MAKALAH
FEMOMENA
GERAKAN WAHABIYYAH
Oleh : Adi M Priyanto
POROS Islam berlabel Wahabisme
telah menjadi fenomena yang kian menampakkan hidungnya di bumi nusantara
belakangan ini. Wajah Islam beraliran Wahabi itu acapkali menampilkan sosok
yang dianggap ‘mengerikan’ oleh berbagai kalangan, termasuk mengancam
eksistensi komunitas Islam lain. Meski misi utama Wahabisme hanyalah gerakan
kembali kepada kemurnian Islam’ yang bersih dari bid’ah, khurafat, dan
takhayul, namun langkahnya dilakukan dengan menghalalkan cara apapun. Akibatnya
tak terbantahkan bahwa golongan ini sering dicap sebagai Islam garis keras atau
radikal.
Dikatakan
demikian karena dalam tindakannya, gerakan ini sering dikaitkan dengan
puritanisme juga radikalisme yang terjadi di berbagai tempat. Kini pengaruh
Wahabisme (Wahabiyah) kian berkembang di Indonesia, hingga kawasan Muslim
Thailand Selatan serta Philipina Selatan. Kegerahan yang sama dialami
masyarakat Barat, terutama pasca tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat,
Wahabisme diidentifikasi banyak kalangan sebagai gerakan atas nama Islam yang
mengancam peradaban Barat. Lebih dari itu, faham ini telah menjadi sumber
inspirasi bagi Usamah bin Ladin dengan Alqaidah-nya dalam jihad global melawan
dunia Barat dan antek-anteknya.
Karenanya tak salah kalau
Wahabisme digambarkan oleh Dr. H. Azyumardi Azra yang mantan Rektor UIN
Jakarta, sebagai aliran pemikiran dan mazhab yang paling tidak toleran dalam
Islam, mereka berusaha dengan cara apa pun –termasuk kekerasan– untuk
pengembangan dan penerapan ‘Islam murni’, yang mereka pandang sebagai Islam
yang paling benar.
Dalam pandangan Azra, gerakan ‘pemurnian’ Islam ini baru
menemukan momentumnya di Indonesia sejak awal abad ke-20 berkat pengaruh tokoh
semacam Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, sekalipun
demikian Wahabisme tidaklah menjadi aliran dan paham yang dipegangi. Apalagi
mengingat karakter Islam nusantara secara tradisional sangat dipengaruhi
tasawuf dan tarekat, maka aliran ini agaknya sulit mendapat pijakan yang kuat
di Indonesia dan wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara. Bahkan, dalam banyak
kalangan Muslim di kawasan ini, istilah ‘Wahabiyah’ atau ‘Wahabisme’ dinilai
sebagai sesuatu yang negatif.
Seluk beluk lahirnya Wahabisme sendiri, sebagaimana
pernah dikisahkan Dr. O. Hashem dalam presentasinya menyatakan, bahwa Muhammad
bin Abdul Wahab dari keluarga klan Tamîm penganut Hanbaliyah adalah pendiri
faham tersebut. Ia dilahirkan di desa Huraimilah, Najd (bagian dari Saudi
Arabia) pada tahun 1111 H [1700 M] dan meninggal di Dar’iyyah tahun 1206
H [1792 M]. Dalam hidupnya ia sangat dipengaruhi oleh pandangan Ibnu Taimiyah
yang hidup di abad ke 4 M. Bahkan untuk menimba ilmu, ia rela harus mengembara
ke berbagai tempat; Makkah, Madinah, Baghdad dan Bashra [Irak], Damaskus
{Syria], Iran, termasuk kota Qum, Afghanistan dan India. Selain sempat menikahi
seorang wanita kaya di Baghdad, juga mengajar di Bashra selama 4 tahun.
Pakar sejarah Islam kelahiran
Jaton (Jawa Tondano) itu selanjutnya mengisahkan, sekembali dari
pengembaraannya ke berbagai penjuru, Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb
menulis buku yang kemudian menjadi rujukan kaum pengikutnya berjudul
‘Kitâbut’Tauhîd’. Para pengikutnya menamakan diri kaum
AlMuwahhidûn (para pengesa Tuhan). Ia kemudian pindah ke ‘Uyaynah.
Dalam khotbah-khotbah Jumat di ‘Uyaynah, ia terang-terangan mengkafirkan
semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid’ah [inovasi], dan
mengajak kaum Muslimin agar kembali menjalankan agama seperti di zaman Nabi. Di
kota ini ia mulai menggagas dan meletakkan teologi ultra-puritannya. Ia
mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin, menolak berbagai tafsir
Al-Qur’ân yang dianggapnya mengandung bid’ah atau inovasi.
