INILAH
PERBEDAAN ANTARA SALAFY DAN TAKFIRI TERORIS.
Pertama,
ulama kontemporer yang dijadikan sebagai rujukan. Terdapat perbedaan yang nyata
antara salafi dengan takfiri dalam masalah ini. Rujukan salafi dalam memahami
al Qur’an dan sunnahNabi di samping
berbagai riwayat dari ulama salaf dan pemahaman ulama terdahulu adalah
penjelasan para ulama besar di zaman ini semisal Ibnu Baz, Al Albani, Ibnu
Utsaimin, Lajnah Daimah KSA, Syaikh Abdul Muhsin al Abbad dan para ulama lain
yang meniti jejak para ulama tersebut. Sedangkan takfiri tokoh kontemporer yang
mereka jadikan sebagai rujukan adalah Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Abu Muhammad
al Maqdisi, Abu Qatadah al Falistini, Abu Bashir ath Thurthusi dan orang-orang
yang sejalan dan satu pemikiran dengan mereka-mereka. Kedua, sanad dakwah
salafiyyah itu bersambung dengan para ulama salaf terdahulu baik dalam masalah
ilmu ataupun pemahaman. Para salafi selalu berupaya mengambil akidah dan jalan
beragama mereka dari para ulama terdahulu lalu ulama sebelum sampai berakhir
pada para ulama salaf terdahulu. Tidaklah Anda jumpai sebuah kaedah yang dianut
oleh para salafi melainkan berdalil dengan al Qur’an , sunnah dan riwayat para
salaf yang kaedah tersebut dikutip dari generasi ke generasi hingga pada
akhirnya sampai kepada kita. Sedangkan takfiri kontemporer dengan beragam
alirannya sanad keilmuan mereka tidaklah sampai kepada para ulama salaf namun
hanya berakhir pada Jamaah Takfir wal Hijrah, Jamaah Jihad dan JI yang muncul
pada tahun 70-an. Para takfiri itu tumbuh berkembang dari rahim ide-ide Sayyid
Qutb. Sedangkan Sayyid Qutb pada awalnya terdidik oleh ajaran IM yang didirikan
oleh Hasan al Banna pada tahun 1928. Meski pada akhirnya Sayyid Qutb memisahkan
diri secara pemikiran dari pemikiran IM. Ketiga, dakwah salafiyyah menjaga
keotentikan jalan beragamanya dan kesuciannya dari noda berbagai pemikiran baru
yang mau masuk ke dalam tubuh dakwah. Sesungguhnya slogan dakwah salafiyyah
terkait dengan masalah agama adalah “hati-hatilah dengan berbagai perkara agama
yang baru karena semua perkara agama yang baru adalah bidah sedangkan semua
bidah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”. Dakwah salafiyyah
berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kebaikan yang sempurna kecuali jika
sejalan dengan syariat sebagaimana perkataan Imam Malik “Tidaklah akan baik
generasi akhir umat Muhammad kecuali dengan hal yang membuat baik generasi
awalnya”. Sedangkan takfiri, tokoh kontemporer mereka yang paling menonjol itu
tumbuh berkembang dan terdidik tidak dengan manhaj salaf. Itulah Sayyid Qutb
yang tumbuh besar sebagai pengikut IM yang kemudian membuat aliran tersendiri
(baca: Qutbi) dalam jamaah IM. Sedangkan Aiman azh Zhawahiri pertama kali
tumbuh besar –sebagaimana pengakuannya sendiri-bersama Jamaah Jihad pada
sekitaran tahun 1966 M di saat terbentuknya generasi awal Jamaah Jihad setelah
terbunuhnya Sayyid Qutb. Sedangkan Abu Muhammad al Maqdisi sendiri memberikan
pengakuan bahwa dirinya tumbuh berkembang bersama para pembesar IM yang
menyuapinya dengan Fi Zhilal al Qur’an, Ma’alim fit Thariq dan buku-buku Sayyid
Qutb yang lain, buku- buku Muhammad Qutb serta karya-karya al Maududi.
Mereka-mereka inilah tokoh intelektual bagi pemikiran atau aliran takfiri
kontemporer. Semua mereka tumbuh berkembang tidak di atas manhaj salaf shalih.
