MAKALAH INTEGRASI PIKIR DZIKIR DAN SPIRITUAL SEBAGAI PSIKOTERAPI

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Manusia adalah makhluk Allah yang dikaruniai akal sebagai perangkat yang sangat penting dalam rangka pemanfaatan alam. Sebagai makhluk pemilik akal, manusia dalam Al-Qur’an disebut dengan sebutan ulil albab yang artinya pemilik akal, pemilik pikiran, pemilik pengertian, atau pemilik kebijaksanaan.

Tetapi sebagai makhluk yang dikaruniai akal manusia juga adalah mahkluk yang diperintahkan Allah untuk beribadah, untuk senantiasa berdzikir mengingatNya. Dan tentunya ada keterkaitan antara fungsi akal yang dimiliki manusia dengan integrasi dzikir sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. tidak semata-mata Allah menciptakan akal untuk manusia tiada lain adalah untuk mencari pembelajaran atas apa yang telah Allah ciptkan.

Dikaitkan dengan konsep sufi dalam berdzikir mendekatkan diri kepada Allah. Dalam berdzikir juga ada keteerkaitannya bagaimana konsep dzikir sebagai psikoterapi dalam islam. Karna dengan berdzikir merupakan salah satu cara psikoterapi.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan dan untuk memberi batasan dari karya tulis ilmiah ini serta untuk memudahkan pembahasan maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1.Apa yang dimaksud dengan akal pikir ?
2. Apa yang disebut dengan Dzikir ?
3. Bagaimana keterkaitan antara fungsi akal dan dzikir dalam mencapai tingkat spiritualitas manusia ? 

C. Tujuan dan kegunaan penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian akal
2. Untuk mengetahui pengertian dzikir
3. Untuk mengetahui hubungan akal pikiran manusia dan dzikir dalam upaya mencapai tingkat spiritualitas dan hubungannya dengan psikoterapi


BAB II 
PEMBAHASAN 


A. Pikir 
1. Pengertian 

Menurut kamus arti kata, pikir secara bahasa adalah ingatan, angan-angan. Sedangkan menurut istilah adalah gagasan dan proses mental. Berpikir memungkinkan seseorang untuk merepresentasikan dunia sebagai model dan memberikan perlakuan terhadapnya secara efektif sesuai dengan tujuan, rencana, dan keinginan. Kata yang merujuk pada konsep dan proses yang sama diantaranya kognisi, pemahaman, kesadaran, gagasan, dan imajinasi. 

Manusia berpikir dengan menggunakan potensi akal sehat yang dimilikinya. Produk dari berpikir adalah berupa ilmu pengetahuan, dan dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya manusia akan ma’rifat kepada Allah jika dikehendaki-Nya. 

Sebagaimana firman Allah SWT : 



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ 



Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadalah :11) 



Yang menjadi objek berpikir adalah makhluk ciptaan Allah karena akal manusia tidak mungkin memikirkan dzat Allah sebab ia berada diluar jangkauan akal serta tidak mungkin bisa dianalisis secara empiris oleh pemikiran manusia. 



Rosulullah bersabda: 



”Berpikirlah kamu tentang makhluk ciptaan Allah dan janganlah kamu berpikir tentang dzat Allah”. (Riwayat Abu Na’im dan Baihaki). 



Tanda-tanda kebesaran Allah bisa terlihat pada alam semesta dan pada diri kita 



Firman Allah dalam suarat Fusshilat (41) ayat 53: 



سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ 

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fussilat :53) 



Allah menganjurkan agar manusia mulai berpikir dari obyek yang paling dekat yaitu dirinya sendiri kemudian benda-benda yang ada di sekitarnya akhirnya sampai kepada pemikiran yang menyeluruh terhadap seluruh alam semesta. 



B. Dzikir 

1. Pengertian 

Dzikir diartikan mengingat, menyebut, dan mengenang Allah. Kata ini berasal dari bahasa arab dzikr. Pengertian dzikir ada dua; pengertian umum dan pengertian khusus. (Dewan redaksi ensiklopedia tasawuf, 2008) secara umum dzikir adalah beriman kepada Allah, mengucapkan syahadat, mematuhi dan melaksanakan ajaranNya dengan baik. Jadi orang yang mengucapkan syahadat berarti ahli dzikir, kelompok yang berdzikir kepada Allah. 

