KH. M.A. Sahal mahfudz*
Gelar doktor, baik yang diperoleh melalui studi formal maupun honoris
causa, merupakan titel akademik yang masih dianggap prestigious. Terlebih lagi
di Indonesia, dimana ratio antara masyarakat yang bergelar doktor dan yang
tidak masih jauh dari ideal, gelar doktor masih terkesan elitis. Karena
sifatnya yang masih prestigious serta elitis-akademik itulah, maka wajar jika
banyak yang menaruh harapan masa depan bangsa yang lebih baik di pundak para
doktor. Mereka menganggap para doktor sebagai manusia-manusia super yang dengan
pengalaman serta ilmu pengetahuannya mampu mengudari dan menyelesaikan segala
permasalahan yang ada.
Mungkin harapan itu berlebihan jika kita melihat kenyataan. Meskipun
demikian, kita tidak dapat menyalahkan kepolosan sikap masyarakat awam. Jika
kita mensikapinya dengan arif, harapan tersebut sebenarnya sangat bermanfaat
guna menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial maupun individual.
Sebagai bagian masyarakat yang memiliki titel kesarjanaan tertinggi,
para doktor dituntut berperan aktif menyumbangkan ilmu pengetahuannya, sehingga
kehadiranya di tengah-tengah masyarakat benar-benar dirasakan manfaatnya. Akan
tetapi sebagai individu yang menyandang gelar akademik tertinggi, para doktor
secara moral dituntut mempertanggungjawabkan gelar prestigious di hadapan
dirinya sendiri, di samping sudah barang tentu, dihadapan Allah. Sejauh mana
kontribusi kita terhadap perkembangan ilmu pengetahuaan, serta sejauh mana
komitmen kita terhadap kebenaran ilmu pengetahuan yang kita miliki? Inilah
pertanyaan yang selalu menghantui saya sesaat setelah diberitahu akan
dipromosikan untuk mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa.
Sebagai orang yang sehari-hari hidup di tengah masyarakat, saya telah
berbuat sesuatu yang berkenaan dengan pengembangan masyarakat pedesaan baik
menyangkut pendidikan, ekonomi kerakyatan, kesehatan dan lainnya, meskipun
mungkin masih jauh dari target ideal. Beberapa gagasan pemikiran yang selama
ini saya munculkan, selalu saya kemas dengan bahasa sederhana, sesuai dengan
target utama audiens. Itulah karenanya, gelar doktor yang diberikan kepada saya
saat ini, meskipun dipermukaan terlihat sebagai suatu penghormatan, pada
hakekatnya merupakan tambahan beban sekaligus amanat yang diberikan oleh
masyarakat akademik untuk dijaga sebaik-baiknya. Dengan gelar ini berarti saya
harus mempertahankan dan mengingatkan citra keilmuan di tengah masyarakat
akademik, sementara pada saat yang sama saya harus tinggal di “habitat”
masyarakat awam.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa titel doktor yang saya sandang akan
tersia-siakan manakala saya gagal memenuhi harapan masyarakat akademik maupun
masyarakat awam. Saya merasa apa yang telah saya lakukan masih terlalu kecil
untuk dianugerahi gelar doktor. Padahal untuk mendapatkan gelar doktor bukan
hal yang mudah. Kapasitas keilmuan seorang doktor bukan hanya ditentukan oleh
kesediaan masyarakat untuk menerima gagasannya, tetapi juga kontribusi keilmuan
yang bernilai akademis tinggi.
Selama ini, hampir 90 persen dari kehidupan saya, saya gunakan untuk
berkumpul dengan orang desa yang dalam banyak hal tidak mengerti tentang nilai
kesarjanaan formal akademik. Ini yang kemudian membuat saya lebih suka
memikirkan hal-hal yang sifatnya praktis, applicable (dapat diterapkan) dan
bahkan tekadang memilih jalan pragmatis selama masih ada dalam koridor
kebenaran agama. Pilihan ini didasarkan atas kenyataan yang menunjukkan betapa
masyarakat yang belum mampu menyentuh gagasan-gagasan sophisticated (njlimet)
dari para pakar. Lain dari itu, pesan Nabi saw. untuk menjadi orang yang paling
banyak memberikan manfaat kepada sesamanya turut memotifasi saya untuk lebih
concern terhadap hal-hal yang memang secara langsung dibutuhkan oleh kebanyakan
masyarakat. Inilah yang membuat saya menetapkan Fiqh sebagai pilihan untuk
dijadikan jembatan menuju pengembangan masyarakat.
Fiqh, dalam pengertian ilmu tentang hukum-hukum Syariat yang bersifat
praktis (amaliyah), telah menjadi warna dasar budaya muslim. Sejak awal
pertumbuhannya, Fiqh telah berkembang sedemikian cepat sehingga melampaui
cabang-cabang ilmu lainnya. Jika dalam tradisi Kristen Theologi terlihat begitu
dominan, maka dalam Islam Fiqhlah yang sangat dominan mewarnai pola kehidupan.
Inilah yang kemudian memunculkan citra bahwa kehidupan masyarakat Islam itu
sangat legalistik. Karenanya tidak salah jika kita ingin melihat perilaku
budaya masyarakat Islam, Fiqh adalah “jendela” yang tepat untuk digunakan.
Fiqh memang tumbuh dan berkembang begitu cepat serta memberikan pengaruh
yang sangat dominan dalam kehidupan umat Islam. Sebagaimana kita ketahui dalam
sejarah, pada fase Madinah, Islam lahir bukan hanya sebagai agama, tetapi juga
sebagai negara. Karena lahir sebagai negara, sudah barang tentu ia memerlukan
perangkat-perangkat sosial seperti politik dan hukum. Karena itulah kita
dapatkan hampir keseluruhan ayat ahkam turun paska Hijrah atau pada periode
Madinah.
Meskipun dalam banyak kasus ayat-ayat Al-Qur’an tidak menjelaskannya
secara detail, saat Nabi masih hidup, mayarakat Islam tidak banyak mendapatkan
kesulitan dalam menentukan status hukum yang terkait dengan masalah-masalah
praktis kehidupan. Sebagai penerima wahyu, sangat logis jika Nabi diyakini
sebagi orang yang perilaku serta ucapannya (sunnahnya) bersifat otoritatif.
Karena logika inilah, wajar jika sunnah Nabi dianggap sebagai penjelas (tabyin)
terahadap Al-Qur’an. Secara sederhana dapat diungkapkan Al-Qur’an turun, Nabi
berbuat sesuai dengan kehendak Al-Qur’an kemudian masyarakat menirukannya.
Namun, setelah Nabi wafat, “tafsir hidup” itu tidak ada lagi, sementara
permasalahan sosial terus berkembang. Dengan demikian, kebutuhan yang paling
mendesak adalah bagaimana permasalahan baru yang muncul dari daerah taklukan
baru mendapatkan legalitas keagamaan. Karena Islam lahir sebagai agama dan
negara, penyebaran Islam pada masa-masa Nabi pun masih diwarnai dengan watak
politik. Akibatnya, sangat wajar jika lebih banyak permasalahan sosial
keagamaan yang bersifat praktis muncul ke permukaan daripada permasalahan
sosial keagamaan yang bersifat theologis. Atas dasar alasan inilah mengapa
kebutuhan terhadap hukum terlihat begitu dominan.
Gambaran di atas merupakan penyederhanaan argumen mengapa Fiqh
berkembang begitu cepat. Namun sayang, pada akhirnya Fiqh berkembang menjadi
salah satu cabang ilmu ke-Islam-an yang formalistik. Dalam proses pengembangan
kerangka teoritiknya, Fiqh menjadi terpisah dari etika. Inilah yang kemudian
dikritik oleh Imam al-Ghazali bahwa Fiqh telah berkembang menjadi “Ilmu Dunia”.
