Hukum mencari-cari rukhsoh-rukhsoh (pendapat yang paling enak) para fuqoha’
Sesungguhnya
syaithon senantiasa berusaha menggelincirkan manusia dan menyesatkan mereka
dari jalan kebenaran dengan wasilah-wasilah yang beranekaragam. Diantara
pintu-pintu kejelekan yang telah dibuka oleh syaithon untuk manusia adalah
:”Mencari rukhsoh-rukhsoh (pendapat-pendapat yang paling ringan) dari para
fuqoha’ dan mengikuti
kesalahan-kesalahan mereka”. Maka dengan cara ini syaithon menipu banyak kaum
muslimin yang bodoh. Sehingga hal-hal yang haram dilanggar dan hal-hal yang
wajib ditinggalkan karena bergantung kepada pendapat atau rukhsoh yang palsu.
Maka jadilah orang-orang bodoh tersebut menjadikan hawa nafsu mereka sebagai
hakim dalam masalah-masalah khilafiyah. Mereka memilih pendapat yang paling
mudah dan yang paling enak menurut hawa nafsu mereka tanpa bersandar kepada
dalil syar’i, bahkan karena taqlid kepada kesalahan seorang alim yang
seandainya orang alim tersebut mengetahui kebenaran maka dia akan meninggalkan pendapatnya
(yang salah tersebut) tanpa ragu-ragu.
Ketika tidak
ada seorangpun yang mengingkari orang-orang bodoh tersebut maka mereka akan
beralasan bahwa mereka tidaklah melakukan hal tersebut berdasarkan pendapat
mereka semata, tetapi ada ulama yang memfatwakan akan bolehnya apa yang telah
mereka lakukan. Dan mereka bukanlah yang dimintai pertanggungjawaban, mereka
hanyalah mengekor, sedangkan pertanggungjawaban adalah pada ulama yang
memfatwakannya, jika benar atau salah.
Bahkan mereka mengambil rukhsoh dari para fuqoha’ pada suatu permasalahan dan
meninggalkan pendapat-pendapat mereka pada permasalahan yang lain. Mereka
menyesuaikan antara madzhab-madzhab dan menggabungkan pendapat-pendapat
(menurut hawa nafsu mereka-pent). Mereka menyangka telah melakukan amalan yang
sebaik-baiknya (padahal malah sebaliknya-pent).
Syaithon telah
menyebarkan pada orang-orang bodoh tersebut perkataan “Letakkanlah dia di
leher orang alim dan keluarlah darinya dalam keadaan selamat”.(Maksudnya
yaitu serahkanlah tanggung jawab akibat perbuatan kalian kepada orang alim yang
memfatwakan hal itu, maka kalian akan keluar dengan selamat tanpa beban –pent).
Ketika timbul suatu masalah pada salah seorang diantara orang-orang bodoh
tersebut, maka dia akan pergi ke sebagian ulama yang tasahul (mudah
memberikan jawaban yang ringan dan enak, pent) dalam berfatwa, lalu mereka
(sebagian ulama yang tasahul-pent) mencarikan untuknya rukhsoh yang telah
difatwakan oleh seseorang, lalu mereka berfatwa dengan rukhsoh tersebut padahal
rukhsoh itu menyelisihi dalil dan kebenaran yang telah mereka yakini.
Kebanyakan
orang-orang bodoh itu terdiri dari dua golongan, yaitu (pertama) orang
awam yang pergi ke ulama yang tasahul dalam berfatwa. Dan (yang
kedua) mufti yang mencari keridhoan manusia yang tidak berfatwa
dengan dalil.
Apakah
mafsadah dan mudhorot yang ditimbulkan oleh cara seperti ini ?, manakah
dalil-dalil syar’i yang menunjukan kebatilan hal ini?, bagaimanakah
pendapat-pendapat para ulama tentang hal ini? beserta penjelasan tentang
bagaimanakah sikap yang benar dalam menghadapi masalah khilafiyah?, dan apa
kewajiban seorang mufti?, dan apa kewajiban seorang yang meminta fatwa?
