Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Manhaj

Fiqh Sosial: Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Manhaji

KH. M.A. Sahal mahfudz*

Gelar doktor, baik yang diperoleh melalui studi formal maupun honoris causa, merupakan titel akademik yang masih dianggap prestigious. Terlebih lagi di Indonesia, dimana ratio antara masyarakat yang bergelar doktor dan yang tidak masih jauh dari ideal, gelar doktor masih terkesan elitis. Karena sifatnya yang masih prestigious serta elitis-akademik itulah, maka wajar jika banyak yang menaruh harapan masa depan bangsa yang lebih baik di pundak para doktor. Mereka menganggap para doktor sebagai manusia-manusia super yang dengan pengalaman serta ilmu pengetahuannya mampu mengudari dan menyelesaikan segala permasalahan yang ada.

Mungkin harapan itu berlebihan jika kita melihat kenyataan. Meskipun demikian, kita tidak dapat menyalahkan kepolosan sikap masyarakat awam. Jika kita mensikapinya dengan arif, harapan tersebut sebenarnya sangat bermanfaat guna menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial maupun individual.

Sebagai bagian masyarakat yang memiliki titel kesarjanaan tertinggi, para doktor dituntut berperan aktif menyumbangkan ilmu pengetahuannya, sehingga kehadiranya di tengah-tengah masyarakat benar-benar dirasakan manfaatnya. Akan tetapi sebagai individu yang menyandang gelar akademik tertinggi, para doktor secara moral dituntut mempertanggungjawabkan gelar prestigious di hadapan dirinya sendiri, di samping sudah barang tentu, dihadapan Allah. Sejauh mana kontribusi kita terhadap perkembangan ilmu pengetahuaan, serta sejauh mana komitmen kita terhadap kebenaran ilmu pengetahuan yang kita miliki? Inilah pertanyaan yang selalu menghantui saya sesaat setelah diberitahu akan dipromosikan untuk mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa.

Sebagai orang yang sehari-hari hidup di tengah masyarakat, saya telah berbuat sesuatu yang berkenaan dengan pengembangan masyarakat pedesaan baik menyangkut pendidikan, ekonomi kerakyatan, kesehatan dan lainnya, meskipun mungkin masih jauh dari target ideal. Beberapa gagasan pemikiran yang selama ini saya munculkan, selalu saya kemas dengan bahasa sederhana, sesuai dengan target utama audiens. Itulah karenanya, gelar doktor yang diberikan kepada saya saat ini, meskipun dipermukaan terlihat sebagai suatu penghormatan, pada hakekatnya merupakan tambahan beban sekaligus amanat yang diberikan oleh masyarakat akademik untuk dijaga sebaik-baiknya. Dengan gelar ini berarti saya harus mempertahankan dan mengingatkan citra keilmuan di tengah masyarakat akademik, sementara pada saat yang sama saya harus tinggal di “habitat” masyarakat awam.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa titel doktor yang saya sandang akan tersia-siakan manakala saya gagal memenuhi harapan masyarakat akademik maupun masyarakat awam. Saya merasa apa yang telah saya lakukan masih terlalu kecil untuk dianugerahi gelar doktor. Padahal untuk mendapatkan gelar doktor bukan hal yang mudah. Kapasitas keilmuan seorang doktor bukan hanya ditentukan oleh kesediaan masyarakat untuk menerima gagasannya, tetapi juga kontribusi keilmuan yang bernilai akademis tinggi.

Selama ini, hampir 90 persen dari kehidupan saya, saya gunakan untuk berkumpul dengan orang desa yang dalam banyak hal tidak mengerti tentang nilai kesarjanaan formal akademik. Ini yang kemudian membuat saya lebih suka memikirkan hal-hal yang sifatnya praktis, applicable (dapat diterapkan) dan bahkan tekadang memilih jalan pragmatis selama masih ada dalam koridor kebenaran agama. Pilihan ini didasarkan atas kenyataan yang menunjukkan betapa masyarakat yang belum mampu menyentuh gagasan-gagasan sophisticated (njlimet) dari para pakar. Lain dari itu, pesan Nabi saw. untuk menjadi orang yang paling banyak memberikan manfaat kepada sesamanya turut memotifasi saya untuk lebih concern terhadap hal-hal yang memang secara langsung dibutuhkan oleh kebanyakan masyarakat. Inilah yang membuat saya menetapkan Fiqh sebagai pilihan untuk dijadikan jembatan menuju pengembangan masyarakat.

Fiqh, dalam pengertian ilmu tentang hukum-hukum Syariat yang bersifat praktis (amaliyah), telah menjadi warna dasar budaya muslim. Sejak awal pertumbuhannya, Fiqh telah berkembang sedemikian cepat sehingga melampaui cabang-cabang ilmu lainnya. Jika dalam tradisi Kristen Theologi terlihat begitu dominan, maka dalam Islam Fiqhlah yang sangat dominan mewarnai pola kehidupan. Inilah yang kemudian memunculkan citra bahwa kehidupan masyarakat Islam itu sangat legalistik. Karenanya tidak salah jika kita ingin melihat perilaku budaya masyarakat Islam, Fiqh adalah “jendela” yang tepat untuk digunakan.

Fiqh memang tumbuh dan berkembang begitu cepat serta memberikan pengaruh yang sangat dominan dalam kehidupan umat Islam. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah, pada fase Madinah, Islam lahir bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai negara. Karena lahir sebagai negara, sudah barang tentu ia memerlukan perangkat-perangkat sosial seperti politik dan hukum. Karena itulah kita dapatkan hampir keseluruhan ayat ahkam turun paska Hijrah atau pada periode Madinah.

Meskipun dalam banyak kasus ayat-ayat Al-Qur’an tidak menjelaskannya secara detail, saat Nabi masih hidup, mayarakat Islam tidak banyak mendapatkan kesulitan dalam menentukan status hukum yang terkait dengan masalah-masalah praktis kehidupan. Sebagai penerima wahyu, sangat logis jika Nabi diyakini sebagi orang yang perilaku serta ucapannya (sunnahnya) bersifat otoritatif. Karena logika inilah, wajar jika sunnah Nabi dianggap sebagai penjelas (tabyin) terahadap Al-Qur’an. Secara sederhana dapat diungkapkan Al-Qur’an turun, Nabi berbuat sesuai dengan kehendak Al-Qur’an kemudian masyarakat menirukannya. Namun, setelah Nabi wafat, “tafsir hidup” itu tidak ada lagi, sementara permasalahan sosial terus berkembang. Dengan demikian, kebutuhan yang paling mendesak adalah bagaimana permasalahan baru yang muncul dari daerah taklukan baru mendapatkan legalitas keagamaan. Karena Islam lahir sebagai agama dan negara, penyebaran Islam pada masa-masa Nabi pun masih diwarnai dengan watak politik. Akibatnya, sangat wajar jika lebih banyak permasalahan sosial keagamaan yang bersifat praktis muncul ke permukaan daripada permasalahan sosial keagamaan yang bersifat theologis. Atas dasar alasan inilah mengapa kebutuhan terhadap hukum terlihat begitu dominan.

Gambaran di atas merupakan penyederhanaan argumen mengapa Fiqh berkembang begitu cepat. Namun sayang, pada akhirnya Fiqh berkembang menjadi salah satu cabang ilmu ke-Islam-an yang formalistik. Dalam proses pengembangan kerangka teoritiknya, Fiqh menjadi terpisah dari etika. Inilah yang kemudian dikritik oleh Imam al-Ghazali bahwa Fiqh telah berkembang menjadi “Ilmu Dunia”.

