan sikap emotif yang tcrbuka. Hal itu secara jelas
tampak pada hasil ungkapan karya. dilihat dari aspek rupa dasar. ungkapan sikap
tubuh, dan tampilan metafora visual.
Sebagai karya
yang dilahirkan komunitas urban, kartun mcnampilkan tanda dan kosa kata yang
hidup di budaya masyarakat modern. Meskipun dcmikian pada beberapa ungkapan
karya, penggambaran wajah orang Indonesia dan sistem nilai lokal tetap muncul.
Transisi budaya menuju masyarakat urban baru. berdampak kesenjangan antara
nilai lokal dengan nilai budaya global baru di Indonesia.
Transisi budaya
dan keterbukaan situasi politik memberi pcluang kepada suasana emotif yang
bebas dalam menampilkan metafora visual pada kartun editorial. Dapat
disimpulkan bahwa, sikap emotif pada metafora kartun editorial sangat diwarnai
oleh interelasi aspek seni rupa. sosial politik dan nilai budaya masanya.
Pendekatan
metodologis penelitian ini dapat pula diterapkan untuk mempclajari relasi
metafora dan ungkap emotif dengan situasi masyarakat pada masa yang berbeda,
agar memperoleh pemahaman tentang jejaring yang mendukung penciptaan kartun
editorial dari masa ke masa. Bagi kartunis. pengamat dan pengguna kartun.
kesadaran akan relasi kartun dengan berbagai aspek seni rupa. sosial dan budaya
akan meningkatkan wawasan dalam mcmahami misi sosial kartun editorial.
Kata kunci: metafora visual, kartun editorial, makna.
emotif.
Ahadiat Joedawinata, NIM.
37098004
Abstrak Disertasi Program Doktor Ilmu Seni
Rupa dan Desain ITB
UNSUR-UNSUR PEMANDU PERWUJUDAN
SOSOK ARTEFAK TRADISIONAL
DENGAN INDIKASI-INDIKASI LOKAL YANG DIKANDUNG DAN DIPANCARKANNYA
Kajian Seni Rupa, Kriya dan Desain dengan kasus Cirebon dan Artetak
Kriya Anyaman Wadah-wadahan
Permasalahan
yang diajukan dalam penelitian ini adalah unsur-unsur pemandu apa dan bagai
mana kontribusinya dalam proses terjadinya bentuk dari sosok artefak peralatan
sehari-hari yang vernakular hasil
suatu komunitas tradisional dalam sebuah kawasan tertentu. Dalam kaitan dengan hal ini, terdapat tiga subjek
penelitian yang masing-masing dikaji dalam perspektif ilmu yang berbeda.
Pertama, karya artefak peralatan sebagai hasil upaya manusia
dengan sifat-sifat materialitas dan i-materialitas yang dikandung dan
dipancarkannya, sebagai subjek utama penelitian, dikaji dalam perspektif ilmu
desain, kriya dan seni rupa. Kedua,masyarakat
tradisional sebagai pencipta dan pengguna suatu artefak peralatan tradisional,
dikaji dalam perspektif kebudayaan. Ketiga
lingkungan ekologi alam dan habitat biota yang erat hubungannya dengan
bahan, proses pembuatan dan penggunaannya, dianalisis dengan perspektif
ekologi. Subjek pertama adalah fokus, sedangkan dua hal yang terakhir
ditempatkan sebagai bingkai penelitian. Di mana ketiga perspektif tersebut satu
sama lain saling terkait, pengaruh mempengaruhi dalam cakupan etno cultural ecopehenotypic. Dengan
tiga perspektif tersebut, penelitian ini merupakan upaya ilmiah dalam bidang
seni rupa, desain dan kriya untuk menemukan teori
yang konseptual yang menjelaskan bagaimana peristiwa perwujudan sosok artefak
peralatan vernakular tradisional
sebagai representasi lingkungan ekologi alam kawasan serta lingkungan
sosial budaya masyarakat penciptanya
yang masing-masing sebagai sumber dari unsur-unsur pemandunya.
Berdasarkan teori, studi empirik, dan analisis pada kasus
artefak anyaman wadah-wadahan tradisional di kawasan Cirebon, penelitian ini
berhasil menunjukkan dan menjelaskan konsep dan peta teoretis sebagai berikut :
1.
Dalam perspektif etno cultural ecophenotypic suatu sosok
artefak merupakan hasil proses transformasi gagasan dan perilaku masyarakat
yang bersangkutan. Di samping itu, juga merupakan respons masyarakat terhadap
berbagai gejala dan peristiwa alam
(ekologi dan topografi lingkungan) dalam kaitan dengan sistem kebudayaan yang
didukungnya. Di dalamnya tercakup aspek-aspek kebutuhan dasar, hasrat-hasrat,
berbagai bentuk kehawatiran, sistem nilai dan berbagai bentuk daya dan
kemampuan.(need-want-fear. value system,
dan capability) yang dimiliki
masyarakat.
