SENI DALAM PANDANGAN ISLAM.
Seni Vocal, Musik dan Tari.
Seni Vocal, Musik dan Tari.
Oleh: ‘Abd-ur-Rahmān Al-Baghdādī.
MUQADDIMAH
Masyarakat kaum Muslimīn dewasa ini umumnya menghadapi kesenian sebagai suatu masalah hingga timbul berbagai pertanyaan, bagaimana hukum tentang bidang yang satu ini, boleh, makrūh atau harām? Di samping itu dalam praktek kehidupan sehari-hari, sadar atau tidak, mereka juga telah terlibat dengan masalah seni. Bahkan sekarang ini bidang tersebut telah menjadi bagian dari gaya hidup mereka dan bukan hanya bagi yang berdomisilli (bertempat kediaman tetap; bertempat kediaman resmi) di kota. Umat kita yang berada di desa dan di kampung pun telah terasuki.(penetrate, possess).Media elektronika seperti radio, radiokaset, televisi, dan video telah menyerbu pedesaan. Media ini telah lama mempengaruhi kehidupan anak-anak mudanya. Kehidupan di kota bahkan lebih buruk lagi. Tempat-tempat hiburan (ma‘shiat) seperti "night club", bioskop dan panggung pertunjukkan jumlahnya sangat banyak dan telah mewarnai kehidupan pemuda-pemudanya.
Sering kita melihat anak-anak muda berkumpul di rumah teman-temannya. Mereka mencari kesenangan dengan bernyanyi, menari bersama sambil berjoget tanpa mempedulikan lagi hukum halāl-harām. Banyak di antara mereka yang berpikir bahwa hidup itu hanya untuk bersenang-senang, jatuh cinta, pacaran, dan lain-lain.
Semua keadaan yang kami tuturkan di atas terjadi dan berawal dari kejatuhan seni budaya dan peradaban Islam. Kita dapat menyaksikan sendiri, seni dan budaya kita telah digantikan dan tergeser (shifted, moved, removed) oleh seni budaya dan peradaban produk Barat yang nota-benenya (perhatiannya) menekankan kehidupan yang bebas tanpa ikatan agama apapun.
Cabang seni yang paling dipermasalahkan adalah nyanyian, musik dan tarian. Ketiga bidang itu telah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan modern sekarang ini karena semua cabang seni ini dirasakan langsung telah merusak akhlaq dan nilai-nilai keislāman.
Adanya dampak negatif dari bidang kesenian menyebabkan banyak orang bertanya-tanya, khususnya dari kalangan pemuda yang masih memiliki ghirah (cemburu terhadap musuh agama) Islam. Mereka bertanya: bagaimana pandangan Islam terhadap seni budaya? Bolehkah kita bermain gitar, piano, organ, drum band, seruling, bermain musik blues, klasik, keroncong (popular Indineisan music originating from Portuguese songs), musik lembut, musik rock, dan lain-lain? Bagaimana pula dengan lirik lagu bernada asmara, porno, perjuangan, qashīdah, kritik sosial, dan sejenisnya? Di samping itu, bagaimana pandangan hukum Islam dalam seni tari. Apakah tarian Barat seperti Twist, Togo, Soul, Disko dan sebagainya? Kalau tidak boleh dengan tarian Barat, bagaimana dengan tari tradisional? Juga, bolehkan wanita atau lelaki menari di kalangan mereka masing-masing?
Dalam buku ini akan dipaparkan pembahasan semua permasalahan para fuqahā’, khususnya dari kalangan empat madzhab. Harapan penulis semoga karya ini dapat menutupi kekurangan buku-buku bacaan tentang hukum di bidang seni. Dengan segala kerendahan hati, penulis senantiasa menghargai setiap kritik dan saran dari semua pihak demi menyempurnakan risālah kecil ini.
BĀB I
PENGARUH POLITIK DAN PERADABAN TERHADAP SENI UMAT ISLAM
Sejak kejatuhan politik dan peradaban Islam yang terjadi pada abad XIX Masehi, politik Barat telah mempengaruhi dan menguasai umat Islam. Banyak negeri-negeri Islam yang tadinya dijajah menjadi bekas jajahan kekuasaan Barat. Melalui pola dominasi Barat di kalangan umat Islam tersebut maka tidak mengherankan bila pengaruh sosio budaya Barat mulai menyusup ke tengah-tengah kaum Muslimīn, terutama pada masyarakat Islam yang dijajah secara langsung oleh negara-negara adikuasa.Sebagaimana kita ketahui, ciri khas peradaban Barat adalah sekulerrisme. Mereka memisahkan kebudayaan dan adat istiadat bangsa dengan agama. Walaupun sekulerisme ini sangat bertentangan dengan ‘aqīdah, kebudayaan dan peradaban Islam namun nyatanya sistem ini telah tumbuh dan berkembang di kalangan kaum Muslimīn. Pertumbuhan ini terjadi melalui akulturasi kebudayaan Barat dengan kebudayaan Islam. Negara-negara penjajah memang telah berhasil diusir oleh kaum Muslimīn dengan gemilang namun kebudayaan dan peradabannya mereka tinggalkan. Proses sekulerisme pun masih berlanjut di kalangan umat Islam sampai sepuluh tahun terakhir dari abad ke XX ini disebabkan oleh adalahnya media massa dan lembaga-lembaga pendidikan yang berasaskan sekulerisme.
1. AKULTURASI KEBUDAYAAN BARAT - ISLAM.
Jatuhnya peradaban dan kebudayaan Islam setelah diakulturasikan antara kebudayaan Barat dengan kebudayaan umat Islam membuahkan sekulerisme dunia Islam. Karenanya tidak mengherankan bila sekarang ini kita dapat menemukan dengan amat mudah akibat-akibat yang ditimbulkannya, antara lain sebagai berikut:A. Kebudayaan yang diterapkan di dunia Islam sekarang ini telah tercemar dalam kondisi cukup parah oleh kebudayaan Barat, dan lebih parahnya lagi kebudayaan itu dijadikan sebagai konsepsi kebudayaan umat Islam.
B. Masyarakat kaum Muslimīn telah menjauhi konsepsi masyarakat Islam yang dulu berdasarkan ‘aqīdah, ide-ide, jiwa dan peraturan Islam. Sekarang ini mereka lebih mirip dengan masyarakat Eropa, Amerika, Rusia dan Cina daripada masyarakat Islam.
C. Prinsip-prinsip sosio budaya yang dipratekkan oleh umat Islam telah jauh dari prinsip-prinsip sosio budaya Islam, baik dari segi hubungan antara qaum pria maupun wanitanya. Demikian pula halnya dengan segi-segi hiburan, kesenian, peragaan, busana ataupun bentuk-bentuk bangunan (arsitektur).
D. Dengan semakin giatnya akulturasi dalam bidang kesenian, seni umat Islam telah diwarnai oleh kesenian Barat yang sekularistik. Dengan demikian semakin banyaklah karya seni kaum Muslimīn sā‘at ini yang berlawanan dengan konsepsi seni Islam.
2. PENGERTIAN MASYARAKAT DUNIA TERHADAP SENI.
Dalam perjalanan sejarah, boleh dikatakan pada setiap masa orang selalu bertanya tentang apa dan bagaimana bentuk seni itu. Para filsuf sejak masa peradaban Yunani sampai sekarang telah memberikan beragam definisi. Dalam kesempatan ini kami paparkan salah satu definisi yang dapat dianggap global dan menyeluruh.
Dari ENSIKLOPEDI INDONESIA (lihat "Ensiklopedi Indonesia" PT. Ikhtiar Baru - Van Hoeve, Jakarta. Jilid V halaman 3080 dan 3081). dipetik bahwa definisi seni yaitu penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama).
Dalam pembahasan "Seri Buku Seni I" ini kami hanya akan memaparkan secara terbatas beberapa jenis seni estetika (Seni estetika adalah seni halus (fine art) yang meliputi seni lukis, pahat, bina tari, musik, pentas, film, dan kesusasteraan. Pengertian halus di sini karena ia mewujūdkan melalui perasaan) yaitu seni musik, seni suara, dan seni tari (Seri buku berikutnya Insyā’ Allāh akan dibahas masalah seni panggung yang berupa sandiwara, tonil, opera, pantom, teather, selain juga akan dibahas pada seri-seri berikutnya berupa seni pahat, seni halus, dan seterusnya).
1. SENI MUSIK.
Seni musik (instrumental art) adalah bidang seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat musik tersebut. Bidang ini membahas cara menggunakan instrumen musik. Masing-masing alat musik memiliki nada tertentu. Di samping itu seni musik, misalnya musik vokal dan musik instrumentalia.
Seni musik dapat disatukan dengan seni instrumental atau seni vokal. Seni instrumentalia adalah seni suara yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik, sedangkan seni vokal adalah melagukan syair yang hanya dinyanyikan dengan perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan intrusmen musik.
2. SENI PENDENGARAN.
Seni pendengaran (auditory art) adalah bidang seni yang menggunakan suara (vokal maupun instrumental) sebagai medium pengutaraan, baik dengan alat-alat tunggal (biola, piano dll) maupun dengan alat majemuk seperti orkes simponi, band, juga lirik puisi berirama atau prosa yang tidak berirama, serta perpaduan nada dan kata seperti lagu asmara, qashīdah dan tembang (jawa). Seni inilah yang menjadi topik bahasan.
3. SENI TARI.
Seni tari adalah seni menggerakkan tubuh secara berirama dengan iringan musik. Gerakannya dapat sekadar dinikmati sendiri, merupakan ekspresi suatu gagasan atau emosi, dan cerita (kisah). Seni tari juga digunakan untuk mencapai ekskatase (semacam mabuk atau tak sadar diri) bagi yang melakukannya.
Dari zaman dahulu, seni tari telah memainkan peranan penting dalam upacara kerajaan, di kalangan masyarakat maupun individu. Seni tari merupakan akar tari Barat yang populer pada masa kini. Bangsa-bangsa primitif bahkan percaya pada daya magis tari, seperti tampak pada tari KESUBURAN dan HUJAN, tari EKSORSISME (JAWA: RUWATAN), tari Perburuan dan Perang. Begitu pula halnya tarian tradisional Asia Timur yang hampir seluruhnya bersumber dari keagamaan walaupun ada juga yang bersifat sosial. Selain itu ada pula tarian komunal (folk dance) yang umumnya berbentuk tarian ra‘yat (atau kreasi baru). Biasanya tarian seperti ini dijadikan sebagai perlambang kekuatan kerjasama secara kelompok dan sebagai perwujūdan saling hormat-menghormati. Semua itu didasari oleh tradisi-tradisi masyarakat.
Seni tari modern lebih mengutamakan keindahan dan irama gerak dengan fokus hiburan. Seni sekarang berbeda halnya dengan tarian abad-abad sebelumnya, seperti balet, tapdans, ketoprak atau sendra tari. Gaya tarian abad XX kini berkembang dengan irama-irama musik POP SINGKOPIK, misalnya dansa CHA-CHA-CHA, TOGO, SOUL, TWIST dan yang akhir-akhir ini menggejala adalah BREAKDANCE, dan DISKO. Kedua tarian ini mempunyai gerakan yang "menggila" dan banyak digandrungi kawula muda.
BAB II
PRAKTEK SENI SUARA DAN SENI TARI DALAM SEJARAH ISLAM
Pada umumnya orang ‘Arab berbakat musik sehingga seni suara telah menjadi suatu keharusan bagi mereka semenjak zamān jāhilliyah. Di Hijāz kita dapati orang menggunakan musik mensural (?????) yang mereka namakan dengan IQA (irama yang berasal dari semacam gendang, berbentuk rithm). Mereka menggunakan berbagai intrusmen (alat musik), antara lain seruling, rebana, gambus, tambur, dan lain-lain.Setelah bangsa ‘Arab masuk Islam, bakat musiknya berkembang dengan mendapat jiwa dan semangat baru. Pada masa Rasūlullāh, ketika Hijāz menjadi pusat politik, perkembangan musik tidak menjadi berkurang.
Dalam buku-buku Hadīts terdapat nash-nash yang membolehkan seseorang menyanyi, menari, dan memainkan alat-alat musik. Tetapi kebolehan itu disebutkan pada nash-nash tersebut hanya ada pada acara pesta-pesta perkawinan, khitanan, dan ketika menyambut tamu yang baru datang atau memuji-muji orang yang mati syahīd dalam peperangan, atau pula menyambut kedatangan hari raya dan yang sejenisnya.
Dalam tulisan
ini kami kutipkan beberapa riwāyat saja, antara lain riwāyat Bukhārī dan Muslim
dari ‘Ā’isyah r.a. ia berkata (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 949, 925.
Lihat juga SHAHĪH MUSLIM, Hadīts No. 829 dengan tambahan lafazh:((وَ لَيْسَتَا مُغَنِّيَتَيْنِ"Kedua-duanya
(perempuan itu) bukanlah penyannyi"):
"Pada suatu hari Rasūlullāh masuk
ke tempatku. Di sampingku ada dua gadis perempuan budak yang sedang
mendendangkan nyanyian (tentang hari) Bu‘ats (Bu‘ats adalah nama salah satu
benteng untuk Al-AWS yang jaraknya kira-kira dua hari perjalanan dari Madīnah.
Di sana pernah terjadi perang dahsyat antara kabilah Aus dan Khazraj tepat 3
tahun sebelum hijrah).(di dalam riwāyat Muslim ditambah dengan menggunakan
rebana). (Kulihat) Rasūlullāh s.a.w. berbaring tetapi dengan memalingkan
mukanya. Pada sā‘at itulah Abū Bakar masuk dan ia marah kepada saya. Katanya:
"Di tempat Nabi ada seruling setan?" Mendengar seruan itu, Nabi
lalu menghadapkan mukanya kepada Abū Bakar seraya bersabda: "Biarkanlah
keduanya, hai Abū Bakar!". Tatkala Abū Bakar tidak memperhatikan lagi maka
saya suruh kedua budak perempuan itu keluar. Waktu itu adalah hari raya di mana
orang-orang Sudan sedang (menari dengan) memainkan alat-alat penangkis dan
senjata perangnya (di dalam masjid)....."Dalam riwāyat lain Imām Bukhārī menambahkan lafazh (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 509, 511):
(يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَ هذَا عِيْدُنَا)
"Wahai Abū Bakar,
sesungguhnya tiap bangsa punya hari raya. Sekarang ini adalah hari raya kita
(umat Islam)."Hadīts Imām Ahmad dan Bukhārī dari ‘Ā’isyah r.a. (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ Hadīts No. 5162, TARTĪB MUSNAD IMĀM AHMAD, Jilid XVI, hlm. 213. Lihat juga: Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR Jilid VI, hlm. 187):
(أَنَّهَا زَفَّتِ امْرَأَةً إِلى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ النَّبِيُّ (ص): يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ مِنْ لَهْوٍ فَإِنَّ الأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ)
"Bahwa dia pernah
mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshār. Maka
Nabi s.a.w. bersabda: "Hai ‘Ā’'isyah, tidak adakah padamu hiburan
(nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang Anshār senang dengan hiburan
(nyanyian)."Juga ada lafaz Hadīts riwāyat Imām Ahamd berbunyi (Lihat Asy-Syaukānī, ibidem jilid VI, hlm. 187):
(لَوْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا مَنْ
يُغَنِّيْهِمْ وَ يَقُوْلُ:
أَتَيْنَاكُمْ
فَحَيُّوْنَا نُحَيِّيْكُمْ فَإِنَّ الأَنْصَارَ قَوْمٌ فِيْهِمْ هَزْلٌ)
"Bagaimana kalau diikuti
pengantin itu oleh (oran-orang) wanita untuk bernayanyi sambil berkata dengan
senada: "Kami datang kepadamu. Hormatilah kami dan kami pun menghormati
kamu. Sebab kaum Anshār senang menyanyikan (lagu) tentang wanita."‘Abd-ul-Hayy Al-Kaththānī (Lihat ‘Abd-ul-Hayy Al-Kaththāīi, AT-TARĀTIB-UL-IDĀRIYYAH, Jilid II, hlm. 121-126). mencatat nama-nama penyanyi wanita di masa Rasūlullāh. Mereka ini suka menyanyi di ruang tertutup (rumah) kalangan wanita saja pada pesta perkawinan dan sebagainya. Di antaranya bernama Hammah (Lihat juga Ibnu Al-Asqalany, AN-NISĀ’, AL-'ASHĀBAH FĪ TAMYĪZ ASH-SHAHĀBAH, Jilid IV, hlm. 274 dan 275) dan Arnab (Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalany, ibidem, hlm. 226).
Kaum lelaki masa Rasulullah dan sesudahnya suka memanggil penyanyi budak (jawārī) ke rumah mereka jika ada pesta pernikahan. Buktinya Amir bin Sa‘ad (seorang dari Tābi‘īn) pernah meriwayatkan tentang apa yang terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata (Lihat SUNAN AN-NASĀ’I, Jilid VI, hlm. 135):
(دَخَلْتُ
عَلى قُرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ وَ أَبِيْ مَسْعُوْدٍ الأَنْصَارِيِّ فِيْ عُرْسٍ وَ إِذَا جَوَارِيْ يُغَنِّيْنَ فَقُلْتُ: أَنْتُمَا صَاحِبَا رَسُوْلِ اللهِ (ص) وَ مِنْ أَهْلِ بَدْرٍ
يُفْعَلُ هذَا عِنْدَكُمْ فَقَالَ: اِجْلِسْ إِنْ شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا
وَ إِنْ شِئْتَ اذْهَبْ قَدْ
رُخِّصَ لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ)
"Saya masuk ke rumah
Qurazhah bin Ka‘ab dan Abū Mas‘ūd Al-Anshārī. Ketika itu sedang berlangsung
pesta perkawinan. Tiba-tiba beberapa perempuan budak (jawārī) mulai
menyanyi-nyanyi. Maka saya bertanya: :Kalian berdua adalah sahabat Rasūlullāh
s.a.w. dan pejuang di perang Badar. Kenapa hal yang begini kalian lakukan pula?
Quraizhah menjawāb: "Duduklah, kalau engkau mau. Mari kita dengar bersama.
Kalau tidak, silakan pergi. Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk
mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada pesta perkawinan." (H.R.
An-Nasai, lihat Bab Hiburan dan Nyanyian Pada Pesta Pernikahan).Imām An-Nasā’i meriwayatkan dalam bāb Mengumumkan Pernikahan Dengan Suara (Nyanyian) dan Rebana yang diriwayatkannya dari M. bin Hathib bahwa Nabi s.a.w. bersabda (Lihat SUNAN AN-NASĀ’I, Jilid VI, hlm. 127):
(فَصْلُ
مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَ الْحَرَامِ: الدُّفُّ وَ الصَّوْتُ فِي
النِّكَاحِ)
"Tanda pemisah (pembeda)
antara yang halāl dengan yang harām (dalam suatu pernikahan) adalah
(mengumumkanmua dengan) memainkan rebana dan menyanyi."1. KEHIDUPAN MASYARAKAT ISLAM PADA MASA RASŪLULLĀH S.A.W.
Walaupun demikian perlu juga diperhatikan, kehidupan masyarakat Islam di masa Rasūlullāh s.a.w. ditandai oleh dua karakteristik, yaitu (1). sederhana; (2). banyak berbuat untuk jihād fī sabīlillāh.
Membela Islam dan meluaskannya menghendaki seluruh pemikiran dan usaha sehingga tidak ada sisa waktu lagi untuk bersenang-senang menciptakan bentuk-bentuk keindahan (seni musik, lagu) apalagi menikmatinya. Orang-orang Islam dengan lagu dan musik. Ini membuktikan bahwa masyarakat Islam di masa Rasūlullāh bukan tanah yang subur untuk kesenian. Tetapi ketika wilayah Islam meluas, kaum Muslimīn berbaur dengan berbagai bangsa yang masing-masing mempunyai kebudayaan dan kesenian sehingga terbukalah mata mereka kepada kesenian suara baru dengan mengambil musik-musik Persia dan Romawi.
2. PENGARANG TEORI MUSIK DARI KALANGAN KAUM MUSLIMĪN.
Pada waktu itu muncullah seorang ahli musik bernama Ibnu Misjah (wafat tahun 705 M.). Setelah itu kaum Muslimin banyak yang mempelajari buku-buku musik yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan Hindia. Mereka mengarang kitab-kitab musik baru dengan mengadakan penambahan, penyempurnaan, dan pembaharuan, baik dari segi alat-alat instrumen maupun dengan sistem dan teknisnya.Di antara pengarang teori musik Islam yang terkenal ialah:
1. Yunus bin Sulaimān Al-Khatīb (wafat tahun 785 M.). Beliau adalah pengarang musik pertama dalam Islam. Kitāb-kitāb karangannya dalam musik sangat bernilai tinggi sehingga penggarang-penggarang teori musik Eropa banyak yang merujuk ke ahli musik ini.
2. Khalīl bin Ahmad (wafat tahun 791 M.). Beliau telah mengarang buku teori musik mengenai not dan irama.
3. Ishāk bin Ibrāhīm Al-Mausully (wafat tahun 850 M.) telah berhasil memperbaiki musik ‘Arab jāhilliyah dengan sistem baru. Buku musiknya yang terkenal adalah KITĀB-UL-ALHAN WAL-ANGHĀM (Buku Not dan Irama). Beliau sangat terkenal dalam musik sehingga mendapat julukan IMĀM-UL-MUGHANNIYĪN (Raja Penyanyi).
3. PENDIDIKAN MUSIK DI NEGERI-NEGERI ISLAM.
Selain dari penyusunan kitāb musik yang dicurahkan pada akhir masa Daulah Umayyah. Pada masa itu para khalīfah dan para pejabat lainnya memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengembangan pendidikan musik. (Lihat Prof. A.Hasmy, Sejarah kebudayaan Islam, hlm. 320-321).
Banyak sekolah musik didirikan oleh negara Islam di berbagai kota dan daerah, baik sekolah tingkat menengah maupun sekolah tingkat tinggi. Sekolah musik yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan oleh Sa‘id ‘Abd-ul-Mu’mīn (wafat tahun 1294 M.).
Salah satu sebab mengapa dalam Daulah ‘Abbāsiyyah didirikan banyak sekolah musik adalah karena keahlian menyanyi dan bermusik menjadi salah satu syarat bagi pelayan (budak), pengasuh, dayang-dayang di istana dan di rumah pejabat negara atau pun di rumah para hartawan untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu telah menjadi suatu keharusan bagi para pemuda dan pemudi untuk mempelajari musik. (Lihat Prof. A. Hasjmy , ibidem, hlm. 322).