Apakah yang dimaksud dengan rukhsoh di sini?
Yang dimaksud
dengan rukhsoh di sini adalah pendapat para ulama dalam masalah khilafiyah yang
paling ringan (paling enak-pent) yang tidak bersandar kepada dalil yang shohih.
Atau kesalahan seorang alim mujtahid yang kesalahannya tersebut diselisihi oleh
para mujtahid yang lain. Dan inilah makna rukhsoh menurut bahasa. Adapun makna
syar’i yaitu nama terhadap apa yang berubah dari perkara yang asal karena
adanya halangan, atau untuk kemudahan dan keringanan seperti diqoshorkannya
sholat ketika safar dan kesalahan-kesalahan padanya dan rukhsoh-rukhshoh syar’i
yang lainnya.
Contoh-contoh rukhsoh para ahli fiqih
1. Pendapat akan
bolehnya mencukur jenggot
2. Pendapat akan
bolehnya membayar zakat fitrah dengan uang
3. Pendapat akan
bolehnya meminum semua yang memabukkan kecuali yang dari anggur
4. Pendapat
bahwasanya tidak ada sholat juma’at kecuali pada tujuh wilayah
5. Pendapat
tentang diakhirkannya sholat asar hingga (panjang) bayangan setiap benda adalah
empat kalinya
6. Pendapat akan
bolehnya lari pada saat bertemu dengan musuh (ketika jihad -pent)
7. Pendapat akan
bolehnya mendengarkan nyanyian dan alat-alat musik
8. Pendapat akan
bolehnya nikah mut’ah
9. Pendapat akan
bolehnya menukar satu dirham dengan dua dirham secara kontan/tunai.
10. Pendapat akan
bolehnya menjimaki istri dari duburnya.
11. Pendapat akan
sahnya nikah tanpa wali dan tanpa mahar.
12. Pendapat akan
tidak disyaratkannya dua saksi dalam nikah.
Mafsadah yang timbul dengan mencari-cari rukhsoh-rukhsohnya para fuqoha’
Mengikuti
rukhsoh-rukhsohnya para fuqoha’ menimbulkan mafsadah yang banyak. Diantaranya
hilangnya kemulian agama (Islam), dan jadilah agama ini permainan di tangan
para manusia. Diantaranya juga meremehkan hal-hal yang haram dan meremehkan batasan-batasan
syari’at.
Asy-Syatibi
telah menyebutkan sejumlah mafsadah-mafsadah ini dan berkata : “ Seperti
memisahkan diri dari (ajarran) agama dengan berpaling dari mengikuti dalil
(menuju) kepada mengikuti khilaf, meremehkan agama, meninggalkan apa-apa yang
telah diketahui (kebenarannya) kepada apa-apa yang tidak diketahui
(kebenarannya), terhalangnya (tercapai) undang-undang politik yang syar’i dengan
meninggalkan ketegasan dalam beramar ma’ruf -sehingga para hakimpun berbuat
sewenang-wenang dalam keputusan-keputusan hukum mereka, maka seorang hakim
berfatwa dengan rukhsoh kepada orang yang dia senangi dan berfatwa yang
menyulitkan kepada yang dia tidak sukai. Maka tersebarlah kekacauan dan
kedzaliman-kedzaliman-, dan seperti terhantarnya hakim ini kepada pendapat
menggabung-gabungkan madzhab-madzhab dengan cara yang bisa merusak ijma’.”
