Oleh : K.H. Usman Shalehuddin
Alquran menerangkan, bahwa
Rasulullah saw. diutus Allah kepada seluruh manusia selaku rasul yang terakhir,
yaitu tidak akan ada lagi yang lain setelah beliau.
{مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ
وَلَكِنْ رَسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِينَ وَكاَنَ اللهُ بِكُلِّ شَيْئٍ
عَلِيْمًا } -الأحزاب : 40-
Muhammad
itu bukanlah bapak seseorang dari laki-laki kamu (mengenai anak angkat itu
bukan anak kandung, jadi bukan ahli waris), tetapi ia itu adalah Rasul Allah dan penyudah
nabi-nabi, dan Allah itu mengetahui segala sesuatu. Q.s.
Al-Ahzab : 40
Rasulullah saw. menerangkan
kedudukan dirinya sebagaimana termaksud ayat di atas.
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِاللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ
مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا
رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِيَ
الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ
النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ
عَامَّةً -رواه البخاري-
Dari Jabir bin Abdullah ra. Ia
mengatakan, bahwa Nabi saw, bersabda,”Aku telah diberi lima macam yang tidak
diberikan kepada seorang pun sebelumku; Aku ditolong dengan rasa takut pada
hati musuh selama dalam perjalanan satu bulan; bumi dijadikan bagiku sebagai
tempat shalat dan bersuci (tayamum), karena itu, siapapun dari umatku tersusul
waktu shalat hendaklah ia shalat; dihalalkan bagiku ghanimah-ghanimah yang
tidak dihalalkan bagi seorang pun sebelumku; aku diberi syafa’at; dan adalah
nabi itu diutus kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus kepada manusia
seluruhnya. H.r.
Al-Bukhari
Lebih tegas lagi beliau bersabda :
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلِي وَمَثَلُ النَّبِيِينَ كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى دَارًا
فَأَتَمَّهَا إِلاَّ لَبِنَةً وَاحِدَةً، فَجِئْتُ أَنَا فَأَتْمَمْتُ تِلْكَ
الَّبِنَةَ -رواه مسلم-
Dari Abu Said Al Khudri ia
berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaanku dan perumpamaan nabi-nabi
itu, seumpama seseorang yang membuat
sebuah rumah kemudian ia menyempurnakannya kecuali hanya satu ubin saja, selanjutnya
aku datang maka aku yang sempurnakan yang satu itu”. H.r. Muslim. Lihat, Ad-Durrul
Mantsur IV:617
Dengan keterangan-keterangan di
atas, maka umat Nabi Muhammad saw. telah memiliki petunjuk yang jelas dalam
mengamalkan Islam menurut apa yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.
عَنْ
أَبِي شُرَيحٍ قَالَ : خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ ص فَقَالَ أَلَيْسَ
تَشْهَدُونَ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ ؟ قَالُوا
:بَلَى، قَالَ : إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ طَرَفُهُ بِيَدِ اللهِ وَطَرَفُهُ
بِأَيْدِيكُمْ فَتَمَسَّكُوابِهِ، فَإِنَّكُمْ لَنْ تَضِلُّوا وَلَنْ تَهْلِكُوا
بَعْدَهُ أَبَدًا. -رواه الطبراني-
Abu Syuraih menerangkan,
“Rasulullah menjumpai kami, kemudian beliau bersabda,’Bukankah kamu telah
bersyahadat, bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku Rasulullah?
Mereka menjawab,’Benar’. Beliau bersabda,’Sesungguhnya Alquran itu seperti
seutas tali, ujung yang satu di tangan Allah dan ujung yang satunya lagi berada
di tangan-tangan kamu, karena itu berpeganglah kamu kepadanya, karena kamu
tidak akan sesat dan tidak akan binasa setelah itu selamanya”. H.r. Ath-Thabrani, lihat
Tahdzibul Akhlaq:8
Pada
Forum ini diadakan pembahasan BERINTERAKSI DENGAN SUNNAH, demikian pula seputar
arti pemahaman terhadap konsep sunnah dan hal-hal yang bersangkutan dengan cara
pengambilan dan interpretasi terhadap hadis-hadis. Memperhatikan point-point di
atas, mudah-mudahan pembahasan ini dapat mencapai apa yang kita maksudkan,
karena itu saya membagi jadi tiga bagian.
