Mazhab
ataukah Manhaj
Mazhab ataukah Manhaj
Pernah kita mendengar dari saudara
muslim kita kaum Salafi Wahabi sebuah ajakan dalam memahami Al-Qur’an dan
Hadits, agar kita melihat kehidupan Sayyidina Muhammad Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam dan para Sahabatnya serta Salafush Sholih dibanding mengikuti salah
satu mazhab.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita
“melihat” kehidupan Sayidina Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan para
Shahabatnya serta salafush sholih ?
Bukankah waktunya sudah berlalu
(Al-Ghaibul Madhi) yaitu segala sesuatu atau kejadian yang terjadi pada zaman
dahulu.
Jawabannya tentu “melihat” melalui
pemahaman (ijtihad).
Jadi siapa orang yang kita ikuti,
yang telah “melihat” kehidupan Sayidina Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
dan para Shahabatnya serta salafush sholih ?
Apakah syaikh/ulama kaum Salafi
Wahabi telah ”melihat” atau imam-imam madzhab kita tidak ”melihat” kehidupan
Sayyidina Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan para Shahabatnya serta
Salafush Sholih
Imam-imam madzhab telah ”melihat”
melalui pemahaman (ijtihad) mereka terhadap hadits yang ”sampai” kepada mereka.
Sebagai contoh Imam Syafi’i ~rahimullah.
Imam Syafi’i sebagai dimaklumi adalah seorang yang sering pindah-pindah tempat tinggal dari satu negeri ke negeri lain.
Imam Syafi’i sebagai dimaklumi adalah seorang yang sering pindah-pindah tempat tinggal dari satu negeri ke negeri lain.
Beliau tinggal di Mekkah dan bergaul
dengan seluruh Tabi’in, kemudian pindah ke Madinah dan bergaul juga dengan
seluruh Tabi’in, pindah lagi ke Yaman dan bergaul dengan seluruh Tabi’in,
pindah ke Iraq dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Persia, kembali
lagi ke Mekkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir.
Perlu dimaklumi bahwa perpindahan
beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari
ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama.
Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i
~rahimullah, lebih banyak mendapatkan hadits daripada Tabi’in yang lain,
melebih dari yang didapat oleh Imam Hanafi dan Imam Maliki ~rahimullah.
Ilmu beliau pun lebih banyak dari
kedua Imam sebelumnya karena beliau banyak melihat, banyak mendengar, banyak
bergaul dengan bangsa-bangsa lain bukan Arab (dari Persia, Turki dll).
Hadits-hadits dicari beliau kemana-mana.
Para Tabi’in yang telah berjauhan tempat tinggalnya dijumpai dan ditemui
beliau. Oleh karena itu beliau banyak sekali mendapat Hadits.
Selengkapnya tentang sekilas proses
”sampai” hadits kepada imam mazhab, silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/03/madzhab-empat/
Lalu bagaimana syaikh/ulama kaum
Salafi Wahabi ”melihat” melalui pemahaman (ijtihad) mereka terhadap hadits yang
”sampai” kepada mereka.
Sebagai contoh Syaikh Ibnu Taimiyah
(yang diakui sebagai “guru” oleh Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab, pendiri
Salafi Wahabi). Zaman kehidupan Syaikh Ibnu Taimiyah jauh terpaut dengan
imam-imam mazhab, tentu hadits sampai kepada beliau tidak melalui pergaulan
dengan tabi’in atau tabi’ut tabi’in sekalipun.
Hadits “sampai” kepada Syaikh Ibnu
Taimiyah pertama kali dari Syihabuddin (bapaknya) seorang ulama muqolid,
pengikut Mazhab Hanbali dan selanjutnya melalui guru/ulama yang diikuti oleh
Syaikh Ibnu Taimiyah
Lalu bagaimana sampainya dari Syaikh
Ibnu Taimiyah kepada Syaikh Muhammad bin AbdulWahhab yang zaman hidupnya
beratus tahun setelah wafatnya Syaikh Ibnu Taimiyah ? tentulah melalui
upaya pemahaman melalui guru/ulama yang diikuti oleh beliau. Inilah yang kami
sampaikan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab “mengangkat” kembali
pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah. Dalam penyiaran pemahamannya Syaikh Muhammad
bin Abdulwhahab bersekutu dengan penguasa Muhammad bin Sa’ud pendiri
dinasti/kerajaan Saudi.
Seorang pengunjung blog kami
menyampaikan bahwa ustadz mereka mengajak orang-orang yang menuduh Syaikh
Muhammad bin Abdulwahhab membawa pemahaman baru, untuk menunjukkan satu saja
perkataan Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab yang tidak didahului oleh
ulama’-ulama’ sebelum beliau.”