(Al-Muwafaqot 4/147-148)
Imam Ibnul
Jauzi berkata : “Dan termasuk perangkap syaithon bagi para fuqoha’ yaitu
bercampurnya (bergaulnya) mereka dengan penguasa dan para sultan dan bersikap
mudahanah terhadap mereka, serta meninggalkan nahi mungkar terhadap para
penguasa tersebut, padahal mereka mampu melaksanakannya. Dan terkadang mereka
memberikan rukhsoh kepada para penguasa tersebut pada perkara-perkara yang
(sebenarnya) tidak ada rukhsoh padanya agar mendapatkan tujuan-tujuan duniawi
dari mereka. Sehingga dengan hal itu timbulah kerusakan kepada tiga kelompok :
1. Penguasa, dia
berkata : “Kalau seandainya aku tidak di atas kebenaran maka tentu si faqih
akan mengingkariku. Dan bagaimana aku tidak benar sedangkan dia (si faqih)
makan dari hartaku”.
2. Orang awam,
dia berkata : “Tidak mengapa dengan penguasa ini, demikian juga dengan harta
dan perbuatan-perbuatannya karena si faqih senantiasa di sisinya”.
3. Si faqih,
karena sesungguhnya dia telah merusak agamanya dengan perbuatannya tersebut.
(Talbis Iblis hal 121)
Akibat-akibat dan mafsadah-mafsadah dari mencari-cari rukhsoh
Sebagian ulama
membahas pendapat-pendapat yang marjuh untuk menghilangkan kegelisahan dari
banyak manusia yang mereka terjerumus dalam sebagian kemungkaran-kemungkaran,
misalnya mencukur jenggot. Contohnya sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad
Hubaibullah Asy-Syingqiti dalam kitabnya “Fathul Mun’im” (1/179) dalam
pembahasannya akan bolehnya mencukur jenggot, dimana dia berkata :”Ketika telah
meluas musibah mencukur jenggot di negeri-negeri timur maka aku
bersungguh-sungguh mencari (kaidah) asal yang di atas (koidah) asal tersebut
aku lahirkan hukum akan bolehnya mencukur jenggot, hingga sebagian orang-orang
yang mulia (yaitu mulia menurut Muhammad Hubaibullah, namun pada hakikatnya
mereka tidak mulia karena mereka mencukur jangut-janggut mereka –pent) memiliki
kelapangan dari melaksanakan hal yang haram dengan kesepakatan (maksudnya dia
ingin agar orang-orang yang mulia yang mencukur janggut-janggut mereka tidak
dikatakan telah melakukan keharoman -pent). Maka aku bawakan larangan mencukur
janggut pada kaidah usuliyah bahwa bentuk أَفْعِلْ (yaitu bentuk fiil amr yang terdapat dalam hadits mengenai
perintah Nabi r untuk
memanjangkan janggut -pent) menurut pendapat kebanyakan orang adalah untuk
kewajiban, namun dikatakan (juga) untuk
mustahab” (dia ingin memalingkan asal perintah adalah wajib menjadi mustahab,
sehingga menurut dia perintah Nabi r untuk
memanjangkan janggut hanyalah mustahab –pent)
Berkata
Al-Allamah As-Saffariniy (wafat 1188 H) -setelah menjelaskan haromnya
mencari-cari rukhsoh dalam taqlid-: “Pada hal ini (mencari-cari rukhsoh)
terdapat banyak kerusakan dan kehancuran yang banyak, dan pintu ini kalau
dibuka maka akan merusak syari’at yang baik dan akan menghalalkan kebanyakan
hal-hal yang harom, dan manakah pintu yang lebih rusak dari pintu yang
menghalalkan zina dan minum khomr dan yang lainnya?”