2.
Sosok artefak dalam
perspektif seni rupa kriya dan desain merupakan hasil pencarian solusi dan
optimasi masyarakat untuk bisa bertahan hidup, meningkatkan kualitas hidup, dan menyelesaikan sejumlah
permasalahan. Sifat, idiom, teknik, metode, energi, world view, need, want, dan fearnya
terkait dengan aspek-aspek estetika, simbol, pakem, dan fungsi praktis utiliter tertentu yang bersinggungan
langsung dengan kehadiran suatu sosok artefak, baik pada waktu pembuatan maupun
penggunaannya senantiasa akan menjadi unsur-unsur pemandu terhadap terjadinya
bentuk dari sosok artefak yang bersangkutan.
3.
Jika terjadi perubahan atau
perbedaan, baik disebabkan oleh letak geografis, waktu, dan berbagai peristiwa
alam dan kebudayaan yang menyertainya, maka unsur
pemandu akan berubah peranannya menjadi unsur
pembeda, dan bagian-bagian tertentu
dari artefak yang diwujudkannya juga akan berbeda. Unsur pembeda dalam situasi
tertentu telah menjadikan suatu karya
artefak menjadi unik. Tingkat
dan kualitas keunikannya sangat tergantung pada jenis dan besar kecilnya
daya-daya pembeda yang menyebabkan terjadinya perbedaan tersebut.
Dalam persaingan global, keunikan artefak tersebut
memiliki peran sebagai daya saing yang potensial.
4. Teknik
susun anyam yang memiliki
sifat-sifat struktural konstruktif dengan beban
terbagi rata dan tingkat elastisitas
yang tinggi pada umumnya memiliki daya tahan yang tinggi terhadap tekanan-tekanan mekanik.
Sifat-sifat struktural konstruktif dengan beban yang
terbagi rata pada umumnya memiliki karakter bentuk yang berulang dengan sangat beraturan, baik jarak, bentuk maupun
besaran-besaran lainnya. Oleh karena itu penerapan teknik susun anyam pada
wujud sosok artefak senantiasa memancarkan gejala-gejala visual dengan pola berulang, teratur, tidak
berujung-pangkal, netral, dan penuh dengan kandungan sifat-sifat simbolik
transendental.
Sifat-sifat tersebut memiliki daya adaptasi tinggi dan daya
tahan yang kuat terhadap berbagai pengaruh perubahan nilai-nilai dan
peristiwa sosial budaya. Jiwa artefak
vernakular yang dibangun dengan
teknik susun anyam juga senantiasa
memiliki semangat, daya hidup dan daya kembang yang tinggi dari mulai masa pra
sejarah, saat ini dan pada masa-masa selanjutnya.
5.
Sebagai implementasi hasil
penelitian ini, disarankan kepada para peneliti bidang keilmuan seni rupa,
desain dan kriya, untuk mengintensifkan kegiatan penelitiannya pada hal-hal
yang berpotensi memiliki sifat-sifat unik yang tidak bisa atau sangat sukar
ditemukan dan dikembangkan di luar
kepulauan Indonesia. Penelitian dapat bersifat interdisiplin, antara
bidang-bidang keilmuan biologi dan alam lainnya, bahan-bahan, sosial budaya
serta seni rupa, desain, dan kriya.
Sukria
Fihamatmadja, NIM. 37098005
Abstrak Disertasi Program Doktor Ilmu Seni
Rupa dan Desain ITB
PROSES PERWUJUDAN
KARYA SENI RUPA
DALAM MEMBANGUN
RELASI ANTAR INDIVIDU
Dengan Kasus
Karya Gerabah Tradisi Di beberapa
Daerah di Pulau Jawa)
Hakekat
eksistensi manusia, tidak semata mata karena prestasi kegiatannya, hasil karya
ataupun kepemilikannya, namun kemampuannya dalam membangun hubungan yang
dialektis antara dirinya dengan lingkungan manusia maupun alamnya dimanapun dia
berada.
Bekerja
adalah sikap dasar manusia terhadap alam dan dalam pekerjaan hubungan manusia
dan alam tidak simetri, terjadi hubungan subjek yang aktif dengan objek yang
pasif.
Tidak
jarang pekerjaan merupakan hubungan kekuasaan, manusia menguasai alam, dan
inilah yang telah terjadi secara umum dalam realita kehidupan. Hasil pekerjaan
adalah sebuah wujud karya dalam arti yang luas, tidak semata dalam wujud
material saja, namun juga sejak tahap gagasan atau idea yang terungkap secara
verbal.