Pengertian kedua dzikir berarti mengucapkan kalimat tayyibah yaitu kalimat yang indah dan atau ungkapan dzikir tertentu. Juga mengahadirkan Allah dalam hati sanubari kita. Jadi, dzikir dalam pengertian khusus ada dua yaitu mengucapkan kalimat tayyibah ini disebut dzikir lisan dan menghadirkan Allah dalam diri disebut dzikir kalbu. 

Zikir (atau Dzikir) artinya mengingat Allah di antaranya dengan menyebut dan memuji nama Allah. Zikir adalah satu kewajiban. Menurut bahasa, dzikir artinya ingat. Dalam hal ini ingat kepada Allah SWT. Dalam bentuk lisan, dzikir adalah mengucapkan laa ilaahaillallah (tidak ada tuhan selain Allah). Namun pernyataan lisan saja tidak ada artinya kalau tidak diikuti dengan amal perbuatan yang sesuai dengan makna pernyataan yang diucapkan. 

Dalam pengertian yang seluas-luasnya dzikir adalah memeperhatikan kejadian alam sehingga akhirnya menyadari bahwa seluruh makhluk itu diciptakan oleh Al Kholik untuk dimanfaatkan oleh manusia dalam rangka pengabdian kepada-Nya. 

Dzikir itu laksana tali yang menghubungkan antara diri kita dengan Al Kholik. Jika tali itu terputus maka hidup ini akan kehilangan kendali bagaikan layang-layang putus tali yang hanya bergerak mengikuti arah angin. 



Allah berfirman dala surat Al Baqarah 152 : 

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ 

”Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”. (Al-Baqoroh :152) 

Dalam sebuah hadis Qudsi Rosulullah bersabda 

Artinya: 

Telah berfirman Allah Yang Maha Suci dan Maha Luhur, “Apabila ia mendekat kepada-Ku sejengkal maka Aku-pun mendekat kepadanya sehasta”. (Hadis Riwayat Bukhori dan Muslim) 



Allah itu Maha Mulia, maka alangkah terhormatnya orang yang selalu diingat oleh Allah Yang Maha Mulia. Diingat oleh Allah itu artinya senantiasa mendapatkan rahmat-Nya tanpa terputus. 



Dzikir atau ingat kepada Allah itu merupakan urusan hati yangindikatornya bisa terlihat dari amal perbuatan yang ditampakkannya. 



2. Tahapan Berdzikir 

Dzikir yang sebenarnya bukanlah sekedar mengucapkan rangkain kata saja, tetapi hendaklah dengan kehadiran Allah dalam hati. Tentu saja hal itu tidaklah mudah. Dengan hati tulus dan ikhlas dan perjuangan yang terus menerus insyaallah dzikir yang kita amalkan makin lama makin baik. Dengan demikian pancaran cahaya ilahi akan kita rasakan sedikit demi sedikit. Permintaan tolong dari seorang hamba yang tak berdaya akan melambung ke arasy dengan daya dorong dzikir yang baik. Metode yang disampaikan syeikh Athaillah menurut penulis cukup sederhana terutama bagi pemula yang benar-benar ingin mengamalkan dzikir secara bertahap. Syaikh ibn ‘Athaillah rahimaullah menyebutkan, mengamalkan dzikir melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : 

a. Menurut beliau ini yang bisa dilakukan oleh Abu Bakar al Shidiq r.a yang diterima dari beberapa syeikh yang telah mencapai hakekat. Membaca shalawat kepada nabi Muhammad saw, perantara anatara kita dengan Allah swt. seolah tahapan ini adalah tahapan penyucian hati. Nafsu syahwat cenderung mengarahkan keburukan, membisikan kebatilan, sehingga qalbu mengarah kelalaian kepada Allah swt. shalawat adalah pencuc dari kotoran dan endapan kegelapan qalbu. Dengan demikian wirid dari dzikir ini menjadikan qalbu terang bersih seperti cermin yang mudah menangkap isyarat ghaib. Rasulullah saw bersabda : 

