TAKHRIJ HADITS
Diskursus yang
berkembang selama ini terkait dengan kajian hadis adalah seputar keotentikan
hadis, dan kajian atas kesahîhan atau keda’îfan hadis. Sependek pembacaan
penulis, sejarah hanya mencatat sedikit sekali polemik yang mengarah pada keraguan
atas kehujjahan hadis, atau isu penolakan terhadap otoritas hadis dalam hukum
dan syariat Islam. Penolakan beberapa orang terhadap otoritas hadis secara
keseluruhan, sama sekali tidak berpengaruh terhadap eksistensi hadis dan
khazanah keilmuan Islam lainnya. Hal ini dikarenakan lemahnya argumentasi yang
digunakan, jika kita tidak mau menyebutnya sebagai sebuah kekonyolan.
Dengan mengurut kronologis sejarah, kita akan dapati adanya klaim penolakan hadis sebagai hujjah dari beberapa golongan atau sekte pada abad ke I hingga III H, dan masa kontemporer sekarang ini. Namun klaim itu beserta argumentasinya terbantahkan.
Dalam sejarah kita dapati fakta bahwa pada masa sahabat sudah ada orang-orang yang dipersangkakan menolak kehujjahan hadis. Namun sebenarnya mispersepsi terkait data sejarah terkait adanya sikap penerimaan kabar yang diasosiasikan kepada Rasulullah, dan perbedaan penetapan kriteria hadis yang diterima menurut masing-masing kelompok, telah menimbulkan kesan adanya penolakan terhadap hadis sebagai hujjah.
Misalnya pada pertengahan abad I Hijriah, kita dapati klaim yang menyatakan bahwa golongan Khawârij menolak hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat yang menyetujui proses arbitrase antara ’Alî bin Abû Tâlib dengan Mu’âwiyah. Namun di waktu yang sama, mereka masih menerima hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang menurut penilaian mereka masih ”belum murtad”.
Al-Sibâ’î menuturkan bahwa Khawârij—dengan berbagai kelompoknya yang berbeda-beda itu—sebelum terjadinya perang saudara antar sahabat, mereka menganggap semua sahabat Nabi sebagai orang-orang yang dapat dipercaya. Mereka kemudian mengafirkan ‘Alî, ‘Utsmân, orang-orang yang mengikuti ‘Perang Unta’, dua utusan perdamaian, orang-orang yang menerima keputusan perdamaian (tahkîm), dan orang-orang yang membenarkan salah seorang atau dua orang utusan perdamaian tadi. Dengan demikian mereka menolak hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat setelah terjadinya fitnah.
Namun pendapat al-Sibâ’î ini perlu ditinjau kembali, sebab yang jelas kitab-kitab tulisan orang Khawârij telah punah bersamaan dengan punahnya golongan itu, kecuali golongan ‘Ibâdiyah yang masih termasuk golongan Khawârij. Berdasarkan kitab-kitab yang ditulis oleh kelompok ini (‘Ibâdiyah), kita dapati bahwa mereka menerima hadis Nabi, dan mereka meriwayatkan hadis yang diriwayatkan melalui sahabat ‘Alî, ‘Utsmân’ ’Âisyah, Abû Hurayrah, Anas bin Mâlik, dan lain-lain. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa seluruh golongan Khawârij menolak Hadis yang diriwayatkan para sahabat Nabi, baik sebelum maupun sesudah peristiwa tahkîm, adalah tidak benar.
Berdasarkan tulisan-tulisan al-Sya’fi’î, al-Khudarî menarik kesimpulan bahwa golongan yang menolak hadis secara keseluruhan adalah Mu’tazilah. Al-Sibâ’i tampaknya juga cenderung kepada pendapat ini. Namun sebenarnya—seperti yang dituturkan sendiri oleh al-Sibâ’i—ada kesimpangsiuran dalam keterangan para ulama tentang sikap Mu’tazilah terhadap Sunnah, apakah mereka menerimanya secara keseluruhan, atau malah menolaknya secara keseluruhan, atau hanya menerima yang mutawâtir dan menolak yang âhâd.
“Menurut pendapat saya—setelah melihat sumber-sumber tadi—golongan Mu’tazilah juga seperti umumnya umat Islam, menerima hadis Nabi. Memang mereka mungkin mengkritik sejumlah hadis yang berlawanan dengan teori madzhab mereka. Namun demikian, hal itu tidak berarti mereka menolak hadis secara keseluruhan”.
Demikian ujar M.M. Azami.
Golongan Syî’ah yang masih eksis di dunia sekarang ini umumnya kelompok Itsnâ ‘Asyariyah yang merupakan madzhab resmi negara Iran hingga sekarang. Mereka menerima dan memakai hadis Nabi. Hanya saja ada anggapan bahwa mayoritas sahabat—setelah Nabi wafat—sudah murtad, kecuali sekitar tiga sampai sebelas orang saja. Maka timbul dugaan mereka tidak mau menerima hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat tadi. Mereka hanya menerima hadis yang diriwayatkan oleh Ahl al-Bayt (keturunan Rasulullah). Walau al-Suyûti sempat mencatat pengingkaran ekstrimis Syi’âh (al-Râfidah) dan kaum zindiq terhadap kehujjahan hadis secara totalitas.
Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa sejak masa lalu umat Islam sepakat untuk menerima hadis dan menjadikannya sebagai sumber hukum Islam yang wajib dipatuhi. Hanya saja di antara mereka ada yang menerimanya dengan beberapa syarat, seperti tiga kelompok yang telah disebutkan di atas.
Pensyaratan terhadap penerimaan hadis juga ada dalam madzhab Mâlikî yang mensyaratkan tidak adanya pertentangan hadis dengan ‘amal ahl al-Madînah (tradisi penduduk kota Madinah). Demikian juga madzhab Abû Hanîfah yang mensyaratkan tiga hal: Tidak bertentangan dengan qiyâs, tidak ditentang sendiri oleh perawinya, dan tidak masuk dalam kategori ta’umm bihî al-balwâ (menyangkut hal ihwal masyarakat).
Kondisi yang mengesankan adanya penolakan terhadap kehujjahan hadis ini, lenyap pada akhir abad ketiga. Penolakan ini muncul kembali pada abad ketiga belas hijriyah yang lalu, akibat pengaruh penjajahan barat .
Sesudah abad kedua hijriyah, tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan kelompok muslim mana yang tidak menerima hadis sebagai hujjah. Sementara mereka yang menolak hadis tempo dulu, tepatnya pada abad kedua hijriyah, sudah tidak ada lagi. Sesudah abad kedua itu, sampai kira-kira sebelas abad berikutnya tidak terdengar adanya orang yang menolak hadis sebagai hujjah. Barulah setelah negara-negara barat menjajah negeri-negeri Islam, mereka menyebarkan benih-benih busuk untuk melumpuhkan kekuatan Islam. pada saat itu di Irak muncul orang yang menolak hadis.