Di antara pelayan (jawārī) atau biduan dan biduanita yang menjadi penyannyi di istana negara tercatat nama-namanya sebagai berikut (Lihat Prof. A. Hasjmy, ibidem, hlm. 324-326):
Yang menjadi biduan antara lain:
1. Ma‘bad.
2. Al-Kharīd.
3. Dua bersaudara Hakam dan ‘Umar Al-Wady.
4. Fulaih bin Abī ‘Aurā,
5. Siyāth.
6. Nasyīth.
7. Ibrāhīm al-Mausully dan puteranya Ishāk al-Mausully.
Adapun biduanitanya anatara lain:
1. Neam (biduanita istana Khalīfah Makmun).
2. Bazel dan Zat-ul-Khal (biduanita istana di masa Khalīfah Hārūn Ar-Rasyīd).
3. Basbas (biduanita istana di masa Khalīfah Al-Mahdi).
4. Habhabah (biduanita kesenangan Khalīfah Yazīd I), dan
5. Sallamah (biduanita istana Khlīfah Yazīd II).
BĀB III
SENI DALAM PANDANGAN ‘ULAMĀ’ ISLAM
Sebelum kita
membahas dan mendiskusikan pendapat para fuqahā’, khususnya para imām madzhab
yang empat terlebih dahulu kami kutipkan pendapat mereka tentang seni suara
beserta dalīl-dalīlnya, baik dari golongan yang mengharāmkan maupun yang
membolehkannya.
1. Imām Asy-Syaukānī, dalam
kitabnya NAIL-UL-AUTHĀR menyatakan sebagai berikut (Lihat Imām Asy-Syaukānī,
NAIL-UL-AUTHĀR, Jilid VIII, hlm. 100-103):
a. Para
‘ulamā’ berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alat musik. Menurut
mazhab Jumhur adalah harām, sedangkan mazhab Ahl-ul-Madīnah, Azh-Zhāhiriyah dan
jamā‘ah Sūfiyah memperbolehkannya.
b. Abū Mansyūr Al-Baghdādī
(dari mazhab Asy-Syāfi‘ī) menyatakan: "‘ABDULLĀH BIN JA‘FAR berpendapat
bahwa menyanyi dan musik itu tidak menjadi masalah. Dia sendiri pernah
menciptakan sebuah lagu untuk dinyanyikan para pelayan (budak) wanita (jawārī)
dengan alat musik seperti rebab. Ini terjadi pada masa Amīr-ul-Mu’minīn ‘Alī
bin Abī Thālib r.a.
c. Imām
Al-Haramain di dalam kitābnya AN-NIHĀYAH menukil dari para ahli sejarah bahwa
‘Abdullāh bin Az-Zubair memiliki beberapa jāriyah (wanita budak) yang biasa
memainkan alat gambus. Pada suatu hari Ibnu ‘Umar datang kepadanya dan melihat
gambus tersebut berada di sampingnya. Lalu Ibnu ‘Umar bertanya: "Apa ini
wahai shahābat Rasūlullāh? " Setelah diamati sejenak, lalu ia berkata:
"Oh ini barangkali timbangan buatan negeri Syām," ejeknya. Mendengar
itu Ibnu Zubair berkata: "Digunakan untuk menimbang akal manusia."
d. Ar-Ruyānī meriwayatkan
dari Al-Qaffāl bahwa mazhab Maliki membolehkan menyanyi dengan ma‘āzif
(alat-alat musik yang berdawai).
e. Abū Al-Fadl
bin Thāhir mengatakan: "Tidak ada perselisihan pendapat antara ahli
Madīnah tentang, menggunakan alat gambus. Mereka berpendapat boleh saja."
Ibnu An Nawawi di dalam kitabnya
AL-‘UMDAH mengatakan bahwa para shahābat Rasūlullāh yang membolehkan menyanyi
dan mendengarkannya antara lain ‘Umar bin Khattāb, ‘Utsmān bin ‘Affān,
‘Abd-ur-Rahmān bin ‘Auf, Sa‘ad bin Abī Waqqās dan lain-lain. Sedangkan dari
tābi‘īn antara lain Sa‘īd bin Musayyab, Salīm bin ‘Umar, Ibnu Hibbān, Khārijah
bin Zaid, dan lain-lain.
2.
Abū Ishāk Asy-Syirāzī dalam kitābnya AL-MUHAZZAB (Lihat Abū Ishāk
Asy-Syirāzī, AL-MUHAZZAB, Jilid II, hlm. 237) berpendapat:
a. Diharāmkan menggunakan
alat-alat permainan yang membangkitkan hawa nafsu seperti alat musik gambus,
tambur (lute), mi‘zah (sejenis piano), drum dan seruling.
b. Boleh
memainkan rebana pada pesta perkawinan dan khitanan. Selain dua acara tersebut
tidak boleh.
c. Dibolehkan menyanyi
untuk merajinkan unta yang sedang berjalan.
3.
Al-Alūsī dalam tafsīrnya RŪH-UL-MA‘ĀNĪ (Lihat Al-Alūsī dalam tafsīrnya
RŪH-UL-MA‘ĀNĪ, Jilid XXI, hlm. 67-74).
a. Al-Muhāsibi di dalam
kitābnya AR-RISĀLAH berpendapat bahwa menyanyi itu harām seperti harāmnya
bangkai.
b.
Ath-Thursusi menukil dari kitāb ADAB-UL-QADHA bahwa Imām Syāf‘ī berpendapat
menyannyi itu adalah permainan makrūh yang menyerupai pekerjaan bāthil (yang
tidak benar). Orang yang banyak mengerjakannya adalah orang yang tidak beres
pikirannya dan ia tidak boleh menjadi saksi.
c. Al-Manawi mengatakan
dalam kitābnya: ASY-SYARH-UL-KABĪR bahwa menurut mazhab Syāfi‘ī menyanyi adalah
makrūh tanzīh yakni lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan agar dirinya
lebih terpelihara dan suci. Tetapi perbuatan itu boleh dikerjakan dengan syarat
ia tidak khawatir akan terlibat dalam fitnah.
d. Dari murīd-murīd
Al-Baghāwī ada yang berpendapat bahwa menyanyi itu harām dikerjakan dan
didengar.
e. Ibnu Hajar menukil
pendapat Imām Nawawī dan Imām Syāfi‘ī yang mengatakan bahwa harāmnya
(menyanyi dan main musik) hendaklah dapat dimengerti karena hāl demikian
biasanya disertai dengan minum arak, bergaul dengan wanita, dan semua perkara
lain yang membawa kepada maksiat. Adapun nyanyian pada saat bekerja, seperti
mengangkut suatu yang berat, nyanyian orang ‘Arab untuk memberikan semangat
berjalan unta mereka, nyanyian ibu untuk mendiamkan bayinya, dan nyanyian
perang, maka menurut Imām Awzā‘ī adalah sunat.
f. Jamā‘ah
Sūfiah berpendapat boleh menyanyi dengan atau tanpa iringan alat-alat musik.
g. Sebagian ‘ulamā’
berpendapat boleh menyanyi dan main alat musik tetapi hanya pada
perayaan-perayaan yang memang dibolehkan Islam, seperti pada pesta pernikahan,
khitanan, hari raya dan hari-hari lainnya.
h. Al-‘Izzu
bin ‘Abd-us-Salām berpendapat, tarian-tarian itu bid‘ah. Tidak ada laki-laki
yang mengerjakannya selain orang yang kurang waras dan tidak pantas, kecuali
bagi wanita. Adapun nyanyian yang baik dan dapat mengingatkan orang kepada
ākhirat tidak mengapa bahkan sunat dinyanyikan.
i. Imām Balqinī berpendapat
tari-tarian yang dilakukan di hadapan orang banyak tidak harām dan tidak pula
makrūh karena tarian itu hanya merupakan gerakan-gerakan dan belitan serta
geliat anggota badan. Ini telah dibolehkan Nabi s.a.w. kepada orang-orang
Habsyah di dalam masjid pada hari raya.
j. Imām
Al-Mawardī berkata: "Kalau kami mengharamkan nyanyian dan bunyi-bunyian
alat-alat permainan itu maka maksud kami adalah dosa kecil bukan dosa
besar."
4. ‘ABD-UR-RAHMĀN AL-JAZARĪ di
dalam kitabnya AL-FIQH ‘ALĀ AL-MADZĀHIB-IL ARBA‘A (Lihat ‘Abd-ur-Rahmān
Al-Jazarī, AL-FIQH ‘ALĀ AL-MADZĀHIB-IL ARBA‘A, Jilid II, hlm. 42-44)
mengatakan:
a.
‘Ulamā’-‘ulamā’ Syāfi‘iyah seperti yang diterangkan oleh Al-Ghazali di dalam
kitab IHYA ULUMIDDIN. Beliau berkata: "Nash nash syara' telah menunjukkan
bahwa menyanyi, menari, memukul rebana sambil bermain dengan perisai dan
senjata-senjata perang pada hari raya adalah mubah (boleh) sebab hari seperti
itu adalah hari untuk bergembira. Oleh karena itu hari bergembira dikiaskan
untuk hari-hari lain, seperti khitanan dan semua hari kegembiraan yang memang
dibolehkan syara'.
b. Al-Ghazali mengutip
perkataan Imam Syafi'i yang mengatakan bahwa sepanjang pengetahuannya tidak ada
seorangpun dari para ulama Hijaz yang benci mendengarkan nyanyian, suara
alat-alat musik, kecuali bila di dalamnya mengandung hal-hal yang tidak baik.
Maksud ucapan tersebut adalah bahwa macam-macam nyanyian tersebut tidak lain
nyanyian yang bercampur dengan hal-hal yang telah dilarang oleh syara'.
c. Para
ulama Hanfiyah mengatakan bahwa nyanyian yang diharamkan itu adalah nyanyian
yang mengandung kata-kata yang tidak baik (tidak sopan), seperti menyebutkan
sifat-sifat jejaka (lelaki bujang dan perempuan dara), atau sifat-sifat wanita
yang masih hidup ("menjurus" point, lead in certain direction,
etc.). Adapun nyanyian yang memuji keindahan bunga, air terjun, gunung, dan
pemandangan alam lainya maka tidak ada larangan sama sekali. Memang ada orang
orang yang menukilkan pendapat dari Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa ia
benci terhadap nyanyian dan tidak suka mendengarkannya. Baginya orang-orang
yang mendengarkan nyanyian dianggapnya telah melakukan perbuatan dosa. Di sini
harus dipahami bahwa nyanyian yang dimaksud Imam Hanafi adalah nyanyian yang
bercampur dengan hal-hal yang dilarang syara'.
d. Para ulama Malikiyah
mengatakan bahwa alat-alat permainan yang digunakan untuk memeriahkan pesta
pernikahan hukumnya boleh. Alat musik khusus untuk momen seperti itu misalnya
gendang, rebana yang tidak memakai genta, seruling dan terompet.
e. Para
ulama Hanbaliyah mengatakan bahwa tidak boleh menggunakan alat-alat musik,
seperti gambus, seruling, gendang, rebana, dan yang serupa dengannya. Adapun
tentang nyanyian atau lagu, maka hukumnya boleh. Bahkan sunat melagukannya
ketika membacakan ayat-ayat Al-Quran asal tidak sampai mengubah aturan-aturan
bacaannya.
BĀB IV
GOLONGAN YANG MENGHARAMKAN MENYANYI DAN MAIN MUSIK
Imam Ibnu
Al-Jauzi (Lihat Talbis Iblis, hlm. 2321-?), Imam Qurthubi (Lihat
Tafsir Qurtuhbi, Jilid XIV, hlm. 51-54), Asy-Syaukani (Lihat
Nail-ul-Authar, Jilid VIII, hlm. 442) telah mencantumkan berbagai dalil
tentang haramnya nyanyian dan penggunaan alat-alat musik, antara lain sebagai
berikut:
1. Firman Allah s.w.t.:
(وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَ
يَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ
مُهِيْنٌ) (لقمان:6)
"Dan di
antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
(lahw-ul-hadis) untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan
dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab
yang menghinakan. (31:6).
Sebagian sahabat seperti Ibnu
Abbas, Ibnu Mas'ud dan tabi'in seperti Mujahid, Hasan Al-Basri, Ikrimah, Said
bin Zubair, Qatadah dan Ibrahim An-Nakha'i menafsirkan lahw-al-hadis dengan
arti nyanyian atau menjualbelikan (menyewakan) biduanita (Lihat Tafsir Ibnu
Katsir, Jilid III, hlm. 442). Begitu juga pendapat sebagian ahli tafsir,
antara lain Imam Ibnu Katsir yang berkata (Lihat Tafsir Ibnu Katsir,
Jilid III, hlm. 442): "Orang-orang celaka itu telah berpaling dari
mendengarkan Kalamullah dan mengambil manfaatnya. Mereka cenderung mendengarkan
suara seruling nyanyian dengan irama alat-alat musik yang melenakan."
2.
Firman Allah s.w.t.:
(أَ فَمِنْ هذَا الْحَدِيْثِ تَعْجَبُوْنَ وَ تَضْحَكُوْنَ وَ لاَ تَبْكُوْنَ وَ أَنْتُمْ سَامِدُوْنَ) (النجم:59 - 61)
"Maka apakah
kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?. Dan kamu mentertawakan dan tidak
menangis?. Sedang kamu melengahkan(nya)?" (53:59-61).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa
maksud SAAMIDUUN ialah AL-GHINA (nyanyian) ((Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid
III, hlm.261). Kata tersebut diambil dari bahasa Kabilah Himyar. Kabilah
ini sering berkata: SAMADA LANAA GHANNA LANAA" (mereka bernyanyi untuk
kita). Pendapat Ibnu Abbas ini didukung oleh pendapat yang sama dari Mujahid
dan Ikrimah (Lihat Ibnu Al-Jauzi, Talbis Iblis hlm. 231; dan Tafsir Ibnu
Katsir, Jilid IV, hlm.261).
3.
Firman Allah s.w.t.:
(وَ اسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ....) (الإسراء:64)
"Dan
asunglah (kobarkanlah, bujuklah, incite, stir up) siapa yang kamu sanggupi
diantara mereka dengan suaramu (shautika)...." (17:64).
Perkataan Shautika (suaramu) yang
ditujukan kepada Iblis serta digunakan untuk membujuk manusia. Maksudnya tidak
lain adalah agar melakukan perbuatan maksiat, menurut Mujahid ia tidak lain
adalah nyanyian dan hiburan. ((Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm. 50;
Ibnu Al-Jauzi, Talbis Iblis hlm. 232).
4.
Hadis Bukhari yang diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asy'ari (Lihat SHAHIH
BUKHARI, Hadis No. 5590):
(لِيَكُوْنَنَّ مِنْ
أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَّ وَ الْحَرِيْرَ وَ الْخَمْرَ وَ الْمَعَازِفَ وَ
لَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوْحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيْهِمْ يَعْنِي الْفَقِيْرُ لِحَاجَةٍ فَيَقُوْلُوْا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ
وَ يَضَعُ الْعَلَمَ وَ يَمْسَخُ الآخَرِيْنَ قِرَدَةً وَ خَنَازِيْرَ إِلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ)
"Sesungguhnya
akan terdapat di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutra, arak
dan alat permainan (musik). Kemudian segolongan (dari kaum Muslimin) akan pergi
ke tebing bukit yang tinggi. Lalu para pengembala dengan ternak kambingnya mengunjungi
golongan tersebut. Lalu mereka didatangi oleh seorang fakir untuk meminta
sesuatu. Ketika itu mereka kemudian berkata: "Datanglah kepada kami esok
hari." Pada malam hari Allah membinasakan mereka, dan menghempaskan bukit
itu ke atas mereka. Sisa mereka yang tidak binasa pada malam tersebut ditukar
rupanya menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat."
5. Hadis riwayat Imam
Ahmad dari Abu Umamah.(Lihat Tartib Musnad Imam Ahmad, Jilid V, hlm. 259;
dan Imam Asy-Syaukani, Nail-ul-Authar, Jilid VIII, hlm. 98):
(تَبِيْتُ طَائِفَةٌ مِنْ
أُمَّتِيْ عَلى أَكْلٍ
وَ شُرْبٍ وَ لَهْوٍ وَ
لَعْبٍ ثُمَّ يُصْبِحُوْنَ قِرَدَةً وَ خَنَازِيْرَ وَ تُبْعَثُ عَلى أَحْيَاءٍ مِنْ
أَحْيَائِهِمْ رِيْحٌ فَتَنْسِفُهُمْ كَمَا نُسِفَ
مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِاسْتِحْلاَلِهِمْ الْخَمْرَ وَ ضَرْبِهِمْ بِالدُّفُوْفِ وَ اتِّخَاذِهِمِ الْقَيِّنَاتِ)
"Sekumpulan
umatku melewati malam dengan makan, minum, hiburan, dan permainan. Esok harinya
mereka ditukar dengan (rupa) monyet dan babi. Lalu kepada orang yang masih
hidup di kalangan mereka diutus angin untuk memusnahkan mereka
sebagaimana telah memusnahkan orang-orang terdahulu disebabkan karena sikap
mereka menghalalkan arak, memukul rebana dan mengambil biduanita (untuk
menyanyi) bagi mereka."
6. Hadis riwayat Abu
Dawud (Lihat SUNAN ABU DAWUD, Jilid IV, hlm. 282, Hadis No. 4927):
Hadis ini datang
melalui Sallam bin Miskin yang didengarnya dari seorang tua yang melihat
Abi Wail hadir di suatu pesta pernikahan. Di pesta itu orang-orang asyik
bermain, bersenang-senang dan bernyanyi bergembira. Waktu itu timbul hasrat Abu
Wail untuk mencegahnya. Sambil melepaskan sorban Abu Wail berkata:
"Kudengar dari Abdullah bin Mas'ud bahwa dia pernah mendengar Rasulullah
bersabda:
(الْغِنَاءُ
يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ)
"Lagu atau
nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati."
7. Hadis Imam
Tirmidzi yang diriwayatkan dengan sanadnya dari Imran bin Husain bahwa Rasulullah
s.a.w. telah bersabda (Lihat SUNAN TIRMIDZI, Hadis No. 2309; Imam
Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm.98):
(فِيْ هذِهِ
الأُمَّةِ خَسْفٌ وَ مَسْخٌ وَ
قَذْفٌ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ مَتَى ذلِكَ؟
قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ الْقِيَانُ وَ
الْمَعَازِفُ وَ شُرِبَتِ الْخُمُوْرُ)
"Pada umat
ini berlaku tanah longsor, pertukaran rupa, dan kerusuhan." Bertanya salah
seorang di antara kaum Muslimin: " Kapankah yang demikian itu akan
terjadi, ya Rasulullah?" Beliau menjawab: "Apabila telah muncul
biduanita, alat-alat musik dan minuman arak di tengah kaum Muslimin."
8. Hadis riwayat Imam
Tirmidzi dari Jabir bin Addillah dengan sanad Hasan Shahih (Lihat SUNAN
TIRMIDZI. Hadis No. 1011; juga "Musannaf Ibnu Abi Syaibah. Musnad Abu
Dawud Ath-Thayalisi, Ishaq bin Rahwi, Sunan Al-Baihaqi, Musnad Al-Bazzar, dan
Al-Mushalli; Lihat Abdullah bin Yusuf Az-Zailai, NASHB-UR-RAYAH LI
AHADITH-Il-HIDAYAH, Jilid IV, hlm. 84; dan Ibnu Al-Jauzi, Talbis Iblis, hlm.
233).
Pada suatu ketika
Rasulullah s.a.w. memegang tangan Abd-ur-Rahman bin Auf. Beliau mengajaknya
bersama-sama untuk membesuk (pay visit to patient) Ibrahim (anak beliau)
yang sedang sakit. Ketika itu beliau melihat anaknya dalam keadaan sakaratul
maut. Lalu Rasulullah s.a.w. mengangkat anaknya dan memangkunya sambil
menangis. Melihat hal ini Abd-ur-Rahman bin Auf berkata: Adakah engkau, ya
Rasulullah menangis? Padahal engkau melarang kaum Muslimin melakukannya."
Mendengar perkataan tersebut
Rasulullah s.a.w. bersabda:
(لاَ وَ لَكِنْ نَهَيْتُ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ: صَوْتٍ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ خَمْشِ وُجُوْهٍ وَ شَقِّ جُيُوْبٍ وَ رَنَّةِ الشَّيْطَانِ) و
في الحديث كَلام أكثر من
هذا
"Tidak, aku
tidak pernah melaramg orang menangis. Tetapi yang aku larang adalah mengenai
dua macam suara dari orang tolol: suara ratapan orang yang ditimpa musibah yang
disertai dengan mencakar muka dan merobek baju, dan teriakan Setan. (yakni
suara suruhan dari setan yang mendorong orang untuk berteriak histeris)."
9. Hadis riwayat Ibnu Jarir
Ath-Thabari meriwayatkan dari Abu Umamah Al-Baahily. Katanya : "Aku
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda (Lihat TAFSIR ATH-THABARI, Jilid XXI,
hlm. 39; Ibnu Jauzi, TALBIS IBLIS, hlm. 232):
(لاَ يَحِلُّ تَعْلِيْمُ الْمُغَنِّيَاتِ وَ لاَ بَيْعُهُنَّ وَ لاَ
شِرَاؤُهُنَّ وَ ثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ)
"Tidak boleh
mengajari wanita-wanita (untuk menyanyi), tidak halal memperjualbelikan mereka.
Harga jual belinya juga haram."
Imam Ath-Thabari kemudian berkata
lagi: "Terhadap merekalah ayat enam surat Luqman diturunkan."
10.
Hadis riwayat Ibnu Ghailan Al-Bazzaz (dari ???) Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa
sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR,
Jilid VIII, hlm. 100; 'Ala'uddin Al-Burhanfuri, KANZ-UL-UMMAL, Jilid XV, hlm.
226, Hadis No. 40689):
(بُعِثْتُ
بِكَسْرِ الْمَزَامِيْرِ)
"Aku diutus
untuk menghancurkan seruling-seruling."
Ibnu Ghailan juga meriwayatkan
bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
(كَسْبُ
الْمُغَنِّي وَ الْمُغَنِّيَةِ حَرَامٌ)
"Penghasilan
penyanyi lelaki maupun perempuan adalah haram."