“membaca shalawat atas aku adalah cahaya dan penghapus segala kotoran” 

Dalam hadist lain beliau bersabda 

“kalbu kaum beriman menjadi bersih dan tercuci dari segala karat dengan bershalawat kepadaku. Oleh karena itu memulai dzikir hendaklah membaca shalawat. Dengan membaca shalawat berarti mengingat Allah dan sekaligus mengingat RasulNya. Hal itu diriwayatkan bahwa suatu ketika Allah berfirman kepada Rasulullah : 

“wahai Muhammad kujadikan dzikir kepadamu sebagai bagian berdzikir kepadaKu. Siapa mencintaimu berarti telah mencintaiKu, siapa mencintaimu berarti telah mencintaiKu.” 

Orang yang membaca shalawat sebenarnya juga telah berdzikir menyebut Allah , yakni saat ini membaca Allahumma (ya Allah), amalankan dzikir ini terus menerus terutama sehabis shalat fardu, khususnya sehabis shalat magrib dan shubuh. Kita akan merasakan sesuatu yang baru dalam qalbu. 

b. Membaca dzikir nafy dan itsbat yaitu bacaan “laa ilaaha illa Allah”. Tetapi apabila belum merasakan cahaya shalawat teruskanlah membaca shalawat saja . itu pertanda engkau belum kuat dengan dzikir selanjutnya. 

c. Dzikir tansih, dzikir mensucikan Allah membaca subhanallahi al’a 

d. Dzikir tunggal dengan lafal “Allah”.diamalkan dengan konsisten 

e. Mengingat Allah di setiap waktu dan dimanapun kita berada sebagaimana firmananya : 

“hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepadaNya diwaktu pagi dan petang” (QS 33:41-42) 

f. Mengingat kekuasaan Allah. 



3. Dzikir Menurut Pandangan Ilmu Tasawuf 

Secara bahasa, dzikir bermula dzakara, yadzkuru, dzukr/dzikr, merupakan perbuatan dengan lisan (menyebutkan atau menutupkan perbuatan dengan lisan Secara bahasa, dzikir bermula dzakara, yadzkuru, dzukr/dzikr, merupakan perbuatan dengan lisan (menyebutkan atau menuturkan) atau dan dengan hati (mengingat/ menyebut dan mengingat). Ada yang berpendapat bahwa dzukr (bidlammi) saja yang bisa berarti pekerjaan hati dan lisan, sedang dzikr (bilkasri) khusus pekerjaan lisan. 

Dalam peristilahan kata, dzikr tidak terlalu jauh pengertiannya dengan makna-makna lughawinya semula. Bahkan kamus-kamus moderen seperti Al-Munjid, Al-Munawir, At-Qamus al-Ashri dan sebagainya, sudah pula menggunakan pengertian-pengertian istilah seperti adz-dzikr membaca tasbih, mengagungkan Allah dan seterusnya. 

Pengertian-pengertian ini semua dapat dilihat di banyak lafal dzikr yang dituturkan dalam Al-Qur'an. Bahkan seringkali pengertian dzikr (dalam berbagai shieghatnya) dalam kitab suci itu merupakan cakupan dari makna-makna lughawinya sekaligus. Dalam kitab Al-Adzkaar-nya. yang terkenal itu, Imam Nawawi (631-676 H.), menyebutkan Dzikir itu bisa dengan hati, bisa dengan lisan. Dan yang terbaik adalah yang dengan hati dan dengan lisan sekaligus. Kalau harus memilih antara keduanya, maka dzikir dengan hati saja lebih baik dari dzikir dengan lisan saja. 