Karena pandangan Fiqh yang sangat formalistik itulah dalam konteks sosial yang ada, ajaran syari’at yang tertuang dalam Fiqh terkadang terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan praktis sehari-hari. Zakat misalnya, sebenarnya merupakan ajaran Islam yang semangatnya adalah menciptakan keadilan sosial ekonomi. Namun dalam Fiqh, zakat sering dipahami sebagai ibadah formal yang hanya menjelaskan kewajiban muzzaki untuk mengeluarkan zakat dalam nishab tertentu.

Watak Fiqh yang formalistik memang sering mengundang orang untuk melakukan manipulasi (hilah) terhadapnya. Al-Ghazali (Ihya vol. I:19) menceritakan bahwa suatu ketika Abu Yusuf memberikan seluruh harta kekayaanya kepada isterinya sendiri pada akhir khaul untuk maksud menggugurkan kewajiban zakat. Ketika Abu Hanifah menerima cerita itu beliau berkomentar, “Itu adalah pemahaman Fiqhnya, penglihatan Fiqh dunia akan membenarkan tindakan itu”. Namun dia berkomentar lebih jauh, “Perbuatan itu akan mendatangkan petaka yang lebih berat dari tindakan kriminal apapun di akhirat kelak”.

Pengembalian Fiqh agar tetap berjalan sesuai dengan prinsip etik dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan maqasid al-Syari’ah ke dalam proses pengembangan kerangka teoritik Fiqh. Dalah konteks ini, berarti hikmah hukum harus diintegrasikan ke dalam ‘illat hukum sehingga diperoleh suatu produk hukum yang bermuara pada kemaslahatan umum.

Dengan gambaran di atas, jelas upaya apa pun yang dilakukan untuk tujuan pengembangan Fiqh menurut kita (para pengembang) memiliki wawasan tentang dimensi etik dan formal legalistik Fiqh. Penempatan kedua dimensi ini harus dilakukan secara proporsional agar pengembangan Fiqh benar-benar sejalan dengan fungsinya, yakni sebagai pembimbing sekaligus pemberi solusi atas permasalahan kehidupan praktis, baik bersifat individual maupun sosial. Dengan perkataan lain, Fiqh harus dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara. Inilah yang selama ini telah mendorong saya untuk mengembangkan Fiqh yang bernuansa sosial, tidak hanya bicara halal-haram yang kental dengan nuansa individual atau pun menghadirkan Fiqh sebagai hukum positif negara.

Sebagaimana rumusan yang dihasilkan dari halaqah P3M, Fiqh sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol: Pertama, Interpretasi teks-teks Fiqh secara kontekstual; Kedua, perubahan pola bermazhab dari bermazhab secara tekstual (mazhab qauli) ke bermazhab secara metodologis (mazhab manhaji); Ketiga, Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok dan mana (ushul) dan mana yang cabang (furu’); Keempat, Fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara; dan Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofi, terutama dalam masalah budaya dan sosial.

Fiqh sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam. Pemecahan problem sosial berarti merupakan upaya untuk memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum (al-maslahah al-‘ammah). Kemaslahatan umum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriyahnya. Kebutuhan itu bisa berdimensi dlaluriyah atau kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal pikiran, jiwa, raga, nasab (keturunan) dan harta benda, maupun kebutuhan hajiyah (sekunder) dan kebutuhan yang berdimensi takmiliyah atau pelengkap (suplementer).

Untuk tujuan pengembangan Fiqh, para mujtahid masa lalu sebenarnya sudah cukup menyediakan landasan kokoh sebagaimana tergambar dalam kaidah-kaidah ushuliyah maupun fiqhiyah. Hingga kini, nampaknya belum ada suatu metodologi (manhaj) memahami Syari’at yang sudah teruji (mujarrab) keberhasilannya dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial selain apa yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu. Bahkan Fiqh dalam pengertian kompendium yurisprudensi pun banyak yang masih relevan untuk dijadikan rujukan dalam mengatasi berbagai permasalahan aktual. Terdorong oleh keyakinan inilah, dalam upaya mengembangkan Fiqh, penulis akan berangkat dari hasil rumusan para ulama terdahulu baik dalam konteks metodologis (manhaji) maupun kumpulan hukum yang dihasilkan (qauli).

Secara qauli pengembangan Fiqh bisa diwujudkan dengan melakukan kontekstualisasi kitab kuning atau dengan cara pengembangan contoh-contoh aplikasi kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh maupun Qawa’id al-Fiqhiyah. Sedangkan secara manhaji, bisa dilakukan dengan cara pengembangan teori masalik al-‘illat agar Fiqh yang dihasilkan sesuai dengan maslahat al-‘amanah. Atas dasar dua pola inilah, dalam kesempatan yang berharga ini, penulis ingin mencoba meramaikan wacana akademik dengan topik bahasan “Fiqh Sosial, Suatu Upaya Pengembangan Madzab Qauli dan Manhaji”. Bagi para akademisi seperti di UIN Syarif Hidayatullah, Topik ini mungkin klise, namun untuk dunia pondok pesantren “salafi” atau untuk kebanyakan komunitas NU, topik tersebut masih relevan untuk dibahas.

Itulah yang dapat saya sampaikan dalam kesempatan baik ini. Saya menyadari sepenuhnya, apa yang telah saya lakukan masih terlalu kecil untuk sebuah imbalan Doctor Honoris Causa. Harapan saya, semoga Allah selalu memberi kekuatan untuk dapat menjaga amanat dari masyarakat akademik ini.

Terakhir, saya ingin mengingatkan diri saya sendiri dan juga kita sekalian bahwa rusaknya bangsa ini bukan karena kekurangan para doktor dan orang-orang pintar, tetapi kekurangan orang jujur yang committed terhadap kebenaran ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Untuk itu, marilah kita senantiasa memohon kepada Allah SWT agar diberi kejelasan penglihatan bahwa yang benar itu benar, dan diberi kemampuan serta kemauan untuk mengikutinya. Juga, diberi kejelasan penglihatan bahwa yang salah itu salah, dan diberi kemampuan serta kemauan untuk menjauhinya.



*Disampaikan oleh KH. M.A. Sahal Mahfudz Dalam Pidato Promovendus Pengukuhan Gelar Doktor Honoris Causa Di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta

FIQH SOSIAL : Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Manhaji




Oleh : KH. Dr. M. A. Sahal Mahfudh

Pendahuluan
Bagian Pertama

Suatu pemikiran tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia muncul ke permukaan sebagai refleksi dari setting social yang melingkupinya. Sedemikian besar pengaruh kondisi sosial berpengaruh terhadap pemikiran seseorang, sehingga wajar jika dikatakan bahwa pendapat atau pemikiran seseorang dan bahkan kebijakan-kebijakan yang lahir dari suatu otoritas politik merupakan buah dari zamannya.