BĀB V
GOLONGAN YANG MEMBOLEHKAN NYANYIAN DAN MAIN MUSIK
Imam Malik, Imam
Ja'far, Imam Al-Ghazali, dan Imam Abu Daud Azh-Zhahiri telah mencantumkan
berbagai dalil tentang bolehnya nyanyian dan menggunakan alat-alat musik.
Alasan-alasan mereka antara lain:
1. Firman Allah
Ta'ala:
(...وَ اغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتِ الْحَمِيْرِ) (لقمان:19).
"....dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah bunyi kelaedai."
(31:19).
Imam Al-Ghazali mengambil
pengertian ayat ini dari mafhum mukhalafah. Allah s.w.t. memuji suara yang baik.
Dengan demikian dibolehkan mendengarkan nyanyian yang baik. (Lihat Imam
AL-Ghazali, IHYA ULUM-ID-DIN, Juz VI, Jilid II, hlm. 141).
2.
Hadis Buhkari, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain dari Rubayyi' binti Mu'awwiz
'Afra.
Rubayyi' berkata bahwa Rasulullah
s.a.w. datang ke rumah pada pesta pernikahannya (Pesta yang dimaksud di sini
adalah pesta pernikahan yang didalamnya ada lelaki dan perempuan, tetapi
dipisahkan jaraknya. Di dalam Islam ada tiga pesta, yakni (1) pesta
pertunangan, (2) pesta pernikahan, (3) pesta percampuran). Lalu Nabi s.a.w.
duduk di atas.tikar. Tak lama kemudian beberapa orang dari jariah (wanita
budak)nya segera memukul rebana sambil memuji-muji (dengan menyenandungkan)
untuk orang tuanya yang syahid di medan perang Badar. Tiba-tiba salah seorang
dari jariah itu berkata: "Di antara kita ini ada Nabi s.a.w. yang dapat
mengetahui apa yang akan terjadi pada esok hari." Tetapi Rasulullah s.a.w.
segera bersabda (Lihat SEJARAH AL-KARMANI, Jilid IX, hlm. 108-109; SUNAN
AT-TIRMIDZI, Jilid III, hlm. 398-399; dan SUNAN AL-MUSTAFA, hlm. 586):
(لاَ تَقُوْلِي هكَذَا وَ
قُوْلِيْ كَمَا كُنْتِ تَقُوْلِيْنَ)
"Tinggalkanlah
omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.
3. Hadis riwayat
Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah r.a. Katanya (Lihat SHAHIH BUKHARI, Hadis
No. 949, 952; lihat juga SHAHIH MUSLIM, Hadis No. 892 dengan lafazh lain):
"Pada suatu
hari Rasulullah masuk ke tempatku. Ketika itu disampingku ada dua gadis
perempuan budak yang sedang mendendangkan nyanyian (tentang hari Bu'ats) (Bu'ats
adalah nama salah satu benteng untuk Al-Aws yang jaraknya kira-kira dua hari
perjalanan dari Madinah. Di sana pernah terjadi perang dahsyat antara kabilah
Aus dan Khazraj tepat 3 tahun sebelum hijrah.) Kulihat Rasulullah s.a.w.
berbaring tetapi dengan memalingkan mukanya. Pada saat itulah Abu Bakar masuk
dan ia marah kepadaku. Katanya: "Di tempat / rumah Nabi ada seruling
setan?". Mendengar seruan itu Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abu
Bakar seraya berkata:
(دَعْهُمَا
يَا أَبَا بَكْرٍ)
"Biarkanlah
keduanya, hai Abu Bakar."
Tatkala Abu Bakar tidak
memperhatikan lagi maka aku suruh kedua budak perempuan itu keluar. Waktu itu
adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang menari dengan memainkan
alat-alat penangkis dan senjata perangnya (di dalam masjid)."
4.
Hadis riwayat Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah r.a. Katanya:
"Aku pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari
kalangan Anshar. Maka Nabi s.a.w. bersabda:
(يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ مِنْ لَهْو
فَإِنَّ الأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ)
"Hai
'Aisyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang
Anshar senang dengan hiburan (nyanyian)."
Dalam hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad terdapat lafaz (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR,
Jilid VI, hlm. 187):
(لَوْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا مَنْ يُغَنِّيْهِمْ وَ يَقُوْلُ: أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ فَحَيُّوْنَا نُحَيِّيْكُمْ فَإِنَّ الأَنْصَارَ قَوْمٌ فِيْهِمْ غَزَلٌ)
"Bagaimana
kalau diikuti pengantin itu oleh (orang-orang) wanita untuk bernyanyi sambil
berkata dengan senada: "Kami datang kepadamu. Hormatilah kami dan kami pun
menghormati kamu. Sebab kaum Anshar senang menyanyikan (lagu) tentang
wanita."
5. Hadis riwayat Imam
Ahmad dan Tirmidzi dari Buraidah yang berkata:
"Suatu hari
Rasulullah s.a.w. pergi untuk menghadapi suatu peperangan. Setelah beliau
pulang dari medan perang, datanglah seorang jariah kulit hitam seraya berkata:
"Ya Rasulallah, aku telah bernazar, yaitu kalau tuan dipulangkan Allah
dengan selamat, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di hadapan tuan."
Mendengar hal itu Rasulullah s.a.w. bersabda:
(إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِيْ وَ إِلاَّ فَلاَ)
"Jika
demikian nazarmu, maka tabuhlah. Tetapi kalau tidak, maka jangan lakukan."
Maka jadilah ia menabuh
rebana.Ketika tengah menabuh masklah Abu Bakar. Tapi jariah itu masih terus
menabuh rebananya. Tak lama kemudian Utsman juga masuk, dan si penabuh masih
asyik dengan rebana. Begitu pula halnya ketika Ali masuk. Namun tatkala Umar
masuk, jariah itu cepat-cepat menyembunyikan rebananya di bawah pinggulnya
setelah dilemparkan, lalu didudukinya rebana itu. Melihat peristiwa itu
Rasulullah s.a.w. berkata:
(إِنَّ
الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ إِنِّيْ كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ
تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ وَ
هِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَ
هِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَ هِيَ
تَضْرِبُ فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتِ الدُّفَّ)
"Sesungguhnya
syaitan pun takut kepadamu, hai Umar. Tadi ketika aku duduk di sini, jariah ini
masih memukul rebananya. Begitu pula ketika Abu Bakar, Ali, Utsman masuk, dia
masih memukulnya. Tetapi ketika engkau yang masuk hai Umar, dia buru-buru
melemparkannya." (Tirmidzi menyebutkan bahwa Hadis ini SHAHIH
tingkatannya. Lihat Imam Asy-Syaukani , NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VII, hlm. 119).
6. Hadis riwayat
An-Nasai (dari???) Qurazhah bin Sa'ad (seorang tabi'i) yang pernah meriwayatkan
tentang apa yang terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata (Lihat
SUNAN AN-NASAI, Jilid VI, hlm. 135):
"Saya masuk
ke rumah Qurazhah bin Ka'ab dan Mas'ud Al-Anshari. Tiba-tiba beberapa perempuan
budak (jawari) mulai bernyanyi-nyanyi. Maka saya bertanya:
(أَنْتُمَا
صَاحِبَا رَسُوْلَ اللهِ (ص) وَ مِنْ أَهْلِ بَدْرٍ
وَ يُفْعَلُ هذَا عِنْدَكُمْ فَقَالَ: اِجْلِسْ إِنْ شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا
وَ إِنْ شِئْتَ اذْهَبْ قَدْ
رُخِّصَ لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ)
"Kalian
berdua adalah sahabat Rasulullah s.a.w. dan pejuang di perang Badar. Kenapa hal
yang begini kalian lakukan?" Qurazhah menjawab: "Duduklah, kalau
engkau mau. Mari kita dengar bersama. Kalau tidak, silahkan pergi. Sesungguhnya
telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada
pesta perkawinan." (Lihat SUNAN AN-NASAI, Jilid VI, hlm.127):
7. Hadis Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal dari Amr ibnu Yahya Al-Mazini dari datuknya, Abu Hasan yang
mengatakan bahwa hadis ini menceritakan kebencian Rasulullah s.a.w. terhadap
pernikahan sirri (yang rahasia). Karena Itulah rebana ditabuh seraya
didendangkan.(Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VI, hlm. 187):
(كَانَ
يَكْرَهُ نِكَاحَ السِّرِّ حَتّى يُضْرَبَ بِدُفٍّ
وَ يُقَالُ: أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ فَحَيُّوْنَا نُحَيِّيْكُمْ)
"Kami datang
kepadamu, kami datang kapadamu, (karenanya) hormatilah kami. (Sebagai gantinya)
kami akan menghormatimu."
8. Hadis riwayat Ibnu
Majah dari Anas bin Malik.
Anas bin Malik
berkata: "Sesungguhnya Nabi s.a.w. melewati beberapa tempat di Madinah.
Tiba-tiba beliau berjumpa dengan beberapa jariah yang sedang memukul rebana
sambil menyanyikan: "Kami jariah bani Najjar. Alangkah bahagianya
bertetangga dengan Nabi besar." Mendengar dendang mereka, Nabi s.a.w.
bersabda (Lihat SUNAN MUSTAFA, hlm. 586):
(اللهُ
يَعْلَمُ إِنِّيْ لأُحِبُّكُمْ)
"Allah
mengetahui bahwa aku benar-benar sayang kepada kalian."
BĀB VI
SANGGAHAN (rebuttal, protest) TERHADAP YANG MENGHARAMKAN NYANYIAN DAN MAIN MUSIK
Apabila diteliti
mendalam dalil-dalil syara' maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan
manusia seperti melihat, mendengar, bersuara, berjalan, tidur dan menggunakan
tangan adalah mubah bila dilihat dari kerumuman pengertian dalil. Sebagai
contoh, perhatikanlah firman Allah s.w.t.:
(أَ لَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ وَ
لِسَانًا وَ شَفَتَيْنِ) (البلد:8,9)
"Bukankah
Kami telah berikan kepadamu dua buah mata (untuk melihat), lidah dan dua buah
bibir (untuk bersuara, mengecap makanan dan minuman).' (90:8,9).
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ
الأَرْضَ ذَلُوْلاً فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا...) (الملك: 15)
"Dialah yang
menjadikan bumi itu mudah bagimu. Maka, berjalanlah di segala
penjurunya...."(67:15).
(وَ جَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا) (النبأ: 9)
"Dan Kami
jadikan tidurmu untuk istirahat." (78:9).
لِيَأْكُلُوْا مِنْ ثَمَرِهِ وَ
مَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيْهِمْ.....) (يس: 35)
"Supaya
mereka dapat makan dari buahnya dan dari apa yang diushakan oelh tangan
mereka....." (36:35).
Dalil-dalil diatas mengajarkan
keapda kita bahwa manusia boleh melihat dan mendengar apa saja. Manusia boleh
melihat pemandangan, mendengarkan suara wanita dan nyanyiannya kecuali terhadap
apa-apa yang telah dilarang syara' dalam perbuatan itu (Lihat Sauf-ud-Din
al-Aamidi, AL-IHKAM FI USHUL-IL-AHKAM, Jilid I, hlm. 130).
Seseorang juga
dibolehkan mengeluarkan suara dengan cara apapun, misalnya berbicara,
berpidato, berdiskusi, dan bernyanyi, kecuali bila ada suatu dalil syara' yang
memang melarangnya. Begitu pula tentang gerakan-gerakan lainnya. Sebagai salah
satu contoh adalah sabda Rasulullah s.a.w. (H.R. Muslim, dari Abu Hurairah :
Hadis No.2657):
(كُتِبَ
عَلى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنى
مُدْرِكٌ ذلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانُ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَ الأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَ
اللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَ الْيَدُ
زِنَاهَا الْبَطْشُ وَ الرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَاءُ وَ الْقَلْبُ يَهْوى
وَ يَتَمَنّى وَ يُصَدِّقُ ذلِكَ الْفَرْجُ وَ
يُكَذِّبُهُ)
"Bani Adam
(manusia) tidak dapat menghindar dari perbuatan (yang menghantarkannya kepada)
zina, yang pasti akan menimpanya, yaitu zina mata adalah dengan melihat (aurat
wanita), zina telinga adalah dengan mendengar (kata-kata porno, cinta asmara
dari wanita/lelaki yang bukan suami/istri), zina tangan adalah dengan rayuan
dan kata-kata kotor dan porno), zina tangan adalah dengan bertindak kasar
(memperkosa, menjawil wanita), zina kaki adalah dengan berjalan (ke tempat
maksiat, misalnya ke kompleks WTS). (Dalam hal ini), hatilah yang punya hajat
dan cenderung (kepada perbuatan-perbuatan tersebut), dan farji (kelamin) yang
menerima dan menolaknya."
Menurut riwayat lain yang
diriwayatkan oleh Ats-Tsa'labi melalui Ibnu 'Abbas, ada tambahan lafadz pada
hadis tersebut,yakni:
(وَ زِنَى الشَّفَتَيْنِ الْقُبْلَةُ)
"Zina bibir
adalah mencium (wanita yang bukan istrinya). (Lihat TAFSIR QURTHBI, Jilid XVII,
hal. 106-107).
Bertolak dari dasar hukum inilah
maka mendengar atau memainkan alat-alat musik atau menyanyi mubah selama tidak
terdapat suatu dalil syar'i yang menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut haram
atau makruh. Mengenai menyanyi atau memainkan alat musik dengan atau tanpa
nyanyian, tidak terdapat satupun nash, baik dari Al-Quran maupun sunnah rasul
yang mengharamkannya dengan tegas. Memang ada sebagian dari para sahabat,
tabi'in dan ulama yang mengharamkan sebagian atau seluruhnya karena
mengartikannya dari beberapa nash tertentu. Di antara mereka ada yang
mengatakan bahwa hal tersebut makruh, sedangkan yang lain mengatakan hukumnya
mubah.Adapun nash-nash (dalil-dalil) yang dijadikan alasan oleh mereka yang mengharamkan seni suara dan musik bukanlah dalil-dalil yang kuat. Sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak ada satu dalil pun yang berbicara secara tegas dalam hal ini. Dengan demikian, tidak seorang manusia pun yang wajib diikuti selain daripada Rasulullah s.a.w. Beliau sendiri tidak mengharamkannya. Seluruh riwayat hadis yang dipakai oleh golongan yang mengharamkan alat musik dan nyanyian adalah dha'if atau maudhu' (palsu dan lemah). Oleh karena itu, Imam Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi berkata: "Tidak terdapat satu dalil pun di dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasul yang mengharamkan nyanyian. Bahkan hadis Shahih (banyak yang) menunjukkan kebolehan nyanyian itu. Setiap hadis yang diriwayatkan maupun ayat yang dipergunakan untuk menunjukkan keharamannya maka ia adalah bathil dari segi sanad, bathil juga dari segi i'tiqad, baik ia bertolak dari nash maupun dari satu penakwilan." (Lihat Imam Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi, AHKAM-UL-QURAN, Jilid III, hlm. 1053-1054).
Walaupun ada beberapa riwayat yang benar dan bisa diterima tetapi ia tidak dapat dijadikan hujjah. Karena itu, patut kita bertanya, siapa yang patut diikuti, Rasulullah s.a.w. atau ulama?!
Tentang siapa yang harus diikuti, seorang Muslim telah memahami bahwa hanya Rasulullah s.a.w. yang patut dijadikan rujukan atas setiap tindakannya. Bahkan pendapat ini telah diperkuat oleh sikap para sahabat dan tabi'in. Di kalangan mereka tidak terdapat perbedaan pendapat di antara penduduk Madinah yang ketika itu merupakan tempat tinggal para sahabat yang sebelumnya mereka bergaul rapat dengan Rasulullah s.a.w. Misalnya, seperti apa yang dikutip oleh Imam Ibnu An-Nahawi dalam bukunya AL-'UMDAH bahwa (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 114-115). telah diriwayatkan tentang halalnya nyanyian dan mendengarkannya dari sekelompok sahabat dan tabi'in.
Kemudian Ibnu An-Nahawi mencantumkan nama-nama para sahabat dan tabi'in yang membolehkan menyanyikan nyanyian dan mendengarkannya.
Misalnya, di antara para sahabat adalah 'Umar, 'Utsman, 'Abd-ur-Rahman bin 'Auf, Abu 'Ubaidah Al-Jarrah, Saad bin Abi Waqqash, Bilal bin Rabbah, Al-Bura' bin Malik, Abdullah bin Al-Arqam, Usamah bin Zaid, Hamzah bin 'Umar, Abdullah bin 'Umar, Qurrazhah bin Bakkar, Khawwat bin Jubair, Rabah Al-Mu'tarif, Al-Mughirah bin Syu'bah, 'Amru bin Al-Ash, Aisyah binti Abu Bakar, Ar-Rabi', dan masih banyak lagi dari kalangan sahabat.
Sedangkan dikalangan tabi'in terdapat nama-nama seperti Said bin Al-Musayyab, Salim bin 'Umar, Ibnu Hassan, Kharizah bin Zaid, Syuraih Al-Qadli, Said bin Jubair, 'Amir Asy-Sya'bi, 'Abdullah bin Abi 'Athiq, 'Atha bin Abi Rabah, Muhammad bin Shahab Az-Zuhri, 'Umar bin Abd-ul-'Aziz, Saad bin Ibrahim Az-Zuhri.
Adapun dari kalangan tabi'it tabi'in jumlahnya sangat banyak, di antaranya Imam yang empat, Ibnu 'Uyainah, dan jumhur Syafi'iyah. (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 114-115).
Agar tidak timbul keraguan lagi maka di sini akan dibahas seluruh dalil yang dipakai oleh golongan yang mengharamkan penggunaan alat-alat musik dan nyanyian.
1. SURAT LUQMAN, AYAT 6.
Ayat ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan nyanyian. Tetapi ayat tersebut berkaitan erat dengan sikap dan perbuatan orang-orang kafir yang berusaha menjadikan ayat-ayat Allah s.w.t. sebagai senda-gurau. Tujuan mereka adalah untuk menghina, merendahkan dan berusaha menyesatkan orang-orang dari jalanNya. Mereka bermaksud menjauhkan orang-orang agar tidak mengikuti agama Islam. Sikap dan perbuatan ayat tersebut di atas terang dan jelas.
Dengan demikian,
setiap usaha menakwilkan ayat tersebut dengan arti nyanyian adalah penyimpangan
dari makna yang telah ditunjukkan oleh ayat itu sendiri.
Dalam menanggapi pengertian pada
ayat tersebut di atas, Imam Ibnu Hazm telah membantah penggunaan dalil
tersebut. Beliau berkata: (Lihat Ali bin Ahmad bin Said Ibnu Hazm, AL-MUHALLA,
Jilid VI, hlm. 60):"Teks ayat tersebut cukup untuk membatalkan hujjah mereka. Orang-orang yang bertindak demikian, sebagaimana yang diterangkan dalam ayat tersebut, adalah orang-orang yang bila mengerjakannya telah termasuk kafir tanpa ada selisih pendapat (khilaf). Mereka telah menjadikan sabil (agama Allah s.w.t.) sebagai senda gurau.
Andaikan Al-Quran dibeli untuk menyesatkan orang-orang dari Jalan Allah s.w.t. dan dijadikannya sebagai bahan ejekan, maka tentu orang-orang yang melakukan hal tersebut telah menjadi kafir. Inilah yang dicela oleh Allah s.w.t. melalui ayat tersebut. Arti ayat itu bukanlah ditujukan kepada orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan sesuatu untuk menghibur diri tanpa bermaksud menyesatkan orang lain dari jalan Allah s.w.t. Dengan demikian, hujjah mereka telah gugur. Begitu pula dengan orang-orang yang sengaja menyibukkan diri dengan maksud tidak melakukan solat walaupun apa yang dilakukannya itu adalah dengan membaca Al-Quran, buku-buku hadis, mencari bahan untuk pengajian, sibuk memandang banyaknya uang, atau menyibukkan diri dengan nyanyian dan yang serupa dengannya, maka orang tersebut adalah fasiq dan telah berbuat maksiat. Adapun yang tidak meninggalkan sesuatu dari apa yang telah diwajibkan walaupun ia sibuk dengan apa yang telah diwajibkan walaupun ia sibuk dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka orang tersebut adalah muhsin (orang yang tidak salah melangkah).
2. SURAT AN-NAJM, AYAT 59-61.
Ayat ini sama sekali tidal ada kaitannya dengan nyanyian. Ia hanya menjelaskan tentang sikap kafir Quraisy yang merasa heran akan Hari Kebangkitan nanti yang sampai kepada kepada mereka. Karenanya, mereka menganggap hal tersebut merupakan kejadian yang mustahil terjadi. Walaupun ayat Al-Quran yang disampaikan Rasulullah s.a.w. kepada mereka telah memberitahukan tentang adanya Hari Kebangkitan itu, akan tetapi mereka mentertawakan dan merendahkannya. Padahal seharusnya mereka beriman dan menangisi dosa-dosa yang telah mereka perbuat.
Bertolak dari ayat ini, dari manakah para ulama tersebut mengambil pengertian tentang haramnya nyanyian? Kalau mereka bersandarkan kepada kata "SAAMIDUN" yang mempunyai arti "nyanyian" untuk ayat ini, maka samdaran tersebut tidak tepat sama sekali dan tidak sesuai untuk susunan ayat. Oleh karena itu, sebagian besar ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud dengan kata "SAAMIDUN" adalah "MU'RIDHUN" (menghindari daripadanya), dan atau "GHAFILUN" (mengabaikan, melupakan). (Lihat TAFSIR IBNU KATSIR, Jilid IV, hlm. 261; lihat juga TAFSIR ATH-THABARI, Juz XXVII, hlm. 48-49; TAFSIR QURTHUBI, Juz XVII, hlm. 123-124).
3. AYAT 64 SURAT-UL-ISRAA.
Seperti ayat terdahulu, ayat ini juga tidak ada kaitannya dengan nyanyian. Tetapi ayat tersebut ada kaitannya dengan perbuatan Iblis yang dibiarkan (hidup dan berbuat apa saja) oleh Allah s.w.t. untuk menggoda dan menyelewengkan manusia dari jalanNya, Iblis dibiarkan leluasa mengajak manusia ke jalan maksiat. Oleh karena itu, kata "SHAUTIKA" pada ayat tersebut tidak dapat ditakwilkan dengan arti "nyanyian".