Dalam perkembangannya, dzikir kepada Allah tidak hanya dibatasi sebagai bacaan-bacaan mulia tuntunan Nabi saw (dzikir ma'tsur) dalam waktu-waktu tertentu seperti diajarkan dalam kitab-kitab semacam Al-Adzkar-nya Imam Nawawi, Al-Ghaniyah Syekh Abdul Qadir Jaelany, Shahih al-Kalimath Thayyib li Syekh al-Islam Ibn Taimiyah-nya, Muhammad Nashiruddin Albany dan sebagainya. Namun juga diartikan sebagai "ingat Allah" dalam segala gerak tingkah laku, bahkan dalam tarikan dan hembusan nafas hamba. 

Sementara itu, orang arif mengatakan, "Barangsiapa yang ketika mendapatkan kenikmatan melihat Sang Pemberi Nikmat, tidak kepada kenikmatan itu sendiri, ketika mendapat cobaan pun yang dilihat hanyalah Sang Pencoba, bukan cobaan itu sendiri. Maka dalam segala kondisi dia tenggelam dalam memperhatikan dan melihat Al-Haq, menghadap Sang Kekasih. Inilah tingkat kebahagiaan yang tertinggi." 

Sebenarnya dengan dzikir ma'tsur dari Rasulullah saw. seperti dapat dipelajari dari semisal kitab-kitab yang sudah disebutkan tadi, kiranya lebih dari cukup membuat seorang hamba jika mengamalkan secara benar tidak sempat berpaling dari Khaliqnya. Bayangkan, tuntunan dzikir itu mencakup dzikir sejak bangun tidur hingga akan tidur lagi. Namun barangkali masalahnya justru kesibukan manusia moderen dan kepintarannyalah yang lambat laun membuat dzikir ma'tsur itu seolah-olah terlupakan. Boleh jadi, mula-mula memang ada orang yang hanya komat-kamit mementingkan bacaan dzikir, tanpa penghayatan dan pengingatan maknanya. Lalu pemeluk teguh yang menginginkan kesempurnaan secara mubalaghah menyatakan tak ada gunanya komat-kamit saja. Kemudian orang malas ikut-ikutan bukan hanya berkata, "Ya tak ada gunanya komat-kamit saja," tapi, "Tak ada gunanya komat-kamit!" 

Semua orang yang merambah jalan Allah (Ahlu tharieq Allah) sepakat bahwa dzikir merupakan kunci pintu gerbang Allah dan pembuka sekat kegaiban, penarik kebaikan-kebaikan dan pelipur keterasingan. la'merupakan pancaran wilayah dan pendorong kepada ma'rifat Allah. (Baca misalnya Jamharat al-Auliyaa, 1/88). Dzikir tidak tergantung pada waktu dan tempat. 

Firman Allah swt : 

"Orang-orang yang berdzikir mengingat Allah seraya berdiri, duduk, atau berbaring serta bertafakkur mengenai kejadian langit dan bumi; (kata mereka): Ya Tuhan kami, Paduka tidak menciptakan ini sia-sia, Maha Suci Paduka, maka lindungilah kami dari siksa neraka." (Q.s. Ali Imran: 191). 

Dalam hadis riwayat Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw bersabda : 

"Menang orang-orang mufarrad." Para sahabat bertanya: "Siapa itu para mufarrad ?. Rasulullah saw menjawab, "Mereka, para laki-laki dan wanita, yang banyak berdzikir kepada Allah." Dalam hadis lain, juga riwayat Imam Muslim, dari sahabat Abu Sa'id al-Khudry dan Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw bersabda, "Tiadalah suatu kaum berdzikir kepada Allah Ta'ala melainkan para Malaikat akan mengelilinginya, rahmat Allah akan melimpahinya, kedamaian turun kepadanya, dan Allah mennturkannya kepada mereka yang berada di sisi-Nya." 

Istilah sufi ada yang mengatakan bermula dari shafa, nama bukit terkenal di Mekkah. Ada yang mengatakan bermula dari sliafaa' yang berarti jernih. Ada yang mengatakan bermula dari siiffah. Seperti diketahui, ada kelompok sahabat Nabi yang fakir yang tinggal di masjid dan disebut ahlussuffah. Ada yang bilang bermula dari ash-Shaf al-Aival, barisan pertama dalam salat berjamaah. Bahkan ada yang berpendapat, bermula dari kata Yunani sofia, yang berarti hikmah atau kebijaksanaan. 