Syubhat-syubhat dan bantahannya
Syubhat
pertama
Mereka para
pencari-cari rukhsoh berhujjah dengan كَلاَمٌ حَقٌّ أُرِيْدَ
بِهِ بَاطِلٌ (suatu kalimat
yang hak tetapi dimaksudkan untuk hal yang batil). Mereka berkata bahwasanya
agama ini mudah dan Allah U telah
berfirman :
يُرِيْدُ اللهُ بِِِِِكُمُ
الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِِِِِكُمُ الْعُسْرَ (البقرة : 185)
ِِAllah menghendaki bagi kalian
kemudahan dan tidak menghendaki bagi kalian kesusahan (Al-Baqoroh :
185)
Dan Rosulullah
r bersabda :
يَسِّرُوْا وَلاَ
تُعَسِّرُوْا
Mudahkanlah
dan janganlah kalian mempersulit (Dari hadits Anas t, riwayat
Bukhori 1/163 dan Muslim 3/1359)
Mereka berkata
:”Jika kami memilih pendapat yang paling ringan (paling enak –pent) maka
tindakan kami ini adalah memudahkan dan menghilangkan kesulitan”.
Maka kita
jawab mereka :Sesungguhnya penerapan syari’at dalam seluruh sisi kehidupan
itulah yang disebut memudahkan dan menghilangkan kesulitan, bukan menghalalkan
hal-hal yang harom dan meningalkan kewajiban-kewajiban”.
Berkata Ibnu
hazm (dalam Al-Ihkam fi usulil ahkam hal 869) :”Kami sungguh telah mengetahui
bahwasanya seluruh yang dilazimkan oleh Allah U adalah
kemudahan, sesuai dengan firman Allah U :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ
فِيْ الدَّيْنِ مِنْ حَرَجٍ (الحج : 78)
Dan
Dia(Allah U) sekali-kali tidak
menjadikan bagi kalian dalam agama suatu kesempitan (Al-Haj : 78)
Dan Imam Asy-Syatibi telah membantah oaring-orang yang
berhujjah dengan model ini dengan sabda Nabi r :
بُعِثْتُ بِالْحَنِيْفِيَّةِ السَّمْحَةِ
Aku telah diutus dengan (agama yang) lurus yang penuh kelapangan (Hadits Hasan)
Seraya (Imam Asy-Syatibi) berkata : “Dan engkau
mengetahui apa yang terkandung dalam perkataan (dalam hadits) ini. Karena sesungguhnya
(agama yang) “lurus yang penuh kelapangan” itu, hanyalah timbul
kelapangan padanya dalam keadaan terkait dengan kaidah-kaidah pokok yang telah
berlaku dalam agama, bukan mencari-cari rukhsoh dan bukan pula memilih
pendapat-pendapat dengan seenaknya”. Maksud beliau yaitu bahwasanya kemudahan
syari’at itu terkait dengan koidah-koidah pokok yang telah diatur dan bukan
mencari-cari rukhsoh yang ada dalam syari’at.
Imam Syatibi juga berkata :”Kemudian kita katakan
bahwasanya mencari-cari rukhsoh adalah mengikuti hawa nafsu, padahal syari’at
melarang mengikuti hawa nafsu. Oleh karena itu mencari-cari rukhsoh
bertentangan dengan kaidah pokok yang telah disepakati (yaitu dilarangnya
mengikuti hawa nafsu). Selain itu hal ini juga bertentangan dengan firman Allah
U :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ
فَرُدُّوْهُ إِلَى الله وَ الرَّسُوْلِ
Dan jika
kalian berselisih tentang sesuatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan
Rosul
(An-Nisa 59)
Maka tidak
boleh khilaf yang ada di antara para ulama kita kembalikan kepada hawa nafsu
(dengan memilih pendapat yang paling enak-pent), tetapi kita kembalikan kepada
syari’at”. (Al-Muwafaqot 4/145)
Syubhat kedua
Mereka berkata
:”Kami hanyalah mengikuti yang orang berpendapat dengan rukhsoh tersebut”. Maka
dijawab :”Sesungguhnya orang alim yang kalian taqlidi tersebut telah berijtihad
dan dia telah salah, maka dia mendapatkan pahala atas ijtihadnya tersebut.