Di Mesir kondisi yang mengesankan adanya penolakan hadis muncul pada masa Muhammad ‘Abduh. Ini menurut kesimpulan Abû Rayyah, apabila hal itu benar. Pada tahun 1929, Ahmad Amin menulis buku Fajr al-Islâm di mana ia membahas hadis Nabi seraya mencampuradukkan antara yang benar dan yang batil. Sebuah pembahasan yang justru membuat orang ragu terhadap keotentikan hadis.
Para orientalis sudah lama mencurahkan perhatian untuk meneliti ilmu-ilmu keislaman. Pada awalnya kajian mereka berkisar pada sejarah dan sastra Islam. Mereka mulai meneliti hadis Nabi pada abad XIX, dan barangkali orang yang pertama kali meneliti hadis adalah Ignaz Goldziher yang pada tahun 1890 mempublikasikan hasil penelitiannya yang berjudul Muhammedanische Studien. Karyanya ini yang kemudian menjadi rujukan utama para orientalis dalam melakukan kajian atas hadis.
Lebih kurang empat puluh tahun kemudian, Prof. Schacht melakukan penelitian atas sumber-sumber hadis dalam bidang fiqh. Penelitian ini dilakukan selama sepuluh tahun, yang kemudian dipublikasikan sebagai buku dengan judul The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Dalam karyanya ini, Schacht berkesimpulan bahwa tidak ada satupun hadis Nabi yang sahîh (otentik) terutama hadis-hadis fiqh. Buku ini kemudian menjadi rujukan utama kedua bagi para orientalis. Dan apabila Goldziher ‘berhasil’ membuat orang ragu terhadap kebenaran hadis Nabi, maka Schacht ‘berhasil’ meyakinkan’ orang bahwa apa yang sering disebut hadis itu tidak otentik berasal dari Nabi Muhammad.
Goldziher, Shacht, Juynbol tidak ”mengusik” otoritas hadis dan kehujjahannya. Goldziher hanya meragukan otentitas hadis dari Rasulullah. Sementara beberapa pengaji lainnya menafikan otentisitas itu sama sekali. Logika yang hendak dibangun dari keraguan terhadap keotentikan hadis cukup sederhana: Jika hadis tidak otentik sebagai ajaran yang bersumber dari Rasulullah, maka tidak mungkin ia dijadikan sumber ajaran Agama.
Yang perlu digarisbawahi adalah fakta bahwa Goldziher dan orientalis lainnya tidak mengungkit kehujjahan hadis, tetapi lebih pada keotentikannya. Walaupun jika dilanjutkan, penolakan terhadap keotentikan hadis akan berujung kepada penolakan terhadap eksistensi hadis itu sendiri. Ketika eksistensi hadis itu ditolak, maka berhujjah dengannya pun menjadi tertolak.
Sebagai sumber ajaran Agama setelah Alquran, hadis memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Namun tidak seperti Alquran yang mendapat penjagaan langsung dari Tuhan (QS. Al-Hijr ayat 9), hadis memang menghadapi dilema seputar keotentikannya. Pasalnya, fakta sejarah membuktikan bahwa semenjak era pertama Islam, sudah banyak didapati hadis-hadis palsu.
Sadar akan pentingnya hadis dalam Islam, para ulama klasik bahkan sejak zaman sebelum pengkodifikasian hadis secara massal, telah melakukan kajian hadis dengan intensif. Mereka berupaya merumuskan konsep yang dapat dijadikan pedoman dalam menyeleksi hadis. Dengan rumusan itu yang kemudian kita kenal sebagai ’Ulumul Hadîts (ilmu-ilmu hadis), para pengaji hadis dapat mengidentifikasi hadis yang benar-benar otentik dari Rasulullah dan hadis yang nisbatnya lemah (da’îf) atau yang benar-benar merupakan hadis palsu.
A. Sejarah Perkembangan Kajian Matan dan Sanad Hadis
Saat seseorang mengatakan ”hadis”, maka
yang terlintas dalam benak adalah gabungan antara sanad dan matan. Dalam
beberapa literatur hadis kita dapati ungkapan hadis yang hanya berupa matan
tanpa sanadnya. Hal ini lumrah dilakukan guna menyingkat dan mempermudah
penyampaian hadis, bukan karena pembenaran atas anggapan yang menyatakan bahwa
hadis adalah matan saja tanpa sanad.
Sanad adalah mata rantai atau silsilah keguruan yang menghubungkan seseorang dengan gurunya hingga sampai kepada Rasulullah (atau dalam kasus hadis mawqûf sisilah itu berhenti pada sahabat, dan pada hadis maqtu’ silsilah itu terhenti pada tabi’in) yang menjadi pengantar bagi matan hadis. Sementara matan adalah isi atau kandungan hadis.
Sanad sering dianggap sebagai anugerah agung yang hanya dimiliki oleh umat Rasulullah dan tidak dimiliki umat agama lain. Dengan sanad, otentitas kitab suci Alquran dan hadis dapat dijaga. Di waktu yang sama kitab suci agama lain ternodai oleh oknum-oknum pimpinan agamanya yang menyisipkan banyak tambahan, dan mengurangi banyak keterangan dalam kitab suci mereka. Ketiadaan sanad membuat mustahil penelusuran untuk mengetahui mana ”matan” yang otentik dan mana ”matan” yang palsu dalam kitab suci mereka. Ibn al-Mubârak menilai sanad sebagai bagian dari Agama. Tanpa sanad, tiap orang akan berkata-kata semaunya, dan kemudian mengklaim bahwa perkataan itu adalah hadis. Muhammad bin Sîrîn, al-Dahhâk bin Muzâhim, dan Mâlik bin Anas juga menyatakan bahwa hadis adalah bagian dari Agama, dan kita harus melihat dari siapa Agama ini kita ambil.
Meneliti dari mana ”Agama” diambil, sama dengan meneliti pembawa Agama itu sendiri. Kajian atas pembawa kabar adalah istilah sederhana dari kajian sanad.
Kajian kesahîhan hadis biasanya diawali dengan kajian atas sanadnya. Ketika kualitas sanadnya sudah ditetapkan, penilaian hadis itu linear (sama) dengan penilaian atas sanadnya itu. Bahkan ada kecenderungan jika sanad hadis telah ditetapkan sahîh, sementara matannya bermasalah, maka matannya yang akan ditakwilkan.