Pertama, Makna Sunnah
Sunnah bermakna suatu cara, baik
terpuji maupun tercela, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw.
عَنْ
جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ
كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ
شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ
كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ -رواه مسلم-
Dari Jarir bin Abdullah,
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang mengerjakan sunnah yang hasanah (suatu cara baik) dalam Islam,
maka baginya adalah pahala dan pahala orang yang mengerjakannya, dan tidak
dikurangi dari pahalanya sedikit pun, (sebaliknya) siapa yang mengerjakan
sunnah yang jelek (tidak terpuji) dalam Islam lalu sunah itu diikuti, maka baginya
adalah dosa seperti dosa orang yang mengerjakannya, dan tidak dikurangi dari
dosanya sedikit pun”. H.r.
Muslim
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا
بِذِرَاعٍ -رواه البخاري و مسلم-
Dari Abu Said Al Khudri, dari Nabi
saw. beliau bersabda, “Pastilah kamu akan mengikuti sunnah-sunnah manusia
sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta”. H.r. Bukhari dan Muslim
Sunnah menurut Muhadditsin dan
Usuliyyin keduanya menetapkan dengan takrif yang tidak jauh berbeda, yaitu
‘Apapun yang ditukil dari Nabi saw. oleh para sahabatnya berupa qaul, fi’il
, atau taqrir.
Hadis qauli adalah seperti
contoh di atas. Hadis fi’li adalah yang menerangkan apa yang dikerjakan
Nabi saw. seperti pelaksanaan shalat, haji, saum dan lain-lain. Hadis taqriri
adalah apa yang diucapkan atau dilakukan oleh para sahabat, dan
sekurang-kurangnya beliau tidak memberikan pernyataan, maka hal itu dianggap
beliau sendiri yang mengucapkan atau melakukan hal itu. Seperti Bilal adzan
awal sebelum waktu shalat subuh dengan tambahan Asholatu Khoirum Minan Naum dua
kali setelah Hae’alah dan sebelum Allahu Akbar.
عَنْ
عَبْدِاللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ أَوْ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ مِنْ
سَحُورِهِ فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ أَوْ يُنَادِي بِلَيْلٍ لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ
وَلِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ ... -رواه البخاري-
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a.,
dari Nabi saw., ”Janganlah sekali-kali azan Bilal menghalangi kamu dari
sahurnya, karena ia azan di waktu malam untuk mengembalikan yang sedang salat
dan untuk membangunkan yang sedang tidur”... H.r. Al Bukhari
عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ -رواه البخاري-
Dari Aisyah r.a., dari Nabi saw.
bersabda, “Sesungguhnya Bilal azan pada waktu malam (belum masuk waktu subuh)
maka makanlah dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum berazan”. H.r. Al Bukhari
Demikianlah makna sunnah secara
mujmal.
Kedua, Kehujjahan
dan Kedudukan Sunnah
{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فاَتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ
اللهُ وَيَغْفِرُ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ، قُلْ أَطِيعُوا
اللهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِينَ}
آل عمران : 31-32
Katakanlah, jika kamu mencintai
Allah, turutlah akan daku (Muhammad saw.) Niscaya Allah akan mencintai kamu dan
Ia akan ampuni dosa-dosa kamu, karena Allah itu Pengampun Penyayang.
Katakanlah, Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesudah itu, jika kamu berpaling,
maka Alah tidak menyukai orang-orang kafir. Q.s. Ali Imran 31-32
{لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلىَ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ
بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ
وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ
قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ} آل عمران : 164
Sesungguhnya Allah telah berbuat
budi atas mukminin, karena Ia telah membangkitkan di antara mereka seorang
Rasul dari jenis mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-
Nya dan membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab itu dan pula Hikmah (sunnah) padahal sesungguhnya mereka itu, dahulunya, adalah dalam kesesatan yang terang. Q.s. Ali Imran 164
Nya dan membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab itu dan pula Hikmah (sunnah) padahal sesungguhnya mereka itu, dahulunya, adalah dalam kesesatan yang terang. Q.s. Ali Imran 164
Sahl bin Abdullah mengatakan, ”Ciri mencintai Allah itu adalah
mencintai Alquran, Ciri mencintai Alquran itu adalah mencintai Nabi saw. Ciri
mencintai Nabi itu adalah mencintai sunnah ...(At-Tafsirul Munir, III:208)
1.