Karena pandangan Fiqh yang sangat formalistik itulah dalam konteks
sosial yang ada, ajaran syari’at yang tertuang dalam Fiqh terkadang terlihat
tidak searah dengan bentuk kehidupan praktis sehari-hari. Zakat misalnya,
sebenarnya merupakan ajaran Islam yang semangatnya adalah menciptakan keadilan
sosial ekonomi. Namun dalam Fiqh, zakat sering dipahami sebagai ibadah formal
yang hanya menjelaskan kewajiban muzzaki untuk mengeluarkan zakat dalam nishab
tertentu.
Watak Fiqh yang formalistik memang sering mengundang orang untuk
melakukan manipulasi (hilah) terhadapnya. Al-Ghazali (Ihya vol. I:19)
menceritakan bahwa suatu ketika Abu Yusuf memberikan seluruh harta kekayaanya
kepada isterinya sendiri pada akhir khaul untuk maksud menggugurkan kewajiban
zakat. Ketika Abu Hanifah menerima cerita itu beliau berkomentar, “Itu adalah
pemahaman Fiqhnya, penglihatan Fiqh dunia akan membenarkan tindakan itu”. Namun
dia berkomentar lebih jauh, “Perbuatan itu akan mendatangkan petaka yang lebih
berat dari tindakan kriminal apapun di akhirat kelak”.
Pengembalian Fiqh agar tetap berjalan sesuai dengan prinsip etik dapat
dilakukan dengan cara mengintegrasikan maqasid al-Syari’ah ke dalam proses
pengembangan kerangka teoritik Fiqh. Dalah konteks ini, berarti hikmah hukum
harus diintegrasikan ke dalam ‘illat hukum sehingga diperoleh suatu produk
hukum yang bermuara pada kemaslahatan umum.
Dengan gambaran di atas, jelas upaya apa pun yang dilakukan untuk tujuan
pengembangan Fiqh menurut kita (para pengembang) memiliki wawasan tentang
dimensi etik dan formal legalistik Fiqh. Penempatan kedua dimensi ini harus
dilakukan secara proporsional agar pengembangan Fiqh benar-benar sejalan dengan
fungsinya, yakni sebagai pembimbing sekaligus pemberi solusi atas permasalahan
kehidupan praktis, baik bersifat individual maupun sosial. Dengan perkataan
lain, Fiqh harus dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara.
Inilah yang selama ini telah mendorong saya untuk mengembangkan Fiqh yang
bernuansa sosial, tidak hanya bicara halal-haram yang kental dengan nuansa
individual atau pun menghadirkan Fiqh sebagai hukum positif negara.
Sebagaimana rumusan yang dihasilkan dari halaqah P3M, Fiqh sosial
memiliki lima ciri pokok yang menonjol: Pertama, Interpretasi teks-teks Fiqh secara
kontekstual; Kedua, perubahan pola bermazhab dari bermazhab secara tekstual
(mazhab qauli) ke bermazhab secara metodologis (mazhab manhaji); Ketiga,
Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok dan mana (ushul) dan mana yang
cabang (furu’); Keempat, Fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum
positif negara; dan Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofi, terutama
dalam masalah budaya dan sosial.
Fiqh sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang
kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam. Pemecahan problem
sosial berarti merupakan upaya untuk memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang
konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum
(al-maslahah al-‘ammah). Kemaslahatan umum secara sederhana dapat dirumuskan
sebagai kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang
kesejahteraan lahiriyahnya. Kebutuhan itu bisa berdimensi dlaluriyah atau
kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan
agama, akal pikiran, jiwa, raga, nasab (keturunan) dan harta benda, maupun
kebutuhan hajiyah (sekunder) dan kebutuhan yang berdimensi takmiliyah atau
pelengkap (suplementer).
Untuk tujuan pengembangan Fiqh, para mujtahid masa lalu sebenarnya sudah
cukup menyediakan landasan kokoh sebagaimana tergambar dalam kaidah-kaidah
ushuliyah maupun fiqhiyah. Hingga kini, nampaknya belum ada suatu metodologi
(manhaj) memahami Syari’at yang sudah teruji (mujarrab) keberhasilannya dalam
mengatasi berbagai permasalahan sosial selain apa yang telah dirumuskan oleh
para ulama terdahulu. Bahkan Fiqh dalam pengertian kompendium yurisprudensi pun
banyak yang masih relevan untuk dijadikan rujukan dalam mengatasi berbagai
permasalahan aktual. Terdorong oleh keyakinan inilah, dalam upaya mengembangkan
Fiqh, penulis akan berangkat dari hasil rumusan para ulama terdahulu baik dalam
konteks metodologis (manhaji) maupun kumpulan hukum yang dihasilkan (qauli).
Secara qauli pengembangan Fiqh bisa diwujudkan dengan melakukan kontekstualisasi
kitab kuning atau dengan cara pengembangan contoh-contoh aplikasi kaidah-kaidah
Ushul al-Fiqh maupun Qawa’id al-Fiqhiyah. Sedangkan secara manhaji, bisa
dilakukan dengan cara pengembangan teori masalik al-‘illat agar Fiqh yang
dihasilkan sesuai dengan maslahat al-‘amanah. Atas dasar dua pola inilah, dalam
kesempatan yang berharga ini, penulis ingin mencoba meramaikan wacana akademik
dengan topik bahasan “Fiqh Sosial, Suatu Upaya Pengembangan Madzab Qauli dan
Manhaji”. Bagi para akademisi seperti di UIN Syarif Hidayatullah, Topik ini
mungkin klise, namun untuk dunia pondok pesantren “salafi” atau untuk
kebanyakan komunitas NU, topik tersebut masih relevan untuk dibahas.
Itulah yang dapat saya sampaikan dalam kesempatan baik ini. Saya
menyadari sepenuhnya, apa yang telah saya lakukan masih terlalu kecil untuk
sebuah imbalan Doctor Honoris Causa. Harapan saya, semoga Allah selalu memberi
kekuatan untuk dapat menjaga amanat dari masyarakat akademik ini.
Terakhir, saya ingin mengingatkan diri saya sendiri dan juga kita
sekalian bahwa rusaknya bangsa ini bukan karena kekurangan para doktor dan
orang-orang pintar, tetapi kekurangan orang jujur yang committed terhadap
kebenaran ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Untuk itu, marilah kita senantiasa
memohon kepada Allah SWT agar diberi kejelasan penglihatan bahwa yang benar itu
benar, dan diberi kemampuan serta kemauan untuk mengikutinya. Juga, diberi
kejelasan penglihatan bahwa yang salah itu salah, dan diberi kemampuan serta
kemauan untuk menjauhinya.
*Disampaikan oleh KH. M.A. Sahal Mahfudz Dalam Pidato Promovendus
Pengukuhan Gelar Doktor Honoris Causa Di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta
FIQH SOSIAL : Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Manhaji
Oleh : KH. Dr. M. A. Sahal Mahfudh
Pendahuluan
Bagian Pertama
Suatu pemikiran tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia muncul ke
permukaan sebagai refleksi dari setting social yang melingkupinya. Sedemikian
besar pengaruh kondisi sosial berpengaruh terhadap pemikiran seseorang, sehingga
wajar jika dikatakan bahwa pendapat atau pemikiran seseorang dan bahkan
kebijakan-kebijakan yang lahir dari suatu otoritas politik merupakan buah dari
zamannya.
