Contoh Makalah Biografi Tokoh (MUHAMMAD NATSIR)

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dakwah dalam islam merupakan tugas yang sangat mulia, yang juga merupakan tugas para Nabi dan Rasul, juga merupakan tanggung jawab seorang muslim. Dakwah bukanlah pekerjaan mudah, tidak mudah seperti membalikan telapak tangan, dan juga tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Seorang da’i harus mempunyai kesiapan yang matang baik dari segi keilmuan maupun dari segi budi pekerti. Sangat susah dibayangkan bahwa suatu dakwah akan berhasil, jika seorang pribadi tidak mempunyai ilmu pengetahuan yang memadai dan tingkah laku yang buruk baik secara pribadi ataupun sosial.

Dalam sejarahnya, indonesia memiliki tokoh pendakwah yang yang kharismatik, sekaligus politisi dan da’i sejati, bukan hanya sebatas berdakwah diatas podium saja, beliau menyebarkan islam ditengah-tengah rezim kekuasaan Soekarno, dan beliau yang berusaha mempertahankan negara yang berlandaskan islam. Beliau bernama Muhammad Natsir, seorang da’i yang militan. . 

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan dan untuk memberi batasan dari karya tulis ilmiah ini serta untuk memudahkan pembahasan maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Siapa Muhammad Natsir ?
2. Bagaimana perjalanan dakwah Muhammad Natsir sebagai ulama politisi ?

C. Tujuan dan kegunaan penulisan

1. Untuk mengetahui biografi Muhammad Natsir.
2. Untuk mengetahui perjalanan dakwah Muhammad Natsir sebagai ulama politisi. 
3. Untuk memenuhi tugas Dasar-dasar Ilmu Dakwah.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Muhammad Natsir

Bernama Mohammad Natsir, Ia lahir di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatra Barat, 17 Juli 1908. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai juru tulis kontrolir di kampungnya. Ibunya bernama Khadijah. Ia dibesarkan dalam suasana kesederhanaan dan dilingkungan yang taat beribadah. Natsir mulai menuntut ilmu tahun 1916 di HIS (Holland Inlandische School) Adabiyah, Padang kemudian pindah di HIS Solok. Sore hari belajar di Madrasah Diniyah dan malam hari mengaji ilmu-ilmu Islam dan bahasa Arab.

Tamat dari HIS tahun 1923, Natsir melanjutkan pendidikannya di MULO (SMP) (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Padang. Disanalah ia mulai aktif berorganisasi di Jong Islamieten Bond (JIB) atau Perkumpulan Pemuda Islam cabang Sumatra Barat bersama Sanoesi Pane. Aktivitas utama organisasi ini pada saat itu adalah menentang para misionaris kristen di wilayah Sumatra Utara.

Natsir adalah laki-laki cerdas. Sejak muda ia mahir berbahasa Inggris, Arab, Belanda, Prancis, dan Latin. Karena kecerdasannya, tamat dari MULO pada 1927, Natsir mendapat beasiswa studi di AMS (Algemere Middlebare School) A-II setingkat SMA di Bandung dan lulus tahun 1930 dengan nilai tinggi. Ia sebenarnya berhak melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di Batavia, sesuai dengan keinginan orang tuanya, agar ia menjadi Meester in de Rechten, atau kuliah ekonomi di Rotterdam. Terbuka juga peluang Natsir untuk menjadi pegawai negeri dengan gaji tinggi.

Tetapi, semua peluang itu tidak diambil oleh Natsir, yang ketika itu sudah mulai tertarik kepada masalah-masalah Islam dan gerakan Islam. Di kota inilah ia berkenalan dengan H. Agus Salim dari Syarekat Islam, Ahmad Soorkaty pendiri organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyah, dan A. Hasan, pendiri Persatuan Islam (Persis). Natsir mengambil sebuah pilihan yang berani, dengan memasuki studi Islam di ‘Persatuan Islam’ di bawah asuhan A. Hasan. Tahun 1931-1932, Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs). Maka, tahun 1932-1942 Natsir dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung. 