Sebagai sebuah alat ukur penilaian kualitas hadis, para ulama merumuskan kriteria kesahîhan hdis, yaitu ketersambungan sanad, seluruh perawinya bersifat adil dan dabt (perawi yang memiliki kedua sifat ini disebut tsiqah), tidak ada syadz dan ’illah. Kelima kriteria ini diterapkan pada kajian sanad, dan hanya kriteria keempat dan kelima yang digunakan dalam kajian matan.
Secara zahir, kajian sanad memang lebih banyak menyita perhatian orang-orang yang meneliti hadis dari pada kajian atas matan. Hal ini bisa jadi karena kondisi matan yang jumlahnya statis sementara sanad bersifat dinamis dan cenderung bertambah banyak sejalan dengan banyaknya jumlah perawi yang diteliti. Semakin panjang jalur periwayatan sebuah hadis, semakin banyak pula perawi yang dikaji. Ditambah lagi adanya fakta banyaknya sebuah matan yang memiliki sanad lebih dari satu.
Sebenarnya, kajian hadis yang dilakukan tidak diprioritaskan pada sanadnya, sebagaimana yang dipersangkakan beberapa orang, namun juga dilakukan pada matannya. Hanya saja objek kajian yang lebih banyak memang ada pada sanad hadis, sehingga timbul kesan bahwa kajian sanad memang lebih mendominasi dalam kajian hadis.
Kajian atas sanad dan matan sudah ada di masa awal Islam. Beberapa pakar semisal Ali Mustafa Yaqub menyatakan bahwa kajian berupa kritik matan Hadis muncul lebih dahulu dibanding kritik sanadnya. Menurutnya, kajian atas matan sudah dilakukan pada zaman Rasulullah, sementara kajian sanad baru diberlakukan pasca peristiwa terbunuhnya khalifah ’Utsmân bin ’Affân pada tahun 35 H.
Pendapat Ali Mustafa ini masih dapat diperdebatkan, di mana kajian sanad dalam bentuk yang sederhana telah dilakukan oleh Rasulullah. Misalnya pujian Rasulullah terhadap ’Abdullâh bin ’Umar yang disampaikan kepada Hafsah salah seorang istri beliau yang juga saudara dari ’Abdullâh bin ’Umar itu sendiri,
إن عبد الله رجل
صالح
”Sesungguhnya ’Abdullâh bin ’Umar adalah seorang
laki-laki yang shaleh”.
Di waktu yang lain, Rasulullah juga menilai ’Uyaynah bin Hisn bin Hudzayfah bin Badr al-Fazârî sebagai seorang yang buruk peringainya :
بئس أخو العشيرة وبئس
ابن العشيرة
“Ia adalah seburuk-seburuk saudara kaumnya, dan
seburuk-buruknya anak kaumnya”.
Penilaian baik dan buruk ini seseorang, dalam disiplin ilmu hadis disebut jarh wa ta’dîl. Hal ini adalah pokok penting dalam melakukan kajian hadis.
Pada generasi sahabat, kajian atau kritik sanad tidak diterapkan terkait dengan ’adâlah dan integritas moral, karena mereka sudah mendapatkan penilaian baik (ta’dîl) dari Allah. Kritik dilakukan pada masa itu terkait akurasi berita atau riwayat. Karena lupa dan keliru adalah sifat manusiawi yang dapat menimpa orang-orang terpercaya seperti para sahabat. Untuk menyikapi adanya kemungkinan kekeliruan dan kealpaan, para sahabat melakukan konfirmasi dan verifikasi atau yang dalam ilmu hadis disebut mu’âradah.
Al-Dzahabi menyatakan bahwa Abû Bakar adalah orang yang pertama kali berhati-hati dalam menerima khabar atau periwayatan hadis. Al-Hâkim malah menjulukinya sebagai orang yang pertama menafikan kedustaan atas Rasulullah. Predikat ini layak diberikan karena Abû Bakar melakukan mu’âradah terhadap informasi dan kabar yang diasosiasikan kepada Rasulullah. Misalnya saat memutuskan bagian nenek dalam harta pusaka (warisan), Abû Bakar menanyakan sahabat yang pernah mendengar keputusan Rasulullah terkait masalah tersebut. Al-Mugîrah menyatakan bahwa dirinya pernah mendengar Rasulullah memberikan bagian seperenam. Abû Bakar tidak semerta-merta menerima riwayat ini. Ia menanyakan apakah ada sahabat lain mendengar riwayat ini. Kemudian Muhammad bin Maslamah menyatakan dirinya mengetahui hal itu dari Rasulullah. Maka Abû Bakarpun memutuskan perkara warisan ini berdasarkan riwayat al-Mugîrah yang dikukuhkan oleh Ibn Maslamah.
Kritik sanad yang menitikberatkan pada sisi moralitas perawi atau ’adâlah baru diberlakukan pasca kemangkatan khalifah ’Utsmân, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibn Sîrîn (w. 110 H), bahwa pada awalnya orang tidak mempertanyakan pembawa berita (perawi). Dan baru setelah terjadi ”fitnah”, orang-orang mulai menanyakan integritas moral individu orang yang membawa berita.
Seakan muncul bersamaan dengan kajian sanad, kajian matan hadis juga sudah ada di zaman Rasulullah. Kajian atas matan ini dilakukan bukan untuk mengkritisi muatan dan kandungan matan tersebut, atau mengkritisi ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah, tetapi untuk memperjelas matan dan untuk memastikan maksud dari ajaran yang terkandung di dalamnya.
’Umar bin al-Khattâb seringkali bergantian dengan tetangganya dalam mengikuti pengajian yang diberikan Rasulullah. Suatu saat tetangganya itu mengetuk pintu rumahnya dengan keras, dan menyatakan bahwa ada kejadian yang luar biasa. ’Umar mengira ada ada tentara negeri Gassân yang menyerang kaum muslimin. Namun tetangganya menyatakan bahwa ada hal yang lebih besar dari pada itu, yaitu bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istrinya.
Mendengar kabar ini, segera ’Umar berangkat menghadap Rasulullah untuk mengkonfirmasi kebenaran berita itu. Rasulullah kemudian menjelaskan bahwa beliau hanya meng-îlâ (tidak mengumpuli istri) selama satu bulan.
Kemudian dengan seiring perjalanan waktu, kajian atas sanad dan matan hadis semakin berkembang dan matang secara epistemologis. Hal ini sebagai jawaban atas banyaknya hadis palsu yang beredar. Keprihatinan yang mendalam di kalangan ulama terhadap aktivitas pemalsuan hadis, mendorong mereka membakukan standar kesahîhan hadis. Kemudian berlanjut kepada proses atau tradisi penakhrîjan hadis.