Proposisi di atas mungkin benar jika kita menggunakannya untuk melihat
kasus perkembangan hukum positif yang memang lahir dari dan untuk masyarakat
atau lahir dari suatu otoritas politik untuk masyarakat. Namun dalam melihat
fiqh, percaya sepenuhnya akan kebenaran proposisi di atas akan membuat kita
terjebak dalam pola pemahaman yang menempatkan fiqh sejajar dengan ilmu-ilmu
sekular lainnya. Pada hal, fiqh baik pada masa-masa pembentukan maupun
pengembangannya tidak pernah bisa terlepas dari interfensi "samawi".
Inilah yang membuat fiqh berbeda dengan ilmu hukum umum. Fiqh menjadi suatu disiplin
yang unik, yang mampu memadukan unsur "samawi" dan kondisi aktual
"bumi", unsur lokalitas dan universalitas serta unsur wahyu dan akal
pikiran. Oleh karena itu, memahami sejarah
perkembangan fiqh dengan hanya mengandalkan paradigma ilmu-ilmu sosial tidak
akan sampai pada kesimpulan yang benar.
Namun demikian, melihat fiqh hanya sebagai sesuatu yang sakral juga
merupakan tindakan yang tidak bijaksana. Cara demikian merupakan bentuk
pengingkaran terhadap kenyataan sejarah. Kenyataan bahwa pada awal perkembangannya
terdapat fiqh Iraq dan fiqh Madinah, atau bahkan Qaul Qadim dan Qaul Jadid yang
lahir dari Imam al-Syafii, membuktikan bahwa faktor sosial budaya, disamping
faktor kapasitas keilmuan masing-masing mujtahid, memberikan pengaruh cukup
kuat terhadap perkembangan fiqh.
Dengan gambaran di atas, jelas bahwa upaya apapun yang dilakukan untuk
tujuan pengembangan fiqh menuntut kita (para pengembang) memiliki wawasan
tentang watak bidimensional --dimensi kesakralan dan keduniawian--fiqh.
Penglihatan serta penempatan kedua dimensi ini harus dilakukan secara
proporsional agar pengembangan fiqh benar benar sejalan dengan watak aslinya.
Fiqh tidak menjadi produk pemikiran "liar" yang terlepas dari
bimbingan wahyu dan pada saat yang bersamaan fiqh juga tidak menjadi produk
pemikiran yang kehilangan watak elastisitasnya. Dengan demikian faktor teologis
maupun etika harus menjadi dasar pertimbangan dan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam mengembangkan fiqh, disamping sudah barang tentu faktor
perubahan masyarakat.itu sendiri.
Pembacaan terhadap realitas sosial akan menghantarkan pada satu
kesimpulan bahwa pengembangan fiqh merupakan suatu keniscayaan. Teks al-Qur'an
maupun Haditsh sudah berhenti, sementara masyarakat terus berrubah dan
berkembang dengan berbagai permasalahannya. Banyak permasalahan sosial budaya,
politik, ekonomi dan lainnya yang muncul belakangan perlu segera mendapatkan
legalitas fiqh. Sebagai bentuk paling praktis dari Syari at, wajar jika fiqh
dianggap yang paling bertangung jawab untuk memberikan solusi agar perubahan
dan perkembangan masyarakat tetap berada dalam bimbingan atau koridor Syari at.
Untuk tujuan pengembangan fiqh, para mujtahid masa lalu sebenarnya sudah
cukup menyediakan landasan kokoh sebagaimana tergambarkan dalam kaidah-kaidah
ushuliyah maupun fighiyah. Hingga kini, nampaknya belum ada suatu metodologi
(manhaj) memaham Syari'at yang sudah teruji (mujarrab) keberhasilannya dalam
mengatas berbagai permasalahan sosial selain apa yang telah dirumuskan oleh
para ulama terdahulu. Bahkan fiqh dalam pengertian kompendiun yurisprudensi pun
banyak yang masih relevan untuk dijadikan rujukan dalam mengatasi berbagai
permasalahan aktual. Terdorong oleh keyakinan inilah, dalam upaya mengembangkan
fiqh, penulis akan berangkat dari hasil rumusan para ulama terdahulu baik dalam
kontek metodologis (manhaji) maupun kumpulan hukum yang dihasilkan (qauli)
Secara qauli pengembangan fiqh bisa diwujudkan dengan melakukan
kontekstualisasi kitab kuning atau melalui pengembangan contoh-contol aplikasi
kaidah-kaidah Ushul al-Filth maupun Qawa'id al-Fiqhiyah Sedangkan secara
manhaji pengembangan fiqh bisa dilakukan dengar cara pengembangan teori masalik
al-'illat agar fiqh yang dihasilkan sesua dengan maslahat al-'amah. Atas dasar
dua pola inilah, dalam kesempatan yang berharga ini, penulis ingin mencoba
meramaikan wacana akademil dengan topik bahasan "Fiqh Sosial, Suatu Upaya
Pengembangan Madzhal Qauli dan Manhaji". Bagi para akademisi seperti di
UIN Syarif: Hidayatullah, topik ini mungkin cliche, namun untuk dunia pondok
pesantren "salafi" atau untuk kebanyakan komunitas NU topik tersebu
masih relevan untuk dibahas.
Argumen Pengembangan Fiqh
Islam merumuskan bahwa kehidupan adalah amanat yang harus digunakan
untuk pencapaian sa'adah al-darain (kesejahteraan dunia dan akhirat). Pemenuhan
kebutuhan spiritulitas jelas menjadi tujuan utama karena kebahagiaan akhirat
yang bersifat permanen dapat diwujudkar hanya bila manusia mampu memenuhi
kebutuhan spiritualnya. Tapi bersamaan dengan itu, manusia dihadapkan pada
kenyataan bahwa ia harus tunduk pada hukum-hukum yang mengikat kehidupan
dunianya pada saat ini. Maka kehidupan dunia yang sepenuhnya bersifat temporer
dan maya berhubungan secara integratif dan kausatif dengan kebahagiaan ukhrawi
yang kekal dan hakiki. Meskipun selintas tampak kontradiktif, sebetulnya tidak
ada yang aneh dalam hal ini, karena akhirat hanya menyediakan satu-satunya
jalan bagi pencapaiaannya, yaitu kehidupan dunia.
Sehubungan dengan itu, kita mendapati fiqh (penuntun kehidupan paling
praktis dalam Islam) membicarakan empat aspek pokok kehidupan manusia. satu
diantaranya adalah masalah ubudiyah yaitu mengurus langsung hubungan
transendental manusia dengan Penciptanya, sedangkan tiga yang lain mengurus
aspek kehidupan yang mempunyai korelasi langsung dengan pengelolaan kehidupan
material dan sosial yang bersifat duniawi, yaitu mu'amalah (hubungan
profesional dan perdata), munakahat (pernikahan) dan jinayah (pidana).
Jika pada saat ini tujuan ideal itu belum tercapai, dapat dipastikan
telah terjadi ketimpangan dalam praktek. Itu berarti masyarakat telah
meninggalkan fiqh secara keseluruhan atau tidak memahami keutuhannya. Bisa jadi
pula keduanya berjalan bersamaan, tergantung pada latar belakang pendidikan dan
lingkungan masyarakatnya. Apapun yang sedang terjadi, itu merupakan akibat dari
ketidakpahaman masyarakat terhadap fiqh. Faktor utama lahirnya kondisi ini,
secara jujur harus diakui terjadi akibat ketidakmampuan masyarakat agamis dalam
mengkomunikasikan kondisi ideal yang diharapkan yang tentunya dapat diwujudkan
melalui fiqh. Karena itu menjadi tanggung jawab kelompok ini pulalah
pengembangan masyarakat ke pangkuan fiqh.