Mohammad Natsir adalah seorang tokoh kunci dan pejuang yang gigih mempertahankan negara kesatuan RI, yang sekarang menjadi pembicaraan hangat karena melemahnya rasa kesatuan bangsa sebagai akibat reformasi yang kebablasan. Berkali-kali dia menyelamatkan Republik dari ancaman perpecahan. Ia lah yang pada tahun 1949 berhasil membujuk Syafruddin Prawiranegara, yang bersama Sudirman merasa tersinggung dengan perundingan Rum-Royen, untuk kembali ke Jogya dan menyerahkan pemerintahan kembali kepada Sukarno Hatta. Dia jugalah kemudian yang berhasil melunakkan tokoh Aceh, Daud Beureuh yang menolak bergabung dengan Sumatera Utara pada tahun 1950, terutama karena keyakinan Daud Beureuh akan kesalehan Natsir, sikap pribadi yang tetap dipegang teguh sampai akhir hayatnya.
Natsir juga seorang tokoh pendidik, pembela rakyat kecil dan negarawan terkemuka di Indonesia pada abad kedua puluh. Kemudian ketika kegiatan politiknya dihambat oleh penguasa, dia berjuang melalui dakwah dengan membentuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dimana dia berkiprah sampai akhir hayatnya membangun masyarakat di kota-kota dan pedalaman terpencil. Natsir mendalami Islam, bukan hanya mengenai teologi (tauhid), ilmu fiqih (syari’ah), tafsir dan hadis semata, tetapi juga filsafat, sejarah, kebudayaan dan politik Islam. Di samping itu ia juga belajar dari H. Agus Salim, Syekh Ahmad Soorkati, HOS Cokroaminoto dan A.M. Sangaji, tokoh-tokoh Islam terkemuka pada waktu itu, beberapa di antaranya adalah tokoh pembaharu Islam yang mengikuti pemikiran Mohammad Abduh di Mesir. Pengalaman ini semua memperkokoh keyakinan Natsir untuk berjuang dalam menegakkan agama Islam.

B.Perjalanan Natsir Sebagai Ulama Politikus

M. Natsir tampil dalam berbagai percaturn politik islam, gagasan-gagasan politiknya banyak diwarnai oleh pemikiran-pemikiran politik religiousnya A. Hasan. Didalam Masyumi, M. Natsir telah berhasik memberi bentuk dan format politik islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah, yang memperjelas politik islam itu, dan perbedaannya dengan politik kapitalis serta politik komunis. Sementara obsesi M. Natsir yang ingin mewujudkan pemerintahan islam di Indonesia melalui jalur parlementer, meski mendapat banyak dukungan khususnya dari kalangan politisi muslim, tampak tidak berhasil dengan memuaskan. Namun sebagai negarawan sejati, M. Natsir tercatat mampu menyelamatkan bangsa indonesia dari perpecahan, dan Indonesia menjadi negara kesatuan. Perjuangan ini kemudian dikenal dengan Mosi Integral M. Natsir yang disampaikan pada tanggal 3 April 1950, dan berhasil menyatukan 17 negara bagian.

Di lingkungan Masyumi M. Natsir terkenal kecerdasan dan kemampuannya menciptakan kerja sama yang harmonis antara tokoh-tokoh yang berpendidikan Barat seperti Mr. Mohammad Roem, Dr. Sukiman Wirjosandjojo, Mr. Syafrudin Prawiranegara, Mr. Yusuf Wibisono, dengan tokoh-tokoh pendidikan pesantren seperti KH Faqih Usman, KH Yunan Nasution, KHM Isa Ansyari dan lain-lain. Pada saat itu masih terdapat jurang perbedaan yang lebar antara tokoh-tokoh itu yang berpendidikan Barat dengan yang berlatarelakang pesantren.