Sunnah berfungsi sebagai penegas hukum yang telah ditetapkan di dalam Alquran.
Dengan demikian hukum tersebut ditetapkan oleh dua buah sumber. Yakni Alquran
sebagai sumber yang menetapkan hukumnya dan Sunnah sebagai sumber yang
menegaskannya. Seperti perintah mendirikan salat ditetapkan hukumnya di dalam
Alquran:
{أَقِيمُوا
الصَّلاَةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ} –البقرة : 110-
...Dirikanlah
salat dan tunaikanlah zakat
Kemudian
dipertegas oleh sabda Rasulullah ketika berdialog dengan seorang penduduk Nejd,
يَا رَسُولَ اللهِ أَخْبِرْنِي مَا فَرَضَ اللهُ
عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ ؟ قَالَ : اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ. قَالَ :هَلْ عَلَيَّ
غَيْرُهُ ؟ قَالَ : لاَ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئاً.-متفق عليه-
“Wahai Rasulullah beritahukanlah
salat apa yang Allah fardukan kepadaku ? Beliau bersabda, ‘Salat lima waktu’.
Ia berkata, ‘Apakah ada yang lainnya’ ? Beliau bersabda, ‘Tidak, kecuali engkau
melakukan yang sunnah’” Muttafaq Alaih.
2. Sunnah berfungsi sebagai Bayan (keterangan)
ayat-ayat Alquran. Dalam memberikan keterangan ini ada 3 macam. Yaitu
a). Memberikan perincian ayat-ayat yang masih Mujmal
Dalam Al Quran diterangkan bahwa
sentuh menyentuh dengan perempuan itu membatalkan wudhu berdasarkan firman
Allah,
{أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوْا
مَاءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا} -المائدة :6-
...Atau kamu
sentuh menyentuh dengan perempuan lalu kamu tidak memperoleh air maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik...
Kalimat lamastum pada lafad
ayat di atas belum jelas apakah menyentuh dalam arti sebenarnya ataukah kiasan
dari mujama’ah. Ternyata ada hadis yang menerangkan bahwa Aisyah pernah
menyentuh Rasulullah saw. ketika salat dan hal itu tidak membatalkan wudhu.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ
فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا
مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ
وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً
عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ -رواه مسلم-
Dari Aisyah mengatakan, “Aku
kehilangan Rasulullah saw. pada satu malam dari tempat tidurku, kemudian aku
mencarinya lalu tanganku mennyentuh perut kedua tumit beliau waktu itu sedang
di mesjid dan kedua tumit itu berdiri tegak, beliau mengucap Allahhumma... H.r. Muslim.
b)
Membatasi kemutlakannya.
Alquran tidak membatasi kemutlakan
tangan dalam menerangkan kaifiyat tayammum,
{فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ
مِنْهُ} -المائدة :6-
....(yaitu) kamu sapu muka-muka dan tangan-tangan dengannya...
Ternyata
Rasulullah saw. membatasi kemutlakan tangan itu hadis di bawah ini,
أَنَّ النَّبِيَ
ص أَمَرَهُ بِالتَّيَمُّمِ لِلْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ. -رواه الترمذي-
Bahwa
Nabi saw. memerintahnya (Ammar bin Yasar) tayammum untuk muka dan dua telapak
tangan. H.r.
At-Tirmidzi
c).
Mengkhususkan keumumannya.
Dalam Alquran Allah swt.
berfirman,
{يُوصِيكُمُ اللهُ فِى أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ
مِثْلُ حَدِّ اْلأُنْثَيَيْنِ} -النساء : 11-
Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Q.s. An Nisa : 11
Pada ayat tersebut setiap anak
mempunyai hak waris dari orang kandung mereka. Ternyata ada hadis Rasulullah
yang mengkhususkan bahwa seseorang yang mempunyai anak yang kafir tidak bisa
mewariskan, begitu pula sebaliknya anak yang muslim tidak menerima waris dari
orang tuanya yang kafir,
عَنْ
أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا يَرِثُ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ -رواه مسلم-
Dari Usamah bin
Zaid, Bahwa Nabi saw.bersabda, “Orang muslim tidak boleh mewariskan orang
kafir, dan orang kafir tidak boleh mewariskan kepada oranng muslim”. H.r. Muslim
3. Sunnah berfungsi untuk menetapkan hukum yang tidak
ditegaskan dalam Alquran. Seperti
syariat tentang aqiqah, mengurus jenazah, dan lain-lain.