Ada keterjalinan, hubungan yang terbangun antara antara
hasil kerja atau karya dengan manusia pembuat dan penciptanya.
Dari sudut sebuah karya, dianggap berhasil bila karya
tersebut mampu memperkaya lingkungannya baik secara material maupun spiritual,
sedang dari sisi manusia yang menjadi pertanyaan adalah pada tataran
terbentuknya gagasan yang direalisasikan dalam wujud karya tersebut (process of
production). Untuk tujuan tersebut manusia dituntut untuk memiliki kerangka
orientasi tertentu yang memungkinkan terorganisirnya pandangan dunia dan
pandangan hidupnya yang konsisten, yang pada kenyataannya dapat dipengaruhi
oleh perkembangan lingkungan sebagai produk dari kemajuan sains dan teknologi.
Perubahan pandangan dunia (Weltanschauung), pandangan
hidup (lebenanschauung) yang tidak hanya memungkinkan seseorang mengetahui dan
memahami, tetapi juga mampu mengambil sikap tehadap apa yang diketahui dan dipahaminya
dalam mengantisipasi perubahan yang terjadi, dimana kemudian akan mempengaruhi
pola fikir, gagasan serta persepsinya yang ikut mewarnai pola hubungan atau
relasi dengan lingkungan maupun karya yang dibuatnya. Karena itu dunia tidak
dianggap hanya sesuatu yang ada saja (ontologi), atau sesuatu yang teratur dan
bermakna (kosmologi), tetapi juga sesuatu yang mengandung nilai-nilai dan
aturan-aturan mengenai nilai-nilai tersebut (norma) dan sikap ini akan mampu
menepis akibat buruk atau yang tidak menguntungkan dari dampak perubahan yang
selalu akan terjadi.
Salah satu akibat yang
dimaksud adalah terbangunnya hubungan subjek dengan objek yang bersifat
mekanistik, suatu hubungan substansi yang tereduksi yang bersifat dualistis dan
kemudian melahirkan konflik dan krisis terutama pada tataran epistemologis dan
ekologis (kosmologi), yang kemudian juga merambah pada krisis eksistensial yang
menyangkut hakekat dan makna kehidupan itu sendiri. Dari krisis makna dan
legitimasi hidup mempengaruhi pula visi serta persepsinya yang berujung pada
kondisi keterasingan (alienasi) baik terhadap lingkungan dimana dia hidup
maupun terhadap dirinya sendiri.
Salah satu dasar penyebabnya
yaitu perubahan persepsi terhadap dunia dan alam lingkungannya yang menegasikan
muatan-muatan makna mistis, puitis dan spirirtual dengan tengah keberhasilan
dan dominasi pemikiran rasional, suatu paradok kemanusiaan, dan realitas ini
lebih ditemukan dalam kehidupan di lingkungan kota.
Hubungan harmonis yang pernah hadir dalam kehidupan masa
lampau, masih terbangun didaerah pedesaan dan keadaan itu bisa terjadi karena
kekentalan tradisi dengan muatan moral dan etiknya masih berperan dalam hidup
kesehariannya, dimana terjadi sebaliknya di kehidupan perkotaan, tradisi nyaris
sudah kehilangan muatan-muatan kesakralannya, yang tadinya begitu takzim
mensujudi nilai-nilai etnik, budaya, alam, mistisisme dan agama.
Pada masa lampau pewarisan tradisi itu diterima secara
intuitif dan juga ditangkap oleh pengalaman indranya, sedang kapasitas nalarnya
tidak banyak berperan karena ikatan etika yang berlaku masa itu.
Oleh sebab itu relasi yang sangat humanistis yang
terbangun di pedesaan sangat rentan terhadap perubahan akibat singgungan dengan
pola hidup yang berbeda di perkotaan serta pengaruh dari peran sistim informasi
dan berbagai media.
Proses modernisasi yang terjadi di pedesaan tidak
berjalan dengan mulus dan sistimatis, perubahan pada basis sosial kebudayaan
tidak disertai perubahan pada basis mental kognitif yang mempakan kerangka
pengetahuan dan keyakinan yang akan memberi pedoman dalam kehidupan.
Pendidikan yang berlandaskan pada paradigma positivistis
tidak cukup mampu membangun kesadaran kesaling hubungan, kesaling tergantungan,
terbangunnya suatu relasi intersubjektif yang bersifat dialektis dan fenomena
ini didukung pula oleh terpinggirkannya tradisi, warisan masa lampau yang telah
turut membangun kehidupan masyarakatnya.
(Kata kunci: relasi, tradisi, pandangan dunia)