Masalahnya, dapatkah hal itu dilakukan, mengingat telah demikian
mengakarnya pola fikir dan perilaku non fiqhy dalam masyarakat? Tentu
berlebihan bila menanggapi keraguan ini dengan optimisme mutlak, suatu hal yang
sama naifnya dengan memberikan jawaban yang sepenuhnya negatif, karena usaha
pengembalian masyarakat kepada Fiqh atau sebaliknya berdasar pada kondisi
sebagaimana yang ada saat ini memerlukan proses yang akan sangat panjang dan
melelahkan.
Yang pertama kali dan sangat mendesak dilakukan dalam kerangka itu
adalah merubah wawasan masyarakat tentang fiqh secara utuh dan menyeluruh,
bukan saja terhadap masyarakat awam, tetapi terhadap kelompok yang merasa telah
mampu memahami Fiqh secara benar. Kekurangan kelompok terakhir adalah
memposisikan fiqh sekedar sebagai kodifikasi atau kompilasi hukum Islam. Dalam
pandangan kelompok ini, fiqh adalah kompilasi hukum yang sepenuhnya baku,
karena itu terjatuh pada asumsi bahwa fiqh sama kuat dan sakralnya dengan
Al-Qur'an atau al-Hadis. Suatu pandangan yang bukan saja tidak proporsional
bagi fiqh itu sendiri, tetapi bahkan menurunkan deraj kalam Allah dan sunnah
Rasul sebagai sumber hukum yang sepenuhnya universal.
Terlepas dari jarak pemahaman antara kelompok ini dengan masyarakat
awam, dimana mereka memandang bahwa fiqh sekedar sebagai tatanan normatif, pada
keduanya terdapat filosofi pemahaman yang sama potensialnya dalam proses
alienasi fiqh dari masyarakat luar yaitu bahwa fiqh adalah sesuatu yang
tekstual, statis dan karena it tidak mungkin mengikuti perkembangan zaman.
Padahal, dengan memahami definisinya sebaga al-ilmu bi al-ahkam al-syar'iyyah
al-amaliyya al-muktasab min adillatiha al tafshiliyyah' (mengetahui hukum
syari'a amaliah yang digali dari petunjuk-petunjuk yang tidak bersifat global
)dapat ditarik kesimpulan bahwa fiqh memiliki peluang yang sangat luas untuk
berjalan seiring dengan perkembangan zaman.
Definisi fiqh sebagai sesuatu yang digali (al-muktasab) menumbuhkan
pemahaman bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses sebelum akhirnya
dinyatakan sebagai hukum praktis. Proses yang umun kita kenal sebagai ijtihad
ini bukan saja memungkinkan adanya perubahan, tetapi juga pengembangan tak
terhingga atas berbagai aspek kehidupan yang selamanya mengalami perkembangan.
Contoh paling faktual keabsahan perbedaan hasil ijtihad al-aimmah al-arba'ah
(Hanafi Maliki, Syafi i dan Hambali). Keempatnya dalam perbedaan yang sangat
mendasar sekalipun, tetap menghormati pendapat yang lain, tanpa kemutlakan
wewenang untuk menganggap ijtihad yang lain sebagai sesuatu yang membuahkan
hasil yang keliru.
Imam Syafi'i adalah contoh yang menarik, selain karena kedudukannya sebagai
murid langsung Imam Malik (dalam pola pikir konservatif, perbedaan pendapat
diantara keduanya tak terbayangkan) juga karena beliau merilis pendapat baru
terhadap beberapa masalah yang sebelumnya pernah beliau ijtihadkan, seperti
terdapat qaul qadim dan qaul jadid. Imam Syafii juga merintis metode riset
(istigra') untul melahirkan hukum fiqh, sebagaimana disebutkan berbagai kitab
fiqh dalam pembahasan tentang menstruasi (haidl).
Berbagai hal tersebut --meskipun bersifat spesifik Imam Syafi'i
setidaknya dapat membuka pemikiran yang ketiadaannya selama in menyebabkan
masyarakat terjauhkan dari fiqh, yaitu fiqh adalah sesuatu yang realistis dan
dinamis, sesuai dengan karakter proses ijtihadnya. Wawasan ideal ini, pada
waktunya akan mampu mengoptimalkan, memaksimalkan dan mengaktualkan potensi
fiqh sebagai tata nilai, perilaku dan kehidupan sosial yang terns berkembang.
Dengan demikian dapat diharapkan fiqh akan mewarnai berbagai dimensi kehidupan
masyarakat luas.
Tanpa itu, besar kemungkinan fiqh hanya akan menjadi referensi dalam
aspek ubudiyyah an-sich atau tertinggal hanya sebagai jejak sejarah. Karena
sementara fiqh berjalan di masa lalu, masyarakat secara dinamis mau atau tidak,
akan terseret arus perubahan. Meskipun tampaknya tidak terlalu parah, merujuk
fiqh hanya pada salah satu aspek, pada hakikatnya merupakan cerminan
ketidakmampuan mempercayai fiqh secara keseluruhan. Sebab bila salah satu
aspeknya diragukan, bukankah aspek lainnya juga layak dipertanyakan ?
Peruabahan sosial sejalan dengan perkembangan alih teknologi dan sistem
ekonomi serta kemajuan aspek-aspek kehidupan lainnya menuntut suatu panduan
rohaniah yang memiliki relevansi erat dan melekat dengan masalah-masalah nyata
yang akan terus menerus muncul, seiring dengan keniscayaan perkembangan sistem
nilai dan budaya. Apabila fiqh gagal melayani kebutuhan pokok ini dengan
pendekatan kontekstual yang dinamis dapat dipastikan bahwa umat manusia akan
semakin terjauhkan dan nilai-nilai transendental yang pada gilirannya akan
memunculkan watak dan sikap sekuler. Padahal, seperti telah banyak dicontohkan
pada masyarakat yang lebih dahulu mengalaminya, tiada kesejahteraan hakiki yang
dapat diraih dalam watak dan sikap semacam itu.
Dalam konteks ini retorika yang mempertanyakan kelayakan pelayanan
"masyarakat fiqh" kepada masyarakat awam - kondisi yang harus
mengikuti fiqh, atau sebaliknya - menjadi kehilangan relevansinya, selain
karena ia sendiri tidak sepenuhnya bersifat baku, kecuali dalam beberapa hal
tertentu. Fiqh dalam misinya sebagai tuntutan kehidupan, harus mampu mengikat
masyarakat dalam segala aspeknya, supaya tercapai penggunaan Islam secara total
(kaffah) sebagai panduan kehidupan, seperti yang diserukan surat Al-Baqarah
ayat 208.
Bersambung
Fiqh Sosial : Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Manhaji (lanjutan 1)
Paradigma Fiqh Sosial
Bagian kedua
Syari'at Islam merupakan pengejawantahan dari Aqidah Islamiyah. Aqidah
mengajarkan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan termasuk kesejahteraan bagi
setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur secara rinci cara berikhtiar
mengelolanya. Pada prinsipnya tujuan syari'at Islam yang dijabarkan secara
rinci oleh para ulama dalam ajaran fiqh ialah penataan hal ihwal manusia dalam
kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan
bernegara.
Syari'at Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang dalam
fiqh menjadi komponen ibadah, baik sosial maupur individual, muqayyadah
(terikat oleh syarat dan rukun) maupun muthlaqah (teknik operasionalnya tidak
terikat oleh syarat dan rukun tertentu). Ia juga mengatur hubungan antara
sesama manusia dalam bentul mu'asyarah (pergaulan) maupun mu'amalah (hubungan
transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Disamping itu ia juga mengatur
hubungar dan tata cara keluarga, yang dirumuskan dalam komponen munakahat.
Untuk menata pergaulan yang menjamin ketenteraman dan keadilan, ia juga punya
aturan yang dijabarkan dalam komponen jinayah, jihad dar qadla.