Walaupun arti "SHAUTIKA" secara lughawi adalah "suaramu", tetapi arti tersebut berbentuk kiasan. Tidak ada seorang manusia pun yang dapat mendengar suara Iblis. Manusia hanya dapat merasakan bisikan dari Iblis (rasa was-was) yang berbentuk seruan atau ajakan kepada maksiat. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Qatadah, dan Ibnu Jarir Ath-Thabari, serta pendapat ahli tafsir secara umum. (Lihat TAFSIR IBNU KATSIR, Jilid III, ayat 50).
Pengertian inilah yang sesuai dengan susunan ayat tersebut di atas. Sedangkan hukum penggunaan alat-alat musik dan nyanyian, tidak bisa diambil dari ayat ini walaupun terdapat pendapat dari sebagian ulama tabi'in seperti Mujahid, Adh-Dhahaak, dan lain-lain, yang menafsirkan ayat tersebut dengan arti "nyanyian" dan "alat musik". Tetapi ajakan atau seruan Iblis untuk mengajak kepada maksiat kadang-kadang memang dapat saja dikaitkan dengan berbagai jenis hiburan yang kadarnya melebihi takaran (keterlaluan), atau melampaui batas-batas yang dibenarkan syara' seperti main musik dan beryanyi pada waktu solat Juma'at, atau tatkala kaum Muslimin hendak berangkat ke medan jihad. Pada jenis pesta yang bercampur antara kaum lelaki dan perempuan adalah suatu peristiwa yang disenangi syetan, apalagi kalau disertai dengan minuman keras, judi, main perempuan, joget bersama, dan lain-lain. Dengan demikian ayat ini dapat dikaitkan dengan bentuk-bentuk ajakan Iblis yang sarananya berupa nyanyian atau hiburan lain yang tegas keharamannya.
4. HADIS IMAM BUKHARI, No. 5590.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian lima di atas, Hadis ini tidak dapat dipakai sebagai dalil untuk mengharamkan nyanyian dan penggunaan alat-alat musik. Di dalam Hadis ini terdapat "QARINAH" (tanda penunjukan) bahwa mereka telah berani menghalalkan perzinaan, memakai sutera, menenggak (swallow, gulp down) khamr, dan memainkan alat-alat musik. Mengenai perzinaan dan minum khamr, sudah jelas hukumnya. Adapun mengenai pemakaian sutera dan memainkan alat-alat musik maka syara' telah mengaturnya sebagai sebagai berikut:
Mengenai sutera, syara' telah menghalalkannya bagi kaum wanita tetapi haram bagi kaum lelaki kecuali apabila ada alasan yang membolehkannya. Misalnya, bila seseorang menderita penyakit kulit (semisal eksim), maka ia mendapat "rukhshah" (keringanan) dan ia boleh memakainya. Semua keterangan tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud pemakai sutera dalam Hadis tersebut adalah orang-orang yang menghalalkan pemakaian sutera bagi kaum lelaki secara mutlak tanpa kecuali.
Begitu pula tentang penggunaan alat-alat musik, syara' telah membolehkannya dalam acara pesta pernikahan atau pada hari raya dan hari-hari gembira lainnya. Tetapi dalam hal ini, syara' telah mengharamkan menjadikan nyanyian dan memainkan orkes sebagai profesi kaum wanita. Artinya, mereka tidak dibolehkan menerima imbalan dari profesi (pekerjaan) tersebut.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
لاَ يَحِلُّ ثَمَنُ الْمُغَنِّيَةِ وَ لاَ
بَيْعُهَا وَ لاَ شِرَاءُهَا وَ لاَ
الاِسْتَمَاعُ إِلَيْهَا)
"Penghasilan penyanyi wanita
(bayaran) adalah tidak halal, begitu juga memperjualkan dan mendengarkan suara
(nyanyian) nya."Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan, maksud Hadis Imam Bukhari tersebut jatuh kepada segolongan orang-orang dari kaum Muslimin yang berani menghalalkan penggunaan alat-alat musik di luar batas-batas yang telah digariskan syara'. Misalnya memainkannya di tempat umum (televisi, stadion, atau panggung-panggung pertunjukkan terbuka lainnya), bukan di tempat dan acara khusus, seperti pada acara pesta pernikahan di rumah-rumah. Dengan kata lain, syara' membolehkan biduanita budak menyanyi untuk pemilikinya, dan atau untuk para wanita lainnya dalam acara pernikahan. Boleh saja salah seorang di antara anggota keluarga pengantin ikut bernyanyi, tetapi syara' tidak membolehkan ada penyanyi wanita bayaran sebagaimana yang umum terjadi sekarang ini.
5. HADIS MUSNAD IMAM AHMAD, JILID V, HLM. 259.
Hadis ini tidak dapat dijadikan pegangan karena dari segi sanadnya dha'if. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Sa'id bin Mansur dari Al-Harits bin Nabhan, dari Farqad As-Sabakhi, dari Ashim bin Amru, dari Abu Umamah.
Dalam menanggapi Hadis tersebut, Imam Ibnu Hazm telah menolak sanad Hadis tersebut. Beliau mengatakan bahwa Al-Harits bin Nabhan Hadisnya tidak boleh ditulis, dan Farqad As-Sabakhi Hadisnya lemah. Bahkan Imam Ahmad sendiri mengatakan bahwa Farqad As-Sabakhi riwayat Hadisnya tidak kuat. (Lihat Ibnu Hazm, AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 59). Tetapi Ibnu Mu'in mengatakan bahwa orang ini "tsiqah" (dapat dipercaya). (Lihat Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 111).
Imam Az-Zahabi mengatakan bahwa Al-Harits bin Nabhan riwayatnya menurut Imam Bukhari adalah "munkar-ul-hadits" (Hadis cacat yang diriwayatkan oleh satu riwayat saja dan orang tersebut belum dapat dipercaya). Tetapi menurut Imam An-Nasai, Hadisnya "matruk" (Hadisnya harus ditinggalkan). Sedangkan Ibnu Mu'in berpendapat, Hadis Al-Harits bin Nabhan "Laisa bi syai" (Hadisnya tidak perlu diperhatikan atau tidak perlu ditulis). (Lihat Muhammad bin Ahmad Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDALI FI NAQD-IR-RIJAL, Jilid I, hlm.444, No.perawi Hadis 1649).
Adapun Farqad As-Sabakhi walaupun menurut Ibnu Mu'in orang tersebut dapat dipercaya, namun menurut Abu Hatim sanadnya tidak kuat. Sedangkan Imam Bukhari mengatakan bahwa di dalam Hadisnya banyak Hadis yang "munkar". Kemudian menurut Imam An-Nasai, Hadisnya dha'if dan orangnya tidak dapat dipercaya. (Lihat Muhammad bin Ahmad Az-Zahabi, ibidem, Jilid III, hlm. 346, No perawi Hadis 6699).
6. HADITSNYA ABU DAWUD No. 4927.
Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan sanadnya adalah dari Muslim bin Ibrahim, dari Sallam bin Miskin melalui seorang kakek yang tidak disebutkan namanya. Si kakek itu pernah berjumpa dengan Abu Wail yang mendengar sebuah Hadits Rasulullah s.a.w. dari Ibnu Mas'ud yang berbunyi:
(الْغِنَاءُ
يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ)
"Lagu atau nyanyian adalah
sesuatu yang dapat menumbuhkan sifat nifaq di dalam hati manusia."Pada sanad Hadits tersebut terdapat seseorang yang "majhul" (tidak dikenal), yaitu seorang kakek tua. Menurut kaidah ilmu Hadits bila sanadnya majhul, maka Hadits tersebut harus ditolak. Tetapi di dalam sanad Hadits ini terdapat seseorang yang dapat dipercaya, yaitu Sallam bin Miskin. Namun Imam Abu Dawud mengatakan bahwa perawi tersebut cenderung kepada pendapat golongan Qadariyah (golongan yang menolak adanya takdir). Karena itu sudah cukup bagi kita untuk meolak riwayatnya karena berarti ia telah tergolong ke dalam golongan (Qadariyah) yang berbuat bid'ah. Sedangkan ahli bid'ah tidak boleh diterima riwayatnya.
Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya, juga dari Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Adi, dan Ad-Dailami dengan sanad yang dha'if. Menurut Ibn-ul-Qathan, ia menukilkan pendapat Imam Nawawi yang mengatakan bahwa Hadits ini tidak shahih. Pendapat ini juga didukung oleh Imam As-Sarkhasi dan Imam Al-'Iraqi yang menolak Hadits tersebut karena ada seseorang yang tidak tercatat namanya.
Imam Al-Baihaqi meriwayatkannya juga dalam kitab SYUAB-UL-IMAN dari Jarir dengan sanad yang di dalamnya ada seseorang yang bernama Ali bin Hammad. Orang ini menurut Imam Daruquthni adalah "matruk" (harus ditinggalkan).
Selain itu pada sanadnya ada Abdullah bin Abd-ul-'Aziz bin Ruwat yang menurut Imam Abu Hatim Haditsnya munkar seluruhnya. Akan halnya Ibn-ul-Junaid, beliau berpendapat orang ini "tidak bernilai sesenpun" (Lihat Abd-ur-Rauf Al-Manawi, FAIDH-UL-QADIR, Jilid IV, hlm. 413-414).
7. HADITS IMAM TIRMIDZI, NO. 1011.
Hadits ini walaupun dari segi sanadnya mursal, yang umumnya ditolak oleh sebagian ahli Hadits, tetapi oleh sebagian lainnya dijadikan hujjah dalam pengambilan hukum dan pendapat. Cara seperti inilah yang dapat diterima. Tetapi dari segi matannya (isi Hadits), ia tidak menunjukkan bahwa telah diturunkan azab atas mereka yang berupa tanah longsor (landslide), pertukaran rupa dari manusia ke wajah hewan, terjadinya kerusuhan adalah karena mereka telah menggunakan alat-alat musik atau karena mereka telah mendengar nyanyian seorang biduanita dan menenggak (swallow, gulp down) minuman keras. Tetapi semua malapetaka yang menimpa mereka disebabkan oleh karena mereka telah menghalalkan khamr, perzinaan, memakai sutera (bagi lelaki), dan membolehkan wanita tampil sebagai penyanyi dalam forum yang bercampur antara lelaki dan perempuan. Selain itu mereka menghalalkan menggunakan alat-alat musik di luar batas-batas yang telah ditentukan oleh syara', sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Hadits riwayat lainnya. Salah satu di antara Hadits tersebut adalah riwayat Bukhari Hadits No. 5590 yang berbunyi:
(لِيَكُونَنَّ
مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَّ وَ الْحَرِيرَ وَ الْخَمْرَ وَ
الْمَعَازِفَ وَ لَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلى جَنْبِ
عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي
الْفَقِيرُ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا
فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَ يَضَعُ الْعَلَمَ وَ
يَمْسَخُ الآخَرِينَ قِرَدَةً وَ خَنَازِيرَ إِلى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ)
"Sesungguhnya akan terdapat
di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak dan alat
permainan (musik). Kemudian segolongan (dari kaum Muslimin) akan pergi ke
tebing bukit yang tinggi. Lalu para pengembala dengan ternak kambingnya
mengunjungi golongan tersebut. Lalu mereka didatangi oleh seorang fakir untuk
meminta sesuatu. Ketika itu mereka kemudian berkata: "Datanglah kepada
kami esok hari." Pada malam hari Allah membinasakan mereka, dan
menghempaskan bukit itu ke atas mereka. Sisa mereka yang tidak binasa pada
malam tersebut ditukar rupanya menjadi monyet dan babi hingga hari
kiamat."
Juga riwayat Imam
Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Al-Bukhari dalam buku TARIKHnya melalui Abi Malik
Al-Asy'ari dari Rasulullah s.a.w. yang bersabda (Lihat Imam Ahmad bin Ali bin
Hajar Al-Asqalani, FATH-UL-BARI, Jilid X, hlm. 55):
(لَيَشْرَبَنَّ
أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا تَغْدُو عَلَيْهِمِ الْقِيَانُ وَ
تَرُوحُ عَلَيْهِمِ الْمَعَازِفُ)
"Segolongan dari umatku akan
minum khamr tetapi dengan menyebutkan dengan nama lain, dan mereka akan
didatangi oleh para penyannyi wanita keliling beserta pemain musik dengan
alat-alat instrumentalnya."8. HADITS DI DALAM TAFSIR ATH-THABARI, JUZ XXI, HLM. 39.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dari Al-Waqi', dari Khallaf Ash-Shaffar, dari 'Ubaidillah bin Zahhar, dari Ali bin Yazid, dari Al-Kasim bin Abd-ur-Rahman, dengan sanad yang lemah. Di dalam Hadits tersebut terdapat sanadnya yang bernama Ali bin Yazid yang menurut Imam Bukhari adalah perawi Hadits yang munkar (Haditsnya harus ditolak). Kemudian Imam An-Nasai juga menilai bahwa orang tersebut tidak dapat dipercaya. Abu Zur'ah berkata bahwa Haditsnya tidak kuat riwayatnya, sedangkan Ad-Daruquthni berkata bahwa orang tersebut "matruk" (Haditsnya harus ditinggalkan). (Lihat Muhammad bin Ahmad Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDAL, Jilid III, hlm. 161; No. perawi Hadits 5966).
Walaupun sanad hadits tersebut lemah tetapi dari segi matannya Hadits ini tidak menunjukkan haramnya nyanyian dan penggunaan alat-alat musik. Focus Hadits ini hanya terbatas pada larangan mengajarkan teori musik dan mengarang lagu untuk dinyanyikan kaum wanita. Selain itu, Hadits ini juga melarang melakukan praktek jual-beli penyanyi wanita atau memberikan imbalan kepada mereka atas jasa menyanyi.
Semua larangan tersebut menunjukkan bahwa kaum perempuan lebih layak diajarkan ilmu atau kepandaian yang selain itu, seperti menjahit, merenda, menenun, mengajarkan ilmu fiqih, tafsir, dan ilmu syariat lainnya, atau ilmu-ilmu yang dibutuhkan bagi kaum wanita seperti ilmu kebidanan, dan sebagainya. Hadits ini juga menegaskan bahwa wanita mempunyai kehormatan. Bahkan andaikan ia berstatus wanita budak, tetapi ia tidak boleh diperjualbelikan, khususnya bagi penyanyi budak wanita. Larangan tersebut berlaku pula untuk praktek memberikan imbalan kepada penyanyi wanita yang menjadikan pekerjaan tersebut sebagai profesinya.
9. HADITS RIWAYAT IBNU GHAILAN AL-BAZZAZ.
Hadits ini dari segi sanadnya lemah sebab di dalamnya terdapat dua orang perawi yang tak bisa diterima riwayatnya.
PERTAMA: 'Abbad bin Ya'kub. Mengenai orang ini, Imam Az-Zahabi berkata bahawa orang tersebut adalah salah seorang anggota kelompok ghulat (ekstrimis) dari kalangan kaum Syi'ah dan disebutkan sebagai orang yang terkemuka di antara golongan yang membuat bid'ah, walaupun, kata Imam Az-Zahabi, orang ini jujur dalam meriwayatkan Hadits. Kemudian Imam Ibnu Hibban menilai orang ini sebagai pendakwah untuk kalangan golongan Rafidhah (Syi'ah). Selanjutnya Ibnu Hibban mengatakan bahwa orang ini meriwayatkan Hadits-Hadits munkar dari orang-orang (perawi) terkemuka. Oleh karena itu, kata Ibnu Hibban, riwayatnya harus ditinggalkan. (Lihat Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDAL, Jilid II, hlm. 379, No. perawi 4149).
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Abbad bin Ya'kub termasuk salah seorang yang aktif dalam mengembangkan madzhab Syi'ah Rafidhah. Orang ini selalu mencela 'Utsman bin 'Affan dan para sahabat lainnya. Perbuatannya itu menjadi alasan yang kuat untuk menolak semua riwayatnya. Selain itu ia juga seorang ahli bid'ah yang menurut kaidah ilmu musthalah Hadits, tidak bisa diterima riwayatnya.
KEDUA: perawi pada sanad Hadits ini adalah Ja'far bin Muhammad bin 'Abbad Al-Makhzumi. Mengomentari orang tersebut, Imam An-Nasai berkata: "Dia tidak kuat riwayatnya ". Sedangkan Ibnu 'Uyainah mengatakan bahwa orang ini bukan ahli Hadits (tidak bisa diterima riwayatnya). (Lihat Imam Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDAL. Jilid I, hlm. 414, No perawi 1518).
Mengenai isi Hadits, dari segi matannya, Hadits tersebut menjelaskan bahwa penghasilan penyanyi lelaki maupun perempuan adalah haram. Yang dimaksud dengan penyanyi di sini adalah biduan dan biduanita yang bernyanyi di tempat-tempat maksiat. Tempat maksiat yang dimaksud adalah tempat yang di dalamnya orang-orang tidak merasa takut menenggak minuman keras. Penjelasan seperti ini diterangkan oleh Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dari 'Umar bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda (Lihat Al-Hafizh Ad-Dailami, FIRDAUS-UL-AKHBAR, Jilid II, hlm. 164, No. perawi 2371).
(ثَمَنُ
الْقَيْنَةِ سُخْتٌ وَ غِنَاؤُهَا حَرَامٌ وَ
النَّطَرُ إِلَيْهَا حَرَامٌ وَ ثَمَنُهَا مِثْلُ ثَمَنِ
الْكَلْبِ وَ ثَمَنُ الْكَلْبِ سُحْتٌ وَ
مَنْ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلى
بِهِ)
"Penghasilan wanita budak
(Qayinah; yang bernyanyi di arena maksiat) adalah suhtun (haram), dan begitu
pula nyanyiannya. Juga melihatnya (wanita itu) adalah haram. Penghasilannya
sama dengan hasil dari penjualan anjing. (karenanya) hartanya adalah suhtun
(haram) pula. Siapa saja yang daging tubuhnya tumbuh dari yang suhtun itu, maka
tempat yang layak baginya adalah nereka jahanam."Walaupun pada Hadits tersebut ada perawi yang bernama Yazid bin Abd-ul-Malik An-Naufali yang menurut Imam Al-Haitsami telah didha'ifkan oleh jumhur ahli Hadits, namun Imam Al-Haitsami telah menukilkan pendapat Ibnu Mu'in yang mengatakan bahwa riwayatnya tidak ada masalah (bisa diterima). Selain itu, Imam Al-Haitsami mengutip perkataan 'Utsman bin Sa'id: "Aku pernah menanyakan kepada Yahya tentang orang tersebut. Lalu Yahya menyebutkan bahwa riwayat orang tersebut tidak ada masalah (bisa diterima)." Namun dalam riwayat Hadits yang lain, Yahya berkata bahwa orang tersebut tidak bisa diterima riwayatnya. (Lihat Al-Haitsami, MAJMA'-UL-FAWAID, Jilid IV, hlm. 91: Imam Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDAL, Jilid IV, hlm. 433).
Berdasarkan Hadits di atas, maka yang dimaksud dengan penyanyi adalah wanita yang menyanyi di hadapan kaum lelaki dalam suatu ruangan tempat bercampur-baurnya lelaki dan perempuan, serta di dalamnya banyak orang bermabuk-mabukan. (Lihat Imam Al-Ghazali, IHYA 'ULUMIDDIN, Juz VI, Jilid II, hlm. 164).
Hadits ini juga
tidak ada kaitannya dengan hukum nyanyian, apakah boleh atau tidak. Namun
Hadits tersebut ada kaitannya dengan wanita yang menyanyi untuk kaum lelaki
yang fasiq, baik di tempat-tempat umum maupun tempat-tempat khusus. Begitu juga
penghasilan para pemain musik adalah haram bila pekerjaan tersebut dijadikan
sebagai profesi, sebagaimana bunyi Hadits Abu Ya'la Ad-Dailami (Lihat Imam
Al-Manawi, FAIDH-UL-QADIR, Jilid IV, hlm. 550):
(كَسْبُ الْمُغَنِّي وَ الْمُغْنِيَّةِ حَرَامٌ)
"Penghasilan
para penyanyi dan pemusik adalah haram."
Oleh karena itu Hadits tersebut
di atas tidak dapat dijadikan sebagai dalil yang mengharamkan nyanyian. BAB VII
HALAL ATAU HARAM NYANYIAN DAN MEMAINKAN ALAT MUSIK?
Nyanyian yang bersifat vokal (suara manusia tanpa instrumen musik) tidak diperselisihkan oleh para fuqaha. Mereka mengatakan bahwa nyanyian semacam ini halal atau dibolehkan, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Asy-Syaukani dari berbagai kalangan ulama (Lihat Asy-Syaukani , NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII,hlm. 114-115):
"Nyanyian
tanpa instrumen musik, Al-Adhfawi dalam kitabnya AL-IMTA menyebutkan bahwa Imam
Al-Ghazali dalam berbagai karangan fiqihnya menegaskan kesepakatan ulama
tentang halalnya nyanyian jenis ini. Begitu juga Ibnu Thahir berpendapat ada
ijma' sahabat dan tabi'in tentang halalnya nyanyian vokal ini. At-Taj-ul-Fazari
dan Ibnu Qutaibah menyebutkan adanya ijma' penduduk Mekah dan Madinah. Ibnu
Thahir dan Ibnu Qutaibah juga menyebutkan adanya ijma' penduduk Madinah dalam
hal tersebut. Sedangkan Imam Al-Mawardi mengatakan bahwa penduduk Hijaz sejak
dulu sampai sekarang (abad 5 H) membolehkan nyanyian jenis ini pada hari-hari
yang mulia dalam setahun yang (kaum Muslimin) diperintahkan untuk melakukan
nazam-nazam zikir dan ibadah."
Imam An-Nawawi dalam kitabnya
Al-Umdah berkata: "Telah diriwayatkan tentang halalnya nyanyian dan mendengarkannya dari sekelompok sahabat dan tabi'in, di antaranya adalah Imam yang empat, Ibnu "Uyainah, dan jumhur Syafi'yah."