Namun semua itu dari segi kaidah bahasa tidak cocok. Semua kata itu tidak dapat dinisbatkan menjadi shufi atau sufi. Karena itu kebanyakan ulama, termasuk kalangan tasawuf sendiri, cenderung berpendapat bahwa kata itu bermula dari shuuf, yang berarti bulu. Seperti diketahui, para fakir yang mengkhususkan dirinya untuk Allah, mempunyai kebiasaan berpakaian sangat sederhana dari bulu domba. Dan ini kemudian menjadi cirinya. Jadi tashawwafa-yatashawwafa-tasawwuf, artinya semula orang yang berpakaian bulu. Seperti takhattama, artinya orang yang memakai cincin. Sedangkan dari istilah, kita menjumpai banyak definisi dibuat orang. Dan seringkali apa yang discbut definisi itu hanya merupakan ungkapan-ungkapan irsyadiyah. 

Di dalam Kitab at-Ta'riefaat oleh All bin Muhammad as-Syarief al-Jurjani, tasawuf dita'rifkan sebagai Menetapi etika-etika agama secara lahiriah sehingga ketetapannya di batin terlihat dari luar dan secara batiniah, sehingga ketetapannya di luar dapat terlihat dari dalam. Kemudian diterangkan pendapat-pendapat orang tentang tasawuf yang antara lain adalah: 

Berikut adalah Aliran yang keseluruhannya kesungguhan tanpa dicampuri main-main sedikit pun; 

a. Membersihkan hati dari menuruti kemanusiaan, meninggalkan perangai-perangai kodrati, mengubur sifat-sifat manusiawi, menjauhi ajakan-ajakan nafsu, menempati sifat-sifat ruhani, bergantung kepada ilmu-ilmu hakikat, melakukan hal-hal yang lebih baik bagi keabadian, berbuat baik kepada segenap
ummat, patuh kepada Allah secara benar, dan mengikuti ajaran dan Sunnah Rasul saw. 

b. Meninggalkan ikhtiar. 

c. Mencurahkan segala kesungguhan dan berbahagia dengan Tuhan yang disembah;



d. Berpaling dari penolakan; 

e. Kejernihan muamalah dengan Allah dan pokoknya adalah meninggalkan dunia; 

f. Sabar di bawah perintah dan larangan;



g. Berpegang pada hakikat, berbicara mengenai yang lembut-lembut, dan memutuskan harapan terhadap apa yang di tangan makhluk. 

Dalam kitab-kitab mengenai tokoh-tokoh sufi bisa dijumpai banyak sekali ungkapan-ungkapan ringkas, padat, laiknya kata-kata hikmah mengenai tasaw uf atau sufi dalam rangka menerangkan definisinya secara ilmiah. Tapi mengutarakan saripatinya sesuai pandangan penghayatan mereka masing-masing 

Seperti kita ketahui dan yakini, manusia semula (Adam as) diciptakan Allah dari tanah liat (Q.s. 6: 2, 7: 12, 23:13, 37: 11, 38: 71, 17: 61). Menurut beberapa mufassir, ada selang waktu cukup lama sebelum bentuk manusia yang bermaterikan tanah liat itu benar-benar menjadi manusia yang ber-ruh. Sebelumnya diberi ruh Allah, seperti difirmankan Allah di awal Surat Al-Insan, ia sekadar materi yang bukan apa-apa. Lam yakun syaian madzknuran, belum merupakan sesuatu yang pantas disebut. Baru setelah Allah memberinya ruh dan melengkapinya dengan pendengaran, penglihatan dan af-idah (yang mampu dengannya menerima "ajaran Allah"), dia bisa disebut manusia sejati. Khalifah Allah yang kemudian diperkenalkan kepada para Malaikat dan iblis untuk disembah dan hormat atas perintah-Nya. 

