Eksekutif
dan Legislatif (Kepala Daerah dan DPRD) Mitra atau Lawan?
Thu, 07/04/2011 - 9:57am — DODO
Banyak perdebatan tentang pemaknaan
terhadap besar kecilnya peran tentang hak dan wewenang DPRD terhadap eksistensi
kewenangan Kepala Daerah telah memberikan wacana yang berpengaruh terhadap
hubungan kemitraan antara Badan Legislatif dan Badan Eksekutif daerah. Pengaruh
hubungan itu dapat bersifat asosiatif dan dissosiatif. Hubungan yang asosiatif
menimbulkan sistem kerja yang kompromistis akibat koreksi-koreksi dan
kepentingan yang diharapkan saling terakomodasi. Bila kepentingan-kepentingan
antara kedua belah pihak tidak terakomodir dengan baik maka timbul hubungan
yang bersifat dissosiatif dan terjadi konflik politik yang dampaknya dapat menimbulkan
instabilitas kelembagaan daerah tersebut. Masa lalu ada asumsi keberadaan DPRD
sebatas bagian dari Pemerintah Daerah dan sifatnya hanya penunjang terhadap
eksistensi Kepala Daerah.
Harmonisasi hubungan antara
Eksekutif dan Legislatif dalam konteks tata laksana penyelenggaraan pemerintah
di daerah sedikit banyak ikut menentukan tercapainya situasi yang kondusif bagi
keberhasilan program-program pembangunan di daerah, karena itu pola hubungan
yang seimbang dan egaliter antara kedua lembaga tersebut perlu terus menerus
ditingkatkan sebagai upaya menjaga stabilitas politik di daerah. Namun demikian
dalam beberapa kasus kerap terjadi disharmonisasi hubungan antara eksekutif dan
legislatif, baik dalam konteks kesalahpahaman dalam menterjemahkan makna dan substansi
UU maupun yang lebih bersifat an sich. Seperti yang terjadi di Sumba Timur,
Manggarai Timur dan Lembata soal tambang, DPRD NTT dan Pemprov NTT soal
Ranperda Pengelolaan Mineral dan Batubara serta di Nagekeo. Saya mengambil
contoh yang ‘sedikit memanas’ antar DPRD Nagekeo dan Pemkab Nagekeo. Berawal
dari hasil temuan BPK terhadap pengelolaan keuangan SKPD-SKPD dalam lingkup
Pemkab Nagekeo yang dinyatakan disclaimer di mana banyak laporan maupun
pertanggungjawaban keuangan yang janggal atau tidak jelas dan terindikasi
merugikan keuangan negara.
DPRD Nagekeo segera membentuk Pansus
untuk menindaklanjuti LHP BPK tersebut. Namun fluktuasi hubungan antar kedua
lembaga tersebut lambat laun mengarah pada terjadinya konflik politik terbuka
buntut rekomendasi Pansus memberikan waktu 2 minggu agar Pemkab Nagekeo
menyelesaikan ‘ketidakberesan tersebut’. Tak ayal Bupati Nagekeo, Drs. Yohanis
Samping Aoh, berang sambil beralasan BPK yang sangat mahfum betul dengan bidang
akuntansi memberikan waktu 3 bulan, belum lagi Shafar, SE anggota DPRD merasa
tersinggung dengan pernyataan bernada remehan Nani Aoh tersebut dan siap
melakukan debat terbuka soal pembukuan/akuntansi.
Ironis memang apakah Pemkab Nagekeo
yang belum sepenuhnya memahami atau DPRD yang mengarah pada perilaku
politicking? Jangan heran kalau beberapa saat lalu Presiden RI Soesilo Bambang
Yudhoyono marah atas ketidakberhasilan (belum berhasilnya tepatnya)
daerah-daerah otonom baru (termasuk Nagekeo mungkin, mungkin ya?) dalam
mengurusi pemerintahan dan pembangunan, bahkan menyatakan menunda pemekaran
calon-calon daerah otonom baru (kasihan Calon Kotamadya Maumere, Kabupaten
Malaka dan Kabupaten Adonara) karena tujuan otonomi daerah yang seharusnya
lebih mendekatkan pengambilan keputusan dan fungsi pelayanan kepada masyarakat
tidak tercapai maksimal serta mungkin salah satu penyebabnya adalah tidak
harmonisnya lagi hubungan antara DPRD dan Pemda tersebut.
Dalam pengelolaan keuangan apabila
dalam proses identifikasi masalah, analisis dan evaluasi yang dilakukan oleh
BPK ternyata ada ketidakjelasan informasi mengenai tanggungjawab pengelolaan
keuangan negara maka BPK akan memberikan opini berupa pernyataan sebagai
kesimpulan pemeriksa bahwa ada ketidakwajaran informasi yang disajikan dalam
laporan keuangan terhadap data, catatan atau keterangan yang berkaitan dengan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara baik tertulis, tidak tertulis
atau dalam bentuk apapun sehingga BPK akan memberikan rekomendasi berupa saran
untuk melakukan tindakan perbaikan. Tetapi apabila dalam pemeriksaan (keuangan
dan kinerja) ditemukan unsur pidana maka BPK akan melaporkan kepada instansi
yang berwenang sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan. Pemerintah wajib
menindaklanjuti rekomendasi BPK serta melakukan koreksi dan penyesuaian yang
diperlukan. Jadi laporan keuangan yang akan disampaikan ke DPRD telah ada
koreksi.
Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2004
tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara maka semua
laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan
ke DPRD maksimal 2 bulan setelah menerima laporan dari pemerintah daerah. DPRD
dalam rangka menindaklanjuti hasil pemeriksaan dapat meminta penjelasan ataupun
meminta BPK melakukan pemeriksaan lanjutan.