Mula-mula ia menyerang mazhab Syiah, lalu kaum sufi, kemudian ia mulai
menyerang kaum Sunni.
Sepak terjang gerakan Wahabi saat
itu sempat membikin masyarakat kegerahan, buntutnya ia diusir penguasa
[amîr] setempat pada tahun 1774. Setelah itu pindah ke Al-Dar’iyyah,
sebuah oase ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ûd, masih di Najd Tahun
1744 itu pula, Muhammad bin Su’ûd, amir setempat dan Muhammad bin
‘Abdul Wahhâb saling membaiat untuk mendirikan negara teokratik dan
mazhabnya dijadikan mazhab resmi, Ibnu Su’ûd sebagai amîr dan
Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb jadi qadhi. Lalu Ibnu Su’ûd
mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb.
Tatkala penganut mereka semakin eksis, penaklukan dan
pembantaian pun merajalela, terutama terhadap kabilah-kabilah dan kelompok yang
menolak mazhab mereka, hingga terbentuklah sebuah emirat lalu diubah menjadi
monarki dengan nama keluarga, Saudi Arabia, sejak tahun 1932 sampai sekarang.
Pada bulan April tahun 1801,
misalnya, mereka membantai kaum Syî’ah di Karbalâ’. Seorang
penulis Wahhâbi menulis: ‘Pengikut Ibnu Su’ûd mengepung dan
kemudian menyerbu kota itu. Mereka membunuh hampir semua orang yang ada di
pasar dan rumah-rumah. Harta rampasan [ghanîmah] tak terhitung. Mereka hanya
datang pagi dan pergi tengah hari, mengambil semua milik mereka. Hampir dua
ribu orang dibunuh di Karbalâ’
Kabilah-kabilah yang tidak mau mengikuti mazhab mereka
dianggap kafir ‘yang halal darahnya’. Dengan demikian mereka tidak
dinamakan perampok dan kriminal lagi, tapi kaum ‘mujâhid’ yang
secara teologis dibenarkan membunuh kaum ‘kafir’ termasuk wanita
dan anak-anak, merampok harta dan memperkosa istri dan putri-putri mereka yang
dianggap sah sebagai ghanîmah. Hanya sedikit yang dapat melarikan diri.
Setelah lebih dari 100 tahun, kekejaman itu masih juga dilakukan. Tatkala
memasuki kota Thâ’if tahun 1924, mereka menjarahnya selama tiga hari.
Para qadi dan ulama diseret dari rumah-rumah mereka, kemudian dibantai dan
ratusan yang lain dibunuh.
Anehnya, Kerajaan Inggris juga membantu Wahhâbisme
dengan uang, senjata dan keterampilan, sehingga kekuasaan Ibnu Su’ûd
menyebar ke seluruh Jazirah Arab yang pada masa itu berada dalam kekhalifahan
‘Utsmaniyyah dengan tujuan melemahkan khilafah itu. Orang bisa membacanya
dalam buku Hempher, ‘Confession of a British Spy’. Tahun 1800
seluruh Jazirah Arab telah dikuasai dan keamiran berubah menjadi kerajaan Saudi
Arabia.
Bid’ah Jadi
Alasan
Bid’ah berarti melakukan sesuatu
yang tidak di ajarkan Nabi semasa masih hidup, apalagi menambah, mengurangi
hukum dan sunah Nabi Muhammad SAW. Namun kini, Bid’ah dijadikan sebagai senjata
ampuh untuk menumpas aliran yang berbeda dengan golongannya. Sudah menjadi
karakter aliran ini untuk membenci dan menyalahkan aliran lainnya. Mereka
saling mencari celah untuk bisa menyalahkan. ……Kullu hizbin bima ladaihim
farihuun ( Ar rum: 32 ). Artinya : “Yaitu orang-orang yang memecah belah agama
mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga
dengan apa yang ada pada golongan mereka”.
Sebagai bukti di Indonesia,
Nahdhatul Ulama (NU) adalah golongan yang paling banyak mendapatkan serangan
senjata Bid’ah dari kalangan yang mengaku Salafi. Kalangan Wahabi juga paling
rajin membantai kaum penziarah Qubur dengan senjata bid’ah, syirik dan
khurafat, bahkan telah dikeluarkan fatwa bahwa golongan Syiah dihukum ” Kafir”,
Rasionalis (mu’tazilah) kafir, dan Tasawuf sesat.