Proposisi di atas mungkin benar jika kita menggunakannya untuk melihat kasus perkembangan hukum positif yang memang lahir dari dan untuk masyarakat atau lahir dari suatu otoritas politik untuk masyarakat. Namun dalam melihat fiqh, percaya sepenuhnya akan kebenaran proposisi di atas akan membuat kita terjebak dalam pola pemahaman yang menempatkan fiqh sejajar dengan ilmu-ilmu sekular lainnya. Pada hal, fiqh baik pada masa-masa pembentukan maupun pengembangannya tidak pernah bisa terlepas dari interfensi "samawi". Inilah yang membuat fiqh berbeda dengan ilmu hukum umum. Fiqh menjadi suatu disiplin yang unik, yang mampu memadukan unsur "samawi" dan kondisi aktual "bumi", unsur lokalitas dan universalitas serta unsur wahyu dan akal pikiran. Oleh karena itu, memahami sejarah
perkembangan fiqh dengan hanya mengandalkan paradigma ilmu-ilmu sosial tidak akan sampai pada kesimpulan yang benar.

Namun demikian, melihat fiqh hanya sebagai sesuatu yang sakral juga merupakan tindakan yang tidak bijaksana. Cara demikian merupakan bentuk pengingkaran terhadap kenyataan sejarah. Kenyataan bahwa pada awal perkembangannya terdapat fiqh Iraq dan fiqh Madinah, atau bahkan Qaul Qadim dan Qaul Jadid yang lahir dari Imam al-Syafii, membuktikan bahwa faktor sosial budaya, disamping faktor kapasitas keilmuan masing-masing mujtahid, memberikan pengaruh cukup kuat terhadap perkembangan fiqh.

Dengan gambaran di atas, jelas bahwa upaya apapun yang dilakukan untuk tujuan pengembangan fiqh menuntut kita (para pengembang) memiliki wawasan tentang watak bidimensional --dimensi kesakralan dan keduniawian--fiqh. Penglihatan serta penempatan kedua dimensi ini harus dilakukan secara proporsional agar pengembangan fiqh benar benar sejalan dengan watak aslinya. Fiqh tidak menjadi produk pemikiran "liar" yang terlepas dari bimbingan wahyu dan pada saat yang bersamaan fiqh juga tidak menjadi produk pemikiran yang kehilangan watak elastisitasnya. Dengan demikian faktor teologis maupun etika harus menjadi dasar pertimbangan dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam mengembangkan fiqh, disamping sudah barang tentu faktor perubahan masyarakat.itu sendiri.

Pembacaan terhadap realitas sosial akan menghantarkan pada satu kesimpulan bahwa pengembangan fiqh merupakan suatu keniscayaan. Teks al-Qur'an maupun Haditsh sudah berhenti, sementara masyarakat terus berrubah dan berkembang dengan berbagai permasalahannya. Banyak permasalahan sosial budaya, politik, ekonomi dan lainnya yang muncul belakangan perlu segera mendapatkan legalitas fiqh. Sebagai bentuk paling praktis dari Syari at, wajar jika fiqh dianggap yang paling bertangung jawab untuk memberikan solusi agar perubahan dan perkembangan masyarakat tetap berada dalam bimbingan atau koridor Syari at.

Untuk tujuan pengembangan fiqh, para mujtahid masa lalu sebenarnya sudah cukup menyediakan landasan kokoh sebagaimana tergambarkan dalam kaidah-kaidah ushuliyah maupun fighiyah. Hingga kini, nampaknya belum ada suatu metodologi (manhaj) memaham Syari'at yang sudah teruji (mujarrab) keberhasilannya dalam mengatas berbagai permasalahan sosial selain apa yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu. Bahkan fiqh dalam pengertian kompendiun yurisprudensi pun banyak yang masih relevan untuk dijadikan rujukan dalam mengatasi berbagai permasalahan aktual. Terdorong oleh keyakinan inilah, dalam upaya mengembangkan fiqh, penulis akan berangkat dari hasil rumusan para ulama terdahulu baik dalam kontek metodologis (manhaji) maupun kumpulan hukum yang dihasilkan (qauli)

Secara qauli pengembangan fiqh bisa diwujudkan dengan melakukan kontekstualisasi kitab kuning atau melalui pengembangan contoh-contol aplikasi kaidah-kaidah Ushul al-Filth maupun Qawa'id al-Fiqhiyah Sedangkan secara manhaji pengembangan fiqh bisa dilakukan dengar cara pengembangan teori masalik al-'illat agar fiqh yang dihasilkan sesua dengan maslahat al-'amah. Atas dasar dua pola inilah, dalam kesempatan yang berharga ini, penulis ingin mencoba meramaikan wacana akademil dengan topik bahasan "Fiqh Sosial, Suatu Upaya Pengembangan Madzhal Qauli dan Manhaji". Bagi para akademisi seperti di UIN Syarif: Hidayatullah, topik ini mungkin cliche, namun untuk dunia pondok pesantren "salafi" atau untuk kebanyakan komunitas NU topik tersebu masih relevan untuk dibahas.

Argumen Pengembangan Fiqh

Islam merumuskan bahwa kehidupan adalah amanat yang harus digunakan untuk pencapaian sa'adah al-darain (kesejahteraan dunia dan akhirat). Pemenuhan kebutuhan spiritulitas jelas menjadi tujuan utama karena kebahagiaan akhirat yang bersifat permanen dapat diwujudkar hanya bila manusia mampu memenuhi kebutuhan spiritualnya. Tapi bersamaan dengan itu, manusia dihadapkan pada kenyataan bahwa ia harus tunduk pada hukum-hukum yang mengikat kehidupan dunianya pada saat ini. Maka kehidupan dunia yang sepenuhnya bersifat temporer dan maya berhubungan secara integratif dan kausatif dengan kebahagiaan ukhrawi yang kekal dan hakiki. Meskipun selintas tampak kontradiktif, sebetulnya tidak ada yang aneh dalam hal ini, karena akhirat hanya menyediakan satu-satunya jalan bagi pencapaiaannya, yaitu kehidupan dunia.

Sehubungan dengan itu, kita mendapati fiqh (penuntun kehidupan paling praktis dalam Islam) membicarakan empat aspek pokok kehidupan manusia. satu diantaranya adalah masalah ubudiyah yaitu mengurus langsung hubungan transendental manusia dengan Penciptanya, sedangkan tiga yang lain mengurus aspek kehidupan yang mempunyai korelasi langsung dengan pengelolaan kehidupan material dan sosial yang bersifat duniawi, yaitu mu'amalah (hubungan profesional dan perdata), munakahat (pernikahan) dan jinayah (pidana).

Jika pada saat ini tujuan ideal itu belum tercapai, dapat dipastikan telah terjadi ketimpangan dalam praktek. Itu berarti masyarakat telah meninggalkan fiqh secara keseluruhan atau tidak memahami keutuhannya. Bisa jadi pula keduanya berjalan bersamaan, tergantung pada latar belakang pendidikan dan lingkungan masyarakatnya. Apapun yang sedang terjadi, itu merupakan akibat dari ketidakpahaman masyarakat terhadap fiqh. Faktor utama lahirnya kondisi ini, secara jujur harus diakui terjadi akibat ketidakmampuan masyarakat agamis dalam mengkomunikasikan kondisi ideal yang diharapkan yang tentunya dapat diwujudkan melalui fiqh. Karena itu menjadi tanggung jawab kelompok ini pulalah pengembangan masyarakat ke pangkuan fiqh.