Beberapa komponen fiqh di atas merupakan teknis operasional dari lima
tujuan syari'at (maqasid al-syari'ah), yaitu memelihara dalam arti luas-agama,
akal, jiwa, nasab (keturunan) dan harta benda. Komponen-komponen itu secara
bulat dan terpadu menata bidang-bidang pokok dari kehidupan manusia dalam
rangka berikhtiar melaksanakan taklif untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan
ukhrawi (sa'adatud darain), sebagai tujuan hidupnya.
Unsur-unsur kesejahteraan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi bersifat
saling mempengaruhi. Apabila hal itu dikaitkan dengan syari'at Islam yang
dijabarkan dalam fiqh dengan bertitik tolak dari lima prinsip dalam maqasid
al-syari'ah, maka akan jelas, syari'at Islam mempunya i sasaran yang mendasar
yakni kesejahteraan lahir batin bagi setiap manusia, Berarti bahwa manusia
merupakan sasaran sekaligus menempati posisi kunci dalam keberhasilan mencapai
kesejahteraan yang dimaksud.
Apa yang dijelaskan di atas merupakan kerangka paradigmatik di atas mana
fiqh sosial seharusnya dikembangkan. Dengan kata lain, fiqh sosial bertolak
dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai
perhatian utama syari'at Islam. Pemecahan problem sosial berarti merupakan
upaya untuk memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban
mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum (al-mashalih al-'ammah). Dalam
hal ini, kemaslahatan umum --kurang lebih adalah kebutuhan nyata masyarakat
dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriahnya. Baik
kebutuhan itu berdimensi dlaruriyah atau kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi
sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal pikiran, jiwa, raga, nasab
(keturunan) dan harta benda, maupun kebutuhan hajiah (sekunder) dan kebutuhan
yang berdimensi takmiliyah atau pelengkap (suplementer).
Klasifikasi kebutuhan dasar manusia di atas memang berbeda dengan apa
yang dirumuskan dalam ilmu ekonomi "sekular" yang memandang kebutuhan
primer manusia semata-mata dilihat dari sudut kebutuhan biologis, sehinga
kebutuhan terhadap agama tidak termasuk kebutuhan primer. Masuknya unsur agama
menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia mencerminkan bahwa dari mulai
perumusan paradigmatik, fiqh harus menerima paket ilahiyah. Agama sebagai suatu
kebutuhan harus diterima secara apa adanya. Dalam konteks ini fiqh memang
bersifat paternalistik, seolah-olah memandang manusia belum dewasa sepenuhnya
sehingga hares dipaksakan untuk menerima agama sebagai kebutuhan, terlepas dari
apakah manusia itu benar-benar merasa butuh atau tidak.
Secara singkat dapat dirumuskan, paradigma fiqh sosial di dasarkan atas
keyakinan bahwa fiqh harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga
jenis kebutuhan manusia yaitu kebutuhan dlaruriyah (primer), kebutuhan hajjiyah
(sekunder) dan kebutuhan tahsiniyah (tersier). Fiqh sosial bukan sekedar
sebagai alat untuk melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam putih
sebagaimana cara pandang fiqh yang lazim kita temukan, tetapi fiqh sosial juga
menjadikan fiqh sebagai paradigma pemaknaan sosial.
Seperti hasil yang telah dirumuskan dari serangkaian halaqah NU bekerja
sama dengan RMI (Rabith Ma'had Islamiyah) dan P3M, fiqh sosial memiliki lima
ciri pokok yang menonjol : Perama, Interpretasi teks-teks fiqh secara
kontekstual; Kedua, Perubahah pola bermadzhab dari bermadzhab secara tekstual
(madzhab qauli) ke bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji); Ketiga,
Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang
(furu'); Keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif
negara dan Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam
masalah budaya dan sosial.
Jika dicermati lebih jauh, kelima ciri di atas memang didasarkan atas
keyakinan bahwa rumusan produk hukum yang tertuang dalam berbagai kitab fiqh
banyak yang dapat diterapkan (applicable) untuk memecahkan masalah-masalah sosial
kontemporer. Pengembangan fiqh sosial tidak serta merta menghilangkan peran
khazanah klasik. Dengan dasar keyakinan ini, kreatifitas dalam pengembangan
fiqh sosial diharapkan tidak tercerabut dari akar tradisi orthodoxy.
Persoalannya sekarang bagaimanakah khazanah klasik itu disikapi. Untuk tujuan
ini maka prinsip "Almuhafadhatu 'alal qodim al salih waal akhdzu bil jadid
alaslah" akan selalau menjadi panduan.
Kontekstualisasi Fiqh dalam Kitab Kuning
Ketertarikan untuk mengkaji kitab kuning tentu saja bukan karena
warnanya yang kuning, akan tetapi karena kitab itu memiliki ciri-ciri yang
melekat yang untuk memahaminya memerlukan keterampilan tertentu dan tidak cukup
hanya dengan menguasai bahasa Arab saja. Sehingga banyak ditemukan orang yang
pandai berbahasa Arab namun masih kesulitan menjelaskan kandungan kitab kuning
secara persis. Sebaliknya tidak sedikit ulama yang menguasai kitab kuning
tetapi tidak bisa berbahasa Arab.
Sebenarnya kesulitan memahami kitab kuning yang keseluruhan isinya
ditulis dengan bahasa Arab bisa saja dijembatani dengan penterjemahan. Akan
tetapi masih banyak kalangan umat Islam di Indonesia merasa keberatan dengan
solusi praktis tersebut. Selain mahalnya biaya teknis penterjemahan, bahasa
Arab adalah bahasa kebudayaan dan keilmuan Islam. Dimana pun, kebudayaan dan
keilmuan tidak pernah dapat dialih-bahasakan secara utuh. Maka munculah metode
utawi iki iku yang ternyata sangat
efesien dan efektif untuk penguasaan semantik maupun gramatika bahasa Arab.
Penulis mengakui bahwa metode ini pada satu sisi memang telah berhasil
dalam mengantarai dan menyelesaikan kesenjangan (gap) bahasa. Sebagaimana kita
maklumi, bahasa Aarab yang digunakan dalam kitab kuning, kebanyakan tidak
menggunakan tanda baca seperti titik, koma, tanda tanya dan tanda baca lainnya.
Subyek dan predikat sering dipisahkan dengan jumlah mu'taridlah yang cukup
panjang dengan tanda tanda tertentu. Keadaan ini sudah tentu memerlukan
kecermatan dan keterampilan khusus agar pembaca mampu memahami makna yang
terkandung di dalamnya.
Akan tetapi pada sisi lain metoda utawi iki iku cenderung memancing para
santri (pelajar) untuk memfokuskan diri pada aspek redaksional yang berujung
pada terbentuknya pola pikir tekstual dalam memahami kitab kuning. Para santri
yang belajar dengan metoda ini cenderung menarik problem nyata disekitarnya
untuk disikapi sesuai dengan teks kitab kuning. Pada hal, kesenjangan waktu
antara penulisan kitab kuning dengan saat ini, sulit untuk bisa diharapkan
bahwa setiap kasus dapat ditemukan rumusan persisnya dalam kitab kuning.
Seringnya kegagalan merujukkan masalah dengan kitab kuning membuat pesantren
memiliki tradisi aneh dalam menjawab permasalahan, yaitu dengan memberikan
hukum mauquf. Secara jujur harus diakui bahwa tradisi ini mencerminkan
ketidakmampuan mengambil keputusan final.