Adapun kalian, apa hujjah kalian mengikuti kesalahannya ?, kenapa kalian tidak
mengikuti ulama yang lain yang menfatwakan pendapat (yang benar) yang berbeda
dengan pendapat si alim yang salah itu ?”. Dan demikian juga dijawab : “Kenapa
kalian bertaqlid kepada si faqih ini dalam perkara rukhsoh (yang enak menurut
kalian -pent) namun kalian tidak taqlid kepada pendapatnya yang lain yang tidak
ada rukhsoh (yaitu yang tidak enak pada kalian) lalu kalian mencari dari ahli
fiqih selain dia yang berpendapat rukhsoh??. Ini menunjukan bahwa kalian
menjadikan taqlid sebagai benteng (alasan saja untuk membela)
hawa nafsu kalian.!!!”. Dan para salaf telah memperingatkan terhadap
kesalahan-kesalahan para ulama dan bertaqlid kepada kesalahan-kesalahan mereka
tersebut. Umar t berkata :
ثَلاَثٌ يَهُدُّ مِنَ الدِّيْنِ : زَلَّةُ
عَالِمٍ, وَجِدَالُ مُنَافِقٍ بِالْقُرْآنِ, وَ أَئِمَّةٌ ْمُضِلُّوْنَ
“Tiga perkara yang
merobohkan agama: Kesalahan seorang alim,
debatnya orang munafiq dengan Al-Qur’an, dan para imam yang menyesatkan”. (Riwayat Ad-Darimi1/71 dengan sanad yang shohih, dan
Ibnu Abdilbar dalam Jami’ bayanil ‘ilmi 2/110).
Berkata Ibnu Abbas t:
وَيْلٌ لِلأَتْبَاعِ مِنْ زَلَّةِ
الْعَالِمِ، يَقُوْلُ الْعَالِمِ الشَيْءَ بِرَأْيِهِ, فَيَلْقَى مَنْ هُوَ
أَعْلَمُ بِرَسُوْلِ اللهِ مِنْهُ, فَيُخْبِرُهُ وَيَرْجِعُ وَيَقْضِي الأَتْبَاعُ
بِمَا حَكَمَ
“Celakalah orang-orang yang mengikuti kesalahan seorang alim.
Si alim berpendapat dengan ro’yinya (akalnya) lalu dia bertemu dengan orang
yang lebih alim darinya tentang Rosulullah t, kemudian
orang tersebut memberitahukannya (pendapat yang benar) maka si alim tersebut
mengikuti pendapat yang benar dan meninggalkan pendapatnya yang salah dan para
pengikutnya (tetap) berhukum dengan pendapat si alim yang salah tersebut”.(Diriwayatkan
oleh Al-Baihaqi dalam al-madkhol dan Ibnu Abdilbar (2/122) dengan sanad yang
hasan)
Hukum mencari-cari rukhsoh para fuqoha’ dan menggabungkan madzhab-madzhab (dengan hawa nafsu)
Telah sepakat
para ulama akan haramnya mencari-cari rukhsoh dan menggabungkan madzhab-madzhab
dan pendapat-pendapat tanpa dalil syar’i yang rojih, dan berfatwa kepada
manusia dengan pendapat tersebut.
Diantara
perkataan-perkataan para ulama tentang haramnya hal ini adalah :
1. Berkata
Sulaiman At-Taimy (wafat tahun 143 H) :”Kalau engkau mengambil rukhsohnya
setiap orang alim maka telah berkumpul pada dirimu seluruh kejelekan”. Berkata
Ibnu Abdilbar memberi komentar: “Hal ini adalah ijmak, dan aku tidak mengetahui
ada khilaf dalam perkara ini” (Al-Jami’ 2/91,92)
2. Berkata Ma’mar
bin Rosyid (wafat tahun 154 H) :”Sendainya seorang laki-laki mengambil pendapat
Ahlul Madinah tentang (bolehnya) nyanyian dan (bolehnya) mendatangi wanita dari
duburnya, dan mengambil pendapat Ahlul Makkah tentang (bolehnya) nikah mut’ah
dan (bolehnya) sorf dan mengambil pendapat Ahlul Kufah tentang khomer, maka dia
adalah hamba Allah t yang paling
buruk”.