B. Definisi dan Sejarah Perkembangan Takhrîj Hadîs
Takhrîj merupakan derivasi dari kata ”kharaja” yang berarti ”keluar” atau kebalikan dari kata ”dukhûl” yang bermakna ”masuk” . Kata ”kharaja” bersifat lâzim (intransitif), dan ketika ’ain fi’il-nya digandakan (tasydîd), ia menjadi muta’addî (transitif) yang dengan sendirinya mengubah arti. Takhrîj menurut etimologis bermakna ”mengeluarkan”.
Sementara hadis, dalam definisi yang populer dinyatakan sebagai segala sesuatu yang disandarkan (nisbat) kepada Rasulullah, baik penyandaran itu valid (hadis sahîh dan hasan) ataupun tidak valid (dan da’îf dan mawdû’). Dalam prakteknya, hadis juga berlaku pada asosiasi ucapan dan perbuatan kepada sahabat (hadis mawqûf) dan tabi’în (hadis maqtû’).
Kita perlu menggarisbawahi ungkapan ”segala sesuatu yang disandarkan (diasosiasikan)” sebagaimana disebutkan dalam definisi hadis di atas. Sebagai sebuah nisbat, kita tidak mengaji dan meneliti isi, substansi, dan materi dari ungkapan, perbuatan dan penetapan Rasulullah. Tetapi apakah ”sesuatu” yang diasosiasikan kepada Rasulullah itu benar-benar dikatakan, atau dilakukan, atau ditetapkan oleh beliau. Fakta yang menjadi aksioma kita, adalah bahwa tidak semua nisbat itu valid. Bukan semata dalam kajian hadis, dalam keseharian pun kita dapati adanya ungkapan atau sekedar klaim penisbatan sesuatu kepada seseorang yang ternyata tidak benar. Kajian hadis dan takhrîj Hadis dilakukan untuk menguji validitas sebuah nisbat.
Mahmûd al-Tahhân mendefinisikan takhrîj sebagai penelusuran atas lokasi hadis dalam sumber-sumbernya yang asli yang menyebutkan hadis beserta sanadnya, untuk kemudian dikaji kualitas hadisnya. Definisi yang ditawarkan al-Tahhân ini berlaku pasca kodifikasi hadis.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, takhrîj hadis tumbuh dan berkembang belakangan dibandingkan ilmu-ilmu hadis lainnya seperti tarâjum al-ruwât (kajian biografi para perawi) dan nâsikh wa mansûkh. Namun, sebenarnya praktek takhrîj hadis sudah dilakukan pada awal perkembangan ilmu hadis.
Pada awalnya, takhrîj dilakukan sebatas untuk mengetahui letak sebuah hadis pada sebuah kitab atau literatur. Sementara kegiatan lanjutannya berupa penelitian kualitas hadis dilakukan jika dirasa perlu. Dalam artian sebenarnya takhrîj hadis terhenti pada saat kita sudah mengetahui sumber berupa kitab atau literatur yang menyebutkan hadis itu beserta sanadnya. Misalnya ketika kita sudah mengetahui bahwa hadis yang sedang ditakhrîj diriwayatkan oleh Muslim atau Abû Dâwud, maka selesai sudah proses takhrîj itu. Namun, penelusuran lokasi hadis menjadi kurang sempurna jika tanpa penilaian atas sanad hadis. Karena tujuan dari kajian hadis adalah untuk diamalkan, setelah diketahui terlebih dahulu kualitasnya berdasarkan penilaian atas sanadnya.
Penelusuran yang dilakukan dalam proses takhrîj hadis, bermuara kepada kitab atau literatur yang menyebutkan hadis beserta sanadnya yang dimiliki sendiri oleh penulis kitab atau literatur tersebut, yang tersambung sampai Rasulullah. Kitab atau literatur ini disebut sebagai kitab sumber asli (al-masâdir al-asliyah). Lumrahnya, sumber asli adalah kitab hadis. Namun terkadang juga ada literatur yang bukan kitab hadis dan dapat dikategorikan sebagai sumber asli, seperti Tarikh al-Tabarî (kitab sejarah), dan al-Umm karya al-Syafi’î (kitab fiqh). Literatur non Hadis dapat dikategorikan sebagai sumber asli ketika ia menyebutkan hadis beserta sanadnya yang dimiliki sendiri oleh penulisnya.
Sementara literatur hadis yang menyebutkan hadis tanpa sanad yang dimiliki oleh penulisnya, atau menyebutkan hadis dengan merujuk kepada kitab hadis lain, kitab semacam ini tidak dapat dikategorikan sebagai sumber asli. Literatur yang bukan sumber asli tidak bisa dijadikan bahan takhrîj. Kitab-kitab semacam Bulûg al-Marâm karya Ibn Hajar, al-Jâmi’ al-Sagîr karya al-Suyutî, dan Riyâd al-Sâlihîn termasuk buku yang bukan sumber asli, karena ketiganya tidak memiliki sanad yang menjadi bahan pokok kajian takhrîj. Yang menjadi sumber asli adalah kitab atau literatur yang dikutip oleh ketiga buku ini.
Ulama pada masa klasik, dimulai pada masa sahabat hingga abad kelima hijriyah belum mengenal takhrîj dengan terminologi yang kita kenal sekarang, sebagai alat bantu mengaji hadis. Hal ini dikarenakan banyaknya hafalan dan luasnya wawasan mereka akan hadis. Pembacaan mereka terhadap kitab-kitab hadis sangat banyak dan intensif. Perlu diingat adalah bahwa tingkat kedabitan para muhadditsin pada saat itu sangatlah tinggi, sehingga setiap kali menyatakan sebuah pendapat, dengan mudah mereka menyebutkan hadis yang ada sebagai dasar dan argumentasinya.
Para ulama klasik mampu menyebutkan hadis berdasarkan hafalan yang mereka miliki atau dengan merujuk kitab hadis yang ada. Saat merujuk ke kitab, mereka bahkan dapat dengan mudah menyebutkan letak hadis itu di kitab apa, jilid berapa, dan mungkin juga pada halaman ke berapa. Mereka mengetahui dengan baik metodologi penulisan yang digunakan para kolektor hadis, sehingga dapat dengan mudah memperkirakan letak hadis dalam sebuah kitab, atau dalam menentukan kitab apa yang diduga memuat hadis itu.
Seiring perjalanan waktu, kajian hadis semakin surut dan penguasaan para ulama terhadap hadis juga berkurang. Para ulama yang memiliki hafalan hadis semakin sedikit, dan hafalan yang mereka milikipun tidak banyak. Di waktu yang sama, ketika merujuk kitab-kitab hadis mereka mendapati sedikit kesulitan.