Ini mengenai nyanyian vokal tanpa instrumen musik. Adapun nyanyian yang disertai dengan alat musik maka ulama yang menghalalkannya mengatakan bahwa semua Hadits yang membahas masalah ini nilainya tidak sampai ke tingkat shahih maupun hasan. Inilah yang dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi (Lihat Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi, AHKAM-UL-QURAN, Jilid III, hlm. 1053-1054):
"Tidak terdapat satu dalil pun di dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasul yang mengharamkan nyanyian. Bahkan ada Hadits yang menunjukkan bolehnya nyanyian. Hadits shahih itu mengatakan bahwa Abu Bakar pernah masuk ke tempat Aisyah yang disampingnya ada dua jariyah penyanyi dari kalangan Anshar yang sedang menyanyikan tentang hari Bu'ats. Kemudian Abu Bakar berkata: "Di rumah Nabi s.a.w. ada seruling syaitan?" Mendengar perkataan itu, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Biarkanlah keduanya, wahai Abu Bakar, sebab sesungguhnya hari ini adalah hari raya."
Ibn-ul-'Arabi berkata: "Jika nyanyian itu haram, tentu di rumah Rasulullah s.a.w. tidak akan ada sama sekali hal tersebut. Tetapi alasan yang diberikan beliau (Nabi s.a.w.) untuk membolehkannya adalah karena nyanyian itu dilakukan pada hari raya, yang hal tersebut menunjukkan bahwa bila nyanyian itu dilakukan secara terus-menerus, maka hukumnya makruh. Sedangkan rukhshah (keringanan) untuk melakukannya terbatas pada saat-saat tertentu seperti hari raya, perkawinan, pulangnya seseorang kekampung halamannya, dan sebagainya. Berkumpulnya orang-orang (dalam acara tersebut) biasanya untuk menyenangkan hati orang-orang yang sejak lama tidak bertemu atau berkumpul, baik berkumpulnya kalangan kaum wanita maupun pria. Jadi, setiap Hadits yang diriwayatkan maupun ayat dipergunakan untuk menunjukkan keharaman nyanyian merupakan pendapat yang bathil atau tidak benar dari segi sanad dan ijtihad, baik bertolak dari nash maupun suatu takwilan."
Imam Ibnu Hazm juga memberikan komentar yang melemahkan semua Hadits riwayat tentang nyanyian. Bahkan menurut beliau, sebagian di antaranya adalah maudhu' (palsu). Inilah komentarnya. (Lihat Ibnu Hazm, AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 59):
"Jika belum ada perincian dari Allah s.w.t. maupun RasulNya tentang haramnya sesuatu yang kita bincangkan di sini (dalam hal ini adalah nyanyian dan menggunakan alat-alat musik), maka telah terbukti bahwa ia adalah halal atau boleh secara mutlak."
Adapun orang yang bertolak dari pendapat Ibnu Mas'ud dan Ibnu 'Abbas tentang firman Allah s.w.t. surat Luqman, ayat 6 tentang arti Lahw-ul-hadits dalam ayat tersebut adalah 'nyanyian". Begitu juga pendapat Ibnu 'Abbas yang mengatakan bahwa memainkan alat musik rebana dan setiap alat musik termasuk seruling, tambur, adalah haram. Maka Ibnu Hazm membantah pendapat ini dengan mengatakan (Lihat Ibnu Hazm, AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 60). bahwa semua pendapat yang semacam ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau bukti dengan sebab-sebab sebagai berikut:
1. Tidak ada hujjah dalam ucapan manusia manapun selain ucapan Rasulullah s.a.w.
2. Pendapat Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud, Ibrahim, Mujahid, dan Ikrimah tentang firman Allah s.w.t. dalam surat Luqman, ayat 6 yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah nyanyian, maka pendapat ini bertentangan senga pendapat yang lainnya dari kalangan sahabat dan tabi'in.
3.
Teks ayat tersebut cukup untuk membatalkan hujjah mereka. Orang-orang yang
bertindak demikian, sebagaimana yang diterangkan dalam ayat tersebut adalah
orang-orang yang bila mengajarkannya telah termasuk kafir tanpa ada selisih
pendapat (khilaf). Mereka telah menjadikan Sabil (Agama Allah s.w.t.) sebagai
senda gurau. Andaikan Al-Quran dibeli untuk menyesatkan orang-orang dari jalan
Allah s.w.t. dan dijadikannya sebagai bahan ejekan maka tentu orang-orang yang
melakukan hal tersebut telah menjadi kafir. Inilah yang dicela oleh Allah
s.w.t. melalui ayat tersebut. Arti ayat itu bukan ditujukan kepada orang-orang
yang menyibukkan dirinya dengan sesuatu untuk menghibur diri tanpa bermaksud
menyesatkan orang lain dari jalan Allah s.w.t. Dengan demikian, hujjah mereka
telah gugur. Begitu pula dengan orang-orang yang sengaja menyibukkan diri
dengan maksud tidak melakukan solat walaupun apa yang dilakukannya adalah
dengan membaca Al-Quran, buku-buku Hadits, mencari bahan untuk pengajian, sibuk
memandang banyaknya uang, atau menyibukkan diri dengan nyanyian dan yang serupa
dengannya, maka orang tersebut adalah fasiq dan telah berbuat maksiat. Adapun
yang tidak meninggalkan sesuatu dari apa yang telah diwajibkan walaupun ia
sibuk dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka orang tersebut adalah
muhsin (orang yang tidak salah melangkah).
Kemudian beliau melanjutkan
bantahannya terhadap pendapat dari pihak yang menanyakan, apakah nyanyian itu
tergolong dalam Al-Haq (sesuatu yang dibenarkan oleh agama) atau tidak? Ini
disebabkan karena Allah s.w.t. telah berfirman:
(فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلِ)
"...maka tidak ada
sesuatu kebenaran itu melainkan kesesatan." (10:32), dengan mengatakan
(Lihat Ibnu Hazm, AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 60).Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
(إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوى) (متفق عليه)
"Sesungguhnya amal perbuatan
(manusia) itu tergantung niatnya. Bahwasanya apa yang diperoleh oleh seseorang
adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya...."Oleh karena itu siapa saja yang niatnya mendengar nyanyian untuk melakukan suatu kemaksiatan kepada Allah, maka ia adalah seorang fasiq. Begitu pula halnya tiap sesuatu (hiburan) selain nyanyian. Sedangkan orang yang berekreasi di kebun atau duduk-duduk di depan pintu rumah sambil melihat orang-orang yang sedang berjalan, mencelup bajunya dengan warna biru atau hijau, dan warna lainnya, atau ingin meluruskan kaki atau menekuknya (fold s.t., bend s.t. over), begitu pula dengan seluruh perbuatan yang serupa dengannya.
Bertolak dari keterangan di atas maka terbukti dengan pasti bathilnya pendapat orang-orang yang meributkan masalah tersebut (yang mengharamkan nyanyian).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, ditambah dengan berbagai keterangan sebelumnya maka dapat kita simpulkan bahwa para ulama memang telah berselisih pendapat terhadap masalah nyanyian. Sebagian dari mereka tidak menganggap Hadits-Hadits yang mengharamkan nyanyian adalah shahih. Sedangkan yang lain telah menjadikan Hadits-Hadits tersebut sebagai hujjah atau bukti untuk mengharamkan nyanyian. Masing-masing mengikuti apa yang mereka tentukan sebagai dasar pengambilan hukum sesuai dengan ijtihadnya. Karenanya, siapa saja yang ijtihadnya telah menghasilkan suatu dugaan yang kuat bahwa bernyanyi dan mendengarkannya adalah haram, maka itulah hukum Allah terhadapnya, juga terhadap setiap orang yang mengikutinya.
Sedangkan bagi orang-orang yang belum terbukti baginya keshahihan Hadits-Hadits yang mengharamkan nyanyian yang disertai dengan dugaan kuat dan dengan ijtihad yang benar, maka itulah hukum Allah terhadapnya. Juga terhadap setiap orang yang mengikutinya sebab masalah ini adalah masalah khilafiyah sebagaimana yang telah kami uraikan pada bab-bab sebelumnya.
BAB VIII
MENENTUKAN SIKAP DAN PENDIRIAN
Barangkali ada yang bertanya, apa mungkin mengambil salah satu pendapat di antara berbagai pendapat pro dan kontra, lalu menguatkannya agar nash-nash syara' tidak kelihatan kontroversial?Pertanyaan tersebut memang perlu dijawab untuk menentukan sikap dan pendirian. Hadits yang paling shahih yang mengharamkan nyanyian adalah Hadits Imam Bukhari dari Abd-ur-Rahman bin Ghunam yang mendengar dari Abu Malik Al-'Asya'ari bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
(لَيَكُونَنَّ
مِنْ أُمَّتِي قَوْمٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَّ وَ الْحَرِيرِ وَ
الْخَمْرَ وَ الْمَعَازِفَ)
"Sungguh akan terjadi pada
suatu kaum dari umatku yang menghalalkan perzinaan, (memakai) kain sutera,
arak, dan alat-alat musik..." (HR. IMAM BUKHARI, No. Hadits 5590).Juga Hadits Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Al-Bukhari dalam kitab AT-TARIKH-UL-KABIR.dari Malik bin Abi Maryam yang meriwayatkan dari Abd-ur-Rahman bin Ghunam dari Abi Malik Al-'Asy'ari dari Rasulullah s.a.w. (Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalani, FATH-UL-BARI, Jilid X, hlm. 55):
(لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ
مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا تَغْدُو عَلَيْهِمُ الْقِيَانُ وَ تَرُوحُ
عَلَيْهِمُ الْمَعَازِفُ)
"Sekelompok
umatku akan minum khamr (minuman keras) dan menyebutkannya dengan nama (baru)
selain nama khamr. Para penyanyi wanita akan mendatangi mereka, lalu para
pemain musik akan melakukan pertunjukan di hadapan mereka."
TIDAK ADA DUA BENTUK HADITS KONTROVERSIAL.
Memperhatikan nash-nash di atas maupun nash lainnya yang mengharamkan nyanyian menyebabkan seseorang tiba kepada sebuah kesimpulan bahwa ada kontroversial antara nash-nash yang membolehkan dengan nash-nash yang mengharamkan nyanyian. Karena itulah kita perlu kembali kepada suatu kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama, seperti apa yang dikatakan oleh Imam Syafi'i dalam kasus seperti ini. (Lihat Imam Asy-Syaukani, IRSYAD-UL-FUHUL ILA TAHQIQ-IL-HAQ MIN-ILM-IL-USHUL, hlm. 375; Imam Syafi'i, AR-RISALAH, hlm. 352, No. Hadits 925).Imam Syafi'i berpendapat, tidak dapat dibenarkan ada dua Hadits shahih saling kontroversial yang salah satunya tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Hadits lainnya, bukan karena adanya kekhususan-keumuman lafazhnya, karena ada sesuatu yang tidak jelas maksudnya (mujmal), atau adanya penjelasan (dalam nash lain). Tetapi sifat kontroversial itu hanya boleh terjadi dalam hal penasakhan (penghapusan hukum lama dengan yang baru), walaupun seorang mujtahid tidak menemukan nasakh tersebut."
Imam Al-Khaththabi juga mengemukakan hal serupa, (Imam Al-Khaththabi, MA'ALIM-US-SUNANI, Jilid III, hlm.80). Katanya: "Apabila ada dua Hadits dari segi zhahir lafaznya berbeda, dapat diperkuat oleh salah satu di antara keduanya setelah ditentukan nilainya masing-masing Hadits tersebut. Setelah itu, maka tidak boleh ditolak sama sekali atau dianggap antara keduanya saling bertentangan. Tetapi keduanya dipakai dan ditempatkan pada posisinya masing-masing. Begitulah sikap para ulama terhadap banyak Hadits."
Berdasarkan keterangan di atas maka sikap yang lebih tepat adalah mengambil kedua Hadits tersebut yang kelihatannya saling bertentangan daripada menolak salah satu di antaranya. Bahkan sesungguhnya antara kedua Hadits tersebut dapat dikatakan tidak berlawanan satu dengan lainnya sebab setiap Hadits telah disampaikan pada suatu peristiwa atau di tempat-tempat yang saling berbeda, walaupun obyek pembahasannya sama.
1. BAGAIMANA MENENTUKAN NYANYIAN HALAL DAN HARAM.
Hadits yang melarang nyanyian berkaitan dengan nyanyian secara umum. Sedangkan Hadits-Hadits yang membolehkannya bersifat khusus, yakni terbatas pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertantu. Misalnya, hari raya, pesta pernikahan, pulang kampungnya seseorang ke negeri kelahirannya, dan sebagainya.Kekhususan tersebut ditunjukkan oleh sabda Rasulullah s.a.w. dalam Hadits-Hadits yang membolehkan nyanyian, antara lain sikap beliau terhadap Abu Bakar yang ketika itu menegur dua wanita yang sedang bernyanyi di rumah Rasulullah s.a.w. Nabi s.a.w. berkata kepada Abu Bakar:
"Biarkanlah mereka (melanjutkan nyanyiannya), wahai Abu Bakar, sebab hari ini adalah hari raya." (HR. MUSLIM, Hadits no. 17; dan BUKHARI, Hadits no. 987).
Juga sabda beliau kepada 'Aisyah r.a. yang ketika itu menikahkan seorang perempuan kerabatnya, dengan kata-kata (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 119):
"Apakah engkau sudah membawa seseorang bersamanya untuk bernyanyi?....(HR. IBNU MAJAH, Hadits no. 1900).
Begitu pula halnya dengan sabda Rasulullah s.a.w. kepada seorang wanita yang telah bernazar untuk memukul rebana di hadapan beliau sambil bernyanyi. Rasulullah s.a.w. berkata wanita itu:
"Jika engkau sudah menetapkan nazarmu, maka lakukanlah (sesuai dengan nazar itu)." (HR. AHMAD, TIRMIDZI, IBNU HIBBAN, dan AL-BAIHAQI).
Semua Hadits tersebut di atas mengkhususkan umumnya nash-nash yang mengharamkan nyanyian serta membatasinya, yakni membolehkannya dalam kondisi dan keadaan tertentu. Kekhususan ini menunjukkan posisi hukumnya, yaitu makruh melakukan nyanyian apabila dilakukan secara terus-menerus. Syaratnya adalah tidak bercampur-baur dengan bentuk kemungkaran. Apabila telah bercampur maka tentu hukumnya haram.
Adapun Hadits yang mengharamkan nyanyian pada awal bab ini adalah sabda Rasulullah s.a.w.:
"Sungguh akan terjadi pada suatu kaum dari umatku yang menghalalkan perzinaan, (memakai) kain sutera (pada kaum lelaki), arak, dan alat-alat musik...." (HR. IMAM BUKHARI).
Dalam lafaz yang lain disebutkan tambahan (وَ الْقِيَانَ) "para penyanyi wanita". Riwayat ini tercantum dalam kitab Imam Bukhari AT-TARIKH-UL-KABIR.
Hadits tersebut dapat ditafsirkan oleh Hadits lainnya yang menjelaskan bagaimana mereka akan menghalalkan minuman khamr, alat-alat musik, dan para penyanyi, yaitu sabda Rusullah s.a.w.(Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 106):
(لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ
مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلى رُؤُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَ الْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللهُ
بِهِمُ الأَرْضَ وَ يَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَ الْخَنَازِيرَ)
"Sekelompok dari umatku akan
minum khamr dan menyebutnya dengan nama (baru) selain nama khamr. Para pemusik
bersama penyanyi wanita akan melakukan pertunjukan di hadapan mereka. Kemudian
mereka akan dilenyapkan ke dalam tanah dan dijadikan sebagian dari mereka dalam
bentuk kera dan babi." (HR. IBNU MAJAH, ABU DAWUD, dan dishahihkan oleh
IBNU HIBBAN). Dari seluruh Hadits di atas yang membolehkan dan mengharamkan nyanyian dapat diambil suatu pengertian bahwa nyanyian itu hukumnya mubah, asal sya'irnya mencantumkan hanya makna-makna yang mubah saja. Kecuali apabila disertai dengan hal-hal lain yang haram, misalnya ada khamr atau bercampurnya lelaki dan perempuan.
Dengan demikian nash Hadits tersebut di atas telah menjelaskan bentuk permainan alat musik dan nyanyian yang dicela oleh syara' yang disebutkan di dalam Hadits yang mengharamkan nyanyian. Bila ia melanggar ketentuan syara' (memainkan musik dan bernyanyi dengan cara ini), maka haram hukumnya karena disertai dengan hal-hal yang haram. Dalam hal ini kita dilarang mendengarkannya atau berada di tempat-tempat pertunjukkan seperti itu, misalnya klub malam, diskotik, dan sejenisnya. Itulah maksud sabda Rasulullah s.a.w.:
Sekelompok dari umatku akan menghalalkan permainan alat-alat musik dan penyanyi wanita (bersama mereka)."
Dengan keterangan di atas maka tidak bisa kita menyamaratakan semua nyanyian itu haram atau mubah karena dalil-dalil syara' telah membolehkan nyanyian dalam pesta pernikahan atau pada hari raya. Dalil-dalil tersebut mengkhususkan umumnya nash-nash yang mengharamkan nyanyian. Sedangkan yang mengharamkannya telah membatasi keharamannya dalam keadaan dan kondisi tertentu. Dari sini dapat ditarik dua macam hal:
1. NYANYIAN YANG HARAM.
Jenis nyanyian ini terbatas pada nyanyian yang disertai dengan perbuatan haram atau mungkar, semisal minuman khamr, menampilkan aurat wanita, atau nyanyiannya berisi sya'ir yang bertentangan dengan aqidah atau melanggar etika kesopanan Islam. Contoh untuk ini adalah sya'ir lagu kerohanian agama selain Islam, lagu asmara, lagu rintihan cinta yang membangkitkan birahi, kotor, dan porno. Tak peduli apakah nyanyian itu berbentuk vokal atau diiringi dengan musik, baik yang dinyanyikan oleh lelaki maupun wanita.
2.NYANYIAN YANG MUBAH.
Kriteria jenis nyanyian ini adalah tidak boleh bercampur dengan sesuatu yang telah disebutkan dalam jenis nyanyian yang haram di atas. Ia tidak disertai dengan kata-kata yang memuji kecantikan wanita, tidak disertai mabuk-mabukan, tidak ada kata-kata yang mengajak pacaran, main cinta, atau senandung asmara. Tidak juga diadakan di tempat-tempat maksiat, misalnya klub malam, diskotik, dan sejenisnya, yang di tempat itu wanita dan lelaki bebas bercampur-baur menari bersama. Kecuali bila diadakan di rumah-rumah dan semua orang yang terlibat baik maupun wanitanya adalah dari keluarga dan kerabat sendiri (muhrim bagi yang lain). Misalnya seorang ibu bernyanyi untuk anaknya di depan suaminya; seorang bibi bernyanyi di depan keponakannya; seorang perempuan bernyanyi untuk saudaranya; seorang istri bernyanyi untuk suaminya dan sebaliknya, baik itu hanya lagu semata (vokal) maupun diiringi dengan instrumen musik.
Status nyanyian seperti di atas sama halnya dengan nyanyian yang membangkitkan semangat perjuangan (jihad), atau nyanyian yang sya'irnya menunjukkan ketinggian ilmu para ulama dan keistimewaan mereka, atau juga nyanyian yang memuji saudara-saudara maupun sesama teman dengan cara menonjolkan sifat-sifat mulia yang mereka miliki, atau juga nyanyian yang melunakkan hati kaum Muslimin terhadap agama, atau yang mendorong mereka untuk berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Islam dan bahaya yang akan menimpa orang yang melanggarnya. Begitu pula macam-macam nyanyian yang membicarakan tentang keindahan alam atau yang membicarakan tentang persoalan ilmu (pandai) menunggang kuda, dan sebagainya.
2. BAGAIMANA SESUNGGUHNYA HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN.
Di atas telah dijelaskan status hukum nyanyian dan menyanyikannya. Adapun hukum mendengarkan nyanyian yang mubah maupun yang haram, jawabnya wallahu a'lam!
Mendengarkan sesuatu hukumnya mubah bila orang tersebut hanya sekadar mendengarkan. Tetapi bila ia ikut duduk di tempat-tempat hiburan sambil mendengarkan suara penyanyi lelaki maupun wanita, maka mendengar dalam keadaan demikian hukumnya juga haram karena kita telah dilarang duduk bersama orang-orang yang melakukan maksiat. Ini sesuai dengan firman Allah s.w.t.:
(فَلاَ
تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ
غَيْرِهِ
(إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ) (النساء: 140)
"Maka janganlah kamu duduk
bersama mereka sampai mereka beralih kepada pembicaraan yang lain. (Karena
sesungguhnya kalau kamu berbuat demikian, tentulah kamu serupa dengan
mereka)...." (4:140).
(فَلاَ
تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ) (الأنعَام: 68)
"....maka janganlah kamu
duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah (mereka) diberi
peringatan." (6:68).Imam Al-Qurthubi dalam menafsirkan surat An-Nisa 140 menjelaskan (Lihat TAFSIR AL-QURTHUBI, Jilid V, hlm. 418) bahwa ayat tersebut menunjukan wajibnya menjauhi orang-orang yang melakukan maksiat apabila mereka melakukan suatu kemungkaran. Oleh karena itu, setiap orang yang duduk di tempat maksiat dan tidak mengingkari (mengutuk dan mencegahnya), maka ia telah ikut serta bersama mereka dan akan memikul dusa yang sama. Itulah sebabnya seseorang harus mengingkari perbuatan maksiat itu bila mereka membicarakan atau melakukannya. Tetapi bila ia tidak mampu mencegah perbuatan mereka, maka ia harus segera meninggalkan tempat tersebut agar tidak tergolong ke dalam golongan yangdisebutkan pada ayat d atas."
Adapun mengenai surat AL-AN'AM 68, beliau berkata (Lihat TAFSIR AL-QURTHUBI, Jilid VIII, hlm. 12-13): "Ayat ini menunjukkan apabila seseorang mengetahui atau menyaksikan orang lain sedang melakukan suatu kemungkaran, maka hendaklah ia menjauhinya sekaligus menolaknya dan tidak ingin mendatanginya lagi."
Berkata pula Ibn-ul-'Arabi: "Ini merupakan dalil bahwa hidup bersama orang-orang yang mengerjakan dosa besar hukumnya tidak boleh."