(Lawami’il anwar karya As-Safarini 2/466)
3. Berkata Imam
Auza’i (wafat tahun 157 H): Barangsiapa yang mengambil pendapat-pendapat ulama
yang aneh (asing) maka dia telah keluar dari Islam” (Siyar A’lam
An-Nubala’ 7/125 karya Ad-Dzahabi)
4. Berkata Imam
Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 H) :”Kalau seorang laki-laki mengamalkan
pendapat Ahlul Kufah tentang anggur (yaitu yang haram hanyalah khomer yang dari
anggur –pent) dan pendapat Ahlul Madinah tentang nyanyian (yaitu bolehnya
nyanyian –pent) dan pendapat Ahlul Makkah tentang mut’ah (yaitu bolehnya nikah
mut’ah –pent) maka dia adalah orang yang fasiq” (Lawami’il anwar
al-bahiyah karya As-Safarini 2/466 dan irsyadul fuhul karya Asy-Syaukani hal
272)
5. Berkata
Ibrahim bin Syaiban (wafat tahun 337 H) :Barangsiapa yang ingin rusak maka
lazimilah rukhsoh” (Siyar a’alam an-nubala’ karya Adz-Dzahabi 15/392)
6. Berkata Ibnu
hazm (wafat tahun 456 H) dalam bayan tabaqot al-mukhtalifin :” Dan
tingkatan yang lain dan mereka adalah kaum yang tipisnya nilai agama mereka dan
kurangnya ketakwaan mereka mengantarkan mereka untuk mencari apa yang sesuai
dengan hawa nafsu mereka pada pendapat setiap orang. Mereka mengambil pendapat
yang rukhsoh dari seorang alim dengan bertaqlid kepadanya tanpa mencari
pendapat yang sesuai dengan nash dari Allah U dan
Rosulullah r” (Al-ihkam hal
645). Imam Syatibi telah menukil dari Ibnu hazm bahwasanya beliau menyampaikan
ijmak (para ulama) bahwasanya mencari-cari rukhsohnya madzhab-madzhab tanpa
bersandar kepada dalil syar’i adalah merupakan kefasikan yang
haram.(Al-muwafaqot 4/134)
7. Berkata Abu
‘Amr Ibnu Solah (wafat tahun 643 H) menjelaskan tentang sifat tasahulnya (mudah
memberikan fatwa yang enak -pent) seorang mufti : “Dan terkadang sifat
tasahulnya dan kemudahan yang tujuan-tujuan dunia yang rusak telah membawa si
mufti tersebut untuk mencari-cari hilah yang haram atau yang makruh, dan
berpegang teguh dengan syubhat-syubhat untuk mencarikan rukhsoh bagi orang yang
dia ingin beri manfaat, atau bersikap keras terhadap orang yang dia kehendaki
mendapat mudhorot. Maka barang siapa yang melakukan hal ini maka telah hina
agamanya”. (Adabul mufti hal 111)
8. Berkata
Sulathonul ulama Al-‘Izz bin Abdis Salam (wafat tahun 660 H): “Tidak boleh
mencari-cari rukhsoh.” (Al-fatawa hal 122)
9. Imam An-Nawawi
ditanya :”Apakah boleh seseorang yang bermadzhab dengan suatu madzhab untuk
bertaqlid pada suatu madzhab yang lain pada perkara yang dengannya ada
kemanfaatan dan mencari-cari rukhsoh?”, beliau menjawab :”Tidak boleh
mencari-cari rukhsoh wallahu a’lam” (fatawa An-Nawawi yang dikumpulkan oleh
muridnya Ibnul ‘Atthor hal 168)
10.