Para pengarang kitab dalam disiplin non hadis seperti fiqh dan tafsir, seringkali menyebutkan hadis tanpa menyebutkan sanad atau mukharrijnya. Sehingga dengan sendirinya, kualitas hadis yang disebutkan juga tidak dapat dipastikan. Hal ini mengundang keprihatinan beberapa ulama untuk melakukan kajian lanjutan terhadap hadis-hadis itu. Mereka mulai menulis karya yang kita sebut ”kitab-kitab takhrîj”. Mahmûd al-Tahhân menyebutkan bahwa kitab takhrîj yang pertama kali ditulis oleh al-Khatîb al-Bagdâdî (w. 463 H). Di antara karya al-Khatîb dalam kajian takhrîj adalah Takhrîj al-Fawâid al-Muntakhabah al-Sihâh wa al-Garâib karya Abû al-Qâsim al-Husaynî, dan Takhrîj al-Fawâid al-Muntakhabah al-Sihâh wa al-Garâib karya Abû al-Qâsim al-Mahrawânî. Kedua kitab ini, masih menurut al-Tahhân, masih dalam bentuk manuscript.
Belakangan, banyak ulama yang melakukan kajian takhrîj terhadap kitab-kitab yang telah beredar di masyarakat, yang tidak menjelaskan kualitas hadis yang dicantumkannya. Keadaan ini berlanjut hingga sekarang. Bahkan takhrîj hadis kemudian menjadi integral dengan proses penahqîqan terhadap sebuah karya. Baik karya ulama klasik dan telah diterbitkan sebelumnya, maupun karya yang baru diterbitkan.
C. Metode Takhrîj Hadis
Kitab dan literatur yang masuk dalam kategori sumber asli, disusun dengan sistematika dan metodologi yang berbeda. Hal ini menyebabkan metodologi yang digunakan untuk mengkaji hadisnya juga berbeda. Untuk melakukan proses ”pembacaan” terhadap sebuah literatur, kita perlu mengetahui metodologi penulisan yang digunakan. Ketika akan melakukan takhrîj hadis, kita perlu mengetahui metode penulisan sumber-sumber asli, agar dapat ditentukan metode takhrîj mana yang akan kita gunakan.
Ada ulama yang menyusun kitabnya berdasarkan susunan nama perawi, ada juga yang berdasarkan bab-bab fiqh, dan ada yang menyusunnya berdasarkan tema-tema tertentu. Dengan berdasarkan kategorisasi dan metodologi penulisan, setidaknya ada lima cara atau metode yang digunakan untuk menakhrîj hadis :
1. Metode Penelusuran Hadis
Berdasarkan Perawi Sahabatnya
Metode ini digunakan ketika nama
perawi sahabatnya diketahui. Pengguna metode ini harus meyakini terlebih dahulu
sosok sahabat yang meriwayatkan hadis yang akan ditakhrîj. Untuk kemudian
melakukan penelusuran hadis pada buku atau literatur yang metodologi penulisan
hadisnya berdasarkan urutan nama-nama sahabat. Metode ini berlaku pada
kitab-kitab musnad, mu’jam dan atrâf.
Musnad adalah kitab yang ditulis berdasarkan urutan sahabat yang meriwayatkan hadis. Ada banyak musnad yang pernah ditulis oleh para pakar hadis. Al-Tahhan menyatakan bahwa ada lebih dari seratus musnad. Musnad yang paling terkenal adalah musnad Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Ketika seseorang menyebutkan kata musnad, maka musnad Ahmad inilah yang dimaksud. Selain itu ada juga musnad al-Humaydî (w. 219 H) yang merupakan guru dari al-Bukhârî, Musnad Abû Dâwud al-Tayâlisî (w. 204 H), Musnad Abû Ya’lâ al-Mausulî (w. 307 H), dan Musnad ’Abd bin Humayd (w. 249 H).
Hadis-hadis dalam musnad disusun berdasarkan tiap-tiap nama-nama sahabat. Penyusunan ini bisa berdasarkan abjad (dalam artian perawi yang namanya diawali huruf Hamzah disebutkan pertama, lalu perawi yang namanya diawali huruf Ba`, dan seterusnya). Ada yang disusun berdasarkan kedahuluan masuk ke dalam agama Islam. Ada juga yang disusun berdasarkan kabilah (klan), atau yang berdasarkan nama daerah (buldân).
Dalam prakteknya, ada juga musnad yang disusun berdasarkan tema-tema, misalnya musnad karya Baqî bin Makhlad al-Andalusî yang disusun berdasarkan bab-bab fiqh.
Mu’jam adalah buku atau kitab hadis yang penulisannya berdasarkan nama sahabat, atau nama guru dari penulisnya, atau nama-nama tempat. Biasanya, mu’jam disusun sesuai urutan abjad, baik ketika mu’jam itu berdasarkan nama sahabat ataupun nama guru dan nama tempat. Metode pertama ini bisa digunakan dalam penelusuran hadis yang berada di mu’jam yang disusun sesuai nama sahabat. Karena metode ini memang hanya dapat diterapkan pada literatur yang sistematikanya disusun berdasarkan nama sahabat.
Mu’jam juga ada banyak, dan yang paling terkenal dan banyak dikaji oleh pengkaji hadis adalah mu’jam karya al-Tabrânî (w. 360 H).
Al-Tabrânî memiliki tiga mu’jam. Pertama al-Mu’jam al-Kabîr yang penyusunannya berdasarkan nama sahabat. Jika dalam literatur klasik kita dapati kata ”al-Mu’jam”, maka yang dimaksud adalah al-Mu’jam al-Kabîr karya al-Tabrânî ini. Ibn Dihyah menyatakan bahwa al-Mu’jam al-Kabîr adalah mu’jam terbesar yang ada di dunia ini. Mu’jam ini memuat sekitar enam puluh ribu hadis, dan disusun berdasarkan nama perawi dari generasi sahabat kecuali Abû Hurayrah. Al-Tabrânî memiliki karya khusus yang memuat hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abû Hurayrah. Kedua, al-Mu’jam al-Awsat, yang disusun berdasarkan nama guru-guru al-Tabrânî yang berjumlah sekitar dua ribu orang. Mu’jam yang ketiga adalah al-Mu’jam al-Sagîr yang juga disusun berdasarkan nama guru-gurunya.
Dengan melihat metodologi penulisan
masing-masing mu’jam, kita dapati bahwa metode pertama ini hanya dapat
diterapkan pada al-Mu’jam al-Kabîr. Selain al-Tabrânî, ada juga ulama lain yang menyusun
kitab mu’jam, yaitu Ahmad bin ’Alî bin Lâl al-Hamdânî (w. 398 H) yang menulis
Mu’jam al-Sahâbah, dan Abû Ya’lâ al-Mausulî (w. 307 H) yang menulis kitab
dengan judul yang sama.