Ada kesalahpahaman selama ini yang
tidak disadari bahwa seolah-olah Syaikh/Imam kaum Salafi/Wahabi tidak membawa
pemahaman baru atau tidak melakukan pemahaman (ijtihad). Sesungguhnya setiap
kita menyatakan pendapat dan mengambil firman Allah atau hadits Rasulullah
sesungguhnya termasuk kedalam upaya pemahaman (ijtihad)
Contohnya dalam sebuah forum
diskusi, ada salah satu peserta diskusi yang mengaku bukan pengikut Salafi
Wahabi (mungkin seorang pendukung) namun dia mengaku paham minhaj ilahi, “memperbolehkan”
dirinya menghujat ataupun mengolok-olok saudara muslim lain dalam forum diskusi
(menurut pemahaman dia) berdasarkan firman Allah antara lain,
“atau apakah kamu mengira bahwa
kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah
seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang
ternak itu)” (QS Al Furqan [25]:44 )
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun.” (QS Al Anfaal [8]: 22 )
“Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti” [QS Al Baqarah [2]:171 )
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun.” (QS Al Anfaal [8]: 22 )
“Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti” [QS Al Baqarah [2]:171 )
Benarkah kaitan firman Allah dengan
pendapat dia ?
Inilah contoh upaya pemahaman (ijtihad).
Jelaslah bahwa pemahaman yang disampaikan saudara kita itu bukanlah pemahaman Salafush Sholeh.
Inilah contoh upaya pemahaman (ijtihad).
Jelaslah bahwa pemahaman yang disampaikan saudara kita itu bukanlah pemahaman Salafush Sholeh.
Disinilah kesalahpahaman pengikut
kaum yang menisbatkan kepada manhaj Salaf. Apapun yang disampaikan oleh
syaikh/ulama mereka maka para pengikutnya menganggap pastilah itu pemahaman
Salafush Sholeh , sedangkan ulama/syaikh diluar kaum mereka pastilah bukan
pemahaman Salafush Sholeh.
Jadi ketika kita menyatakan pendapat
dan berhujjah dengan nash-nash Al-Qur’an dan hadits, atau pendapat-pendapat
ulama salaf/terdahulu termasuk upaya pemahaman (ijtihad)
Syaikh/Ulama Salafi/Wahabi yang
menyertakan nash-nash Al Qur’an, Hadits, dan pendapat-pendapat ulama
salaf/terdahulu, yang terkait pendapat mereka adalah termasuk upaya pemahaman
(ijtihad).
Berdasarkan pengamatan kami,
syaikh/ulama Salafi/Wahabi ada berhujah dengan nash-nash untuk orang kafir
(yang tidak bersyahadah) untuk pendapat mereka terhadap orang yang bersyahadah,
saudara muslim mereka sendiri.
Oleh karenanya kita harus
menghindari kekeliruan berhujjah dengan nash-nash Al-Quran, Hadits, pendapat
para ulama salaf atas pendapat yang akan kita sampaikan sehingga kita tidak
termasuk yang dikatakan
“.…orang-orang muda berpemahaman
kurang baik. Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyah” (maksudnya
firman-firman Allah dan hadis Rasul) namun iman mereka tidak melampaui
kerongkongan mereka (tidak sampai ke hati) …” (Hadits sahih riwayat Imam
Bukhari).
Yang dimaksud orang-orang muda
disini adalah penuntut ilmu yang baru, ulama-ulama yang belum dikenal
keulamaannya, dukhala ilmi (mereka yang berkecimpung dalam ilmu namun bukan
ahlinya)
Syeikh Dr. Yusuf Al Qaradhawi dalam
pembukaan Forum Alumni Al Azhar VI, yang mengangkat tema tentang “Persatuan
dalam Komunitas Ahlu Sunnah” mengingatkan umat islam untuk tidak perlu
mendengar dukhala ilmi terkait pentakfiran yang dilakukan oleh mereka. Syaikh
Yusuf Al Qaradhawi mengingatkan bahaya terpecah-belahnya umat Islam karena
sikap kita menghadapi perbedaan pemahaman.
Selengkapnya baca berita di http://www.hidayatullah.com/read/15001/26/01/2011/al-qaradhawi:-%E2%80%9Djangan-dengar-dukhala%E2%80%99-ilmi dan
http://hidayatullah.com/read/15006/26/01/2011/syeikh-al-azhar:%E2%80%9Dada-pihak-yang-berusaha-rusak-karya-ulama%E2%80%9D.html
http://hidayatullah.com/read/15006/26/01/2011/syeikh-al-azhar:%E2%80%9Dada-pihak-yang-berusaha-rusak-karya-ulama%E2%80%9D.html
Perbedaan pemahaman tidak dapat kita
ingkari. Kebenaran itu dari Allah yang Ahad namun kita tidak dapat mengatakan
satu pemahaman saja yang benar yang lain sesat. Semua upaya pemahaman adalah
berupaya untuk meraih kebenaran, upaya menuju jalan yang lurus.
Kita harus dapat menghargai
perbedaan pemahaman diantara hamba-hamba Allah yang telah bersyahadat.
Perbedaan pemahaman adalah kehendakNya. Kita tidak dapat mempertanyakan
kehendakNya, namun kita di akhirat nanti, hakikatnya akan ditanya bagaimana
sikap kita atas kehendakNya.
Wassalam
Zon di Jonggol