Berkata
Imam Ibnul Qoyyim (wafat 751 H) :”Tidak boleh seorang mufti mengamalkan dengan
pendapat yang sesuai dengan kehendaknya tanpa melihat kepada tarjih” (I’lamul
muwaqi’in 4/211)
11.
Berkata
Al-‘Alamah Al-Hijawi (wafat 967 H) :”Tidak boleh bagi seorang mufti maupun yang
lainnya untuk mencari-cari hilah yang harom dan mencari-cari rukhsoh bagi orang
yang membutuhkannya, karena mencari-cari hal itu adalah kefasikan dan
diharomkan meminta fatwa dengan hal itu”. (Al-Imta’ 4/376)
12.
Berkata
Al-‘Alamah As-Safarini (wafat 1188 H) :”Diharamkan bagi orang awam yang bukan
mujtahid untuk mencari-cari rukhsoh untuk ditaqlidi”. (Lawami’il anwar 2/466)
Kesimpulan
dari uraian diatas bahwasanya empat imam yaitu Ibnu Abdilbar, Ibnu Hazm, Ibnu
Solah, dan Al-Baji telah menukilkan ijma’ tentang haramnya mencari-cari
rukhsoh.
Sikap yang benar terhadap perbedaan pendapat dalam suatu permasalahan dan apakah yang wajib bagi orang yang meminta fatwa ?
Jika seorang
muslim mendapatkan banyak fatwa dalam suatu permasalahan, maka bagaimanakah
sikapnya yang benar dengan perbedaan pendapat ini?
Tidak boleh
baginya mencari-cari rukhsoh para fuqoha’ dan wajib baginya untuk mengikuti
pendapat yang benar dalam permasalahan tersebut. Lalu apakah yang harus dia
lakukan?
Jawab :
Selayaknya
pilihannya itu terpatok kepada timbangan yang teratur yang bisa digunakan untuk
mengetahui pendapat yang rojih (benar) dari pendapat yang marjuh (yang salah).
Dan timbangan ini adalah firman Allah U :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ
فَرُدُّوْهُ إِلَى الله وَ الرَّسُوْلِ
Dan jika
kalian berselisih tentang sesuatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan
Rosul
(An-Nisa 59)
Maka pendapat
mana saja yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah maka itulah yang benar dan
yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah maka dia adalah batil.
1. Wajib bagi
seorang muslim yang (mampu untuk) melihat (meneliti) untuk memilih pendapat
yang sesuai dengan dalil yang kuat. Berkata Abu Amr Ibnu Abdilbar :”Yang wajib
dalam menyikapi perselisihan para ulama adalah mencari dalil dari Al-Kitab dan
As-Sunnah dan ijmak serta qiyas yang berdasarkan usul-usul (qoidah-qoidah
pokok) yang bersumber dari semua itu. Dan demikian itu tidak bisa tidak. Dan
jika sama kuat dalil-dalil (khilaf tersebut) maka wajib untuk memilih kepada
yang paling menyerupai dengan apa-apa yang telah kita sebutkan dengan Kitab dan
Sunnah. Apabila dalil-dalil (khilaf tersebut) tidak jelas maka wajib untuk
tawaqquf (menahan diri). Apabila seseorang terpaksa unutuk mengamalkan salah
satu pendapat (dari khilaf tersebut) pada kondisi yang khusus pada dirinya,
maka boleh baginya untuk taqlid sebagaimana dibolehkan bagi orang-orang awam.
Dan dia mengamalkan sabda Rosulullah r “Kebaikan
itu adalah apa yang menenangkan hati dan dosa adalah apa yang menggelisahkan
hati. Maka tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu menuju kepada apa-apa yang
tidak meragukanmu.”” (Jami’ bayan al-‘ilmi 2/80-81). Demikanlah perkataan
Al-Khatib Al-Bagdadi di dalam kitab al-faqih wal mutafaqih 2/203.