Sementara yang dimaksud atrâf adalah kitab yang menyebutkan sebagian dari hadis dengan menyebutkan sanad-sanadnya. Biasanya, penyusunan atraf berdasarkan abjad nama-nama sahabat. Dalam menyebut potongan hadis, biasanya pembaca dapat mengenali matan hadis yang tidak ditulis. Misalnya, hadis”kullukum râ’in” dan ”buniya al-Islâm ’ala khams”.
Ada banyak atrâf yang beredar di masyarakat, misalnya Atrâf al-Sahîhayn karya Abû Mas’ûd Ibrahîm bin Muhammad al-Dimisyqî (w. 401 H), dan Tuhfah al-Asyrâf bi Ma’rifah al-Atrâf karya Yûsuf ’Abdurrahmân al-Mizzî (w. 742 H).
Perlu diingat bahwa atrâf tidak menyebut matan hadis secara lengkap, sehingga jika kita ingin mengetahui matannya secara lengkap, maka kita harus merujuk sumber aslinya. Atrâf mengumpulkan sanad-sanad yang ada dalam satu tempat, yang bisa membantu kita menilai kualitas hadis berdasarkan kuantitas sanadnya.
2. Metode Ungkapan Pertama Dalam Matan
Metode ini digunakan ketika kita mengetahui dengan pasti ungkapan awal dari matan hadis. Setidaknya ada kategori kitab yang dapat menggunakan metode ini:
Pertama, kitab-kitab mengumpulkan hadis yang matannya sudah populer di tengah masyarakat luas (musytahirah). Ada banyak ungkapan yang diklaim sebagai hadis, yang dihafal dengan baik oleh masyarakat awam. Hadis-hadis ini ada yang kualitasnya sahîh, hasan dan da’îf bahkan palsu. Ada banyak kitab yang mengumpulkan hadis semacam ini, misalnya al-Durar al-Muntatsirah Fî al-Ahâdîts al-Musytahirah karya al-Suyûtî (w. 911 H), al-Maqâsid al-Hasanah Fî Bayân Katsîr Min al-Ahâdîts al-Musytahirah ’Alâ al-Alsinah karya al-Sakhâwî (w. 902 H), dan Kasyf al-Khafâ wa Muzîl al-Ilbâs ’Ammâ Isytahar Min al-Ahadîts ’Alâ Alsinah al-Nâs karya al-’Ajlûnî (w. 1162 H).
Kedua, kitab-kitab yang disusun berdasarkan abjad huruf pertama matannya, misalnya al-Jâmi’ al-Sagîr Min Hadîts al-Basyîr al-Nadzîr karya al-Suyûtî (w. 911 H).
Kitab al-Jâmi’ al-Sagîr tidak menggunakan sanad yang dimiliki pengarangnya, sehingga tidak bisa dianggap sumber asli. Namun kitab ini secara lugas menyebutkan sumber asli yang dikutipnya, sehingga siapapun yang ingin melakukan kajian atas sanadnya, harus merujuk kepada kitab yang dirujuk oleh al-Suyûtî.
Ketiga, kitab Miftâh dan Fihris, atau kitab yang disusun berdasarkan indeks matan hadis, seperti Miftâh al-Sahîhayn karya Muhammad al-Syarîf bin Mustafâ al-Tawqâdî, dan Miftâh al-Tartîb Lî Ahâdîts Târîkh al-Khatîb karya Ahmad bin Muhammad al-Gimârî.
Jenis ketiga ini juga tidak dapat dijadikan sumber asli, karena ia tidak menggunakan sanad yang dimiliki oleh pengarangnya. Namun demikian, kitab ini dapat membantu proses penelusuran lokasi hadis pada sumber yang dirujuk.
3. Metode Indeks Kata
Metode ini digunakan dengan cara mencari kata-kata yang menjadi ”kata kunci” dalam indeks hadis. Yang dimaksud dengan ”kata kunci” adalah kata yang terdapat dalam matan hadis dan tidak banyak digunakan dalam ungkapan sehari-hari. Metode ini menggunakan ¬al-Mu’jam al-Mufahras Lî Alfâz al-Hadîts yang disusun oleh sebuah tim yang beranggotakan pakar orinetalis. Salah satu dari tim penyusunnya bernama A.J. Wensinck (w. 1939), seorang guru besar Bahasa Arab di universitas Leiden. Al-Mu’jam al-Mufahras memuat indeks kata yang terdapat dalam 9 (sembilan) sumber koleksi hadis, yaitu al-Kutub al-Sittah, Muwatta`, Musnad Ahmad, dan Musnad al-Dârimî.
4. Metode Tematis Hadis
Metode ini digunakan oleh orang yang memiliki cita rasa (dzawq) ilmiah yang memungkinkannya menentukan tema bagi hadis yang sedang dikaji. Sebagaimana kita ketahui, hadis memiliki kandungan berupa akidah, akhlaq, prediksi masa depan yang berdasarkan wahyu (tanabbuât), kisah masa lampau (fakta sejarah), norma dan pranata sosial, hukum, dan lain sebagainya. Seseorang yang sering membaca dan memiliki wawasan luas dalam hadis dan ilmu-ilmu keislaman, akan dapat menentukan tema sebuah hadis untuk kemudian dia melakukan penelusuran dalam kitab atau literatur yang diduga memuat hadis itu berserta sanadnya.
Kitab dan literatur hadis yang beredar di kita sekarang ini, ada yang disusun berdasarkan tema-tema fiqh (yang dikenal sebagai ”kitab sunan”), ada yang disusun berdasarkan satu tema, dan ada yang disusun berdasarkan seluruh atau mayoritas tema yang ada.
Semisal hadis yang dikaji memuat tata cara melaksanakan puasa, maka penelusuran dapat dilakukan pada kitab sunan. Atau jika hadis yang dikaji memuat anjuran berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk, maka penelusuran dapat dilakukan dalam kitab atau literatur yang khusus mengoleksi hadis tentang targîb wa tarhîb. Demikian seterusnya.
5. Metode Penelusuran Berdasarkan Kondisi Matan Atau Sanad
Beberapa kitab atau literatur mengoleksi hadis yang memiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan itu bisa ada dalam sanad maupun matan hadis. Jika hadis yang dikaji memiliki ciri dan tanda kepalsuan, maka kita dapat melakukan penelusuran dalam kitab yang khusus mengumpulkan hadis palsu. Atau jika hadis yang dikaji dinisbatkan kepada Allah Ta’ala, atau yang kita kenal sebagai hadis qudsî, maka kita melakukan penelusuran terhadap kitab atau literatur yang memuat hadis-hadis qudsî.