Semua menyembah Adam kecuali iblis. Karena semuanya hanya melihat Allah dan perintah-Nya. Sedang iblis, satu-satunya yang menolak, hanya melihat materi. "Aku lebih baik daripada Adam, Engkau nienciptakniku dari api dan menciptakannya dari tanah liat." (Q.s. 7: 2). Iblis melihat materi dirinya berupa api jauh lebih baik dari materi Adam yang berupa tanah liat. Bila mengingat materi, barangkali manusia setelah Adam akan terlihat jauh lebih rendah lagi. Karena hanya terdiri dari nuthfah amsyaaj, mani yang bercampur. (Q.s. 76: 2). 

Dari tanah liat atau dari nuthfah amsyaaj, kehidupan manusia adalah ketika Allah sudah meniupkan ruh dari-Nya. Ketika itulah kelengkapan materi manusia yang kemudian disebut jasad menjadi hidup dan berfungsi. Ruh inilah yang memungkinkan manusia "berkomunikasi" dan "berkonsultasi" dengan Sang Penciptanya Yang Maha Agung dan Maha Lembut. Ruh inilah yang sejak semula berikrar mengakui Tuhannya dan meng akui kehambaannya. 

Karena itu menurut kalangan tasawuf, ruh yang berasal dari alam arwah itulah hakikat manusia. Sedang jasad yang berasal dari alam al-Khalaq, penciptaan, sekadar kendaraannya. Ruh bersifat dan berhubungan dengan cahaya, sedangkan jasad bersifat dan berhubungan dengan materi. Orang yang hanya melihat materi, seperti iblis, akan lupa atau mengabaikan Tuhannya padahal ada di hadapannya. Dan dia akan merugi selamanya. Sebaliknya orang yang hanya melihat Allah, seperti para Malaikat, akan lupa atau mengabaikan dunia yang materi ini. Dan dia akan abadi dalam kebahagiaan. Untuk menjadi yang terakhir inilah orang-orang tasawuf bermujahadah melawan dirinya sendiri, godaan setan dan gemerlap dunia. 

4. Manfaat Dzikir 

Banyak sekali rahasia dan manfaat dari amaliah dzikir yang dilakukan oleh para hamba yang beriman dan bertaqwa, diantaranya yaitu dapat menimbulkan ketenangan dan kedamaian dalam jiwa bagi yang mengamalkannya. 

Orang yang melakukan aktivitas dzikir dalam kehidupan sehari-hari senantiasa menyelaraskan tujuan hidup mereka berdasarkan manhaj ilahiyah, yaitu semata-mata untuk beribadah pada Allah swt. Orang-orang yang berdzikir akan menyadari akan hakikat ibadah kepadaNya. Mereka senantiasa mengingat kasaih sayangNya. Mereka senantiasa ingat akan tujuan hidupnya. Lalu ketika mereka dikaruniai oleh Allah harta yang banyak, mereka tidak lupa diri karena mereka meyakini, bahwa harta bukanlah tujuan utama hidup mereka. Dengan harta dan pangkat yang mereka miliki membuat mereka justru semakin dekat dengan Allah. Sebagai hasilnya, jiwa mereka menjadi tentram, tenan, dan damai. Mereka senantiasa mengingat Allah 

Satu hal yang sungguh mengagumkan dari pengalaman dzikir ini, yaitu adanya penyerapan energi ilahiyah bagi orang yang senantiasa mengamalkannya. Orang yang rajin berdzikir mempunyai pengaruh dan dampak yang sangat hebat, baik dalam fisik maupun dalam jiwa para pengamal dzikir. Nurullah (cahaya Allah) itu begitu dekatnya dengan orang-orang yang berdzikir, sehingga merasakan cahayaNya masuk kedalam hati, pikiran, badan, jiwa, darah, dan kulit mereka. Untuk itulah tidak mengherankan Nabi Muhammad saw sering berdo’a agar jiwa dan raganya menjadi cahaya yang berasal dari cahaya yang berasal dari cahaya Rabb-Nya. 