Dengan pula, melalui Masyumi M. Natsir mampu meredam perbedaan yang amat tajam, misalnya antara Muhammadiyah dengan NahdatuL Ulama (NU), antara Persatuan Islam dengan NU, dan lain sebagainya. Konsep tasamuh ini diperluas dalam tema dawah intern umat islam. M. Natsir mengadakan konsolidasi ke dalam tubuh umat islm, dengan gagasan betapa pentingnya kesamaan pandangan sebagai muslim. Ia fatwakan kepada umat bahwa kita harus banyak memperbincangakan tentang persamaan bukan perbedaan yang terdapat pada umat ini. Selangkah demi selangkah konsep ini terus digulirkannya dan sedikit mampu mengubah pandangan umat yang sempit itu. M. Natsir menegaskan bahwa melawan arus pemurtadan yang dilakukan agama lain itu lebih penting dari bentuk-bentuk dakwah yang lainnya. Gagasan ini kemudian dituangkannya dalam gerak perjuangan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang didirikannya melalui DDII himpunan mubaligh-mubaligh muda siap dikirm ke berbagai pelosok tanah air terutama daerah yang terpencil di bumi nusantara ini, yang sarat dengan pemurtdan.

Adapun jabatan yang pernah didudukinya antaralain :
1. Wakil Ketua Umum Persatuan Islam (1937);
2. Ketua Partai Islam Indonesia (PII) cabang Bandung pada akhir masa penjajahan Belanda; 
3. Menteri Penerangan RI (1946-1949);
4. Perdana Menteri RI ( 1950-1951);
5. Ketua Umum Massyumi (1949-1959);
6. Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia sejak 1967 hingga akhir wafatnya (februari 1993);
7. Ditingkat Internasional tercatat sebagai Wakil Presiden Word Muslim Congress (Muktamar ‘Alam Islami);
8. Penasehat Umum Rabithah ‘Alam Islami sejak 1967;
9. Dewan pendidikan the Oxford Center Islamic Studies yang berpusat di London, dan lain sebagainya.

Pandangan-pandangan M. Natsir dalam berbagai persoalan kenegaraan dan agama, saat ini selain yang dikumpulkan dalam capita selecta setebal tiga jilid itu, sesungguhnya masih banyak bertebarn dalam buku-buku yang khususnya diterbitkan oleh DDII. Namun disayangkan tidak dipubikasikan secara memadai sehingga generasi umat hari ini kurang mendapat informasi yang lengkap tentang pandangan tokoh ini. Bahkan konon buku ‘politik’-nya yang sangat tebal dan ditulis menjelang akhir hayatnya, kini masih disimpan oleh pihak keluarga dan belum juga diterbitkan, hingga M. Natsir meninggal di Jakarta pada tanggal 6 Februari. 


BAB III
KESIMPILAN DAN PENUTUP

A. Kesimpulan

Muhammad Natsir adalah ulama politikus yang dalam pergerakannya tidak hanya berdakwah diatas podium, namun beliau banyak melakukan ekspansi dakwah diranah perpolirikan dn memasukan ajaran islam kedalam tubuh parlemen, eliau juga yang mampu mendirikan partai islam yang bisa mempersatukan umat islam.

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa metode dalam berdakwah tidak hanya sebatas ceramah dan berkoar diatas mimbar, dengan cara memasukan ide dan nuansa keislaman kedalam tubuh parlemen maka itu sudah dinamakan dakwah, karna pada hakikatnya dakwah ialah menyeru, memanggil dan mengajak manusia dari jalan buruk kejalan yang leih baik.

B. PENUTUP

Demikian makalah sederhana yang dapat kami susun. Besar harapan semoga dapat bermafaat bagi semua. Kami menyadari masih banyak kekurangan kami dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi kebaikan kami dikemudian hari. Dan semoga kita semua bisa mengambil hikmahnya

DAFTAR PUSTAKA

http://ms.biografi.org//Muhammad.Natsir. [11 November 2013]
Khaeruman, Badri. (2010). Sejarah Pembaruan Pemikiran Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Bandung: FAPPI Iris press.
Natsir, Muhammad.(1957). Capita selecta. Djakarta: D. P. Sati Alimin.
Santosa, Kholid O. (2004). Mohammad Natsir Islam Sebagai Dasar Negara. Bandung: Sega Arsy.