Kemudian jika sanad hadisnya
terdapat periwayatan bapak dari anak (riwâyah al-âbâ` ’an al-abnâ`), maka kita
melakukan penelusuran dalam kitab yang khusus mengoleksi hadis periwayatan
bapak dari anak. Atau jika sanad hadisnya ternyata berupa musalsal, maka kita
melakukan penelusuran dalam kitab yang khusus mengumpulkan hadis musalsal.
Kelima metode ini dapat digunakan secara bersamaan, atau dipilih salah satu yang paling memdahkan kita dalam melakukan penelusuran hadis. Kita perlu menentukan dulu matan atau perkiraan matan untuk kemudian memilih metode yang akan digunakan.
Dengan tingginya tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita dapat melakukan penelusuran hadis melalui program komputer dan internet. Penggunaan teknologi modern dalam melakukan kajian hadis tentu bukanlah sebuah aib. Apalagi mengingat rendahnya kualitas dabt dan wawasan hadis yang dimiliki kebanyakan pengaji hadis di masa sekarang. Penggunaan alat bantu komputer atau internet akan sangat membantu. Namun kita perlu melakukan cross check atau konfirmasi ke kitab-kitab atau literatur hadis yang ”manual” berupa kitab-kitab hadis. Hal ini demi mendapatkan hasil yang faktual dan valid, dan untuk menghindari adanya kesalahan yang mungkin terjadi saat kita mengakses program atau internet.
Konfirmasi ke kitab-kitab ”manual” ini juga diperlukan agar kita dapat mengenali dengan baik metodologi penulisan kitab-kitab hadis.
D. Prinsip-prinsip Dasar Takhrîj Hadis
Dalam melakukan penakhrîjan hadis, kita perlu memperhatikan beberapa prinsip-prinsip dasarnya, yaitu :
1. Takhrîj bersifat mandiri
(istiqlâl), dalam artian kajian dilakukan pada satu sanad periwayatan, dan
penilaian diberikan pada sanad yang dikaji itu tanpa harus meneliti seluruh
sanad yang ada.
2. Sebanyak mungkin informasi
terkait hadis yang ditakhrîj dipaparkan. Misalnya penilaian ulama atas kualitas
hadis itu, ketersambungan sanadnya (atau keterputusan/inqita’nya), sanad lain
yang menguatkan atau justru yang matannya bertolak belakang dengan hadis yang
ditakhrîj, penyebab keda’îfan hadis.
3. Sebuah hadis seringkali
diriwayatkan melalui lebih dari satu orang sahabat. Ketika seseorang melakukan
penakhrîjan hadis dengan ketentuan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh
sahabat fulan, Abû Hurayrah misalnya, maka hadis yang dikaji haruslah memiliki
sahabat itu dalam mata rantainya (yakni Abû Hurayrah). Sementara sanad lain
yang bermuara kepada sahabat lain, digunakan sebagai syâhid dan mutâbi’. Jika
perawi sahabatnya tidak ditentukan, maka kita dapat memilih dan menentukan
riwayat mana saja yang akan ditakhrîj.
4. Dalam penakhrîjan perlu
diperhatikan substansi matan hadis. Variasi redaksional matan (jika terdapat
lebih dari satu riwayat), kajian atas sanad berupa biografi beserta kualitas
para perawi, kajian atas kata-kata yang unik dan tidak lumrah (garîbah
al-lafz), kajian waktu dan tempat terhadap masing-masing perawi sebagai alat
bantu penelusuran ketersambungan (ittasâl) sanad, dan keunikan sîgah al-adâ`
atau ungkapan masing-masing perawi dalam sanad ketika meriwayatkan hadis.
5. Penakhrîjan hadis
berdasarkan substansi matanya, dalam arti kita mungkin akan mendapati beberapa
sanad hadis yang substansi maknanya sesuai dengan yang kita kaji, sementara
redaksional matannya berbeda, atau sebagian ada yang matannya diringkas.
Al-Zayla’î berkata, ”Tugas muhaddits adalah mencari asal hadis dengan melihat
siapa yang meriwayatkannya (mukharrijnya). Dan tidak mengapa jika ada perbedaan
redaksional, atau penambahan matan (matan dipaparkan secara utuh dan lengkap)
atau pengurangan matan (ada peringkasan matan)...”. Al-’Irâqî berkata,
”Sekiranya aku menyebutkan hadis beserta mukharrijnya, maka aku tidak bermaksud
ketepatan redaksional matannya. Terkadang aku menyebutnya (matannya) secara
tepat, dan terkadang ada perbedaan (redaksional) sesuai kaedah yang berlaku
dalam penulisan mustakhraj”. al-Sakhâwî juga menyatakan hal yang sama.
6. Takhrîj hadis dilakukan
terhadap sebuah riwayat, sehingga penilaian diberikan kepada kepada riwayat
itu. Maka ungkapan yang diberikan adalah bahwa ”hadis ini sahîh sanadnya” atau
”hadis ini da’îf sanadnya”. Sementara untuk memberikan penilaian terhadap
sebuah hadis, maka perlu kajian lanjutan untuk mengetahui apakah ada riwayat
lain yang bertolak belakang, atau ada fakta yang kuat (seperti aksioma, data
sejarah yang tidak terbantahkan, dan logika/nalar akal) yang menyatakan hal
yang berbeda. Sehingga ungkapan ”hadis ini sahîh” hanya dapat dinyatakan oleh
pakar hadis yang memiliki kompetensi yang tinggi.
7. Penilaian terhadap seorang
rawi merupakan ijtihad yang didasarkan data biografi yang tersebar dalam
literatur biografi perawi (tarâjum al-ruwât). Di sini perbedaan pendapat di
kalangan ulama seputar kualitas seorang perawi merupakan sebuah keniscayaan.
Penggunaan kaedah jarh wa ta’dîl dengan proporsional dapat membantu kita dalam
menentukan kualitas seorang perawi.
8. Standar masing-masing ulama
jarh wa ta’dîl dalam menilai seorang perawi berbeda, sehingga perlu menelusuri
labih jauh ketika terjadi perbedaan pendapat terkait kualitas seorang perawi.
Seseorang mungkin dinilai da’îf oleh seorang ulama yang memiliki standar
tinggi, sementara bagi yang lain ia dinilai tsiqah. Dengan melakukan kajian
lanjutan kita dapati penjelasan alasan seseorang dida’îfkan, untuk kemudian
dikaji apakah alasan itu sudah tepat atau tidak.