Dengan demikian, seseorang yang berada atau duduk di tempat-tempat hiburan untuk mendengarkan nyanyian berarti mereka telah mengakui kemungkaran atau membiarkannya. Inilah jenis mendengar yang diharamkan syara'
Adapun nyanyian yang boleh (mubah) beserta syarat-syarat yang harus dipenuhi dan telah disebutkan di atas berbeda hukumnya. Kita boleh duduk di tempat-tempat pertunjukan (misalnya panggung-panggung terbuka) untuk mendengarkan nyanyian yang mendorong umat untuk berjihad fisabilillah, memupuk perasaan halus kaum Muslimin agar lebih bertaqwa kepada Allah s.w.t., atau membicarakan sifat-sifat orang mukmin dan nilai-nilai keislaman. Juga, nyanyian yang menggambarkan tentang keindahan alam serta nyanyian yang melunakkan hati seseorang fakir miskin dan yatim, nyanyian memuji kebaktian kepada ibu dan bapak, serta kepada keluarganya, atau juga nyanyian yang tujuannya mendidik anak-anak dan sebagainya. Dengan kata lain, nyanyian yang mubah tidak ada kaitannya dengan persoalan cinta dan asmara, kecuali nyanyian dari suami kepada istri dan sebaliknya. Ia tidak disampaikan dengan cara mengeluh yang hal tersebut membangkitkan birahi seksual.
Adapun tentang masalah sya'ir nyanyian, maka sya'ir itu harus sebatas kata-kata yang sopan santun, bukan kata-kata yang berupa romantisme atau membicarakan kisah-kisah tentang malam minggu, malam pertama, dan sejenisnya. Dalam hal ini Ibn-ul-'Arabi berkata (Lihat Imam Ibn-ul-'Arabi, AHKAM-UL-QURAN, Jilid III, hlm. 1494): "Hukum mendengarkan nyanyian seorang biduanita telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang lelaki boleh saja mendengarkan nyanyian wanita budaknya. Ini disebabkan karena tidak satu bagian pun yang haram padanya, baik bagian luar maupun dalam. Dengan demikian, bagaimana mungkin ia dicegah untuk menikmati suaranya (nyanyiannya)."
3. SUARA WANITA, AURAT ATAUKAH BUKAN?
Ada yang mengatakan bahwa yang boleh didengar adalah nyanyian dari lelaki, sedangkan nyanyian wanita haram untuk didengar. Alasannya, suara wanita itu aurat (hal yang tidak boleh ditampilkan). Jawabannya wallahu a'lam.
Walaupun nyanyian yang memalukan itu haram dikerjakan bila disertai dengan perbuatan haram atau mungkar namun mendengarkannya tidaklah haram. Keharamannya itu terbatas pada mendengarkannya secara langsung dari penyanyinya di tempat maksiat, bukan karena suara penyanyi wanita itu aurat. Keharaman itu terletak pada sikap berdiam diri terhadap nyanyian yang berisi kata-kata mungkar dan si penyanyi wanita menampilkan kecantikannya dengan membuka auratnya, misalnya rambut, leher, dada, betis, paha dan bagian aurat lainnya. Inilah yang diharamkan oleh syara', bukan karena masalah mendengarkan nyanyian wanita itu.
Suara wanita bukan aurat karena jika disebut demikian, ,mengapa Rasulullah s.a.w. mengijinkan dua wanita budak bernyanyi di rumahnya? Salain itu, beliau tidak keberatan berbicara dengan kaum wanita, sebagaimana yang terjadi ketika menerima bai'at dari kaum ibu sebelum dan sesudah hijrah. Bahkan beliau pernah mendengar nyanyian seorang wanita yang bernazar untuk memukul rebana dan bernyanyi di hadapan Rasulullah s.a.w. Semua keterangan tersebut dan keterangan serupa lainnya menunjukkan bahwa suara wanita bukan aurat.
Selain itu, syara' telah memberikan hak dan wewenang kepada kaum wanita untuk melakukan aktifitas jual beli, berdagang, menyampaikan ceramah atau mengajar, mengaji Al-Quran di rumah sendiri, membaca kasidah atau sya'ir, dan sebagainya. Jika suara mereka dianggap aurat atau haram maka tentu syara' akan mencegah mereka melakukan semua aktivitas tersebut. Inilah hujjah yang kuat. Hanya memang syara' telah melarang wanita menampilkan perhiasannya dihadapan kaum lelaki yang bukan muhrimnya, melenggak-lenggok, atau manja dalam berbicara, sebagaimana firman Allah s.w.t.:
(وَ لاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ
أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ
بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِى
الإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ
الْطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ) (النور: 31)
"dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka,
atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita...." (24:31).Syara' tidak melarang wanita berbicara dengan pria dengan syarat ia tidak menampilkan kecantikan atau perhiasannya kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, mendengar suara wanita tidaklah haram sebab bukan aurat. "Tidak ada larangan wanita berbicara dengan kaum lelaki kecuali dengan suara manja, merayu, atau keluhan yang dapat menimbulkan keinginan kaum lelaki untuk berbuat jahat, serong, dan perbuatan dosa besar lainnya terhadap wanita tersebut. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah s.w.t. dalam firmanNya:
(فَلاَ
تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَ
قُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا) (الأحزاب: 32)
"...maka, janganlah kamu
tunduk ketika berbicara (dengan manja, merayu, dan sebagainya). (Sebab), nanti
akan timbul keinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya (keinginan nafsu
birahinya). Dia ucapkanlah perkataan yang baik (sopan santun)." (33:32).Apabila wanita sudah melanggar perintah tersebut maka tidak hanya dirinya yang terlibat dalam perbuatan dosa atau haram, tapi juga setiap orang yang membiarkan hal tersebut karena mereka tidak menyeru kepada yang ma'ruf (wajib, sunnah) terhadap wanita itu, dan tidak pula mencegahnya melakukan yang mungkar (haram).
Rasulullah s.a.w.bersabda mengenai hal ini: (Lihat SHAHIH MUSLIM, Hadits No. 49,78; SUNAN ABU DAWUD, Hadits No. 1140; SUNAN TIRMIDZI, Hadits No. 2173; SUNAN AN-NASAI, Jilid VIII, Hadits 111; dan SUNAN IBNU MAJAH, Hadits No. 4013):
(مَنْ رَأى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذلِكَ
أَضْعَفُ الإِيمَانِ)
"Siapa saja di antara kalian
yang melihat adanya kemungkaran maka hendaklah ia ubah dengan tangannya. Jika
ia tidak mampu melakukannya, maka hendaklah dengan lisannya. Kalau inipun tidak
mampu dilakukannya, maka hendaklah dengan menolaknya di dalam hatinya. Tetapi
itulah iman yang selemah-lemahnya." (HR. MUSLIM, ABU DAWUD, TIRMIDZI,
AN-NASAI, dan IBNU MAJAH).
BAB IX.
HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN DI RADIO DAN RADIO KASET.
Bentuk nyanyian masa kini tidak berubah dari yang sudah pernah ada pada
masa lampau, ratusan tahun silam. Yang berubah hanyalah suasana dan tempatnya
sekarang. Kini nyanyian digelar di panggung-panggung terbuka, misalnya teater,
gedung pertunjukan sandiwara, klub malam, panggung pertunjukkan, dan
sebagainya. Pada abad ini orang-orang mulai mendengar nyanyian melalui radio,
radio kaset, video, dan audiovisual lainnya. Sekarang hanya sedikit saja yang
suka mendengar dan menyaksikan pertunjukkan dan show langsung dari pemain
panggung dan penyanyi laki-laki dan wanita. Orang-orang lebih memilih radio dan
kaset rekaman, video, film, televisi, dan lain-lain.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah jenis hiburan tersebut boleh didengar
atau tidak? Jawabnya: Wallahu a'lam adalah demikian:
Nyanyian yang sajikan demikian status hukumnya sama saja dengan
nyanyian-nyanyian lainnya. Tidak peduli apakah penyanyi dapat dilihat di arena
pertunjukan atau hanya suaranya saja yang terdengar. Apa yang kami paparkan
sebelumnya kini lebih dipertegas lagi. Apabila nyanyian itu bercampur-baur
dengan kata-kata atau perbuatan yang ditolak oleh Islam, maka pelaku dan jenis
nyanyian itu haram. Selain itu, maka ia halal dan boleh.
Lain halnya dengan mendengarkan nyanyian melalui radio, radiokaset, piring
hitam, dan sejenisnya. Jenis nyanyian yang disajikan demikian mubah dan tidak
apa-apa. ????? Tidak peduli apakah nyanyian itu bersifat merayu/menggoda, tak
tahu malu, atau melampaui batas etika nyanyian di dalam Islam,
misalnyamenyebutkan kata-kata porno, jorok dan kotor. Tidak peduli apakah
nyanyian itu disampaikan dengan cara memelas, dibumbui dengan sya'ir jatuh
cinta asmara, cerita tentan kecantikan perempuan yang disenangi, rasa rindu dan
kasih sayang, dan seterusnya.????? Nyanyian yang sama sekali tidak mengandung
hal-hal tersebut di atas hukumnya mubah (boleh).
Untuk menjelaskan perihal tersebut, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan
di sini, yaitu:
1. ANTARA SUARA ASLI DENGAN REKAMAN.
Suara yang didengar itu adalah rekaman suara di kaset melalui radio dan
audiovisual lainnya, bukan suara asli dan langsung dari penyanyinya (lelaki
maupun wanita). Dari segi hukum syara', ada perbedaan antara fakta dengan
imajinasi. Ada perbedaan antara bentuk asli dengan gambar, rekaman dan
sejenisnya. Melihat aurat wanita di telivisi tidak sama hukumnya dengan melihat
aurat wanita di hadapan mata kepala sendiri dalam bentuk aslinya. Ia tidak sama
dengan bentuk imajinasi yang kita buat atau dibuat orang.
2. SUARA DARI BENDA MATI (TIDAK BERNYAWA).
Lagu di radio dan kaset rekaman bukan suara milik seseorang yang memiliki
nyawa. Bukan pula mukallaf agar mampu menerima seruan yang ma'ruf dan dicegah
melakukan yang mungkar jika ia menyeleweng dari Islam. Tetapi ia hanya
merupakan suara yang keluar dari suatu alat atau benda yang tidak berakal. Alat
tersebut juga bukan aurat. Dengan demikian, lagu atau nyanyian melalui
televisi, film, video, atau bentuk audiovisual lainnya tentu saja bukan aurat
dalam bentuk aslinya. Ia hanya gambar semata.
Sabda Rasulullah s.a.w. yang berkaitan dengan yang mungkar dan ia harus
dicegah dengan tangan atau lisan,tidak bisa diterapkan di sini ketika kita
mendengarkan lagu di radio, televisi, dan sebagainya. Terkadang kita mendengar
suara lagu dari seorang penyanyi lelaki maupun wanita yang sudah lama meninggal
dunia. Dari keadaan yang demikian, maka bagaimana mungkin kita bisa menyerukan
kepadanya agar berbuat yang ma'ruf (baik dan sesuai dengan ajaran Islam) serta
mencegahnya melakukan yang mungkar (buruk menurut hukum Islam)?
Barangkali ada yang membantah hal tersebut dan mengatakan bahwa kita bisa
melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar dengan cara mengganti gelombang radio,
canel televisi, atau memilih kaset yang sesuai dengan etika hukum Islam. Tetapi
kita bisa balik bertanya, apakah dengan begitu selesai masalahnya?
Tentu masalahnya tidak sederhana dan segampang itu. Mengganti gelombang
radio atau canel televisi tetap tidak dapat mengubah hal mungkar (sya'ir porno,
jorok dan kotor). Paling-paling yang bisa kita lakukan hanya sebatas
menghindari diri agar kita tidak mendengar nyanyian dan kata-kata mungkar yang
terdapat pada lagu tersebut. Ini sama halnya dengan seseorang yang menutup
telinganya sementara ia tetap membiarkan penyanyi itu terus berdendang dengan
kemungkaranya. Apakah dengan demikian, perbuatan yang demikian dapat
diketegorikan sebagai perbuatan amar ma'ruf nahi mungkar? Tentu tidak. Bahkan
ia hanya berupa penolakan mendengarkan bagi dirinya sendiri, dan tidak lebih
dari itu. Sedangkan kemungkaran itu tetap ada dan bekembang di tengah-tengah
masyarakat. Lalu, untuk mengubah keadaan tersebut, bagaimana caranya?
Perubahan menyeluruh dan mendasar hanyalah melalui suatu kekuasaan dan
kekuatan dari suatu negara yang menerapkan Islam secara totalitas. Syariat Islam
telah membebankan tugas mencegah kemungkaran dengan kekuatan fisik yang
dimilikinya untuk membersihkan masyarakat dari noda-noda dosa dan kemaksiatan
yang telah merajalela dan mendarah-daging di dalam tubuh umat.
Oleh karena itu dari keterangan di atas kita mengtahui bahwa mendengarkan
nyanyian melalui radio, radiokaset, televisi, dan media audiovisual lainnya,
hukumnya tetap mubah. Dasarnya adalah dengan mengambil kaidah syara' yang
berbunyi (Lihat Zain-ul-'Abidin Ibrahim Al-Misri, AL-ASYBAH WAN-NAZHAIR, Jilid
I, hlm. 97; Mahmud Al-Hamzawi, AL-FAWAID-UL-BAHIYAH FIL-QAWAIDI
WAl-FAWAID-IL-FIQHIYYAH, hlm. 284; Ibnu 'Abidin, HASYIYAT-UR RADD-UL-MUKHTAR,
Jilid I, hlm 71, Jilid III, hlm. 244,dan Jilid IV, hlm. 176):
(الأَصْلُ
فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيلُ
التَّحْرِيمِ)
"Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (boleh dipakai dan
dimanfaatkan), kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya."
Hadits Rasulullah s.a.w. tentang kewajiban mencegah kemungkaran dengan
tangan, lisan dan hati tidak dapat diterapkan di sini. Begitu juga dengan
firman Allah s.w.t. tentang orang-orang zalim, fasik, fasik, kafir, dan
orang-orang yang mengucapkan atau melakukan kekufuran dan kemaksiatan:
(فَلاَ
تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ) (الأنعَام: 68)
"Maka, janganlah kamu duduk bersama dengan orang-orang zalim itu
sesudah (mereka) diberi peringatan." (6:68).
Atau firmanNya:
(فَلاَ
تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ
غَيْرِهِ
(إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ) (النساء: 140)
"Maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka beralih kepada
pembicaraan yang lain. (Karena sesungguhnya kalau kamu berbuat demikian,
tentulah kamu serupa dengan mereka)...." (4:140).
Dua ayat tersebut di atas tidak bisa diterapkan terhadap si pendengar lagu
melalui radio,radio kaset, televisi dan yang sejenisnya karena penyanyinya
tidak bersama si pendengar. Pendengar tidak ikut serta bersamanya di
tempat-tempat pertunjukan (langsung).
3. BUKAN SUARA YANG BERHADAPAN LANGSUNG.
Mendengarkan nyanyian itu bukanlah mendengarkan suara penyanyi asli yang
langsung dan berhadapan. Ia hanya berupa suara rekaman. Ia adalah bentuk
mendengarkan yang tidak langsung. Dengan kata lain, suara itu bukan kepunyaan
si penyannyi secara langsung berhadapan. Suara itu hanya milik dari suatu alat
audio atau visual semisal televisi, radio, film, video, radiokaset, dan
lain-lain. Karena kita tidak dapat menerapkan sabda Rasulullah s.a.w. (Lihat
SHAHIH MUSLIM, Hadits No. 2654; SUNAN ABU DAWUD, Hadits No. 2154; dan MUSNAD
IMAM AHMAD, Jilid II, hlm. 276, 317 dan 329):
(وَ الأُذُنُ تَزْنِي وَ زِنَاهَا الاِسْتِمَاعُ)
"Telinga akan ikut berzina pula. Zinanya adalah mendengarkan (sesuatu
yang telah diharamkan untuk mendengarkannya)." (HR. AHMAD, ABU DAWUD dan
AHMAD).
Sebab, tidak mungkin menimbulkan dampak (positif maupun negetif),
sebagaimana penjelasan Rasulullah s.a.w. berikut ini:
(وَ الْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ)
"Faraj (kemaluan) akan mengakui (apa yang didengarnya); atau
menolaknya (sama sekali tidak terpengaruh)."
Bagaimana mungkin bisa terjadi pada seorang pendengar lagu di radio,
televisi, video, radiokaset, dan jenisnya, kemudian ia bertindak langsung
terhadap penyanyinya, misalnya dengan menodainya? Suatu hal yang mustahil untuk
dilakukan!
Barangkali ada yang memberikan komentar sebagai bantahan. Bukankah bisa
jadi nyanyian yang didengar melalui alat-alat audiovisual itu tetap saja mampu
membangkitkan birahi dan naluri seksual?
Jika komentar itu dijadikan sebab untuk mengharamkan nyanyian tersebut,
maka bagaimana kalau ia tidak membangkitkan birahi? Apakah ia berarti mubah
(boleh didengar)? Lagi pula, siapa yang berhak menentukan sebab ('illat) untuk
mengharamkan sesuatu? Apakah 'illat itu boleh dengan akal?
Sudah diketahui, 'illat tidak boleh berdasarkan aqliyah (berdasarkan akal).
Ia hanya semata-mata berdasarkan suatu dalil syar'i sebab masalah halal dan
haramnya sesuatu adalah masalah yang haq dan itu otoritas Allah s.w.t. semata.
Dalam hal ini tidak terdapat adanya suatu 'illat tentang halal dan haramnya
nyanyian. Karenanya, nyanyian tidak bisa diharamkan hanya karena alasan
membangkitkan syahwat (nafsu birahi). Bahkan alasan tersebut tidak boleh
dijadikan sebagai tolok ukur dalam masalah "tahrim" (menentukan
haramnya sesuatu). Cara tersebut bertolak dari pertimbangan akal, bukan syara'.
Selain itu, syara' tidak mengharamkan usaha individu manusia untuk
membangkitkan syahwatnya karena usaha yang demikian tidak secara otomatis
mendorongnya melakukan perzinaan, berpacaran, atau perbuatan haram lainnya.
Ada alasan yang mengatakan bahwa mendengar lagu dapat mengalihkan perhatian
seseorang dari zikrullah ketika mendengarkanya melalui alat-alat audiovisual.
Alasan tersebut dapat disanggah. Setiap sesuatu yang mengalihkan perhatian
orang dari zikrullah adalah bathil, maka kita lantas bertanya, apa itu
zikrullah? Apakah ia hanya ucapan dua kalimat syahadat atau melaksanakan ibadah
dan perbuatan-perbuatan wajib? Bila yang dimaksud adalah mengucapkan dua
kalimat syahadat atau mengucapkan "LAA ILAAHA ILLALLAAH" secara
berulang-ulang maka mendengarkan nyanyian dalam hal ini tidak sampai
mengalihkan perhatian seorang dari zikrullah tadi.
Namun bila yang dimaksud adalah melakukan solat atau mengerjakan
ibadah-ibadah lainnya dan melaksanakan hal-hal yang fardhu, maka harus
dipertimbangkan apakah betul nyanyian dari alat-alat audiovisual itu dapat
mengalihkan perhatian seseorang dari pelaksanaan fardhu dan kewajiban yang
serupa lainnya. Jika "ya", maka mendengar nyanyian atau musik seperti
itu adalah haram. Setiap sesuatu yang dapat menyibukkan seseorang sehingga
menjauhkannya dari pelaksanaan ibadah-ibadah yang wajib atau fardhu, maka
hukumnya haram, tanpa melihat bagaimana bentuk kesibukannya. Tidak peduli
apakah ia penting atau tidak. Tidak peduli apakah kesibukannya itu mencari
nafkah yang wajib atau mubah, atau sibuk menghibur diri sehingga lupa kepada
kewajiban ibadah wajib tadi.
Jual-beli, misalnya, dapat menyibukkan seseorang dan mengalihkan
perhatiannya, walaupun dari segi hukum asalnya adalah mubah. Begitu pula
pekerjaan kantoran atau pabrik juga dapat menyibukkan dan mengalihkan perhatian
seseorang, walaupun hukum mencari nafkah bagi seorang fakir miskin atau mencari
uang adalah fardhu. Tetapi semua kegiatan tersebut baik yang fardhu maupun
mubah, jika sampai melengahkan atau mengalihkan seseorang dari pelaksanaan
solat atau setiap perbuatan yang wajib, maka perbuatan tersebut tidak boleh
dikerjakan sampai kewajiban ibadah terlaksana.
Misalnya solat Juma'at. Allah s.w.t. telah melarang kaum Muslimin
berjual-beli pada waktu solat Juma'at setelah dikumandangkannya adzan yang
kedua atau setelah khatib naik mimbar, sebagaimana firmanNya:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ
يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلى ذِكْرِ اللهِ وَ
ذَرُوا الْبَيْعَ...) (الجمعة: 9)
"Hai orang-orang yang beriman, apabila ada panggilan (adzan) untuk
mengerjakan solat pada hari Juma'at, maka bersegeralah kamu mendatangi (majid)
untuk melakukan zikrullah (solat Juma'at) dan tinggalkanlah
jual-beli....." (62:9).
Munculnya larangan jual-beli pada waktu mendengar adzan Juma'at adalah
karena kegiatan tersebut dapat menyibukkan orang dan mengalihkan perhatiannya
dari melaksanakan solat Juma'at. Tetapi di luar waktu itu, setiap sesuatu yang
dapat menyibukkan seseorang sehingga solatnya tertinggal adalah haram apabila
aktivitas itu dilakukan pada saat pelaksanaan yang fardhu. Dalam hal ini telah
ditetapkan dan dibatasi waktu pelaksanaan solat itu. Tetapi sesudah waktu solat
lewat dan fardhu sudah dilaksanakan, maka apa yang dilakukan sebelumnya, baik
pekerjaan itu wajib maupun mubah, ia boleh dilanjutkan kembali dengan
memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas.
Islam membolehkan kaum Muslimin menghibur diri pada waktu-waktu tertentu.
Juga dibolehkan menampakkan rasa gembira dengan berbagai cara, dalam hal ini
termasuk aktivitas bernyanyi, memainkan alat musik, mendengarkan lagu, dan
sebagainya. Kehidupan ini tidak semata-mata digolongkan dalam bentuk aktivitas
ibadah secara terus-menerus. Kehidupan juga bukan hanya berusaha mencari rezki
dan bekerja dari pagi sampai malam setiap hari tanpa ada waktu sedikit pun
untuk menghibur diri, beristirahat, dan menjalankan berbagai kewajiban lain.