Masalahnya, dapatkah hal itu dilakukan, mengingat telah demikian mengakarnya pola fikir dan perilaku non fiqhy dalam masyarakat? Tentu berlebihan bila menanggapi keraguan ini dengan optimisme mutlak, suatu hal yang sama naifnya dengan memberikan jawaban yang sepenuhnya negatif, karena usaha pengembalian masyarakat kepada Fiqh atau sebaliknya berdasar pada kondisi sebagaimana yang ada saat ini memerlukan proses yang akan sangat panjang dan melelahkan.

Yang pertama kali dan sangat mendesak dilakukan dalam kerangka itu adalah merubah wawasan masyarakat tentang fiqh secara utuh dan menyeluruh, bukan saja terhadap masyarakat awam, tetapi terhadap kelompok yang merasa telah mampu memahami Fiqh secara benar. Kekurangan kelompok terakhir adalah memposisikan fiqh sekedar sebagai kodifikasi atau kompilasi hukum Islam. Dalam pandangan kelompok ini, fiqh adalah kompilasi hukum yang sepenuhnya baku, karena itu terjatuh pada asumsi bahwa fiqh sama kuat dan sakralnya dengan Al-Qur'an atau al-Hadis. Suatu pandangan yang bukan saja tidak proporsional bagi fiqh itu sendiri, tetapi bahkan menurunkan deraj kalam Allah dan sunnah Rasul sebagai sumber hukum yang sepenuhnya universal.

Terlepas dari jarak pemahaman antara kelompok ini dengan masyarakat awam, dimana mereka memandang bahwa fiqh sekedar sebagai tatanan normatif, pada keduanya terdapat filosofi pemahaman yang sama potensialnya dalam proses alienasi fiqh dari masyarakat luar yaitu bahwa fiqh adalah sesuatu yang tekstual, statis dan karena it tidak mungkin mengikuti perkembangan zaman. Padahal, dengan memahami definisinya sebaga al-ilmu bi al-ahkam al-syar'iyyah al-amaliyya al-muktasab min adillatiha al tafshiliyyah' (mengetahui hukum syari'a amaliah yang digali dari petunjuk-petunjuk yang tidak bersifat global )dapat ditarik kesimpulan bahwa fiqh memiliki peluang yang sangat luas untuk berjalan seiring dengan perkembangan zaman.

Definisi fiqh sebagai sesuatu yang digali (al-muktasab) menumbuhkan pemahaman bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses sebelum akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis. Proses yang umun kita kenal sebagai ijtihad ini bukan saja memungkinkan adanya perubahan, tetapi juga pengembangan tak terhingga atas berbagai aspek kehidupan yang selamanya mengalami perkembangan. Contoh paling faktual keabsahan perbedaan hasil ijtihad al-aimmah al-arba'ah (Hanafi Maliki, Syafi i dan Hambali). Keempatnya dalam perbedaan yang sangat mendasar sekalipun, tetap menghormati pendapat yang lain, tanpa kemutlakan wewenang untuk menganggap ijtihad yang lain sebagai sesuatu yang membuahkan hasil yang keliru.

Imam Syafi'i adalah contoh yang menarik, selain karena kedudukannya sebagai murid langsung Imam Malik (dalam pola pikir konservatif, perbedaan pendapat diantara keduanya tak terbayangkan) juga karena beliau merilis pendapat baru terhadap beberapa masalah yang sebelumnya pernah beliau ijtihadkan, seperti terdapat qaul qadim dan qaul jadid. Imam Syafii juga merintis metode riset (istigra') untul melahirkan hukum fiqh, sebagaimana disebutkan berbagai kitab fiqh dalam pembahasan tentang menstruasi (haidl).

Berbagai hal tersebut --meskipun bersifat spesifik Imam Syafi'i setidaknya dapat membuka pemikiran yang ketiadaannya selama in menyebabkan masyarakat terjauhkan dari fiqh, yaitu fiqh adalah sesuatu yang realistis dan dinamis, sesuai dengan karakter proses ijtihadnya. Wawasan ideal ini, pada waktunya akan mampu mengoptimalkan, memaksimalkan dan mengaktualkan potensi fiqh sebagai tata nilai, perilaku dan kehidupan sosial yang terns berkembang. Dengan demikian dapat diharapkan fiqh akan mewarnai berbagai dimensi kehidupan masyarakat luas.

Tanpa itu, besar kemungkinan fiqh hanya akan menjadi referensi dalam aspek ubudiyyah an-sich atau tertinggal hanya sebagai jejak sejarah. Karena sementara fiqh berjalan di masa lalu, masyarakat secara dinamis mau atau tidak, akan terseret arus perubahan. Meskipun tampaknya tidak terlalu parah, merujuk fiqh hanya pada salah satu aspek, pada hakikatnya merupakan cerminan ketidakmampuan mempercayai fiqh secara keseluruhan. Sebab bila salah satu aspeknya diragukan, bukankah aspek lainnya juga layak dipertanyakan ?

Peruabahan sosial sejalan dengan perkembangan alih teknologi dan sistem ekonomi serta kemajuan aspek-aspek kehidupan lainnya menuntut suatu panduan rohaniah yang memiliki relevansi erat dan melekat dengan masalah-masalah nyata yang akan terus menerus muncul, seiring dengan keniscayaan perkembangan sistem nilai dan budaya. Apabila fiqh gagal melayani kebutuhan pokok ini dengan pendekatan kontekstual yang dinamis dapat dipastikan bahwa umat manusia akan semakin terjauhkan dan nilai-nilai transendental yang pada gilirannya akan memunculkan watak dan sikap sekuler. Padahal, seperti telah banyak dicontohkan pada masyarakat yang lebih dahulu mengalaminya, tiada kesejahteraan hakiki yang dapat diraih dalam watak dan sikap semacam itu.

Dalam konteks ini retorika yang mempertanyakan kelayakan pelayanan "masyarakat fiqh" kepada masyarakat awam - kondisi yang harus mengikuti fiqh, atau sebaliknya - menjadi kehilangan relevansinya, selain karena ia sendiri tidak sepenuhnya bersifat baku, kecuali dalam beberapa hal tertentu. Fiqh dalam misinya sebagai tuntutan kehidupan, harus mampu mengikat masyarakat dalam segala aspeknya, supaya tercapai penggunaan Islam secara total (kaffah) sebagai panduan kehidupan, seperti yang diserukan surat Al-Baqarah ayat 208.

Bersambung


Fiqh Sosial : Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Manhaji (lanjutan 1)




Paradigma Fiqh Sosial

Bagian kedua
Syari'at Islam merupakan pengejawantahan dari Aqidah Islamiyah. Aqidah mengajarkan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur secara rinci cara berikhtiar mengelolanya. Pada prinsipnya tujuan syari'at Islam yang dijabarkan secara rinci oleh para ulama dalam ajaran fiqh ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara.

Syari'at Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang dalam fiqh menjadi komponen ibadah, baik sosial maupur individual, muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) maupun muthlaqah (teknik operasionalnya tidak terikat oleh syarat dan rukun tertentu). Ia juga mengatur hubungan antara sesama manusia dalam bentul mu'asyarah (pergaulan) maupun mu'amalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Disamping itu ia juga mengatur hubungar dan tata cara keluarga, yang dirumuskan dalam komponen munakahat. Untuk menata pergaulan yang menjamin ketenteraman dan keadilan, ia juga punya aturan yang dijabarkan dalam komponen jinayah, jihad dar qadla.