2. Wajib bagi
seorang muslim untuk meminta fatwa kepada orang yang telah terpenuhi
syarat-syarat untuk berfatwa baik dalam hal ilmu maupun kewara’an. Dan
janganlah dia bertanya kepada …ilmu yang mereka mengeluarkan fatwa dengan
kebodohan dan kebohongan. Atau dia bertanya kepada orang-orang yang tasahul
dalam berfatwa yaitu mereka-mereka yang suka memberi fatwa dengan rukhsoh dan
hilah (penipuan terselubung). Mereka-mereka tersebut tidak boleh dimintai
fatwa.
3. Dan wajib bagi
pencari kebenaran untuk beristi’anah kepada Allah U dan tunduk
kepadanya dengan berdo’a agar Allah U menunjukinya
kepada kebenaran. Dan hendaklah dia berdo’a dengan do’anya Nabi r :
اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيْلَ وَ
مِيْكَائِيْلَ وَ إِسْرَافِيْلَ, فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَلأَرْضِ, عَالِمَ
الْغَيْبِ وّالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمَ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيْمَا كَانُوْا
فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ, اِهْدِنِيْ لِمَا اخِتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ
إِنَّكَ تَهِدِي مَنْ تَشَاءُ اِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
Ya Allah, Rob jibril, mikail dan isrofil, Yang
menciptakan langit-langit dan bumi, Yang mengetahui ilmu goib dan yang nampak,
Engkau menghakimi hamba-hamba-Mu pada apa-apa yang mereka perselisihkan.
Tunjukilah kepadaku kebenaran dari apa-apa yang mereka perselisihkan dengan
idzin-Mu. Sesungguhnya Engkau menunjuki siapa saja yang Engkau kehendaki kepada
jalan yang lurus. (Riwayat Muslim 1/534 dari ‘Aisyah)
4. Jika khilafnya sangat kuat sehingga seorang muslim tidak
mampu untuk mengetahui mana yang benaar, maka dia (boleh) bertaqlid kepada
orang yang dia tsiqohi (percayai) akan ilmu dan dan dinnya dan tidaklah dia
dibebani dengan beban yang labih dari ini.
5. Berkata Al-Khotib Al-Bagdadi :”Jika seseorang berkata :
“Bagaimana engkau berkata terhadap orang awam yang meminta fatwa jika ada dua
orang yang memberinya fatwa dan kedua orang tersebut berselisih, apakah boleh
baginya taqlid?”, maka dijawab : Untuk perkara ini ada dua sisi :
v Pertama : Jika
orang awam tersebut luas akalnya (pintar) dan pemahamannya baik, maka wajib
baginya untuk bertanya kepada dua orang yang berselisih tersebut tentang
madzhab-madzhab mereka dan hujah-hujah mereka. Lalu dia mengambil pendapat yang
paling kuat menurut dia. Namun jika akalnya kurang tentang hal ini dan
pemahamannya tidak baik, maka boleh baginya taqlid kepada pendapat yang paling
baik menurut dia diantara kedua orang tersebut.
v Jika dia
menempuh jalan yang lebih hati-hati dan wara’, maka hendaknya dia memilih
pendapat yang paling hati-hati dari kedua pendapat tersebut. Maka hendaklah dia
mendahulukan (memilih) pendapat yang melarang daripada pendapat yang
membolehkan dalam rangka menjaga dinnya dari syubhat, sebagaimana sabda
Rosulullah r :
فَمَنِ اتَّقَى
الشُّبْهَاتِ فَقَدِاسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْدِهِ
Barangsiapa
yang menjaga dirinya dari perkara-perkara syubhat maka dia telah membersihkan
agamanya dan kehormatannya
(Muttafaqun ‘alaihi)
والله أعلم
وآخر دعوانا أن الحمد لله
رب العالمين