Seiring dengan perkembangan zaman, bukan mustahil kalau nanti akan
terdapat banyak kasus hukum yang tidak bisa diselesaikan jika pemahaman
terhadap kitab kuning masih tetap dalam pola-pola tekstual. Jika pola ini tidak
segera diimbangi dengan pola-pola pemahaman kontekstual, maka bukan mustahil
jika kitab kuning akan menjadi harta pusaka yang hanya bisa dimiliki tetapi
tidak banyak memberikan manfaat bagi solusi permasalahan aktual. Akibat yang
lebih tragis lagi adalah pemahaman tekstual ini bisa menyeret kaum muslimin
memperlakukan fiqh sebagai dogma yang tidak bisa diganggu gugat. Tidak jarang,
fiqh - dalam hal ini kitab kuning - dianggap sebagai kitab suci kedua setelah
al-Qur'an. Karena itu, penulis menyambut baik gagasan teman-teman yang
tergabung dalam Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan
Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) untuk memberi input kepada masyarakat Muslim,
khususnya masyarakat pesantren, agar memahami kitab kuning secara kontekstual
dan mengurangi interpretasi tekstual yang selama ini cenderung berlebihan.
Gagasan tersebut tidak terlalu berlebihan, mengingat bahwa pemahaman
kontekstual bukan berarti meninggalkan dan menanggalkan fiqh secara mutlak.
Justru dengan pemahaman tersebut, segala aspek perilaku kehidupan akan dapat
terjiwai oleh fiqh secara konseptual dan tidak menyimpang dari rel fiqh itu
sendiri. Atau minimal, kitab kuning akan digemari tidak saja oleh para santri
yang belakangan ini mulai enggan menguaknya, akan tetapi oleh siapa saja yang
berniat mengkaji referensi pemikiran Islam.
Dalam beberapa kesempatan, penulis sering melontarkan kritik kepada para
santri agar mereka terbangun dari sikap apologis yang sangat berdampak pada
stagnasi ilmiyah. Pesantren seharusnya memahami bahwa kitab kuning, dibalik
segala nilai historisnya, telah terkikis oleh perkembangan zaman. Namun dengan
statemen ini bukan berarti konsistensi terhadap kitab kuning merupakan
kesalahan ilmiyah yang mendasar. Meninggalkan kitab kuning akan mengakibatkan
terputusnya mata rantai sejarah dan budaya ilmiyah yang telah dibangun
berabad-abad. Kitab kuning, meskipun mungkin tidak mampu mengakomodasi
kompleksitas permasalahan saat ini -jika tuduhan ini benar- ia tetap merupakan
warisan sejarah dari bangunan besar tradisi keilmuan Islam yang harus dipetik
manfaatnya. Menutup kitab kuning bererti menutup jalur yang menghubungkan
tradisi keilmuan sekarang dengan tradisi keilmuan milik kita pada masa lalu.
Penciptaan tradisi keilmuan baru bagaimanapun membutuhkan jalan yang sangat
panjang, dan tidak seorang pakkar pun mampu memberikan jaminan bahwa tradisi
baru itu akan sama efesiennya dengan tradisi keilmuan yang dibangun melalui
kitab kuning.
Dengan pernyataan di atas, persoalan mendasar berkenaan dengan kitab
kuning itu terletak pada pensikapan kita dalam memposisikannya. Kitab kuning
sering difungsikan sebagai kompendium yurisprudensi yang sangat legalistik.
Dalam fungsi ini, kitab kuning sering dianggap sebagai hukum positif yang dapat
"menghakimi" segala permasalahan. secara rinci dengan latar belakang
pertimbangan, argumen, dan keputusan yang sepenuhnya telah dibakukan. Dengan
kata lain, kitab kuning telah "disejajarkan" dengan al-Qur'an dan
al-Hadits.
Sebagaimana dikatakan di atas, menjadikan kitab kuning sebagai referensi
untuk memecahkan permasalahan aktual bukan merupakan kesalahan ilmiyah. Namun
demikian ia harus disikapi sebagai suatu garis mendatar hingga dapat memberikan
konsep-konsep pendekatan yang memperhatikan akar dan implikasi masalah yang
timbul dalam masyarakat, karena sesunggguhnya setiap masalah tidak pernah
muncul secara mandiri. Setiap masalah selalu memiliki konteksnya sendiri, yang
biasanya justeru jauh lebih kompleks ketimbang masalah itu sendiri.
Ini bukan berarti metode pendidikan kitab kuning harus ditinggalkan.
Yang dibutuhkan adalah kemauan untuk membuka diri terhadap berbagai disiplin
ilmu (eksak maupun sosial) di luar apa yang selama ini dianggap sebagai
"ilmu agama". Hal ini perlu dilakukan agar pemahaman terhadap kitab
kuning benar-benar sesuai dengan konteksnya, baik konteks masa lalu saat kitab
kuning itu di tulis maupun konteks permasalahan sekarang. Pengintegrasian
'kitab kuning'dengan berbagai referensi dan ilmu-ilmu lainnya, jika dilakukan
dengan serius dan tepat, justeru akan menciptakan suatu sinergi ilmiyah yang
akan berguna untuk memecahkan permasalahan sosial kontemporer tetapi tetap
tidak keluar dari akar sejarah tradisi Islam masa lalu.
Ilustrasi berikut ini mungkin dapat dijadikan contoh bahwa pemahaman
kitab kuning dengan panduan ilmu gizi akan sangat bermakna dalam meningkatkan
kesehatan masyarakat. Dalam berbagai kitab fiqh klasik banyak dijumpai
pernyataan yang menjelaskan bahwa manusia dalam hidupnya memerlukan makanan
pokok yang disebut dengan istilah al-qut almughdzi. Al-mughdzi adalah makanan
yang mengandung gizi. Bahkan mungkin sekalai kata "gizi" itu sendiri
berasal dari kata "ghidza". Dengan bantuan ilmu tentang kesehatan
atau lebih khusus lagi ilmu gizi, istilah di atas akan lebih dapat dipahami secara
tepat dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah kesehatan. Selain melalui
kontekstualisasi kitab kuning pengembangan secara qauli bisa dilakukan dengan
cara memperluas penggunaan kaidah-kaidah fiqhiyah maupun kaidah Ushuliyah untuk
digunakan bukan hanya pada persoalan fiqh invidual yang menyangkut halal haram,
tetapi juga untuk memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut kebijakan
publik, baik baik menmyangkut kebijakan dalam politik, ekonomi kesehatan dan
lain lain. Misalnya, Imam ai-Suyuthi dalam kitab al-Asybah wan Nadha'ir
menyebutkan qaidah fiqhiyah al-daf u aula min al- rof i. Dalam Kitab Alashbah
wa al-Nadlm'ir, al-Suyuthi memberikan contoh aplikasi kaidah ini berkaitan
dengan penggunaan air musta'mal. Kaidah ini sebenarnya bisa juga diterapkan pada
aspek kesehatan. Melalui kaidah ini dapat difahami bahwa menolak penyakit
dengan daya kebal dan daya tangkal yang kuat itu lebih utama, lebih ampuh dan
lebih mudah daripada menyembuhkan penyakit yang sudah terlanjur menempel pada
badan manusia. Dalam konteks kesehatan ibu dan anak misalnya, imunisasi dan
pemberian asi serta makanan bergizi harus mendapatkan perhatian utama dalam
upaya menciptakan generasi yang sehat. Dengan demikian, melalui pemahaman
kaidah di atas, perintah untuk membangun generasi yang sehat merupakan perintah
agama.
Contoh lain, misalnya kaidah idza ta'aradla mafsadatani ru'iya
a'dzhomuhuma dlararan bi irtikabi akhaffihima. Dalam konteks Fiqh Sosial,
kaidah ini bisa diaplikasikan untuk, misalnya, melihat fenomena lokalisasi
Wanita Pekerja Seks. Prostitusi jelas merupakan sesuatu yang dilarang agama.
