KAIDAH KAIDAH USUL FIQIH

 KAIDAH KAIDAH USUL FIQIH

Kaidah
مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّبِهِ فِهُوَ وَاحِبٌ
Yang wajib tidak akan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu yang lain, maka sesuatu itu hukumnya wajib pula.”
Dalam rumusan lain
الأَمْرُ بِالشَّيْئِ أَمْرٌ بِوَسَائلِهِ
perintah kepada sesuatu adalah perintah kepada segala perantaranya
الأَمْرُ بِالشَّيْئِ أَمْرٌ بِلَوَازِمِهِ
perintah kepada sesuatu adalah perintah kepada lawazimnya (yang diperlukan adanya)
الأَمْرُ بِالشَّيْئِ أَمْرٌ بِمَا لاَ يَتِمُّ إِلاَّبِهِ
perintah kepada sesuatu adalah perintah kepada sesuatu yang lain di mana sesuatu itu tidak akan sempurna kecuali dengannya”

Yang satu disebut wajib linafsihi/ashli, yang lain disebut wajib lighairih/taba’i
Masalah ini oleh sebagian ahli ushul disebut muqaddimah/muqaddimah al-wajib atau Wasilah al-Wajib
Pengertian Muqaddimah/muqaddamah al-wajib

مقدمة الواجب


هي ما يتوقف الواجب عليه
Muqaddimah/muqaddamah al-wajib adalah sesuatu yang al-wajib bergantung kepadanya
Muqaddimah al-wajib terbagai kepada dua bagian:
Pertama, disebut muqiddamah al-wujub
هي ما يتوقف عليها وجوب الواجب
yaitu sesuatu yang wujub al-wajib (kewajiban perkara wajib) bergantung kepadanya.
Muqaddimah al-wujub dapat berupa sabab atau syarat. Contoh sabab, seperti waktu bagi wajibnya salat dan saum, Nisab bagi wajibnya zakat. Contoh syarat, seperti istitha’ah bagi wajibnya haji. Haul bagi wajibnya zakat. Baligh sebagai syarat taklif salat.
Kedua, disebut muqaddimah al-wujud/al-wuqu’
هي ما يتوقف عليها وجود الواجب
yaitu sesuatu yang wujud al-wajib (terwujudnya yang wajib sesuai cara syar’i) bergantung kepadanya.
Muqaddimah al-wujud dapat berupa syarat atau rukun. Contoh syarat, seperti wudu bagi sahnya salat. Maka wudu disebut muqaddimah al-wujud. Artinya salat itu tidak akan sah (terwujud sesuai cara syar’i) kecuali dengan wujudnya wudu. Demikian juga berangkat ke miqat-miqat makani bagi sahnya haji. Contoh rukun, seperti ruku bagi sahnya salat.

Dilihat dari jenis muqaddimah di atas, kaidah
مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّبِهِ فِهُوَ وَاحِبٌ
Dapat berarti: tidak akan ada wujub yang wajib kecuali dengan adanya sabab atau syarat wujub, maka sabab atau syarat itu hukumnya wajib pula.” Dimaknai demikian bila muqaddimahnya dikategorikan muqaddimah al-wujub. Namun bila dikategorikan muqaddimah al-wujud, maka kaidah itu berarti: tidak sah yang wajib kecuali dengan adanya rukun atau syarat, maka rukun atau syarat itu hukumnya wajib pula

Jenis Muqaddimah/Muqaddamah

Dilihat dari segi hubungan muqaddimah dengan al-wajib, muqaddimah itu dapat berupa sabab, syarat, atau rukun.