Ketiga,
Interaksi dengan Sunnah
Setelah kita mengetahui kedudukan
dan kehujjahan sunnah itu, maka bagi umat Nabi Muhammad saw. wajib berusaha
untuk mengimplementasikannya dalam perilaku sehari-hari, sehingga apa yang
dijaminkan oleh Nabi saw. itu terwadahi.
Imam Al Bukhari menyusun dalam
sahihnya, kitab demi kitab, bab demi bab antara lain Kitabul I’tisham Bil
Kitab Wa Sunnah yang terdiri dari 28 (dua puluh delapan) bab. Al
I’tisham bermakna Al Imtitsal, yaitu melaksanakan sesuai dengan
contoh. Kemudian beliau mencantumkan hadis dari Thariq bin Syihab ia berkata,
أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْيَهُودِ قَالَ لَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ
لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لَاتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ
عِيدًا أَي ( الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ) قَالَ
عُمَرُ قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِي نَزَلَتْ فِيهِ
عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ
يَوْمَ جُمُعَةٍ -رواه البخاري-
Seorang Yahudi
berkata kepada Umar bin Khattab, “Wahai Amirul Mukminin kalau ayat itu turun
kepada kami yaitu, ‘Hari ini Aku telah meyempurnakan bagi kamu agama kamu dan
telah menuntaskan atas kamu nikmat-Ku dan Aku telah rela bagi kamu Islam
sebagai agama’, pastilah kami jadikan hari itu (menjadi) hari raya”. Umar
berkata, “Sungguh aku mengetahui hari dan tempat ayat itu turun, ia turun ketika Nabi saw.
sedang berdiri (wukuf) di Arafah pada hari Jumat.” H.r. Al Bukhari
Selama Nabi saw. masih hidup maka
apa pun yang dimaksud oleh Alquran para sahabat mendapat nara sumber yang
jelas, sampai cara dan alat bersuci untuk sahnya salat. Misalnya seorang
sahabat yang biasa melaut, ia bertanya kepada Nabi saw.
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا
الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ
مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ -رواه الترمذي-
“Ya Rasulullah,
kami biasa melaut namun membawa air hanya sedikit, bila dipakai untuk berwudhu,
tentulah kami kehausan, karena itu bolehkah kami berwudhu dengan air laut itu”?
Mendengar pertanyaan itu beliau menjawab, “Laut itu suci airnya dan halal
bangkainya”. H.r.
At-
Tirmidzi
Tirmidzi
Ada pula kejadian
خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا
مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي
الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدِ الْآخَرُ
ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا
ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ
صَلَاتُكَ وَقَالَ لِلَّذِي تَوَضَّأَ وَأَعَادَ لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ -رواه أَبُو دَاوُد-
Dua orang sahabat
diperjalanan sedangkan waktu salat telah tiba namun mereka tidak mendapatkan
air untuk bersuci,lalu keduanya bertayammum dan mengerjakan salat. Setelah itu
air didapatkan, tetapi yang seorang mengulang wudhu dan salatnya dan yang
seorang tidak mengulang. Kemudian keduanya datang kepada Nabi saw. dan
menerangkan kejadian itu kepada beliau. Beliau bersabda kepada yang tidak
mengulangi, “Engkau telah sesuai dengan sunnah dan salatmu telah memadaimu”.
Demikian pula beliau bersabda kepada yang berwudhu dan mengulangi (salatnya),
“Bagimu ada pahala dua kali”. H.r.
Abu Daud
Disamping apa yang diputuskan Nabi
saw. itu berdasarkan wahyu yaitu Alquran dan hadis, adapula yang berdasarkan
ijtihad beliau sendiri, baik selaku pribadi maupun selaku pemimpin.