Beberapa komponen fiqh di atas merupakan teknis operasional dari lima tujuan syari'at (maqasid al-syari'ah), yaitu memelihara dalam arti luas-agama, akal, jiwa, nasab (keturunan) dan harta benda. Komponen-komponen itu secara bulat dan terpadu menata bidang-bidang pokok dari kehidupan manusia dalam rangka berikhtiar melaksanakan taklif untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi (sa'adatud darain), sebagai tujuan hidupnya.

Unsur-unsur kesejahteraan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi bersifat saling mempengaruhi. Apabila hal itu dikaitkan dengan syari'at Islam yang dijabarkan dalam fiqh dengan bertitik tolak dari lima prinsip dalam maqasid al-syari'ah, maka akan jelas, syari'at Islam mempunya i sasaran yang mendasar yakni kesejahteraan lahir batin bagi setiap manusia, Berarti bahwa manusia merupakan sasaran sekaligus menempati posisi kunci dalam keberhasilan mencapai kesejahteraan yang dimaksud.

Apa yang dijelaskan di atas merupakan kerangka paradigmatik di atas mana fiqh sosial seharusnya dikembangkan. Dengan kata lain, fiqh sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari'at Islam. Pemecahan problem sosial berarti merupakan upaya untuk memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum (al-mashalih al-'ammah). Dalam hal ini, kemaslahatan umum --kurang lebih adalah kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriahnya. Baik kebutuhan itu berdimensi dlaruriyah atau kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal pikiran, jiwa, raga, nasab (keturunan) dan harta benda, maupun kebutuhan hajiah (sekunder) dan kebutuhan yang berdimensi takmiliyah atau pelengkap (suplementer).
Klasifikasi kebutuhan dasar manusia di atas memang berbeda dengan apa yang dirumuskan dalam ilmu ekonomi "sekular" yang memandang kebutuhan primer manusia semata-mata dilihat dari sudut kebutuhan biologis, sehinga kebutuhan terhadap agama tidak termasuk kebutuhan primer. Masuknya unsur agama menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia mencerminkan bahwa dari mulai perumusan paradigmatik, fiqh harus menerima paket ilahiyah. Agama sebagai suatu kebutuhan harus diterima secara apa adanya. Dalam konteks ini fiqh memang bersifat paternalistik, seolah-olah memandang manusia belum dewasa sepenuhnya sehingga hares dipaksakan untuk menerima agama sebagai kebutuhan, terlepas dari apakah manusia itu benar-benar merasa butuh atau tidak.

Secara singkat dapat dirumuskan, paradigma fiqh sosial di dasarkan atas keyakinan bahwa fiqh harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia yaitu kebutuhan dlaruriyah (primer), kebutuhan hajjiyah (sekunder) dan kebutuhan tahsiniyah (tersier). Fiqh sosial bukan sekedar sebagai alat untuk melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam putih sebagaimana cara pandang fiqh yang lazim kita temukan, tetapi fiqh sosial juga menjadikan fiqh sebagai paradigma pemaknaan sosial.

Seperti hasil yang telah dirumuskan dari serangkaian halaqah NU bekerja sama dengan RMI (Rabith Ma'had Islamiyah) dan P3M, fiqh sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol : Perama, Interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual; Kedua, Perubahah pola bermadzhab dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauli) ke bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji); Ketiga, Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu'); Keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara dan Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.

Jika dicermati lebih jauh, kelima ciri di atas memang didasarkan atas keyakinan bahwa rumusan produk hukum yang tertuang dalam berbagai kitab fiqh banyak yang dapat diterapkan (applicable) untuk memecahkan masalah-masalah sosial kontemporer. Pengembangan fiqh sosial tidak serta merta menghilangkan peran khazanah klasik. Dengan dasar keyakinan ini, kreatifitas dalam pengembangan fiqh sosial diharapkan tidak tercerabut dari akar tradisi orthodoxy. Persoalannya sekarang bagaimanakah khazanah klasik itu disikapi. Untuk tujuan ini maka prinsip "Almuhafadhatu 'alal qodim al salih waal akhdzu bil jadid alaslah" akan selalau menjadi panduan.

Kontekstualisasi Fiqh dalam Kitab Kuning

Ketertarikan untuk mengkaji kitab kuning tentu saja bukan karena warnanya yang kuning, akan tetapi karena kitab itu memiliki ciri-ciri yang melekat yang untuk memahaminya memerlukan keterampilan tertentu dan tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa Arab saja. Sehingga banyak ditemukan orang yang pandai berbahasa Arab namun masih kesulitan menjelaskan kandungan kitab kuning secara persis. Sebaliknya tidak sedikit ulama yang menguasai kitab kuning tetapi tidak bisa berbahasa Arab.

Sebenarnya kesulitan memahami kitab kuning yang keseluruhan isinya ditulis dengan bahasa Arab bisa saja dijembatani dengan penterjemahan. Akan tetapi masih banyak kalangan umat Islam di Indonesia merasa keberatan dengan solusi praktis tersebut. Selain mahalnya biaya teknis penterjemahan, bahasa Arab adalah bahasa kebudayaan dan keilmuan Islam. Dimana pun, kebudayaan dan keilmuan tidak pernah dapat dialih-bahasakan secara utuh. Maka munculah metode utawi iki iku  yang ternyata sangat efesien dan efektif untuk penguasaan semantik maupun gramatika bahasa Arab.



Penulis mengakui bahwa metode ini pada satu sisi memang telah berhasil dalam mengantarai dan menyelesaikan kesenjangan (gap) bahasa. Sebagaimana kita maklumi, bahasa Aarab yang digunakan dalam kitab kuning, kebanyakan tidak menggunakan tanda baca seperti titik, koma, tanda tanya dan tanda baca lainnya. Subyek dan predikat sering dipisahkan dengan jumlah mu'taridlah yang cukup panjang dengan tanda tanda tertentu. Keadaan ini sudah tentu memerlukan kecermatan dan keterampilan khusus agar pembaca mampu memahami makna yang terkandung di dalamnya.

Akan tetapi pada sisi lain metoda utawi iki iku cenderung memancing para santri (pelajar) untuk memfokuskan diri pada aspek redaksional yang berujung pada terbentuknya pola pikir tekstual dalam memahami kitab kuning. Para santri yang belajar dengan metoda ini cenderung menarik problem nyata disekitarnya untuk disikapi sesuai dengan teks kitab kuning. Pada hal, kesenjangan waktu antara penulisan kitab kuning dengan saat ini, sulit untuk bisa diharapkan bahwa setiap kasus dapat ditemukan rumusan persisnya dalam kitab kuning. Seringnya kegagalan merujukkan masalah dengan kitab kuning membuat pesantren memiliki tradisi aneh dalam menjawab permasalahan, yaitu dengan memberikan hukum mauquf. Secara jujur harus diakui bahwa tradisi ini mencerminkan ketidakmampuan mengambil keputusan final.

Seiring dengan perkembangan zaman, bukan mustahil kalau nanti akan terdapat banyak kasus hukum yang tidak bisa diselesaikan jika pemahaman terhadap kitab kuning masih tetap dalam pola-pola tekstual. Jika pola ini tidak segera diimbangi dengan pola-pola pemahaman kontekstual, maka bukan mustahil jika kitab kuning akan menjadi harta pusaka yang hanya bisa dimiliki tetapi tidak banyak memberikan manfaat bagi solusi permasalahan aktual. Akibat yang lebih tragis lagi adalah pemahaman tekstual ini bisa menyeret kaum muslimin memperlakukan fiqh sebagai dogma yang tidak bisa diganggu gugat. Tidak jarang, fiqh - dalam hal ini kitab kuning - dianggap sebagai kitab suci kedua setelah al-Qur'an. Karena itu, penulis menyambut baik gagasan teman-teman yang tergabung dalam Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) untuk memberi input kepada masyarakat Muslim, khususnya masyarakat pesantren, agar memahami kitab kuning secara kontekstual dan mengurangi interpretasi tekstual yang selama ini cenderung berlebihan.