As-Sabab
مَا يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْدُ الْمُسَبَّبِ وَمِنْ عَدَمِهِ عَدَمُ الْمُسَبَّبِ
“Sesuatu yang keberadaannya memestikan keberadaan musabbab (akibat) dan ketiadaannya memestikan ketiadaan musabbab”
Pembagian jenis Sabab
Dilihat dari segi hubungan sabab dengan musabbab, sabab terbagi menjadi tiga macam, yaitu: (a) sabab as-syar’i, (b) sabab al-aqli, dan (c) sabab al-‘adi.
Sabab as-syar’i (السبب الشرعي) yaitu sabab yang hubungannya dengan musabbab didasarkan kepada hukum syari’.Contohnya tergelincirnya matahari sebagai sabab wajibnya salat zhuhur.
Sabab al-‘aqli (السبب العقلي) yaitu sabab yang hubungannya dengan musabbab dihasilkan melalui nalar manusia.Contohnya belajar sebagai penyebab seseorang berilmu.
Sabab al-‘adi (السبب العادي) yaitu sabab yang berhubungan dengan musabbab didasarkan kepada hukum adat kebiasaan atau ‘urf. Contohnya tubuh merasa tidak sehat karena ada penyakit.
As-Syarth
مَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ عَدَمُ الْمَشْرُوْطِ وَلاَ يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْدُ الْمَشْرُوْطِ
“Sesuatu yang ketiadaannya memestikan ketiadaan masyruth dan keberadaannya tidak memestikan keberadaan masyrut”
Pembagian jenis syarat
Dilihat dari segi hubungan syarat dengan masyruth, syarat terbagi menjadi tiga macam, yaitu: (a) syarat as-syar’i, (b) syarat al-aqli, dan (c) syarat al-‘adi.
Syarat as-syar’i (الشرط الشرعي) yaitu syarat yang hubungannya dengan masyruth didasarkan kepada hukum syari’.Contohnya wudu sebagai syarat sahnya salat.
Syarath al-‘aqli (الشرط العقلي) yaitu syarat yang hubungannya dengan masyruth dihasilkan melalui nalar manusia.Contohnya safar (berangkat) sebagai syarat ibadah haji. Karena secara aqli ibadah haji itu tidak dapat dilakukan tanpa safar.
Syarath al-‘adi (الشرط العادي) yaitu syarat yang hubungannya dengan masyruth didasarkan kepada hukum adat kebiasaan atau ‘urf. Contohnya membasuh sedikit bagian dari kepala sebagai syarat membasuh wajah ketika wudu. Karena Secara ‘adat membasuh wajah itu tidak dapat dilakukan dengan sempurna tanpa membasuh sedikit bagian dari kepala.
Ar-Ruknu
مَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ العَدَمُ وَمِنْ وُجُوْدِهِ الْوُجُوْدُ وَهُوَ جُزْءٌ مِنْهُ
“Sesuatu yang ketiadaannya memestikan ketiadaan sesuatu yang lain dan keberadaannya memestikan keberadaan sesuatu yang lain, dan ia bagian dari sesuatu itu” Seperti ruku sebagai rukun salat.
Persamaan & Perbedaan antara Sabab, Syarat, dan Rukun
Persamaan antara sabab dan syarat dilihat dari aspek ketiadaan, yaitu ketiadaannya memestikan ketiadaan sesuatu. Perbedaannya dari aspek keberadaan. Sabab memestikan keberadaan sesuatu, sedangkan syarat tidak memestikan. 
Persamaan antara sabab dan rukun dilihat dari aspek ketiadaan & keberadaan, yaitu ketiadaannya memestikan ketiadaan sesuatu. Keberadaannya memestikan keberadaan sesuatu. Perbedaannya dari aspek bagian dari sesuatu. Sabab bukan bagian dari sesuatu itu, sedangkan rukun termasuk bagian darinya.
Persamaan antara syarat dan rukun dilihat dari aspek ketiadaan, yaitu ketiadaannya memestikan ketiadaan sesuatu. Perbedaannya dari aspek bagian dari sesuatu. Syarat bukan bagian dari sesuatu itu, sedangkan rukun termasuk bagian darinya.



تقسيم المقدمة من حيث القدرة



 