E. Manfaat Takhrîj Hadis
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, tujuan akhir dari penakhrîjan hadis adalah untuk mengetahui dan menetapkan kualitas sebuah sanad hadis. Penetapan kualitas hadis ini akan mempengaruhi status dan kedudukan hadis itu: Apakah ia bisa dijadikan hujjah atau tidak, dan apakah ia diamalkan atau tidak. Selama proses penakhrîjan, kita akan mendapat banyak mendapat manfaat faedah yang sangat membantu kita dalam menilai sebuah hadis.
Berikut adalah beberapa manfaat yang
dapat diperoleh lewat takhrîj hadis :
1.
Diketahui letak hadis yang dikaji
dalam sumber-sumber asli.
2. Diketahui apakah nisbat
sebuah ungkapan atau perbuatan yang dinyatakan
sebagai sebuah hadis benar-benar valid atau tidak.
sebagai sebuah hadis benar-benar valid atau tidak.
3. Diketahui kualitas hadis.
4. Dengan membandingkan
riwayat-riwayat yang ada, akan diketahui arti kata yang asing atau garîbah,
kondisi yang melatarbelakangi disabdakannya hadis (asbâb wurûd), kondisi para
perawi hadis, adanya kemungkinan hadis itu direvisi atau merevisi hadis lain
(nâsikh wa mansûkh), mendapat ketersambungan pada sanad yang terjadi
keterputusan (inqitâ’), meningkatkan kualitas sanad dengan adanya dukungan
berupa sanad-sanad lainnya, mendapat kejelasan identitas dan kualitas perawi
yang mubham dan majhûl, menghilangkan akibat yang muncul dari tadlîs,
mengidentifikasi dan mengetahui adanya penambahan sanad yang berasal dari
perawi (mudraj dan ziyâdah al-tsiqât), mendapati matan secara lengkap dan utuh
dari hadis yang diringkas, mengidentifikasi dan mengetahui mana matan yang
diriwayatkan secara redaksional dan mana yang secara substantif, mendapatkan
informasi tambahan seputar tempat dan waktu terjadinya hadis, dan lain-lain.
Berikut contoh manfaat takhrîj hadis :
Rasulullah membolehkan seorang
laki-laki memandang perempuan yang akan dinikahinya.
Matan hadis yang relevan adalah:
إذا خطب أحدكم المرأة فإن اسطتع أن ينظر إلى ما يدعوه إلى نكاحها فليفعل
Dengan
melakukan penelusuran pada sumber asli, kita dapati informasi sebagaimana
berikut ini :
1.
Hadis ini diriwayatkan oleh Abû
Dâwud, Ahmad (dua riwayat), al-Hâkim, dan
lain-lain.
Sanad yang dimiliki Abû Dâwud :
lain-lain.
Sanad yang dimiliki Abû Dâwud :
حدثنا مسدد ثنا عبد
الواحد بن زياد ثنا محمد بن إسحاق عن داود بن حصين عن واقد بن عبد الرحمن يعني
ابن سعد بن معاذ عن جابر بن عبد الله
Sanad yang dimiliki Ahmad :
حدثنا يونس بن محمد
ثنا عبد الواحد بن زياد ثنا محمد بن إسحق عن داود بن الحصين عن واقد ابن عبد
الرحمن بن سعد بن معاذ عن جابر
حدثنا يعقوب ثنا أبي
عن ابن إسحاق حدثني داود بن الحصين مولى عمرو بن عثمان عن واقد بن عمرو بن سعد بن
معاذ عن جابر بن عبد الله الأنصاري
Dan sanad yang dimiliki al-Hâkim :
أخبرني أبو بكر محمد
بن عبد الله بن قريش مدثنا الحسن بن سفيان حدثنا محمد بن أبي بكر المقدمي أخبرني
عمر بن علي بن مقدم حدثنا محمد بن إسحاق عن داود بن بن الحصين عن واقد بن عمرو بن
معاذ عن جابر
2.
Ibn Ishâq meriwayatkan hadis dari
Dâwud bin Husayn (atau al-Husayn) dengan ungkapan ’an (riwayat ’an’anah)
sementara Ibn Ishâq ini adalah perawi mudallis yang mengindikasikan adanya
keterputusan sanad. Yang demikian ini terdapat dalam riwayat Abû Dâwud, Ahmad
(dalam salah satu riwayat), dan al-Hâkim. Sementara dalam satu riwayat lain yang dimiliki Ahmad
kita dapati Ibn Ishâq meriwayatkannya dari Dâwud dengan ungkapan haddatsanî
sehingga ’an’anah-nya hilang, yang secara otomatis menghilangkan kesan
keterputusan sanad.
3.
Dalam sanad Abû Dâwud dan Ahmad
(salah satu riwayatnya) menyatakan bahwa yang menerima periwayatan dari Jâbir
adalah Wâqid bin ’Abdurrahmân. Hal ini membuat Ibn al-Qattân menilai adanya
’illah karena seharusnya hadis ini diriwayatkan oleh Wâqid bin ’Amr.
Dengan melihat sanad yang dimiliki al-Hâkim dan Ahmad (riwayat yang satunya) didapati bahwa yang menerima periwayatan ini dari Jâbir adalah Wâqid bin ’Amr, sehingga penilaian da’îf dari Ibn al-Qattân terhadap hadis ini dapat dinafikan.
Dengan melihat sanad yang dimiliki al-Hâkim dan Ahmad (riwayat yang satunya) didapati bahwa yang menerima periwayatan ini dari Jâbir adalah Wâqid bin ’Amr, sehingga penilaian da’îf dari Ibn al-Qattân terhadap hadis ini dapat dinafikan.
4.
Dalam salah satu riwayat Ahmad
didapati keterangan tambahan bahwa Dâwud bin al-Husayn adalah mawlâ ’Amr bin
Utsmân.
5.
Pencabangan sanad terjadi setelah
Dâwud, sementara perawi di atasnya hanya memiliki satu jalur, yaitu Wâqid dan
Jâbir.
6.
Dengan adanya pencabangan sanad,
maka kekuatan hadis bertambah karena semakin banyak pihak yang meriwayatkan
sebuah hadis, maka validasi dan keotentikannya semakin kuat.
7.
Dalam sebagian riwayat dinyatakan
bahwa kebolehan memandang perempuan yang hendak dinikahi, hanya boleh kepada
sebagian tubuhnya. Sementara dalam riwayat yang lain dinyatakan secara mutlak
(seluruh anggota tubuhnya). Teori dasar penetapan hukum adalah jika ada nash
yang bersifat mutlak atau umum dan ada nash yang bersifat khusus, maka yang
digunakan adalah nash yang khusus. Sehingga kebolehan memandang perempuan ini
hanya berlaku pada sebagian anggota tubuhnya.