Gagasan tersebut tidak terlalu berlebihan, mengingat bahwa pemahaman kontekstual bukan berarti meninggalkan dan menanggalkan fiqh secara mutlak. Justru dengan pemahaman tersebut, segala aspek perilaku kehidupan akan dapat terjiwai oleh fiqh secara konseptual dan tidak menyimpang dari rel fiqh itu sendiri. Atau minimal, kitab kuning akan digemari tidak saja oleh para santri yang belakangan ini mulai enggan menguaknya, akan tetapi oleh siapa saja yang berniat mengkaji referensi pemikiran Islam.

Dalam beberapa kesempatan, penulis sering melontarkan kritik kepada para santri agar mereka terbangun dari sikap apologis yang sangat berdampak pada stagnasi ilmiyah. Pesantren seharusnya memahami bahwa kitab kuning, dibalik segala nilai historisnya, telah terkikis oleh perkembangan zaman. Namun dengan statemen ini bukan berarti konsistensi terhadap kitab kuning merupakan kesalahan ilmiyah yang mendasar. Meninggalkan kitab kuning akan mengakibatkan terputusnya mata rantai sejarah dan budaya ilmiyah yang telah dibangun berabad-abad. Kitab kuning, meskipun mungkin tidak mampu mengakomodasi kompleksitas permasalahan saat ini -jika tuduhan ini benar- ia tetap merupakan warisan sejarah dari bangunan besar tradisi keilmuan Islam yang harus dipetik manfaatnya. Menutup kitab kuning bererti menutup jalur yang menghubungkan tradisi keilmuan sekarang dengan tradisi keilmuan milik kita pada masa lalu. Penciptaan tradisi keilmuan baru bagaimanapun membutuhkan jalan yang sangat panjang, dan tidak seorang pakkar pun mampu memberikan jaminan bahwa tradisi baru itu akan sama efesiennya dengan tradisi keilmuan yang dibangun melalui kitab kuning.


Dengan pernyataan di atas, persoalan mendasar berkenaan dengan kitab kuning itu terletak pada pensikapan kita dalam memposisikannya. Kitab kuning sering difungsikan sebagai kompendium yurisprudensi yang sangat legalistik. Dalam fungsi ini, kitab kuning sering dianggap sebagai hukum positif yang dapat "menghakimi" segala permasalahan. secara rinci dengan latar belakang pertimbangan, argumen, dan keputusan yang sepenuhnya telah dibakukan. Dengan kata lain, kitab kuning telah "disejajarkan" dengan al-Qur'an dan al-Hadits.

Sebagaimana dikatakan di atas, menjadikan kitab kuning sebagai referensi untuk memecahkan permasalahan aktual bukan merupakan kesalahan ilmiyah. Namun demikian ia harus disikapi sebagai suatu garis mendatar hingga dapat memberikan konsep-konsep pendekatan yang memperhatikan akar dan implikasi masalah yang timbul dalam masyarakat, karena sesunggguhnya setiap masalah tidak pernah muncul secara mandiri. Setiap masalah selalu memiliki konteksnya sendiri, yang biasanya justeru jauh lebih kompleks ketimbang masalah itu sendiri.

Ini bukan berarti metode pendidikan kitab kuning harus ditinggalkan. Yang dibutuhkan adalah kemauan untuk membuka diri terhadap berbagai disiplin ilmu (eksak maupun sosial) di luar apa yang selama ini dianggap sebagai "ilmu agama". Hal ini perlu dilakukan agar pemahaman terhadap kitab kuning benar-benar sesuai dengan konteksnya, baik konteks masa lalu saat kitab kuning itu di tulis maupun konteks permasalahan sekarang. Pengintegrasian 'kitab kuning'dengan berbagai referensi dan ilmu-ilmu lainnya, jika dilakukan dengan serius dan tepat, justeru akan menciptakan suatu sinergi ilmiyah yang akan berguna untuk memecahkan permasalahan sosial kontemporer tetapi tetap tidak keluar dari akar sejarah tradisi Islam masa lalu.

Ilustrasi berikut ini mungkin dapat dijadikan contoh bahwa pemahaman kitab kuning dengan panduan ilmu gizi akan sangat bermakna dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Dalam berbagai kitab fiqh klasik banyak dijumpai pernyataan yang menjelaskan bahwa manusia dalam hidupnya memerlukan makanan pokok yang disebut dengan istilah al-qut almughdzi. Al-mughdzi adalah makanan yang mengandung gizi. Bahkan mungkin sekalai kata "gizi" itu sendiri berasal dari kata "ghidza". Dengan bantuan ilmu tentang kesehatan atau lebih khusus lagi ilmu gizi, istilah di atas akan lebih dapat dipahami secara tepat dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah kesehatan. Selain melalui kontekstualisasi kitab kuning pengembangan secara qauli bisa dilakukan dengan cara memperluas penggunaan kaidah-kaidah fiqhiyah maupun kaidah Ushuliyah untuk digunakan bukan hanya pada persoalan fiqh invidual yang menyangkut halal haram, tetapi juga untuk memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut kebijakan publik, baik baik menmyangkut kebijakan dalam politik, ekonomi kesehatan dan lain lain. Misalnya, Imam ai-Suyuthi dalam kitab al-Asybah wan Nadha'ir menyebutkan qaidah fiqhiyah al-daf u aula min al- rof i. Dalam Kitab Alashbah wa al-Nadlm'ir, al-Suyuthi memberikan contoh aplikasi kaidah ini berkaitan dengan penggunaan air musta'mal. Kaidah ini sebenarnya bisa juga diterapkan pada aspek kesehatan. Melalui kaidah ini dapat difahami bahwa menolak penyakit dengan daya kebal dan daya tangkal yang kuat itu lebih utama, lebih ampuh dan lebih mudah daripada menyembuhkan penyakit yang sudah terlanjur menempel pada badan manusia. Dalam konteks kesehatan ibu dan anak misalnya, imunisasi dan pemberian asi serta makanan bergizi harus mendapatkan perhatian utama dalam upaya menciptakan generasi yang sehat. Dengan demikian, melalui pemahaman kaidah di atas, perintah untuk membangun generasi yang sehat merupakan perintah agama.

Contoh lain, misalnya kaidah idza ta'aradla mafsadatani ru'iya a'dzhomuhuma dlararan bi irtikabi akhaffihima. Dalam konteks Fiqh Sosial, kaidah ini bisa diaplikasikan untuk, misalnya, melihat fenomena lokalisasi Wanita Pekerja Seks. Prostitusi jelas merupakan sesuatu yang dilarang agama. Akan tetapi, sebagai persoalan sosial yang sangat kompleks, prostitusi bukanlah persoalan yang mudah untuk dihilangkan. Dalam kondisi semacam itu kita dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama mafsadat, yaitu membiarkan prostitusi tidak terkontrol di tengah masyarakat atau melokalisir sehingga prostitusi bisa terkontrol. Pilihan terhadap kebijakan lokalisasi prostitusi merupakan pilihan yang didasarkan atas prinsip memilih perbuatan yang dampak buruknya lebih ringan. Dengan demikian, tinjauan Fiqh Sosial membenarkan tindakan lokalisasi terhadap para Wanita Pekerja Seks Komersial.