Pembagian muqaddimah berdasarkan kemampuan mukallaf
Dari segi kaitannya dengan kemampuan mukallaf, menurut Mustafa bin Muhamad bin Salamah dalam kitab at-Ta’sis fi Ushul Fiqh ‘ala Dhau al-Kitab was Sunnah dan Abdullah bin Yusuf al-Judai’ dalam Taisir ‘Ilm Ushul fiqh, muqaddimah dibagi menjadi tiga:
Pertama:
ما كان في قدرة المكلف ومأمور بتحصيله
Mukaddimah itu termasuk dalam kemampuan mukallaf dan ia diperintah untuk mewujudkannya.
Sebagai contoh thaharah dihubungkan dengan salat. Thaharah termasuk dalam kemampuan mukallaf dan ia diperintah untuk mengerjakannya, karena salat tidak sah kecuali dengan thaharah. Karena itu thaharah dikategorikan muqaddimah al-wujud berupa syarat syar’i. Jenis ini termasuk khitab taklifi dan Muqaddimah ini termasuk dalam kaidah
مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّبِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Pendapat ini mengacu kepada ahli ushul klasik, antara lain Ibnu Qudamah dalam Raudhah an-Nazhir (I:181), al-Qadhi Abu Ya’la dalam al-‘Uddah (II:419), Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa (juz X:71), ar-Razi dalam al-mahshul (I:317).
Sementara menurut Dr. Abdul Karim Zaidan, muqaddimah ini termasuk dalam kaidah ini selama tidak terdapat dalil khusus yang mewajibkannya. Adapun bila terdapat dalil khusus maka muqaddimah itu tidak termasuk dalam kaidah ini. Seperti wudu untuk salat hukumnya wajib atas mukallaf dengan dalil khusus, bukan dengan dalil aqimus shalah. 
Kedua:
ما كان في قدرة المكلف وغير مأمور بتحصيله
Mukaddimah itu termasuk dalam kemampuan mukallaf dan ia tidak diperintah untuk mewujudkannya.
Sebagai contoh nishab dihubungkan dengan wajibnya zakat harta tertentu. Istitha’ah dihubungkan dengan wajibnya haji. Ada nisab ada kewajiban zakat. Tidak ada nisab tidak ada kewajiban zakat. Ada Istitha’ah ada kewajiban haji. Tidak ada istitha’ah tidak ada kewajiban haji. Karena itu keduanya dikategorikan muqaddimah al-wujub berupa sabab syar’i. Keduanya termasuk dalam kemampuan mukallaf untuk mewujudkannya, namun ia tidak diperintah untuk mewujudkan keduanya. Jenis ini termasuk khitab wadh’i dan Muqaddimah ini termasuk dalam kaidah:
مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ الْمَشْرُوْطُ إِلاَّ بِهِ فِهُوَ غَيْرُ وَاحِبٍ
“al-wajib yang bersyarat tidak akan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu yang lain, maka sesuatu itu hukumnya tidak wajib”
Atau kaidah:
مَا لاَ يَتِمُّ الوُجُوْبُ إِلاَّبِهِ فَلَيْسَ وَاجِبًا
“wujub al-wajib tidak akan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu yang lain, maka sesuatu itu hukumnya tidak wajib”

Ketiga:
ما ليس في قدرة المكلف
Mukaddimah itu tidak termasuk dalam kemampuan mukallaf
Contohnya tergelincir matahari sebagai sebab wajibnya salat zuhur, tetapi tergelincir matahari itu bukan bagian dari kemampuan mukallaf. Maka tergelincir matahari dikategorikan sebagai muqaddimah al-wujub dalam bentuk sabab syar’i. Jenis ini termasuk khitab wadh’i dan Muqaddimah ini termasuk dalam dua kaidah di atas.

تقسيم الواجب من حيث المقدمة


 

Pembagian al-wajib berdasarkan muqaddimah

al-wajib berdasarkan muqaddimah terbagi kepada mutlaq dan muqayyad
Wajib Mutlaq
هو الذي لا يتوقف وجوبه على مقدمة وجوده
Kewajiban yang wajib itu tidak bergantung kepada muqaddamah al-wujud
seperti salat dihubungkan kepada wudu. Artinya diwajibkan salat itu tidak bergantung kepada wujudnya wudu.

Wajib muqayyad
هو الذي يتوقف وجوبه على مقدمة وجوبه
Kewajiban yang wajib itu bergantung kepada muqaddamah al-wujub
seperti salat dihubungkan kepada baligh. Artinya diwajibkan salat itu bergantung kepada baligh.
Ikhtilaf Ulama

Para ulama sepakat apabila muqiddamah al-wajib itu berupa muqaddimah wujub yang tidak termasuk dalam kemampuan mukallaf, maka muqaddimah itu tidak wajib. Muqaddimah ini tidak termasuk dalam kaidah
مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّبِهِ فِهُوَ وَاحِبٌ
Demikian pula bila berupa muqiddamah wujub yang termasuk dalam kemampuan mukallaf, namun ia tidak diperintahkan untuk mewujudkannya,  maka muqaddimah itu tidak wajib pula. Muqaddimah ini tidak termasuk dalam kaidah di atas.
Yang diikhtilafkan adalah bila berupa muqaddimah wujud yang berada dalam kemampuan mukallaf dan ia diperintah untuk mewujudkannya. Sebagian berpendapat bahwa apabila tidak terdapat dalil khusus maka muqaddimah itu termasuk dalam kaidah di atas. Namun apabila terdapat dalil khusus maka tidak termasuk. Sebagian berpendapat bahwa muqaddimah itu termasuk dalam kaidah di atas, baik terdapat dalil khusus ataupun tidak.