Mereka menganggap mazhab lain
sebagai sesat dan menyesatkan dengan berpatokan pada hadis: ‘Kullu
bid’ah dhalâlah wa kullu dhalâlah fîn-nâr’, ‘semua
inovasi itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka.’ Kata ‘bid’ah’
yang mereka tuduhkan hanyalah kata pelembut, untuk ‘kafir’, dan
menganggap berziarah ke kubur termasuk kubur Nabi, tawassul, baca qunût,
talqîn, tahlîl, istighâtsah, berzikir berjamaah, membaca burdah berupa
puji-pujian pada Nabi yang biasa dilakukan kaum Muslimin adalah sebagai
bid’ah, dan pelakunya akan masuk neraka, alias kafir.
Kalangan Nahdhiyyîn juga
‘kebingungan’, karena kaum Wahhabi ‘membajak’ atribut Ahlussunnah
Waljamaah, padahal istilah ini yang biasa dipakai oleh penganut keempat mazhab
Sunnah, mazhab Syafi’i, Hanbali, Hanafi dan Maliki. Akhir-akhir ini
mereka ikut-ikutan memakai jubah dan serban seperti kaum Nahdhiyyîn. Entah
bertaqiyah atau bertawriyah, kadang kala juga ikut-ikutan menghadiri acara
zikir, sebagaimana dilakukan Jakfar Talib yang beraliansi dengan Ilham Arifin
atau Abubakar Baasyir yang memperagakan busana ‘habib’.
Bersamaan dengan bergulirnya
reformasi ternyata dibarengi pula dengan munculnya berbagai aliran gerakan,
termasuk di dalamnya aliran Islam. Gerakan-gerakan baru Islam ini umumnya
mengusung faham yang disebut Salafi. Tercatat sejumlah gerakan dalam aliran
ini: seperti Front Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad (LJ), Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Lasykar Ahlussunah wal Jamaah,
dan lain-lain. Konon Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masuk kategori gerakan
ini.
Bila dicermati secara dalam, gerakan-gerakan neo-Wahabi
ini sangat cepat masuk dalam akar-akar kehidupan masyarakat. Barangkali itu
disebabkan tawaran mereka yang riil, yakni “kembali kepada Allah”. Sasaran
mereka adalah masyarakat awam agama yang cenderung berpandangan sinis dalam
melihat globalisasi, kemajuan IPTEK dianggap semakin mengikis moralitas
masyarakat dan “westernisasi” yang liberal dan sekuler.
Doktrin-doktrin neo-Wahabi kini
telah banyak disuntikkan melalui sistem aturan pemerintah, baik pusat maupun
daerah. Dukungan terhadap Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi
(RUU APP) salah satunya. Selain itu, di beberapa daerah di Indonesia juga telah
banyak diterbitkan peraturan daerah yang berbasis syari’at Islam seperti di
Tangerang, Cianjur, Pamekasan, Maros, Tasikmalaya dan sebagainya. Fenomena yang
demikian patut disikapi oleh segenap umat muslim dan mereka semestinya sadar
dan tanggap, bahwa gerakan neo-Wahabisme dapat menciderai ruh Islam yang
rahmatan lil ‘alamin.
Rebut Masjid
Banyak asumsi yang berkembang
belakangan ini bahwa masjid-masjid yang didirikan oleh warga Nahdlatul Ulama
(NU) juga diambil alih kelompok ‘Islam’ lain. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) bahkan harus menyeru kepada warga nahdliyin (sebutan untuk warga NU)
terutama para generasi mudanya untuk menjadikan masjid-masjid sebagai pusat kegiatan
dan dakwah Islam ahlussunnah wal jama’ah.
Sebagaimana diungkap Ketua PBNU
KH Masdar Farid Mas’udi belum lama ini, ia mengatakan, masyarakat NU harus
mampu mengembalikan fungsi masjid sebagaimana zaman Rasulullah SAW. Dimana
masjid tidak sebatas untuk kegiatan ibadah, namun juga untuk membangun
peradaban. ”Kita pertahankan jangan sampai jatuh ke kelompok lain, dan kedepan
masjid harus benar-benar menjadi markas untuk mengembangkan barbagai
pengetahuan,” katanya saat berbicara pada Halaqah Lembaga Takmir Masjid
Indonesia (LTMI), di Kantor PWNU Jawa Timur, akhir April lalu.
Kekhawatiran yang sama diungkap
pakar aliran Agama Islam, KH Imam Ghazali Said MA, menurut pendapatnya
perebutan masjid NU tidak lepas dari peranan sejumlah kelompok Islam yang lain.
”Sayangnya, masjid-masjid yang mereka manfaatkan bukan masjid yang mereka
bangun sendiri,” unkap Pimpinan Ponpes Mahasiswa An Nur tersebut.