Akan tetapi, sebagai persoalan sosial yang sangat kompleks, prostitusi bukanlah
persoalan yang mudah untuk dihilangkan. Dalam kondisi semacam itu kita
dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama mafsadat, yaitu membiarkan
prostitusi tidak terkontrol di tengah masyarakat atau melokalisir sehingga
prostitusi bisa terkontrol. Pilihan terhadap kebijakan lokalisasi prostitusi
merupakan pilihan yang didasarkan atas prinsip memilih perbuatan yang dampak
buruknya lebih ringan. Dengan demikian, tinjauan Fiqh Sosial membenarkan
tindakan lokalisasi terhadap para Wanita Pekerja Seks Komersial.
Bersambung
Fiqh Sosial : Upaya Pengembangan Madzhab Qauli dan Manhaji (Tamat)
Pengembangan Fiqh Manhaji
Dalam fiqh, hampir tidak terdapat suatu hukum pun yang berlaku permanen
kecuali bila ia digali dari dalil-dalil yang disepakati. Padahal, dalil-dalil
semacam ini yang diistilahkan sebagai gath'iy jumlahnya sangat terbatas, karena
al-Qur' an dan al-Hadits, yang merupakan sumber baku, tidak akan pernah lagi
mengalami penambahan kuantitas atau kualitas.
Setelah Rasulullah wafat. Sementara itu, al-Qur'an sendiri tidak
seluruhnya merupakan petunjuk hukum, karena ia juga memuat hal hal lain,
seperti "sejarah" dan nasehat moral. Sedangkan Al-Hadits, dalam
kedudukannya sebagai "penerjemah tingkat pertama" Al-Qur'an, tentunya
juga tidak memuat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak terdapat pada zamannya.
Karena itu, perkembangan masalah yang melingkupi kehidupan manusia setelah
periode Rasulullah ditentukan hukumnya berdasarkan kedua sumber hukum itu,
dengan mengacu pada rumusan magashid al-syari'ah (tujuan-tujuan syari ah).
Magashid al-syari'ah itu, sebagaimana dipahami dari syari'ah yang telah
ditetapkan pada periode Rasulullah, terdiri dari lima bagian. Pertama,
mehndungi agama (hifdh al-din). Kedua, melindungi jiwa (hifdh al-nafs), yang
diketahui dari kehalalan makan dan minum, serta diberlakukannya hukum diyat dan
qishas untuk tindak pidana penyerangan dan pembunuhan. Ketiga, melindungi
kelangsungan keturunan (hifdh al-nasl), seperti dianjurkannya pernikahan dan
ditetapkan hukum pemeliharaan anak (hadlanah), serta larangan keras perbuatan
zina berikut penerapan sanksi (had) atas pelanggarannya. Keempat, melindungi akal-pikiran
(hifdh al-'aql), seperti anjuran untuk mengkonsumsi makanan yang sehat, dan
larangan berikut ancaman hukuman bagi penggunaan muskirat (barang-barang yang
memabukkan). Kelima, menjaga harta benda (hifdh al-mal), seperti kewenangan
untuk melakukan mu'amalah, dan larangan melakukan pencurian.
Rumusan lima maqashid ini memberikan pemahaman bahwa Islam tidak
mengkhususkan perannya hanya dalam aspek penyembahan Allah dalam arti terbatas
pada serangkaian perintah dan larangan atau halal dan haram yang tidak dapat
secara langsung dipahami manfaatnya. Keseimbangan kepedulian dapat dirasakan
bila kita memandang hifdh al-din sebagai unsur magashid yang bersifat kewajiban
bagi umat manusia, sementara empat lainnya kita terima sebagai wujud
perlindungan hak yang selayaknya diterima setiap manusia. Dalam kerangka
pandang ide, maka aspek kehidupan apapun yang melingkupi kehidupan manusia,
kecuali yang bersifat 'ubudliyah murni, harus disikapi dengan meletakkan
kemaslahatan sebagai bahan pertimbangan, karena hanya dengan menjaga stabilitas
kemaslahatan inilah tugas-tugas peribadatan dapat dilaksanakan dengan baik,
meskipun tidak berarti bahwa tanpa hal kemaslahatan beribadah dengan sendirinya
menjadi gugur. Bila pola pandang tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka
risalal Rasulullah sudah sepantasnya kita klaim sebagai rahmatan li al-'alamir
dan kaaffatan li al-nas.
Klaim, kita yang menyebut Islam baik sebagai rahmatan li al-'alamin
maupun kaaffatan li al-nas, sebetulnya adalah kebanggaan yang melahirkan beban
berat, sebab kedua kalimat itu akan memberi pengertian bahwa Islam adalah
ajaran yang bersifat universal. Di sinilah beban itu muncul, sebab dengan
begitu ia harus mampu beradaptasi dengan seluruh umat manusia yang sangat
beragam, baik karena perbedaan geografis maupun tingkat kebudayaannya.
Sebagai jembatan penghubung kesenjangan waktu antara kejadian sekarang
dengan turunnya wahyu, lembaga ijtihad bukan hanya boleh difungsikan, tetapi
merupakan suatu kebutuhan. Bagi umat Islam, ijtihad adalah suatu kebutuhan
dasar, bukan saja ketika Nabi sudah tiada, tetapi bahkan ketika Nabi masih
hidup. Haditis riwayat Mu'adz Ibn Jabbal adalah buktinya. Nabi tidak saja
mengizinkan, tetapi menyambut dengan gembira campur haru mendengar tekad Mu'adz
untuk berijtihad, dalam hal-hal yang tidak diperoleh ketentuannya secara jelas
dalam Al-Qur'an maupun Hadits. Apabila di masa Nabi saja ijtihad bisa
dilakukan, maka sepeninggal beliau, tentu jauh lebih mungkin dan diperlukan. Di
kalangan umat Islam manapun, tidak pernah ada perintah yang sungguh-sungguh
menyatakan ijtihad haram dan harus dihindari. Dalam kitab al-Radd ala man afsad
fi al-ard, As-Suyuti dengan tandas berkesimpulan, pada setiap periode ('asr)
harus ada seorang atau beberapa orang yang mampu berperan sebagai mujtahid.
Harap diingat, bahwa yang diakatakan As-Suyuti, adalah orang yang mampu
menjalankan peran sebagai mujtahid. Artinya, yang dituntut oleh As-Suyuti, juga
umat Islam secara keseluruhan, adalah orang yang bukan saja punya nyali untuk
memainkan fungsi itu, tapi nyali yang secara obyektif didukung oleh kapasitas
dan kualifikasi yang memadai. Pemahaman Syari ah secara kontekstual (muqtadlo
al-hal) merupakan salah satu dari serangkaian kegiatan ijtihad. Sedangkan
kontekstualisasi ini memerlukan kemampuan membaca perkembangan sosial.
Kemampuan demikian memang tidak ditegaskan dalam syarat-syarat formal seorang
mujtahid. Tetapi semua mujtahid adalah orang-orang yang seharusnya peduli
dengan kemaslahatan (kepentingan masyarakat). Berbicara maslahat berarti berbicara
hal-hal yang kontekstual.
Madzhab Syafi i merupkan madzhab yang kurang mempopulerkan dalil
maslahat dalam hal yang tidak diperoleh penegasan oleh nash, tetapi metode
qiaslah (analogi) yang selalu ditekankan. Oleh sebab itu ia lebih suka
berbicara tentang apa yang disebut dengan illat (alasan hukum). Menurut dia
maslahat sudah tersimpul di dalam illat. Tetapi hukum yang ditelorkan melalu
Qiyas tidak boleh tergantung pada maslahat yang tidak tegas rumusan maupun
ukurannya. Sebagai contoh, di dalam berbicara tentang qasr (meringkas jumlah
raka'at salah diperjalanan). Madzhab Syafi'i menolak meletakkan masyaqat
(kesulitan yang sering terjadi diperjalanan) sebagai Mat bagi diperbolehkannya
qasr. Mat mengqasr adalah bepergian itu sendiri yang lebih jelas ukurannya.