Data tambahan ikhtilaf

Pendapat para ulama:
Madzhab pertama (Jumhur ulama)
Dalil yang menunjukkan kewajiban yang wajib menunjukkan pula kepada kewajiban muqaddamahnya secara mutlak, yaitu mencakup sabab (dengan berbagai jenisnya), syarat (dengan berbagai jenisnya), dan dalalah iltizamiyyah. Artinya taklif dengan sesuatu menuntut taklif dengan sesuatu yang lain sebagai penyempurna atau pelengkap dilihat dari dilalah makna bukan dari lafal. Sebagai contoh, apabila seorang tuan berkata kepada pembantunya: “Ambilkan sesuatu di atas atap” Maka sesuatu yang dituntut itu tidak akan terwujud kecuali dengan berjalan dan menggunakan tangga. Maka berjalan adalah sabab dan menggunakan tangga adalah syarat.
Madzhab kedua
Madzhab ini berpendapat sebalik dari madzhab pertama, yaitu dalil yang menunjukkan kewajiban yang wajib tidak serta merta menunjukkan pula kepada kewajiban muqaddamahnya.
Madzhab Ketiga
Dalil itu menunjukkan pula kepada kewajiban muqaddamahnya bila berupa sabab (dengan berbagai jenisnya). Namun tidak berlaku bila berupa syarat (dengan berbagai jenisnya) karena wujudnya sabab memestikan wujudnya musabab. Hal itu berbeda dengan syarat.
Madzhab Keempat
Dalil itu menunjukkan pula kepada kewajiban muqaddamahnya bila berupa syarat syar’i. Seperti wudu untuk salat. Sedangkan bila syarat ‘aqli atau ‘adi maka muqaddamah itu tidak wujub. Demikian pula bila berupa sabab (dengan berbagai jenisnya). Ini adalah pendapat Ibnu al-hajib dan Imam al-Haramain.




Metode yang digunakan

Dilalah wadh’iyyah (dilalah lafal pada makna), dilihat dari kesempurnaan makna terbagi kepada 3 macam:
دلالة المطابقة: هي دلالة اللفظ على تمام المعنى الذي وضع له
Dilalah muthabaqah, yaitu dilalah lafal pada makna yang sempurna (tidak kurang-tidak lebih, meliputi semua juz-nya), yang diciptakan untuknya. Contoh lafal al-bait menunjukkan makna al-bait secara sempurna/lengkap.
دلالة التضمن: هي دلالة اللفظ على جزء معناه الموضوع له
Dilalah tadhamun, yaitu dilalah lafal pada makna juzi, yang diciptakan untuknya. Contoh lafal al-bait menunjukkan makna as-saqaf saja. Karena al-bait meliputi as-saqaf. Dan as-saqaf adalah makna juzi dari al-Bait.
دلالة الإلتزام: هي دلالة اللفظ على أمر خارج عن معناه لازم له
Dilalah Iltizam, yaitu dilalah lafal pada suatu aspek yang keluar dari makna lazimnya. Contoh lafal as-Saqaf menunjukkan makna haith (halaman), karena haith bukan juz dari as-Saqaf, tetapi ia tidak terlepas darinya (maksudnya terdapat hubungan di antara keduanya)

Dilalah pertama murni makna lafzhi (semata-mata ditunjukan oleh bahasa). Namun dilalah kedua dan ketiga lafzhi-aqli. Karena keduanya tergantung kepada zihnun. Artinya perpindahan dari makna lughawi kepada makna juz-i atau makna lazim ditentukan oleh akal.

Kesimpulan:

Dalil yang menunjukkan wujub al-Wajib berdasarkan dilalah muthabaqah. Sedangkan dalil yang menunjukkan wujub muqaddimah al-Wajib al-maqdurah berdasarkan dilalah iltizam.

Atau dengan pendekatan lain
Dalil yang menunjukkan wujub al-Wajib berdasarkan dilalah ibarah/ibaratun nash. Sedangkan dalil yang menunjukkan wujub muqaddimah al-Wajib al-maqdurah berdasarkan dilalah isyarah/isyaratun nash.




المعنى الذي لم يدل عليه اللفظ مباشرةً بل هو من لوازم ما دل عليه اللفظ مثاله : قوله تعالى فَسْئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ  (النحل/43) فالمعنى العباري لهذه الآية وجوب السؤال من أهل العلم ، ولكنه يلزمه وجوب إعداد العلماء ؛ لأن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب .

Catatan:
Makna wasail
ومعنى الوسائل: الطرق التي يُسلك منها إلى الشيء، والأمور التي تتوقف الأحكام عليها من لوازم وشروط.
Makna wasail adalah thuruq (jalan-jalan) yang ditempuh/digunakan kepada sesuatu dan perkara-perkara yang berbagai hukum bergantung atasnya, yaitu lawazim dan syarat-syarat.
Dalam ungkapan lain wasail disebut pula ad-dzara’i, yaitu
الطُّرُقُ الْمُفْضِيَةُ إلَى الْمَقَاصِدِ
thuruq yang mendatangkan/menyampaikan kepada maqashid