Sama halnya dengan menuntut ilmu (belajar) dari pagi sampai sore di sekolah,
kemudian dilanjutkan di rumah sampai tengah malam dan dilakukan rutin setiap
hari. Karena itulah, Islam mengijinkan pemeluknya menghibur diri dengan
berbagai cara, di samping juga beribadah, beramal, menuntut ilmu, berjuang
untuk Islam, berusaha mencari rezeki, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Tentang
hal ini, Rasulullah s.a.w. bersabda: (Lihat FATH-UL-KABIR, Jilid III, hlm.297).
(وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ كُنْتُمْ تَكُونُونَ فِي
بُيُوتِكُمْ عَلى الْحَالَةِ الَّتِي عَلَيْهَا عِنْدِي
لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَ لأَظَلَّتْكُمْ بِأَجْنِحَتِهَا وَ لَكِنْ
يَا حَنْظَلَةُ: سَاعَةٌ وَ
سَاعَةٌ)
"Demi Allah yang jiwaku ada pada gengamanNya , jika kalian di rumahmu
masing-masing berzikir dan berada dalam keadaan yang sama seperti kamu berada
di sisiKu, maka tentu para malaikat akan berjabatan tangan dengan kalian dan
akan melindungi kalian dengan sayapnya. Tetapi, hai Hanzhalah (kehidupan ini)
kadang-kadang begini dan begitu (Rasulullah s.a.w. mengulangi-ulangi kata-kata
tersebut sebanyak tiga kali) (HR.IMAM AHMAD, TIRMIDZI, dan IBNU MAJAH, dari
Hanzhalah Al-Asdi).
Maksud sabda Rasulullah s.a.w. di atas diterangkan pada bagian awal dari
Hadits tersebut, yaitu ucapan Hanzhalah:
(نَكُونُ
عِنْدَ رَسُولِ اللهِ (ص) يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَ الْجَنَّةِ حَتّى
كَأَنَّا رَأَى عَيْنَ فَإِذَا خَرَجْنَا عِنْدَ
رَسُولِ اللهِ (ص) عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَ
الأَوْلاَدَ وَ الضَّيْعَاتِ فَنَسِينَا كَثِيرًا)
"Jika kita berada di sisi Rasulullah s.a.w., beliau mengingatkan kita
tentang jannah dan jahannam, sampai-sampai kita seakan-akan melihatnya. Tetapi
apabila kita meninggalkan Rasulullah s.a.w., lantas kita sibuk denga istri,
anak-anak dan usaha-usaha kita dalam mencari nafkah sampai kita banyak yang
lupa diri."
Dalam riwayat lain disebutkan:
(ثُمَّ
إِذَا عُدْتُ الْبَيْتَ ضَاحَكْتُ الصِّبْيَانَ وَ لاَعَبْتُ الْمَرْأَةَ)
"Jika aku pulang ke rumah, aku tertawa bersama anak-anak dan bergurau
dengan istri."
Sehubungan dengan perbuatan yang disebutkan oleh Hanzalah tadi, di antara
para sahabat ada yang melakukannya dan ada yang tidak. Tetapi Abu Bakar
menganggap Hanzalah telah berbuat nifaq, namun Rasulullah tidak menganggap
demikian. Bahkan beliau menjelaskan bahwa kehidupan ini tidak bisa berjalan
apabila tidak dinikmati, baik dengan cara bermain bersama anak-anak, istri,
teman-teman, atau bekerja bersama anak-anak, istri, teman-teman, atau bekerja
untuk menambah kekayaan, menghibur teman atau menghibur diri dengan berekreasi,
termasuk di sini bernyanyi, mendengar musik, dan sebagainya.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
(رَوِّحُوا
الْقُلُوبَ سَاعَةً وَ سَاعَةً)
"Legakanlah hatimu sekali-kali." (HR. ABU DAWUD dari Ibnu Syihak
Az-Zuhri dengan sanad mursal dan hasan).
Imam Al-Manawi menjelaskan perihal Hadits ini sebagai berikut (Lihat Imam
Al-Manawi, FAIDH-UL-QADIR, Jilid IV, hlm. 40-41):
"Legakanlah hatimu sekali-kali dari kesibukan melaksanakan ibadah
dengan cara mengerjakan suatu perbuatan mubah yang tidak beresiko siksaan dan
pahala (Allah s.w.t.)."
Imam Al-Manawi melanjutkan. Katanya, pernah dibacakan Al-Quran dan puisi di
hadapan Rasulullah s.a.w. Lalu Abu Bakar datang dan menolak perbuatan ini. Ia
berkata: "Bagaimana bisa disatukan bacaan Al-Quran dengan puisi di hadapan
Rasulullah!" Namun Rasulullah s.a.w. menjawab:
(نَعَمْ
سَاعَةٌ هذَا وَ سَاعَةٌ ذَاكَ)
"Ya, bisa, Sekali-sekali untuk ini dan sekali-sekali untuk yang
itu."
Semua keterangan di atas menunjukkan bahwa kita boleh melegakan hati dan
menghibur diri sesekali dengan musik, lagu atau bentuk kesibukan ringan
lainnya, misalnya olahraga, berbagai perlombaan, dan sebagainya. Tetapi bila
perbuatan mubah itu menyebabkan ibadah kita tertinggal dan hal-hal fardhu
diabaikan, maka yang menjadi haram bukanlah aktivitas menghibur diri dengan
nyanyian dan musik. Jika kesibukan mubah itu dianggap sesuatu yang penting dan
mengalihkan perhatian kita dari kewajiban-kewajiban hidup yang wajib
dilaksanakan maka haram hukumnya.
Terkadang pelaksanaan kewajiban seperti mencari nafkah yang wajib dapat
mengalihkan perhatian seseorang dari pelaksanaan solat. Dalam hal ini yang
haram bukan menyibukkan diri dalam mencari nafkah tapi bila mencari nafkahnya
dilakukan pada waktu solat Juma'at, atau terus-menerus bekerja dari pagi sampai
larut malam sehingga tidak sempat menunaikan solat. Begitu juga halnya dengan
musik dan nyanyian mubah yang didengar melalui radio, kaset dan sejenisnya.
Juga nyanyian yang keluar dari senandang budak perempuan, dari istri, teman,
saudara dan kerabat dekat lainnya. Nyanyian ini boleh didengar asalkan tidak
sampai kelewat batas yang ditetapkan syara' sehingga sampai menyibukkan diri
dan mengalihkan perhatian kita dari melaksanakan solat serta
kewajiban-kewajiban hidup lainnya. Jika demikian, maka hukumnya haram.
Keharamannya bukan karena nyanyian tetapi akibatnya yang melalaikan. Hanya itu!
Kecuali, bila nyanyian itu disertai dengan hal-hal yang haram sebagaimana yang
telah diterangkan sebelumnya.
Mendengarkan nyanyian yang mubah, hukumnya mudah sebab termasuk jenis
hiburan yang mubah pula. Statusnya sama dengan kegiatan-kegiatan lain yang
dilakukan manusia, seperti naik kuda, berenang, memanah, duduk, berdiri,
berjalan, bertamasya, dan sebagainya.
Semua orang boleh melakukanya. Oleh karena itu, jika kita ingin melakukan
suatu kegiatan yang mubah untuk menghibur diri maka sebenarnya kita
melakukannya bukan untuk menyesatkan diri atau menjauhkan kita dari jalan Allah
s.w.t., bahkan sebaliknya. Hal itu dilakukan hanya untuk menghilangkan
kejenuhan dengan suatu macam hiburan yang mubah, atau kita melakukannya untuk
memperkuat diri agar mampu melaksanakan ibadah dan setiap ketaatan lainnya
terhadap Allah s.w.t. Tidak mungkin (sedikit sekali) orang melakukannya untuk
menjauhi diri dari ketaatan semacam itu.
Apabila hati kita telah merasa lelah, bosan, dan jemu, untuk mengatasinya
maka Abu Darda' (salah seorang sahabat Rasulullah s.a.w.) berkata: "Aku
suka melegakan hatiku dengan sebagian dari hal-hal yang tidak bermanfaat, yakni
dengan bermacam-hiburan yang mubah agar aku kembali bersemangat untuk
mengerjakan yang haq (kewajiban hidup)."
Imam Ali bin Abi Thalib juga berkata (Lihat Yusuf Qardhawi, HALAL DAN HARAM
DALAM ISLAM, hlm. 283): "Sesungguhnya hati manusia bisa bosan dan lelah
seperti layaknya badan manusia. Oleh karena itu, carilah berbagai kegiatan yang
tepat untuknya (yang melegakan)."
[Mungkin berasal dari ucapan ini:
(إِنَّ
هذِهِ الْقُلُوْبَ تَمَلُّ كَمَا تَمَلُّ
الأَبْدَانُ فَابْتَغُوْا لَهَا
طَرَائِفَ الحِكَمِ) (نهج البلاغة.رقم: 91)
"Hati ini menjadi muak ketika tubuh menjadi muak; maka carikan
ucapan-ucapan bijaksana yang indah untuknya." (Dari kitab PUNCAK
KEFASIHAN, Oleh Penerbit Lantera, No.91, hlm. 753).]
Pengaruh musik dan nyanyian memang berakibat baik terhadap manusia jika
nyanyian itu diwarnai dengan nilai-nilai keislaman. Tentang hal ini, Prof. Sidi
Gazalba berpendapat: "Musik dapat menimbulkan emosi gejolak di dalam batin
pendengarnya. Merangsang mereka kepada gerakan-gerakan liar. Tetapi nada musik
dapat pula menimbulkan ketenangan, kerukunan, damai, dan kenikmatan hati. Nada
musik yang melahirkan kesan seperti itu selaras dengan kesan yang dikehendaki
Islam." (Lihat Prof. Madya Drs. Sidi Gazalba, ISLAM DAN KESENIAN, hlm.
195).
BAB X.
PANDANGAN ISLAM
TERHADAP SENI TARI.
Seni tari dilakukan dengan menggerakkan tubuh secara berirama dan diiringi
dengan musik. Gerakannya bisa dinikmati sendiri, merupakan ekspresi gagasan,
emosi atau kisah. Pada tarian sufi (darwish), gerakan dipakai untuk mencapai
ekskatase (semacam mabuk atau tak sadar diri).
Sejak dahulu, seni tari telah memainkan peranan penting dalam upacara
kerajaan dan masyarakat maupun pribadi. Seni tari adalah akar tarian Barat
populer masa kini. Bangsa-bangsa primitif percaya pada daya magis dari tari.
Dari tarian ini dikenal tari Kesuburan dan Hujan, tari Eksorsisme, dan
Kebangkitan, tari Perburuan dan Perang. Tarian Asia Timur hampir seluruhnya
bersifat keagamaan, walaupun ada yang bersifat sosial. Selain itu ada tarian
rakyat yang komunal (folk dance). Tarian ini dijadikan lambang kekuatan
kerjasama kelompok dan perwujūdan saling menghormati, sesuai dengan tradisi
masyarakat.
Tarian tradisional seringkali mendapat sentuhan penata tari yang kemudian
menjadi tarian kreasi baru. Kita lantas mengenal adanya seni tari modern yang
umumnya digali dari tarian traditional. Tarian ini lebih mengutamakan
keindahan, irama gerak dan memfokuskan pada hiburan.
Seni sekarang berada halnya dengan tarian abad-abad sebelumnya. Orang
mengenal ada tari balet, tapdans, ketoprak atau sendratari Gaya tarian abad XX
berkembang dengan irama-irama musik pop singkopik, misalnya dansa cha-cha-cha,
togo, soul, twist, dan terakhir adalah disko dan breakdance. Kedua tarian ini
gerakannya menggila dan digandrungi anak muda.
1. SENI TARI DALAM LINTASAN SEJARAH ISLAM.
Dalam sejarah Islam terdapat perbedaan pendapat antara yang pro dengan yang
kontra tentang seni tari. Seni tari pada permulaan Islam berbentuk sederhana
dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang datang dari luar jazīrah ‘Arab,
seperti orang-orang Sudan, Ethiopia, dan lain-lain. Menari biasa dilakukan pada
hari-hari gembira, seperti hari raya dan hari-hari gembira lainnya.
Salah satu contoh tentang hal ini adalah seperti yang diriwayatkan oleh Abū
Dāwūd dari ‘Anas r.a. yang berkata (Lihat SUNAN ABŪ DĀWŪD, Jilid IV, hlm. 281):
(لَمَّا
قَدِمَ النَّبِيُّ (ص) الْمَدِيْنَةَ لَعِبَتِ الْحَبْشَةُ فَرْحًا بِذلِكَ
لَعِبُوْا بِحِرَابِهِمْ)
"Tatkala Rasūlullāh datang ke Madīnah, orang-orang Habsyah (Ethiopia
sekarang) menari dengan gembira menyambut kedatangan beliau sambil memainkan
senjata mereka."
Imām Ahmad dan Ibnu Hibbān juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari
Anas r.a. Beliau berkata (Lihat MUSNAD IMĀM AHMAD, Jilid III, hlm. 152; lihat
juga Al-Qastallanī, IRSYĀD-US-SARI, SYARH-SHAHĪH BUKHĀRĪ, Jilid II, hlm.
204-205):
(كَانَتِ
الْحَبَشَةُ يَزْفِنُوْنَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ (ص) وَ يَرْقُصُوْنَ وَ يَقُوْلُوْنَ: مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ)
"Orang-orang Habsyah (pada hari raya ‘Īd-ul-Adhhā) menari (dengan
memainkan senjata mereka) di hadapan Rasūlullāh s.a.w. Banyak anak-anak
berkumpul di sekitarnya karena ingin menonton tarian mereka. Orang-orang
Habsyah bernyanyi (dengan sya‘ir): "MUHAMMAD ADALAH HAMBA YANG
SHALEH...." (secara berulang-ulang).
Sesudah jaman Rasūlullāh s.a.w., khususnya di jaman Daulah ‘Abbāsiyyah,
seni tari berkembang dengan pesat. Kehidupan mewah yang dicapai kaum Muslimīn
pada waktu itu telah mengantarkan mereka kedalam suatu dunia hiburan yang
seakan-akan telah menjadi keharusan dalam masyarakat yang ma‘mūr (Hukum
mendengarkan alunan lagu adalah mubah, tetapi ketika itu orang-orang telah
melakukannya). Namun banyak ‘ulamā’ yang tidak setuju dengan tarian semacam
itu, tercatat di antaranya ialah Imām Syaikh-ul-Islam, Ahmad Ibnu Taimiyah
(wafat tahun 1328 M). Beliau menentang keras seni tari dalam kitabnya yang
berjudul Risālah fī Simā‘i war-Raqs was-Surākh (Risālah tentang Mendengar
Musik, Tarian-Tarian dan Nyanyian). Namun ada juga kalangan ‘ulamā’ yang
membolehkan seni tari selama tidak melanggar norma-norma Islam. Yang
berpendapat begini di antaranya Ibrāhīm Muhammad Al-Halabī (wafat tahun 1545
M.). Beliau mengarang kitāb yang berjudul Ar-Rahs Wal-Waqs Limustahill-ir-Raqs
(Benteng yang Kokoh bagi Orang yang Membolehkan Tari-Tarian).
Pengarang kitāb ‘ilmu seni tari yang pertama di dalam Islam adalah
Al-Farābī (wafat tahun 950 M.), yang mengarang kitāb AR-RAQSU WAZ-ZAFNU (Kitāb
tentang Tari dan Gerak Kaki) (Lihat Prof. A. Hasjmy, Ibidem, hlm. 326).
Pengaruh kitāb ini masih dapat kita ketahui, Riau adalah pusat kerajaan Melayu
dan pernah memperoleh masa kejayaannya di sana. Berbagai guru serta pelatih
tari dan nyanyian dipelihara sultan di istana. Begitu juga dengan perkembangan
sya‘ir. Bentuk seni inipun berkembang dengan baik dan mendapatkan perhatian
sultan. Tari Zapin sampai sekarang masih hidup subur di kepulauan Riau
(Melayu). Bahkan banyak tradisi yang sekarang berkembang di nusantara adalah
hasil perkembangan tari rakyat Riau yang diperagakan mulai dari lingkup istana
sampai kedai-kedai kopi. Serampang dua belas, misalnya, adalah tarian populer
peninggalan karya tersebut. Kata-kata pengiring tarian ini masih menggunakan
bahasa ‘Arab yang bercampur dengan bahasa Melayu (Lihat Dr. Oemar A. Hoesin,
KULTUR ISLAM, hlm. 466-467).
Dahulu, pada jaman khilafah ‘Abbāsiyah, seni tari telah mendapatkan tempat
yang istimewa di tengah masyarakat, baik di kalangan istana, gedung-gedung
khusus (rumah pejabat dan hartawan), maupun di tempat-tempat hiburan lainnya
(taman ria dan sebagainya). Pada akhir masa khilafah ‘Abbāsiyah, kesenian tari
mulai mundur ketika tentara bangsa Mongol menguasai pusat peradaban Islam di
Baghdād. Semua hasil karya seni dirusak oleh tentara keji itu karena memang
bangsa ini tidak menyukai tarian. Kemudian pada masa khilafah ‘Utsmāniah
berikutnya, seni tari berkembang lebih pesat lagi, khususnya tarian sufi yang
biasa dilakukan oleh kaum pria saja. Sedangkan penari wanita menarikan tarian
di istana dan rumah-rumah para pejabat. Mereka ini adalah penari
"berkaliber tinggi".
Namun perlu diperhatikan di sini, dalam sejarah umat Islam yang panjang,
tari-tarian itu tidak pernah dilakukan di tempat-tempat terbuka yang
penontonnya bercampur-baur antara lelaki dengan wanita. Ini berbeda halnya
dengan nyanyian. Pada masa pemerintahan khilafah ‘Abbāsiyah, para penyanyi
diijinkan menyanyi menyanyi sambil menari di jalanan atau di atas jembatan
serta di tempat-tempat umum lainnya. Rumah-rumah les privat menyanyi dan menari
dibuka untuk umum, baik di rumah-rumah orang kaya maupun miskin. (Lihat Abū
Al-Farāj Al-Ishfahānī, AL-AGHĀNĪ, Jilid XVIII, hlm. 128, dan Jilid XIII, hlm.
127). Tetapi tidak pernah dilakukan di tempat-tempat khusus, seperti yang
dilakukan sekarang ini (khususnya anak-anak muda), misalnya di night club,
panggung pertunjukan, dan sebagainya.
Perlu diingat, tari-tarian pada masa lalu hanya dilakukan oleh
wanita-wanita budak saja yang bekerja di istana, di rumah para pejabat, atau di
rumah-rumah rakyat biasa. Namun ada juga penari dari kalangan pria, misalnya
Ibrāhīm Al-Maushili (wafat 235 H.), dan sekelompok penari kawakan yang tercatat
di dalam kitāb Al-Aghānī. (Lihat Abū Al-Farāj Al-Ishfahānī, ibidem, Jilid V
(Riwayat hidup Ibrāhīm Al-Maushili)).
Sebagaimana kami sebutkan di atas, tari-tarian dimasa permulaan Islam tidak
pernah dilakukan dalam keadaan kaum lelaki menari bercampur dengan kaum wanita,
kecuali sesudah kebudayaan Barat mulai mewarnai dan mempengaruhi kebudayaan
Islam. Sesudah itu baru muncul kebiasaan menari dengan mengikuti para penari
Barat dengan gaya merangsang syahwat dan membangkitkan birahi, seperti tari
balet, dansa, joget, dangdut, atau tarian yang menimbulkan histeria seperti
disko dan break dance.
2. TANGGAPAN UTAMA ISLAM TERHADAP TARIAN.
Imām Al-Ghazālī dalam kitāb IHYĀ’-UL‘ULŪM-ID-DĪN, (Lihat Imam Al-Ghazali,
IHYĀ‘-UL-‘ULŪM-ID-DĪN, Jilid VI, hlm. 1141, 1142 dan 1187) beranggapan bahwa
mendengar nyanyian dan musik sambil menari hukumnya mubāh. Sebab, kata beliau:
"Para sahabat Rasūlullāh s.a.w. pernah melakukan "hajal"
(berjinjit) pada saat mereka merasa bahagia. Imām Al-Ghazālī kemudian
menyebutkan bahwa ‘Alī bin Abī Thālib pernah berjinjit atau menari tatkala ia
mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
(أَنْتَ
مِنِّيْ وَ أَنَا مِنْكَ)
"Engkau tergolong ke dalam golonganku, dan aku tergolong ke dalam
golonganmu."
Begitu juga Ja‘far bin Abī Thālib. Kata Imām Al-Ghazālī, dia pernah
melakukan hal yang sama (berjinjit) ketika mendengar sabda Rasūlullāh s.a.w. :
(أَشْبَهْتَ خَلْقِيْ وَ خُلُقِيْ)
"Engkau adalah orang yang paling mirip dengan corak dan
tabiatku".
Juga Zaid bin Hāritsah pernah berjinjit tatkala mendengar sabda Rasūlullāh
s.a.w.:
(أَنْتَ
أَخُوْنَا وَ مَوْلاَنَا)
"Engkau adalah saudara dan penolong kami."
Dalam kesempatan lain ‘Ā’isyah diijinkan Rasūlullāh s.a.w. untuk
menyaksikan penari-penari Habsyah. Kemudian Imām Al-Ghazālī menyimpulkan bahwa
menari bahwa menari itu hukumnya boleh pada saat-saat bahagia, seperti hari
raya, pesta pernikahan, pulangnya seseorang ke kampung halamannya, saat
walīmahan pernikāhan, ‘aqīqahan, lahirnya seorang bayi, atau pada waktu
khitanan, dan setelah seseorang hafal Al-Qur’ān. Semua ini hukumnya mubāh yang
tujuannya untuk menampakkan rasa gembira. Tetapi tari-tarian itu maupun
jenis-jenis hiburan lainnya tidak layak dilakukan para pejabat dan pepimpin
yang menjadi panutan masyarakat. Ini bertujuan agar mereka tidak dikecilkan
rakyat, tidak dijatuhkan martabatnya, atau tidak dijauhi oleh rakyatnya.
Tentang riwāyat Imām Bukhārī dan Imām Ahmad yang berkaitan dengan menarinya
orang-orang Habsyah di hadapan Rasūlullāh s.a.w., Al-Qādhī ‘Iyādh berkata:
"Ini merupakan dalīl yang paling kuat tentang bolehnya tarian sebab
Rasūlullāh s.a.w. membiarkan mereka melakukannya, bahkan mendorong mereka untuk
melanjutkan tariannya."