Sedangkan hilangnya masyaqat diletakkan sebagai hikmah (keuntungan) yang tidak
mempengaruhi ketentuan diperbolehkannya Qasar.
Masyaqqat bagaimanapun amat relatif sifatnya, dan banyak dipengaruhi
misalnya, oleh keadaan fisik dan kesadaran seseorang. Memang kadang-kadang
terasa tidak adil, ketika seorang yang sehat wal-afiyat bepergian jauh dengan
kondisi nyaman, berkendaraan pesawat udara diperbolehkan mengqasar salat.
Sementara orang jompo yang susah payah menempuh belasan kilometer tidak boleh,
melakukannya. Dalam hal ini harap dimaklumi, hukum ditetapkan dengan maksud
berlaku umum. Disinilah perlunya ukuran yang jelas. Oleh madzhab Syafi'i, hal
itu ditakar dengan jarak tempuh. Sesuatu yang relatif tidak bisa dijadikan
illat, tidak bisa menjadi patokan bagi peraturan yang dimaksudkan berlaku umum.
Dan jika memang masyaqat itu benar-benar dialami oleh seseorang, ketika dia
belum mencapai syarat formal untuk mendapatkan ruhsah (kemudahan), maka dia
akan mendapatkan kemudahan dari jalan lain.
Watak fiqh yang formaslistik memang sering mengundang orang untuk
melakukan manipulasi (hilah) terhadapnya. Al-Ghazali dalam Ihya (vol.1:19)
menceriterakan bahwa suatu ketika Abu Yusuf memberika seluruh harta kekayaannya
kepada isterinya sendiri pada akhir khan untuk maksud menggugurkan kewajiban
zakat. Ketika Abu Hanifal menerima cerita itu Beliau berkomentar "Itu
adalah pemahaman fiqhnya, penglihatan fiqh dunia akan membenarkan tindakan
itu". Namun dia berkomentar lebih jauh "perbuatan itu akan mendatangkan
petaka yang lebih berat dari tindakan kriminal apapun di akhirat kelak".
Gambaran di atas dapat dipahami bahwa Al-Ghozali pun pada dasarnya
mengakui bahwa fiqh memang berwatak formalistik. menyadari sepenuhnya bahwa Hadits yang
menyatakan Nabi diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka
mengatakan kalimat tauhid itu harus dipahami dalam konteks perbuatan lahiriah
bukan batiniah. Jika seorang secara formal sudah menyatakan kalimat tauhid maka
ia harus mendapat perlakuan sebagaimaan diberikan kepada orang Islam lainnya.
Dengan mengutip cerita tentang sikap Iman Abu Hanifah terhadap Abu Yusuf Imam
A1-Ghozali sedan€ menunjukkan kepada kita bahwa satu sisi ia menerima kenyataan
bahwa satu sisi fiqh itu berwatak formalistik namun pada sisi yang lain ia pun
tidak setuju terhadap pandangan fiqh yang formalistik tersebut.
Karena pandangan fiqh yang sangat formalisitik itulah dalam kontek,
sosial yang ada, ajaran syari at yang tertuang dalam fiqh terkadang terlihat
tidak searah dengan bentuk kehidupan praktis sehari-hari. Zakat misalkan,
sebenarnya merupakan ajaran Islam yang semangatnya tidak lain adalah ajaran
untuk menciptakan keadilan sosial ekonomi. Namur dalam fiqh, zakat sering
dipahami sebagai ibadah formal yang hanya menjelaskan kewajiban muzakki untuk
mengeluarkan zakat dalam nishal tertentu.
Dari uraian di atas, kita melihat suatu kebutuhan akan pergeserar
paradigma fiqh; Yaitu pergeseran dari fiqh yang formalistik menjad: fiqh yang
etik. Secara metodologis hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan hikmah
hukum ke dalam 'illat hukum. Atau dengar kata lain sudah saatnya kita
mengintegrasikan pola pemahaman qiyas murni dengan pola-pola pemahaman yang
beroreintasi pada maqasid al syari'ah. Inilah yang dimaksudkan dengan ciri
keempat figh sosial yang mencoba menghadirkan fiqh sebagai etika sosial, bukan
sebagai hukum positif negara.
Kesimpulan
Status Islam sebagai ajaran yang universal, dalam artian dapat
dilaksanakan untuk melindungi kebidupan manusia secara menyeluruh tanpa harus
terganggu oleh kata kata regional, hanya mungkin dipertahankan bila ia dapat
kita. pahami sebagai ajaran yang justru bersifat terbuka. Dalam konteks
Indonesia, berarti ia harus mampu menunjukkan sikap toleran, sebagai bentuk
paling arif dalam menghadapi kenyataan kemajemukan bangsa Indonesia, yang
rasanya tidak mungkin disikapi selain sebagai sunatullah. Sementara dalam skala
ke dalam, ia harus mampu menyelaraskan ajaran-ajarannya yang secara praktis
direpresentasikan dalam bentuk fiqh- dengan pola budaya dan kondisi regional,
tanpa harus kehilangan jati dirinya.
Pola penerapan agama seperti inilah, sebagaimana kita pahami dari
sejarah, yang mampu membuat masyarakat menerima Islam sebagai akidah, tanpa
harus terasingkan secara menyakitkan dari akar budaya yang telah membesarkan
dan membentuk watak, kepribadian, dan tradisinya.
Pengingkaran terhadap pola penerapan ini hanya akan mengantar masyarakat
keluar dari perlindungan agama. Kalaupun masih terdapat sekelompok kecil
masyarakat yang tetap teguh dalam ke-Islaman-nya, hampir dapat dipastikan bahwa
mereka akan memilah-milah dimensi kehidupannya, untuk disesuaikan: mana yang
harus tetap dirujukan pada petunjuk Islam, dan mana yang harus dengan berat
hati harus disikapi sebagai dimensi kehidupan yang bersifat duniawi murni.
Untuk tujuan ini semua diperlukan usaha yang berujung pada perubahan
paradigmatik dalam mensikapi ajaran praktis agama, yaitu fiqh. Perubahan
paradigmatik dalam memandang fiqh ini memang merupakan keharusan. Fiqh tidak
hanya dilihat sebagai alat untuk mengukur kebanaran ortodoksi, tetapi juga
harus diartikan sebagai alat untuk membaca realitas sosial untuk kemudian
mengambil sikap dan tindakan tertentu atas realitas sosial tersebut. Sehingga
fiqh memiliki fungsi ganda yaitu sebagai alat untuk mengukur realitas sosial
dengan ideal-ideal syari at yang berujung pada hukum halal atau haram, boleh
dan tidak boleh dan sekaligus pada saat yang sama menjadi alat rekayasa sosial.
Dalam Ilmu Hukum hal ini biasa disebut sebagai fungsi ganda hukum, yaitu fungsi
hukum sebagai social control dan fungsi hukum sebagai social engeneering.
Kedua fungsi fiqh tersebut hanya mungkin diwujudkan jika produk dan
perangkat penalaran yang dimiliki fiqh dikembangkan secara kontekstual.
Pendekatan fiqh secara kontekstual bisa dilakukan melalui kontekstualisasi
produk-produk fiqh yang tersebar dalam berbagai khazanah klasik sebagai model
pengembangan madzhab qauli maupun dengan cara pengembangan madzhab manhaji
melalui aplikasi kaidah Ushul al-Fiqh dan Kaidah-kaidah Fighiyah serta melalui
integrasi antara 'illat hukum dan hikmah hukum.(Red)