Bersambung


Fiqh Sosial : Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Manhaji (Tamat)




Pengembangan Fiqh Manhaji

Dalam fiqh, hampir tidak terdapat suatu hukum pun yang berlaku permanen kecuali bila ia digali dari dalil-dalil yang disepakati. Padahal, dalil-dalil semacam ini yang diistilahkan sebagai gath'iy jumlahnya sangat terbatas, karena al-Qur' an dan al-Hadits, yang merupakan sumber baku, tidak akan pernah lagi mengalami penambahan kuantitas atau kualitas.

Setelah Rasulullah wafat. Sementara itu, al-Qur'an sendiri tidak seluruhnya merupakan petunjuk hukum, karena ia juga memuat hal hal lain, seperti "sejarah" dan nasehat moral. Sedangkan Al-Hadits, dalam kedudukannya sebagai "penerjemah tingkat pertama" Al-Qur'an, tentunya juga tidak memuat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak terdapat pada zamannya. Karena itu, perkembangan masalah yang melingkupi kehidupan manusia setelah periode Rasulullah ditentukan hukumnya berdasarkan kedua sumber hukum itu, dengan mengacu pada rumusan magashid al-syari'ah (tujuan-tujuan syari ah).

Magashid al-syari'ah itu, sebagaimana dipahami dari syari'ah yang telah ditetapkan pada periode Rasulullah, terdiri dari lima bagian. Pertama, mehndungi agama (hifdh al-din). Kedua, melindungi jiwa (hifdh al-nafs), yang diketahui dari kehalalan makan dan minum, serta diberlakukannya hukum diyat dan qishas untuk tindak pidana penyerangan dan pembunuhan. Ketiga, melindungi kelangsungan keturunan (hifdh al-nasl), seperti dianjurkannya pernikahan dan ditetapkan hukum pemeliharaan anak (hadlanah), serta larangan keras perbuatan zina berikut penerapan sanksi (had) atas pelanggarannya. Keempat, melindungi akal-pikiran (hifdh al-'aql), seperti anjuran untuk mengkonsumsi makanan yang sehat, dan larangan berikut ancaman hukuman bagi penggunaan muskirat (barang-barang yang memabukkan). Kelima, menjaga harta benda (hifdh al-mal), seperti kewenangan untuk melakukan mu'amalah, dan larangan melakukan pencurian.

Rumusan lima maqashid ini memberikan pemahaman bahwa Islam tidak mengkhususkan perannya hanya dalam aspek penyembahan Allah dalam arti terbatas pada serangkaian perintah dan larangan atau halal dan haram yang tidak dapat secara langsung dipahami manfaatnya. Keseimbangan kepedulian dapat dirasakan bila kita memandang hifdh al-din sebagai unsur magashid yang bersifat kewajiban bagi umat manusia, sementara empat lainnya kita terima sebagai wujud perlindungan hak yang selayaknya diterima setiap manusia. Dalam kerangka pandang ide, maka aspek kehidupan apapun yang melingkupi kehidupan manusia, kecuali yang bersifat 'ubudliyah murni, harus disikapi dengan meletakkan kemaslahatan sebagai bahan pertimbangan, karena hanya dengan menjaga stabilitas kemaslahatan inilah tugas-tugas peribadatan dapat dilaksanakan dengan baik, meskipun tidak berarti bahwa tanpa hal kemaslahatan beribadah dengan sendirinya menjadi gugur. Bila pola pandang tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka risalal Rasulullah sudah sepantasnya kita klaim sebagai rahmatan li al-'alamir dan kaaffatan li al-nas.

Klaim, kita yang menyebut Islam baik sebagai rahmatan li al-'alamin maupun kaaffatan li al-nas, sebetulnya adalah kebanggaan yang melahirkan beban berat, sebab kedua kalimat itu akan memberi pengertian bahwa Islam adalah ajaran yang bersifat universal. Di sinilah beban itu muncul, sebab dengan begitu ia harus mampu beradaptasi dengan seluruh umat manusia yang sangat beragam, baik karena perbedaan geografis maupun tingkat kebudayaannya.

Sebagai jembatan penghubung kesenjangan waktu antara kejadian sekarang dengan turunnya wahyu, lembaga ijtihad bukan hanya boleh difungsikan, tetapi merupakan suatu kebutuhan. Bagi umat Islam, ijtihad adalah suatu kebutuhan dasar, bukan saja ketika Nabi sudah tiada, tetapi bahkan ketika Nabi masih hidup. Haditis riwayat Mu'adz Ibn Jabbal adalah buktinya. Nabi tidak saja mengizinkan, tetapi menyambut dengan gembira campur haru mendengar tekad Mu'adz untuk berijtihad, dalam hal-hal yang tidak diperoleh ketentuannya secara jelas dalam Al-Qur'an maupun Hadits. Apabila di masa Nabi saja ijtihad bisa dilakukan, maka sepeninggal beliau, tentu jauh lebih mungkin dan diperlukan. Di kalangan umat Islam manapun, tidak pernah ada perintah yang sungguh-sungguh menyatakan ijtihad haram dan harus dihindari. Dalam kitab al-Radd ala man afsad fi al-ard, As-Suyuti dengan tandas berkesimpulan, pada setiap periode ('asr) harus ada seorang atau beberapa orang yang mampu berperan sebagai mujtahid.

Harap diingat, bahwa yang diakatakan As-Suyuti, adalah orang yang mampu menjalankan peran sebagai mujtahid. Artinya, yang dituntut oleh As-Suyuti, juga umat Islam secara keseluruhan, adalah orang yang bukan saja punya nyali untuk memainkan fungsi itu, tapi nyali yang secara obyektif didukung oleh kapasitas dan kualifikasi yang memadai. Pemahaman Syari ah secara kontekstual (muqtadlo al-hal) merupakan salah satu dari serangkaian kegiatan ijtihad. Sedangkan kontekstualisasi ini memerlukan kemampuan membaca perkembangan sosial. Kemampuan demikian memang tidak ditegaskan dalam syarat-syarat formal seorang mujtahid. Tetapi semua mujtahid adalah orang-orang yang seharusnya peduli dengan kemaslahatan (kepentingan masyarakat). Berbicara maslahat berarti berbicara hal-hal yang kontekstual.