Akan tetapi Imām Ibnu Hajar menentang pengertian Hadīts yang membolehkan
tarian. Beliau berkata: "Sekelompok sufi telah berdalīl kepada Hadīts
tersebut untuk membolehkan tari-tarian dan mendengarkan alat-alat musik.
Padahal jumhur ulama telah menegur pendapat ini dalam hal perbedaan maksud dan
tujuan. Tujuan orang-orang Habsyah yang bermain-main dengan perisai dan tombak
merupakan bagian dari latihan yang biasa mereka lakukan untuk berperang. Oleh
karenanya, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah untuk membolehkan
tari-tarian yang tujuannya untuk menghibur diri." (Lihat Ibnu Hajar
Al-Asqalani, FATH-UL-BĀRI, Jilid VI, hlm. 553).
Adapun mengenai nukilan Imām Al-Ghazālī tentang "hajal"
(berjinjitnya) ‘Alī, Ja‘far, dan Zaid, maka ditentang keras oleh Imām
Ibn-ul-Jauzi (Lihat Imām Ibn-ul-Jauzi TALBĪS IBLĪS, hlm. 258-260). Katanya,
hajal tidak lebih dari semacam cara dalam gerak kaki berjalan yang dilakukan
pada saat seseorang merasa gembira. Sedangkan tarian tidak demikian! Gerakan
Zafarnya orang-orang Habsyah adalah mendorong keras dan menyepak dengan kaki.
Maka inipun merupakan salah satu cara dalam berjalan pada saat berhadapan dalam
peperangan.
Kemudian Imām Ibn-ul-Jauzi berkata: "Menurut Abū Al Wafā Ibn-ul-‘Aqīl,
Al-Qur’ān telah mencantumkan keharaman tarian dengan nash yang tegas seperti
firman Allah s.w.t.:
(وَ لاَ تَمْشِيْ فِي الأَرْضِ مَرَحًا) (لقمن:18)
"Dan janganlah kamu berjalan di bumi ini dengan angkuh." (31:18)
Allah s.w.t. juga mencela orang-orang yang sombong dengan firmanNya:
(إِنَّ
اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلُّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ) (لقمن:18)
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong lagi
membanggakan diri." (31:18).
Karena itulah menurut Abū Wafā Ibnul ‘Aqīl, menari merupakan cara berjalan
paling angkuh dan penuh dengan kesombongan. Kemudian Imam Ibn-ul-Jauzi
melanjutkan dengan mengomentari tarian orang sufi. Katanya, dapatkah kita
membayangkan suatu perbuatan keji yang dapat menjatuhkan nilai akal dan
kewibawaan bagi seseorang serta menyebabkan ia terjatuh dari sifat kesopanan
dan rendah hati, seperti yang dilakukan oleh seorang (sufi yang ) berjanggot.
Apalagi yang melakukannya adalah kakek-kakek yang berjenggot, bertepuk tangan
dan mengikuti irama yang dinyanyikan para wanita dan anak-anak muda yang belum
tumbuh jenggotnya. Apakah layak bagi seseorang membanggakan diri dengan menari
seperti binatang dan menepuk dada seperti wanita (sambil menari), yang sudah
gaek dan hampir masuk liang kubur yang nantinya akan diminta pertanggungjawabannya
di Padang Mahsyar?
3. MENENTUKAN SIKAP DAN PENDIRIAN.
Keinginan untuk menari sama dengan keinginan manusia untuk berjalan,
bermain, dan seterusnya. Semua merupakan perbuatan yang biasa dilakukan secara
alami (fitri) dalam rangka menghibur diri atau mencari kesenangan dan
kebahagiaan. Syara‘ tidak mengharāmkan seseorang untuk menggerakkan badan,
tangan, kaki, perut, dan sebagainya. Bahkan senua perbuatan itu akan muncul
secara alami. Hukum asal untuk menari adalah mubāh selama dalīl-dalīl syara‘
tidak mengharāmkan tari-tarian tertentu, baik yang berirama maupun yang tidak
diiringi musik.
Telah cukup banyak jenis tarian yang ada di tengah masyarakat saat ini. Ada
tarian dari masyarakat primitif yang berbentuk tarian upacara ritual. Tarian
ini tetap dilestarikan keberadaannya. Ada tarian modern (daerah) yang ditarikan
oleh masyarakat setempat pada berbagai upacara perayaan atau ketika menyambut
tamu luar negeri. Biasanya tari-tarian ini tidak terlepas dari iringan musik
dan nyanyian khas serta ciptaamn daerah tertentu.
Tarian rakyat itu akhirnya tidak terlepas dari terlepas dari promosi negeri
tempat asalnya. Tujuannya adalah untuk menarik wisata mancanegara yang
berkunjung ke negeri-negeri tertentu. Bahkan terkadang, tarian dari negara
tertentu dapat kita temukan di negeri lain karena perwakilan konsulat bidang
kebudayaan negara tersebut dangan sukacita menggelarkannya. Sekarang kita dapat
mengenal adanya tarian Fandago dari Spanyol, Polka dari Bohemia, Czardas dari
Hongaria, Jig dari Irlandia, atau Fling dari Skotlandia.
Di kepulauan-kepulauan sekitar Pasifik dan negeri-negeri Timur lainnya,
terdapat tarian-tarian yang seluruhnya dilakukan dengan sikap duduk. Ada tari
perut di Timur Tengah, yang biasanya dilakukan dengan penekanan gerak pada
bagian perut, berputar atau menggelepar. Tarian ini adalah jenis tarian hiburan
semata. Ada juga tarian yang dilakukan oleh wanita-wanita.
Tarian Barat juga banyak macamnya. Ada tari Balet yang merupakan tarian
drama tunggal yang diiringi musik. Tarian ini biasanya dilakukan oleh sepasang
manusia (lelaki-perempuan). Ini sama saja dengan dansa Agogo, cha-cha-cha,
twist, dan disko. Semua tarian ini sudah lazim dilakukan oleh pasangan penari
lelaki dan wanita. Lalu, bagaimana status hukum syara‘ terhadap tari-tarian
yang telah disebutkan di atas? Di bawah ini akan di rinci pandangan syara‘
terhadap tarian sebagai berikut:
1. Syara‘ melarang kaum Muslimīn menyerupai orang kafir dalam
hal-hal yang menyangkut urusan agama. Dalam hal ini termasuk semua jenis tarian
upacara keagamaan dan primitif.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 7319):
(لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتّى تَأْخُذَ أُمَّتِيْ بِأَخْذِ الْقُرُوْنِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَ
ذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيْلَ:يَا رَسُوْلَ اللهِ كَفَارِسَ وَ الرُّوْمَ؟ فَقَالَ: وَ مَنْ
مِنَ النَّاسِ إِلاَّ أُولئِكَ؟)
"Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku menerima (mengambil) apa-apa
yang dilakukan oleh bangsa-bangsa terdahulu (abad-abad silam) sejengkal demi
sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai ketika mereka masuk ke liang
biawak, kalian pun mengikutinya." Para sahabat bertanya: "Ya
Rasūlullāh, apakah yang (engkau) maksudkan di sini adalah (seperti)
bangsa-bangsa Persia dan Romawi?" Rasūlullāh menjawab: "Siapa lagi
kalau bukan mereka." (HR. BUKHĀRĪ).
Dalam riwāyat lain disebutkan bahwa yang diakui oleh kaun Muslimīn adalah
orang-orang Nasrānī dan Yahūdī.(Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 7320).
2. Setiap tarian yang berpasangan lelaki wanita yang
bercampur-baur dan diiringi dengan instrumen musik, maka harām hukumnya, karena
Rasūlullāh s.a.w. bersabda (Lihat ‘Abd-ur-Ra’ūf Al-Manāwī, FAIDH-UL-QĀDIR,
Hadīts No. 5824):
(الْغِيْرَةُ مِنَ
الإِيْمَانِ وَ الْمِذَاءُ مِنَ النِّفَاقِ)
"Ghīrah (cemburu) itu adalah bagian dari īmān, sedangkan Mizā’ adalah
bagian dari nifāq." (HR AL-BAZZĀR, BAIHAQĪ, dari Abū Sa‘īd Al-Khudrī).
Imām Ibnu ‘Atsīr menafsirkan Mizā’ dengan makna sebagai berikut:
a. Lelaki yang membawa sejumlah pria ke rumahnya untuk
mencampuri istrinya;
b. Ada yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari
"AMDZAIT-UL-FARAS" yang artinya: "Aku telah melepaskan kudaku
untuk merumput."(Lihat Ibnul ‘Atsīr, AN-NIHĀYAH, Jilid IV, hlm. 312-313).
Dalam kitāb MUKHTASHAR-USY-SYU‘AB-IL-ĪMĀN, Imām Al-Qazwīnī menukil pendapat
Imām Al-Halīmī tentang arti Hadīts tersebut, yaitu (Lihat Imām Al-Halīmī,
MUKHTASHAR-USY-SYU‘AB-IL-ĪMĀN, hlm. 238). mengumpulkan lelaki-perempuan agar
masing-masing pasangan mencampuri pasangan lainnya, atau membiarkan lelaki
pergi bersama kaum wanita.
Berdasarkan keterangan di atas, maka bercampurnya kaum lelaki dengan wanita
yang bukan muhrim dalam bentuk apapun adalah harām, baik mereka pergi
bertamasya bersama-sama maupun barmain-main seperti layaknya suami-istri.
Ternasuk dalam hal ini adalah menari bersama dengan lelaki-perempuan dan
mengikuti irama musik pop Barat, dangdut, disko, dan lain-lain. Menurut
ketentuan syara', setiap sesuatu yang menghantarkan kepada perbuatan harām maka
ia harām pula, sebagaimana kaidah syara‘ yang berbunyi:
(الْوَسِيْلَةُ إِلى
الْحَرَامِ حَرَامٌ)
"Sesuatu yang menghantarkan kepada yang harām maka ia harām pula
(dikerjakan)."
Tari-tarian masa sekarang sering dilakukan bersama-sama lelaki-wanita.
Bahkan acara tersebut tidak terlepas dari perbuatan-perbuatan harām lainnya.
Misalnya, berpegangan tangan, berangkulan, badan berdempetan, saling
menggeserkan bagian-bagian tubuh tertentu, berrangkulan dan berpelukan, dan
perbuatan yang lebih jauh dari itu. Di samping itu, mereka juga menenggak
minuman keras sampai teler. Tidak jarang acara sejenis itu menghantarkan mereka
kepada perbuatan dosa besar, yaitu bersetubuh dengan pasangannya. Lantas kita
mendengar banyak di antara remaja yang berbadan dua.
Ada dalīl lain yang mengharāmkan semua jenis tarian dari semua
bangsa-bangsa, yaitu (Lihat ‘Abd-ur-Ra’ūf Al-Manāwī, FAIDH-UL-QĀDIR, Hadīts No.
8593):
(مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ)
"Siapa saja yang menyerupai suatu kaum (dalam pola hidup dan adat
istiadat), maka ia (telah) tergolong ke dalam golongan mereka." (HR. ABŪ
DĀWŪD, THABRANĪ, dari Ibnu ‘Umar, dan Hudzaifah bin Al-Yaman).
Kata "menyerupai" di dalam Hadīts tersebut adalah bentuk seruan
umum yang sama halnya dengan kata "suatu kaum". Inilah adalah
larangan menyerupai bangsa manapun dengan apa saja secara mutlak, baik dalam
urusan ‘aqīdah, ‘ibādah, nikāh, adat kebiasaan, hidup bebas, dan sebagainya.
Termasuk di sini hal-hal yang menyangkut masalah tari-tarian.
3. Seorang wanita atau lelaki boleh bernyanyi dan menari di
rumahnya sendiri untuk anggota keluarga atau kerabat yang muhrim. Seorang istri
boleh bernyanyi dan menari untuk suami atau sebaliknya, khususnya pada hari
gembira, misalnya pesta pernikahan, lahirnya seorang bayi, hari raya, dan
sebagainya.
4. Bertolak dari umumnya nash-nash yang membolehkan menggerakan
kaki, seperti :
(فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا) (الملك: 15)
"Berjalanlah di segala penjuru (bumi)...." (67:15).
atau:
(اُرْكُضْ
بِرِجْلِكَ)
(ص:42)
"Hentakkanlah kakimu...." (38:42).
atau Hadīts-Hadīts yang membolehkan seorang lelaki berjinjit, memainkan
tombak dan perisai dan senjata tajam lainnya sambil menarikannya sebagaimana
yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Maka, hukum asal menari adalah
mubāh selama tidak melampaui batas-batas syara‘ yang telah disebutkan pada
butir-butir sebelumnya. Walaupun demikian, tidak boleh kaum lelaki muhrim atau
suami menari dengan tarian yang biasanya dilakukan oleh kaum wanita, misalnya
tari perut dan sejenisnya. Sebaliknya, kaum wanita tidak boleh menarikan tarian
lelaki, sebab Rasūlullāh s.a.w. melarang kaum lelaki menyerupai wanita atau
sebaliknya:
(لَيْسَ
مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِالرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ وَ
لاَ مَنْ تَشَبَّهَ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ)
"Tidak termasuk golonganku wanita yang menyerupai lelaki, dan lelaki
yang menyerupai wanita." (HR. IMĀM AHMAD, dari Ibnu ‘Amru bin Al-‘Āsh).
BĀB XI.
SENI MUSIK, SUARA DAN TARI PADA MASA KHILAFAH ISLAM.
Khilafah Islam terdahulu tidak pernah melarang rakyatnya mempelajari seni
suara dan musik, Mereka dibiarkan mendirikan sekolah-sekolah musik dan
membangun pabrik alat-alat musik. Mereka diberikan ghairah untuk mengarang
buku-buku tentang seni suara, musik dan tari. Negara khilafah juga tidak pernah
mengambil tindakan hukum terhadap biduan dan biduanita yang bernyanyi di
rumah-rumah individu. Bahkan mereka diberi ijin untuk bernyanyi di istana dan
di rumah penguasa.
Perhatian ke arah pendidikan musik telah dicurahkan sejak akhir masa Daulah
Umawiyah, yang kemudian dilanjutkan pada masa kekhilafahan ‘Abbāsiyah sehingga
di berbagai kota banyak berdiri sekolah musik dengan berbagai tingakat
pendidikan, mulai dari tingkat menengah sampai ke perguruan tinngi. Pabrik
alat-alat musik di bangun di berbagai negeri Islam. Sejarah telah mencatat bahwa
pusat pabrik pembuatan alat-alat musik yang sangat terkenal ada di kota Sevilla
(Andalusia atau Spanyol).
Catatan tentang kesenian umat Islam begitu banyak disebut orang. Para
penemu dan pencipta alat musik Islam juga cukup banyak jumlahnya, yang muncul
sejak pertengahan abad kedua hijrah, misalnya Yunus Al-Khatīb yang meninggal
tahun 135 H, Khalīl bin Ahmad (170 H.), Ibnu An-Nadīm Al-Maushilli (235 H.),
Hunaian Ibnu Ishāq (264 H.), dan lain-lain.
Pada masa itu cakrawala umat Islam juga diramaikan oleh biduan dan
biduanita yang status umumnya adalah pelayan. Mereka ini bukan penyanyi bayaran
yang disewa untuk setiap pertunjukannya. Merekalah yang bernyanyi untuk
menghibur khalīfah dan para penguasa lainnya di istana dan rumah mereka
masing-masing. Setiap pelayan menghibur tuannya sendiri-sendiri.
Seni tari berkembang luas pada masa Daulah ‘Abbāsiyah. Berkembangnya seni
ini karena ketika itu perbudakan masih berlaku. Para budak wanita bernyanyi
untuk menghibur para pejabat maupun rakyat. Tetapi biduanita-biduanita istana
pada umumnya adalah dari kalangan sendiri. (Lihat A. Hasjmi, SEJARAH KEBUDAYAAN
ISLAM, Cet. 2, hlm. 321, 326; Lihat juga Oemar Amin Hoesein KULTUR ISLAM, hlm.
427-445).
Berkembangnya kesenian di seluruh negeri Islam tidak menyebabkan
berkembangannya seni yang dicampuri oleh maksiat dan hal-hal yang dilarang
syara‘ Kalau ada hal-hal tersebut maka biasanya khilafah Islam akan mengambil
tindakan keras dengan menangkap pelakunya, sekaligus menutup tempat-tempat
hiburan yang berselubung kemaksiatan. Tindakan seperti itu dilakukan melalui
para hakim Al-Hisbah. Bahkan khalīfah memerintahkan dan membiarkan qādhī
(hakim) memusnahkan alat-alat musik apabila negara berpendapat bahwa memainkan
alat-alat musik dan bernyanyi dengan diiringi musik adalah harām (Lihat Imām
Al-‘Āmidī, AL-AHKĀM-US-SULTHĀNIYAH, hlm. 294-296). Namun Qādhī Al-Hisbah tidak
akan bertindak langsung bila suara musik dan nyanyian tersebut muncul dari
rumah-rumah penduduk. Ia hanya melarang tanpa mendobrak pintu rumah, apalagi sampai
merusak bagian lainnya. (Lihat Imām Al-‘Āmidi, ibidem, hlm. 297).
Namun setelah khilafah Islam diruntuhkan oleh Barat (gabungan negara
Eropa), mulailah muncul kembali tempat-tempat hiburan yang terbuka untuk umum.
Kita lantas mengenal ada yang namanya klub malam, bar, diskotik, dan
panggung-panggung terbuka. Muncul pula nyanyian cabul yang sesungguhnya tidak
pantas dinyanyikan. Bahkan kita sudah amat mudah menemukan nyanyian yang
disertai dengan acara joget, ajojing, dan dansa yang disertai dengan jeritan
histeris. Penyanyi wanitanya pun telah banyak yang tidak punya rasa malu lagi.
Mereka lebih suka memamerkan auratnya dengan mengenakan pakaian ketat, tipis
dan mini.
Tentu saja semua keadaan itu bukan cermin kebudayaan Islam. Seni yang
demikian bertentangan dengan ketentuan Islam. Ia tidak lebih dari jiplakan
kebudayaan Barat. Secara pasti ia telah merusak jiwa pemuda Islam. Bahkan di
hadapan kepala kita telah tampak nyata bukti kerusakan itu di seluruh negeri
Islam.
Keadaan tersebut tentu saja menjadi kewajiban negara khilafah masa depan
untuk mengatasi kerusakan yang terjadi di masyarakat pada setiap negeri Islam
yang dikuasainya. Dengan kekuatan dan kekuasaannya, negara khilafah pasti mampu
membersihkan bentuk seni musik, suara, dan tari dari noda-noda kebudayaan
Barat. Khilafah akan dengan mudah melakukan berbagai tindakan dalam hal
tersebut. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Melarang setiap nyanyian, rekaman dan tarian yang mengajak
orang untuk minum arak, bergaul bebas, berpacaran, bermain cinta, atau bunuh
diri karena putus cinta.
2. Melarang setiap nyanyian dan tarian yang disertai dengan
omongan kotor dan cabul yang mengarah kepada perbuatan-perbuatan dosa atau
membangkitkan birahi seksual.
3. Melarang setiap nyanyian dan tarian yang disertai dengan
perbuatan-perbuatan harām, seperti minum khamr, percampuran antara lelaki
dengan wanita.
4. Lagu-lagu dan kaset-kaset Barat dilarang beredar dan para
penyanyinya tidak diijinkan melakukan pertunjukkan (show) di negeri-negeri
Islam.
5. Setiap tempat pertunjukan untuk menyanyi dan menari, seperti
klub malam, bar dan diskotik harus ditutup dan tidak diberi ijin membukanya
oleh pemerintah. Begitu pula halnya dengan panggung-panggung terbuka.
6. Para penyanyi wanita tidak diperbolehkan tampil di televisi,
film, panggung-panggung umum atau di studio untuk menari atau merekam lagu
kaset, video, film dan sebagainya. Untuk nyanyian, hanya di radio yang
diperbolehkan.
7. Tidak dilarang beredarnya kaset nyanyian wanita maupun pria
asal berupa nyanyian yang mudah dan tidak bertentangan dengan ‘aqīdah Islam.
8. Hanya lagu-lagu atau rekaman yang mengandung nilai-nilai
keislaman dan sesuai dengan ‘aqīdah dan akhlak Islam yang boleh beredar di
negeri-negeri Islam.
9. Setiap keluarga diijinkan bernyanyi atau mendengarkan
rekaman lagu dan menari dalam suasana gembira guna melahirkan perasaan riang
dan menghibur hati pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada hari raya, pesta
perkawinan, aqiqahan, pulang kampungnya salah seorang anggota keluarga, pada
waktu lahirnya seorang bayi, dan sebagainya, dengan syarat tidak melampaui
batas-batas syara'.
10. Tidak dibolehkan memberi bayaran kepada penyanyi
wanita. Tetapi bagi kaum lelaki boleh. Penyanyi wanita hanya boleh bernyanyi di
rumah saja.
11. Menarikan tarian hanya diperkenankan di tempat
tertutup dan terbatas pada anggota keluarga serta kerabat yang muhrim.
Demikian kira-kira yang akan dilakukan oleh khilafah Islam pada masa
mendatang dengan berpedoman kepada keadaan kaum Muslimīn sekarang ini. Namun
demikian, tindakan-tindakan di atas hendaklah merupakan sebuah keputusan pasti
yang tidak bisa diubah-ubah lagi sebab khilafah diberikan wewenang untuk
bertindak dan menentukan sikap dalam menentukan hukum dan peraturan berdasarkan
ijithadnya. Oleh karena itu, bisa jadi khilafah pada periode tertentu
membolehkan orang bermain musik dan menyanyikan lagu. Pada periode berikutnya
bahkan khilafah mengharāmkan semua jenis lagu dan alat musik, juga mengharamkan
menggunakan alat-alat musik dan melagukan nyanyian tertentu yang menurutnya
tidak sesuai dengan etika hukum Islam.
Perbedaan sikap seperti itu karena para fuqaha telah memperselisihkan
masalah seni ini, Tidak ada kesepakatan pendapat di antara mereka. Namun apapun
yang terjadi nanti dan selama masih bertolak dari pandangan hukum Islam, maka
kaum Muslimīn wājib menthā‘ati semua ketentuan yang ditetapkan oleh khalifah.
TAMMAT. WAL-HAMDULILLĀH.