Mereka ingin mencampur kebatilan yang telah mereka yakini dengan kebenaran yang
mereka lihat pada manhaj salaf maka yang terjadi adalah manhaj (jalan beragama)
oplosan. Sehingga jalan beragama mereka bukanlah salafiyyah namun mereka juga
tidak lagi asli sebagaimana dahulu kala. Realita sesungguhnya adalah munculnya
manhaj atau jalan beragama oplosan yang merupakan hasil dari pencampuran dua
jalan dengan pencampuran yang unik. Hasil investigasi dari realita keadaan dan
jejak-jejak mereka menunjukkan bahwa mereka bukanlah bagian dari salafi dalam
masalah-masalah yang di dalamnya mereka menyelisihi salafi sebagaimana khawarij
masa silam dan ahli bidah yang lain bukanlah termasuk salaf dalam
perkara-perkara yang di dalamnya mereka menyelisihi ajaran salaf. Keempat, manhaj
salaf dalam metode memperbaiki kondisi masyarakat tegak di atas prinsip
tashfiyyah dan tarbiyyah sejalan dengan firman Allah, Yang artinya,
“Sesungguhnya Allah itu tidak akan mengubah kondisi suatu masyarakat sampai
masyarakat tersebut mengubah kondisi mereka sendiri” [QS ar Ra’du:11]. Langkah
awal proses perbaikan adalah memperbaiki diri sendiri dari akidah bobrok
diganti dengan akidah yang lurus, meninggalkan berbagai ibadah dan perkataan
yang bid’ah diganti dengan komitmen terhadap sunnah dalam perkataan atau pun
perbuatan baik dari sisi lahiriah ataupun sisi batiniahnya, meninggalkan
berbagai perilaku yang menyimpang serta melaksanakan apa yang menjadi tuntunan
keadaan yang ada di zamannya sesuai dengan kondisi dan kemampuannya
masing-masing. Jika setiap muslim telah mewujudkan hal tersebut pada dirinya
masing-masing maka proses perbaikan akan menjalar kepada orang lain dengan cara
yang lebih baik. Sehingga tersebarlah iman dan keamanan lalu terwujudlah
kekuasaan yang Allah janjikan kepada orang-orang yang beriman dalam QS an
Nur:55. Sedangkan takfiri berkeyakinan bahwa meniti metode tashfiyyah dan
tarbiyyah dalam proses memperbaiki masyarakat adalah sebuah kekalahan bahkan
kesesatan dan penyimpangan karena jalan yang wajib ditempuh untuk memperbaiki
berbagai penyimpangan yang ada di masyarakat adalah dengan mengubah para
penguasanya dan ini tidak akan terwujud kecuali dengan kudeta dan memerangi
penguasa dengan kedok jihad. Kelima, salafi menghormati dan memuliakan para
ulama. Salafi terkenal meneladani jejak salaf dalam menghormati para ulama
karena membicarakan para ulama ahli sunnah dan mencela mereka tidaklah mungkin
terjadi melainkan ada tendensi mencela manhaj kenabian yang mereka titi.
Kebalikan dari sikap di atas adalah sikap takfiri yang jelas tergambar pada
sikap tokoh-tokoh mereka. Telah masyhur bagaimanakah celaan, caci maki dan
pelecehan para tokoh takfiri terhadap para ulama dakwah salafiyyah. Abu
Muhammad al Maqdisi dalam artikelnya ‘Zillu Himar al Ilmi fi ath Thin’
(Terperosoknya Keledai Ilmu dalam Kubangan Lumpur) menggelari para ulama
anggota Haiah Kibar Ulama KSA terutama Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh
Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah alu Syaikh dan
para ulama yang lain sebagai ‘Keledai Ilmu’, ‘Ulama Sesat’, ‘semakin buta dan
kelewat batas’, ‘menyimpang dari kebenaran dan keluar dari tauhid’, ‘berpihak
kepada thaghut dan kemusyrikan’ dst. Sedangkan Aiman azh Zhawahiri menyebut
Ibnu Baz, Abu Bakr al Jazairi dll sebagai ‘nama yang menggema namun kosong karena
tenggelam dalam kemunafikan di depan para thaghut’, ‘orang-orang yang
merobohkan dan menghancurkan akidah para pemuda, membenarkan kekafiran para
tiran, orang- orang yang memusuhi amar makruf nahi munkar’, ‘sesungguhnya Ibnu
Baz dan rombongannya adalah para ulama penguasa yang menjual kita kepada musuh
dengan mendapatkan gaji dan jabatan meski ada orang yang marah atau pun suka
dengan sebutan ini untuknya’. Celaan para takfiri ini terhadap para ulama ahli
sunnah bukanlah dilatarbelakangi oleh konflik personal namun motivatornya
adalah perbedaan akidah dan jalan beragama antara salafi dengan takfiri yang
merupakan khawarij kontemporer.