Madzhab Syafi i merupkan madzhab yang kurang mempopulerkan dalil maslahat dalam hal yang tidak diperoleh penegasan oleh nash, tetapi metode qiaslah (analogi) yang selalu ditekankan. Oleh sebab itu ia lebih suka berbicara tentang apa yang disebut dengan illat (alasan hukum). Menurut dia maslahat sudah tersimpul di dalam illat. Tetapi hukum yang ditelorkan melalu Qiyas tidak boleh tergantung pada maslahat yang tidak tegas rumusan maupun ukurannya. Sebagai contoh, di dalam berbicara tentang qasr (meringkas jumlah raka'at salah diperjalanan). Madzhab Syafi'i menolak meletakkan masyaqat (kesulitan yang sering terjadi diperjalanan) sebagai Mat bagi diperbolehkannya qasr. Mat mengqasr adalah bepergian itu sendiri yang lebih jelas ukurannya. Sedangkan hilangnya masyaqat diletakkan sebagai hikmah (keuntungan) yang tidak mempengaruhi ketentuan diperbolehkannya Qasar.
Masyaqqat bagaimanapun amat relatif sifatnya, dan banyak dipengaruhi misalnya, oleh keadaan fisik dan kesadaran seseorang. Memang kadang-kadang terasa tidak adil, ketika seorang yang sehat wal-afiyat bepergian jauh dengan kondisi nyaman, berkendaraan pesawat udara diperbolehkan mengqasar salat. Sementara orang jompo yang susah payah menempuh belasan kilometer tidak boleh, melakukannya. Dalam hal ini harap dimaklumi, hukum ditetapkan dengan maksud berlaku umum. Disinilah perlunya ukuran yang jelas. Oleh madzhab Syafi'i, hal itu ditakar dengan jarak tempuh. Sesuatu yang relatif tidak bisa dijadikan illat, tidak bisa menjadi patokan bagi peraturan yang dimaksudkan berlaku umum. Dan jika memang masyaqat itu benar-benar dialami oleh seseorang, ketika dia belum mencapai syarat formal untuk mendapatkan ruhsah (kemudahan), maka dia akan mendapatkan kemudahan dari jalan lain.

Watak fiqh yang formaslistik memang sering mengundang orang untuk melakukan manipulasi (hilah) terhadapnya. Al-Ghazali dalam Ihya (vol.1:19) menceriterakan bahwa suatu ketika Abu Yusuf memberika seluruh harta kekayaannya kepada isterinya sendiri pada akhir khan untuk maksud menggugurkan kewajiban zakat. Ketika Abu Hanifal menerima cerita itu Beliau berkomentar "Itu adalah pemahaman fiqhnya, penglihatan fiqh dunia akan membenarkan tindakan itu". Namun dia berkomentar lebih jauh "perbuatan itu akan mendatangkan petaka yang lebih berat dari tindakan kriminal apapun di akhirat kelak".

Gambaran di atas dapat dipahami bahwa Al-Ghozali pun pada dasarnya mengakui bahwa fiqh memang berwatak formalistik.  menyadari sepenuhnya bahwa Hadits yang menyatakan Nabi diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan kalimat tauhid itu harus dipahami dalam konteks perbuatan lahiriah bukan batiniah. Jika seorang secara formal sudah menyatakan kalimat tauhid maka ia harus mendapat perlakuan sebagaimaan diberikan kepada orang Islam lainnya. Dengan mengutip cerita tentang sikap Iman Abu Hanifah terhadap Abu Yusuf Imam A1-Ghozali sedan€ menunjukkan kepada kita bahwa satu sisi ia menerima kenyataan bahwa satu sisi fiqh itu berwatak formalistik namun pada sisi yang lain ia pun tidak setuju terhadap pandangan fiqh yang formalistik tersebut.

Karena pandangan fiqh yang sangat formalisitik itulah dalam kontek, sosial yang ada, ajaran syari at yang tertuang dalam fiqh terkadang terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan praktis sehari-hari. Zakat misalkan, sebenarnya merupakan ajaran Islam yang semangatnya tidak lain adalah ajaran untuk menciptakan keadilan sosial ekonomi. Namur dalam fiqh, zakat sering dipahami sebagai ibadah formal yang hanya menjelaskan kewajiban muzakki untuk mengeluarkan zakat dalam nishal tertentu.

Dari uraian di atas, kita melihat suatu kebutuhan akan pergeserar paradigma fiqh; Yaitu pergeseran dari fiqh yang formalistik menjad: fiqh yang etik. Secara metodologis hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan hikmah hukum ke dalam 'illat hukum. Atau dengar kata lain sudah saatnya kita mengintegrasikan pola pemahaman qiyas murni dengan pola-pola pemahaman yang beroreintasi pada maqasid al syari'ah. Inilah yang dimaksudkan dengan ciri keempat figh sosial yang mencoba menghadirkan fiqh sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara.
 
Kesimpulan


Status Islam sebagai ajaran yang universal, dalam artian dapat dilaksanakan untuk melindungi kebidupan manusia secara menyeluruh tanpa harus terganggu oleh kata kata regional, hanya mungkin dipertahankan bila ia dapat kita. pahami sebagai ajaran yang justru bersifat terbuka. Dalam konteks Indonesia, berarti ia harus mampu menunjukkan sikap toleran, sebagai bentuk paling arif dalam menghadapi kenyataan kemajemukan bangsa Indonesia, yang rasanya tidak mungkin disikapi selain sebagai sunatullah. Sementara dalam skala ke dalam, ia harus mampu menyelaraskan ajaran-ajarannya yang secara praktis direpresentasikan dalam bentuk fiqh- dengan pola budaya dan kondisi regional, tanpa harus kehilangan jati dirinya.

Pola penerapan agama seperti inilah, sebagaimana kita pahami dari sejarah, yang mampu membuat masyarakat menerima Islam sebagai akidah, tanpa harus terasingkan secara menyakitkan dari akar budaya yang telah membesarkan dan membentuk watak, kepribadian, dan tradisinya.

Pengingkaran terhadap pola penerapan ini hanya akan mengantar masyarakat keluar dari perlindungan agama. Kalaupun masih terdapat sekelompok kecil masyarakat yang tetap teguh dalam ke-Islaman-nya, hampir dapat dipastikan bahwa mereka akan memilah-milah dimensi kehidupannya, untuk disesuaikan: mana yang harus tetap dirujukan pada petunjuk Islam, dan mana yang harus dengan berat hati harus disikapi sebagai dimensi kehidupan yang bersifat duniawi murni.

Untuk tujuan ini semua diperlukan usaha yang berujung pada perubahan paradigmatik dalam mensikapi ajaran praktis agama, yaitu fiqh. Perubahan paradigmatik dalam memandang fiqh ini memang merupakan keharusan. Fiqh tidak hanya dilihat sebagai alat untuk mengukur kebanaran ortodoksi, tetapi juga harus diartikan sebagai alat untuk membaca realitas sosial untuk kemudian mengambil sikap dan tindakan tertentu atas realitas sosial tersebut. Sehingga fiqh memiliki fungsi ganda yaitu sebagai alat untuk mengukur realitas sosial dengan ideal-ideal syari at yang berujung pada hukum halal atau haram, boleh dan tidak boleh dan sekaligus pada saat yang sama menjadi alat rekayasa sosial. Dalam Ilmu Hukum hal ini biasa disebut sebagai fungsi ganda hukum, yaitu fungsi hukum sebagai social control dan fungsi hukum sebagai social engeneering.

Kedua fungsi fiqh tersebut hanya mungkin diwujudkan jika produk dan perangkat penalaran yang dimiliki fiqh dikembangkan secara kontekstual. Pendekatan fiqh secara kontekstual bisa dilakukan melalui kontekstualisasi produk-produk fiqh yang tersebar dalam berbagai khazanah klasik sebagai model pengembangan madzhab qauli maupun dengan cara pengembangan madzhab manhaji melalui aplikasi kaidah Ushul al-Fiqh dan Kaidah-kaidah Fighiyah serta melalui integrasi antara 'illat hukum dan hikmah hukum.(Red)