Kalau seseorang telah mendapatkan cahaya Allah, maka kebahagiaan akan terpancar dalam kehidupannya sepanjang masa, baik di dunia maupun di akhirat. Cahaya tersebut akan terus mengikutinya hingga nyawa terlepas dari raga. Hingga ketika para ahli dzikir berada di alam kubur, cahaya tersebut akan menerangi kuburnya. Dzikir dapat melapangkan kesempitan hidup. Orang yang rajin berdzikir, akan dimudahkan segala urusannya, baik urusan rezeki, pekerjaan, kesejahteraan, maupun kesehatan. Orang yang rajin berdzikir, akan dimudahkan segala urusannya, baik urusan rezeki, pekerjaan, kesejahteraan, maupun kesehatan. Orang yang rajin berdzikir akan dimudahkan rezekinya, dimudahkan urusan pekerjaannya, dilapangkan kesejahteraannya dan dijaga kesehatannya. 



5. Macam-macam dzikir 

Dzikir kepada Allah bukan hanya semata-mata mengucapkan asma Allah adalah ingat kepada Asma, dzat, sifat dan Af’al-Nya. Kemudian memasrahkan kepada-Nya hidup dan mati, sehingga tidak adam lagi rasa khawatir , takut maupun gentar dalam menghadapi segala macam marabahaya dan cobaan. 

Dzikir dibagi tiga : 

1. Dzikir dengan lisan (zikr bil al-lisan), yakni membaca atau mengucapkan kalimat-kalimat takbir, tahmid, dan tahlil dengan bersuara. 

2. Dzikir dalam hati zikr bi al-qalb. Yakni membaca atau menguapkan kalimat-kalimattakbir, tahmid, dan tahlil dengan membatin. Tanpa meneluarkan suara. Sebagian ulama menfsirkan dzikir dalam hati, adalah bertafakur merenuni keMahabenaran dan keMahabesaran Allah swt dengan penuh keyakinan dan perasaan tulus. 

3. Dzikir dengan panca indra atau anggota badan (zikr bi al-jawarih), yakni menundukan seluruh banggota badan kepada Allah swt dengan cara melaksanakan segala perintah dan meninggalkan segala larangan-Nya. 

Tentang berdzikir dengan pancaindra ini, sebagian ulama tasawuf memiliki pengertian dan konsep yang berbeda, yakni melalui tujuh pancaindra : 

1. Dzikir kedua mata dengan menangis 
2. Dzikir kedua telinga dengan mendengarkan hal-hal yang baik 
3. Dzikir lidah dan mulut dengan mengucapkan puji-pujian 
4. Dzikir hati dengan penuh rasa takut dan harap kepada Allah swt. 
5. Dzikir ruh dengan menyerah kepada Allah dan rela atas segala keputusan-Nya. 
6. Dzikir badan dengan memenuhi berbgai kewajiban 
7. Dzikir kedua tangan dengan bersedekah 

Pengungkapan dzikirtersebut merupakan kalimat tafakkur atas penciptaan Allah berupa gerak nafas dzikir seluruh makhluk-Nya baik yang tidak terlihat penghayatan dzikir ini sesuai dengan firman Allah : 

“Yakni orang-orang yang berdzikir kepada Allah dengan berdiri , duduk dan berbaring dan bertafakkur tentang penciptaan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran :191) 

6. Hubungan Pikir Dzikir dengan Psikoterapi 

Psikoterapi adalah pengobatan alam pikiran, atau lebih tepatnya, pengobatan dan perawatan gangguan psikis melalui metode psikologis. Istilah ini mencakup berbagai teknik yang bertujuan untuk membantu individu dalam mengatasi gangguan emosionalnya, dengan cara memodifikasi perilaku, pikiran, dan emosi, sehinga individu tersebut mampu mengembangkan dirinya dalam mengatasi masalah psikis. 

Dalam ajaran islam, selain psikoterapi duniawi, juga terdapat psikoterapi ukhrawi. Psikoterapi ini merupakan petunjuk (hidayah) dan anugrah (‘atha’) dari Allah swt yang berisikan kerangka ideologis dan teologis dari segala psikoterapi. Sementara psikoterapi duniawi merupakan hasil ijtihad (upaya) manusia, berupa teknik-teknik pengobatan kejiwaan yang didasarkan kaidah-kaidah insaniah. 