Menurut Peraturan Pemerintah RI No.
1 Tahun 2001 dan No. 108 Tahun 2000 dijelaskan DPRD memang mempunyai hak untuk
meminta keterangan kepada Pemerintah Daerah tentang suatu kebijakan dan DPRD
dapat membentuk Panitia Khusus dalam menyelidiki (penyelidikan atas persetujuan
Presiden RI atau Menteri Dalam Negeri RI) kebenaran keterangan serta dapat
mengambil keputusan menerima/menolak keterangan pemerintah dan menyerahkan
penyelesaiannya kepada pihak yang berwenang sesuai dengan perundang-undangan
yang berlaku namun yang perlu juga diperhatikan bahwa hanya BPK yang
menerbitkan Surat Keputusan penetapan batas waktu pertanggungjawaban kepada
Bendahara atas kekurangan kas/barang yang terjadi jika ada indikasi kekurangan
kas/barang yang merugikan negara/daerah.
Jika ada semacam kegenitan politik
para anggota DPRD maka sebaiknya jajaran DPRD lebih mawas diri dan melihat jauh
ke depan terhadap substansi persoalan bukan malah mempolitisir sehingga
permasalahan yang begitu prinsipil hanya dijadikan komoditi politik belaka.
Saya melihat trend kecenderungan menjadikan permasalahan sebagai komiditi
politik karena adanya motif popularitas atau motif ekonomi dan sepertinya ini
bukan rahasia lagi bagi masyarakat umum. Jika kecenderungan ini menguat
tentunya akan semakin mengurangi wibawa politik lembaga DPRD di mata
masyarakat.
Di daerah, birokrasi lazimnya
cenderung lebih kuat daripada lembaga-lembaga lain sehingga seringkali lepas
dari kontrol masyarakat. Ini bisa terjadi karena birokrasi memiliki
sumber-sumber kekuasaan penting, terutama penguasaan informasi dan kepemilikan
keahlian teknis untuk mengelola pemerintahan. Informasi adalah sumber kekuasaan
yang efektif dan keahlian teknis juga jelas merupakan aset penting yang membuat
birokrat sangat berpengaruh. Lalu kembali ke atas, mengapa sampai laporan keuangan
dinyatakan disclaimer? Itu karena birokrat bisa mengeluarkan atau
menyembunyikan informasi melalui keahlian teknis untuk keperluan mempengaruhi
opini publik demi kepentingan sendiri. Dengan semakin kompleksnya teknologi
serta tingginya ketergantungan masyarakat membuat birokrat nyaris memonopoli
semua keahlian di bidang-bidang tertentu, sementara politisi jarang memiliki
keahlian seperti itu (kenyataannya birokrat umumnya berpendidikan lebih tinggi
dari rakyat kebanyakan maupun wakilnya di DPRD). Belum lagi kelemahan partai
politik dan berbagai LSM telah menciptakan keadaan dimana aparat pemerintah
betul-betul tidak bisa dikendalikan oleh masyarakat. Tidak ada lembaga
ekstra-birokrasi yang bisa memaksa birokrasi untuk setia pada prinsip “Abdi
Masyarakat”. Lebih dari itu posisi birokrasi di daerah sangat sentral karena
bukan hanya bertanggungjawab dalam perencanaan pembangunan tetapi juga dalam
mencari dana investasi, menetapkan arah investasi bahkan birokrat sendiri
menjadi investor dengan mendirikan Perusahaan Daerah. Ketika hasil produksi
tidak menemukan pasar maka pemerintah sendiri sering menjadi konsumen terbesar.
Dalam kaitan ini pemerintah juga merupakan sumber pekerjaan bagi banyak
perusahaan yang menggantungkan pada kontrak pemerintah; selain juga sebagai
pemberi kerja bagi mereka yang ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil. Faktor
kultural dan struktural seperti di atas berperan besar dalam mendorong
terjadinya KKN di kalangan birokrasi.
Kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif pada hakikatnya bukan merupakan pemisahan kekuasaan secara mutlak
sebagaimana ajaran Trias Politica melainkan pembagian kekuasaan yang menuntut
hubungan timbal balik antar sesama penyelenggara negara dalam suatu sistem
pemerintahan sesuai tupoksinya masing-masing. DPRD (Badan Legislatif) dan
Pemerintah Daerah (Eksekutif Daerah) sebagai penyelenggara pemerintah daerah
bersama-sama berperan dalam menetapkan kebijakan politik dan pemerintahan di
daerah, dengan demikian keduanya bisa dikatakan mitra dalam membangun sistem pemerintahan
yang baik, akuntabel, tranparansi dan sesuai dengan tujuan reformasi pemerintah
dan birokrasi. Bukankah upaya mewujudkan terlaksananya prinsip-prinsip
kepemerintahan yang baik (good governance) pada penyelenggaraan tugas
pemerintah daerah merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari reformasi
birokrasi? Sekiranya dalam upaya tersebut pengelolaan keuangan negara haruslah
tertib, taat pada perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan
dan bertanggungjawab dalam memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Jadi
memang dibenarkan DPRD mempunyai fungsi pengawasan karena mereka mempunyai
tanggungjawab moral ketika menetapkan APBD apakah sesuai dan pas dengan
aspirasi dan keinginan masyarakat banyak namun di samping itu DPRD juga harusnya
menyadari bahwa fungsi pengawasan yang dimaksud tidak serta merta menjadikan
pemerintah sebagai bola yang bisa ditendang sana sini.