Meski demikian, dia menambahkan, masyarakat NU harus
waspada terhadap masuknya organisasi-organisasi tersebut dalam masjid. Caranya,
dengan mengenali karakter masing-masing kelompok. ”Biasanya kelompok-kelompok
semacam itu paling getol menolak keberadaan masyarakat non-muslim,” katanya.
Menanggapi keresahan sejumlah
kalangan, tokoh NU Makassar Drs H Ilyas Umar M.Hum yang juga Dekan Fakultas
Agama Islam Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Sulawesi Selatan,
berpendapat, pada dasarnya terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan. Bahwa
kelompok dan gerakan berpaham Wahabi yang mengambil alih masjid NU itu justru
lebih berupaya ‘meramaikan’ dan ‘memakmurkan’ masjid.
Menurutnya, gemanya justru diketahui luas oleh masyarakat Islam, khususnya
warga NU. “Kita tidak bisa memungkiri kenyataan yang terjadi,†tandasnya.
Selain itu, tambah mantan aktivis
Ikatan Pelajar NU itu, adalah aspek orientasi, yakni paham dan ajaran Wahabi.
Hal itu cukup berpengaruh pada nahdliyin meski nahdliyin sendiri bukanlah
masyarakat yang tidak mengerti paham tersebut. “Sebab warga NU pun
senantiasa belajar tentang Aswaja (Ahlussunnah Wal Jamaah, Red) secara
individu. Bahkan warga NU pun melakukan perlawanan terhadap ajaran dari doktrin
tersebut,†terangnya.
Menurut mantan aktivis Gerakan
Pemuda Ansor itu, nahdliyin seharusnyalah melakukan gerakan-gerakan dakwah yang
mampu membendung masuknya paham yang kerap tidak menghormati tradisi dan
keberagaman budaya setempat itu. Nahdliyin pun, imbaunya, juga wajib melakukan
kegiatan untuk meramaikan dan memakmurkan setiap masjid agar paham-paham di
luar dari Aswaja dapat dihalau sebelum berkembang lebih besar.
Agaknya persoalan ini telah menggugah semangat
nahdliyyin, genderang perang bahkan mulai ditabuh Nahdlatul Ulama (NU) untuk
menghadapi gerakan dari kelompok Islam garis keras yang muncul akhir-akhir ini.
Organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia ini siap melayani
‘tantangan’ kelompok Islam radikal yang sudah sangat meresahkan
warga nahdliyin itu.
Sebagai contoh, Pimpinan Pusat
(PP) Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) harus mengeluarkan maklumat yang
berisi tentang peneguhan kembali terhadap ajaran dan amaliyah Ahlussunnah Wal
Jamaah (Aswaja) yang selama ini dijalankan oleh warga nahdliyin. Sebanyak 8
ketua Pengurus Wilayah LDNU se-Indonesia menandatangani maklumat yang merupakan
respon atas tuduhan sesat terhadap ajaran dan amaliyah NU itu.
Dalam hal ini, Ketua Umum PP LDNU KH Nuril Huda
menyatakan, gerakan kelompok garis keras itu sudah melewati batas toleransi.
Karena mereka tidak lagi sebatas mengambilalih masjid-masjid milik warga
nahdliyin, melainkan sudah berani menghasut dan menuduh NU adalah sesat.
Menurut Kiai Nuril, gerakan mereka sudah sangat luas dan hampir merata di
seluruh daerah, tidak hanya daerah yang berbasis nahdliyin. Jika NU tak segera
mengambil sikap tegas, maka bukan mustahil tradisi keagamaan yang dijalankan
warga nahdliyin selama ini akan hilang.
Kegalauan dan keresahan atas
gerak-gerik kelompok Islam yang mencurigakan ini, rupanya dirasakan oleh
segenap ormas Islam lainnya. Salah satunya Muhammadiyah yang juga ikut resah
dengan maraknya dakwah umat yang berembel-embel partai politik. Meski tidak
menyebut nama partai politik, Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar
Nashir menilai, keresahan organisasinya itu dialami pula oleh ormas lain
seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan kelompok-kelompok takmir serta pengajian
masjid di berbagai daerah.
Menurut Muhammadiyah, bukan masalah dakwahnya yang
menjadi persoalan bagi akar rumput warga Muhammadiyah dan umat Islam lain,
melainkan kekhawatiran terseretnya mereka ke dalam atmosfer politik. â€ÂDari kawan-kawan di NU dan
kelompok pengurus masjid, saya dengar juga demikian,†ujar Haedar dalam pemaparan
rekomendasi sidang Tanwir Muhammadiyah, di Yogyakarta, belum lama ini.