Kemahakuasaan Allah tergambar dalam firman Allah surat Asy-Syu’ara ayat 78-80 : 

“(yaitu tuhan) yang telah menciptakan aku, maka dialah yang menunjukiku, dan tuhanku, Yang Dian memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, dialah yang menyembuhkan aku.“ 

juga telah Rasullah saw tandaskan dalam sabdanya : 

“Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali penyakit, kecuali penyakit itu telah ada obatnya.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah) 

Psiklogi dzikir dan do’a dapat dijadikan psikoterapi untuk pengobatan keguncangan jiwa, kecemasan dan gangguan mental. Dzikir dan doa adalah metode kesehatan mental. Dengan berdzikir dan berdoa orang akan merasa dekat dengan Allah swt dan berada dalam perlindungan dan penjagaannya. Dengan demikian akan timbul rasa percaya diri, teguh, tenang, tentram dan bahagia. 

Apabila seseorang mempunyai pikiran yang jernih dan dimanfaaatkan untuk berdzikir kepada Allah, maka korelasi antara pikir dan dzikir akan menghasilkan tingkat spiritualaitas yang baik. Karna pada dasarnya dzikir kepada Allah juga harus dengan pikiran kita yang jernih. 

Para pakar psikiater, yaitu louis F. Bishof dan Leo Rangell mengakui, bahwa untuk mengatasi persoalan yang sedang dihadapi dapat dilakukan dengan dzkir yang merupakan metode efektif untuk memahami persoalan dengan jelas, betapapun dalamnya kesulitan hakikatnya sama dengan berobat. Berdzikir sama dengan berobat dan efektifitasnya dapat membuktikan secara empirik, misalnya dalam penyembuhan tekanan darah tinggi dan meningkatkan produktifitas kerja. Bagi yang pertama, F.N. Fitts, dan J.N. MC Sure telah melakukan penelitian pad tahun 1967 di laboratorium psikologi Universitas Washington dan hasilnya menunjukan bahwa ternyata berdzkir dengn frekuensi dan dalam durasi tertentu berefek poitif bagi penurunan tekanan darah tinggi. 

Adanya pengaruh positif dzikir bagi peningkatan produktifitas kerja, ditunjukan hasil penelitian David R. Frew tahun 1974 di Amerika Serikat, bahwa dzikir meningkatkan produktivitas kerja seseorang dan sebaliknya. Sedangkan dzikir yang efektif adalah dzikir yang memenuhi tata aturan berdzikir, Nawawi, menjelaskan ketentuan berdzikir adalah terdiri dari 

a. Niat karena Allah atau ikhlas; 
b. Bertawakal kepada Allah; 
c. Menjalani perintah dan meninggalkan larangan ajaran agama; 
d. Khusu; 
e. Tawaddhu; 
f. Bersih dari najis dan hadats; 
g. Mudawamah.


BAB IV 
KESIMPILAN DAN PENUTUP 

A. Kesimpulan 
Keterkaitan antara pikir dan dzikir sangatlah erat karna dalam proses berdzikir haruslah dengan kesadaran pikir yang jernih untuk bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah swt maka ada peran pikir kita dengan mengaktualisasikan dzikir untuk mencapai tingkat spiritualitas manusia. Dan disamping itu juga dzikir dapat dijadikan psikoterapi untuk pengobatan keguncangan jiwa, kecemasan dan gangguan mental. Dzikir dan doa adalah metode kesehatan mental. Dengan berdzikir dan berdoa orang akan merasa dekat dengan Allah SWT dan berada dalam perlindungan dan penjagaannya. Dengan demikian akan timbul rasa percaya diri, teguh, tenang, tenteram dan bahagia dan menghasilkan proses pikir yang jernih.. 

B. PENUTUP 

Demikian makalah sederhana yang dapat kami susun. Besar harapan semoga dapat bermafaat bagi semua. Kami menyadari masih banyak kekurangan kami dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi kebaikan kami dikemudian hari. Dan semoga kita semua bisa mengambil hikmahnya.