Tatkala datang dua orang yang bersengketa beliau
bersabda,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ،
وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنُ
بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي لَهُ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ. فَمَنْ
قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ بِشَيْئٍ فَلاَ يَأْخُذُ مِنْهُ شَيْئًا،
فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنْ نَارٍ.
“Tiada lain aku
ini adalah manusia, ssedangkan kamu mengadukan persengketaan kamu kepadaku,
semoga saja di antara kamu alasannya lebih bisa diterima, karena itu aku
memutuskan bagi orang itu menurut apa yang aku mendengarnya, maka siapa yang
aku putuskan baginya padahal dari hak saudaranya, maka janganlah ia
mengambilnya walaupun sedikit, karena aku mengerat/memotong bagi yang mengambil
itu sepotong dari api neraka.” H.r.
Bukhari Muslim, Ijtihaadur Rasul, 1969 : 54-55
Pada tahun awal diselenggarakan
kurban di Madinah, beliau memutuskan bahwa bagi yang berkurban boleh mengambil
daging kurbannya, namun tidak boleh daging kurban itu masih ada dirumahnya
setelah tiga hari. Tatkala tahun berikutnnya, para sahabat bertanya, “Apakah
bagi kami yang berkurban itu masih tetap seperti tahun yang lalu” ? Beliau
menjawab, “Aku menetapkan demikian karena pada tahun yang lalu itu orang-orang
sangat membutuhkan, adapun sekarang silahkan kalian memakan, membagikan, dan
menjemur.
Sejak Beliau masih hidup, dalam
memutuskan sesuatu itu tetap pada dasarnya harus berdasarkan Alquran, kemudian
hadis kemudian ijtihad.
حِينَ بَعَثَ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ إِلَى الْيَمَنِ، فَقَالَ لَهُ : كَيْفَ
تُقْضِي إِذَا عُرِضَ لَكَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ : أُقْضِي بِكِتَابِ اللهِ، قَالَ :
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِى كِتَابِ اللهِ ؟، قَالَ : فَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ، قَالَ
: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ ؟، قَالَ : أَجْتَهِدُ رَأْيِي
وَلاَ آلوُ، فَضَرَبَ رَسُولُ اللهِ ص عَلىَ صَدْرِهِ، وَقَالَ : اَلْحَمْدُ للهِ
الَّذِي وَفَقَ رَسُولَ رَسُولِ اللهِ لِمَا يَرْضَى رَسُولُ اللهِ.
Tatkala Muadz
diutus ke Yaman Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Bagaimana engkau
memutuskan sesuatu bila terbukti terhadapmu” ? Katanya, “Aku akan memutuskan
dengan Kitab Allah”, sabda Beliau, “Bila tidak terdapat dalam Kitab Allah” ?
Katanya, “Sunnah Rasulullah”, sabda Beliau, “Bila tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah”
? Katannya, “Aku akan berijtihad dan aku tidak akan ceroboh”. Kemudian
Rasulullah saw. menepuk-nepuk dada Mu’adz sambil bersabda, “Segala puji bagi
Allah yang telah mencocokkan utusan Rasulullah dengan yang telah diridhai
Rasulullah” H.r.
Ahmad, Abu Daud, Ad-Darimi dan Al-Baihaqi, As Sunnah Wa Makanatuha Fit
Tasyri’il Islami, t.t. :59-60
Setelah Rasulullah saw. wafat,
muncullah yang namanya Ijma’ dan terkenal dengan sebutan Ijma’ Sahabat, namun
ijma’ itu bukan dalil tapi Dalilun Ala Wujudi Dalilin yang bermakna,
persetujuan para sahabat Rasulullah saw. akan sesuatu setelah Rasulullah saw.
tidak ada. Ini menunjukkan bahwa hal itu pernah berlaku pada zaman Rasulullah
saw.
Pada zaman Rasulullah, Abu Bakar
dan Umar, azan Jumat hanya sekali setalah masuk waktu dhuhur, yaitu bila imam
telah ada di mimbar dan mengucapkan salam lalu duduk. Tetapi pada zaman Utsman,
beliau selaku khalifah mengadakan azan awal sebelum waktu dhuhur dan dilakukan
di Zaura (tempat-tempat yang ramai orang-orang pula dengan kesibukan
mereka) dengan maksud mengingatkan, bahwa Jumat sejenak lagi akan tiba. Azan
yang dilakukan Utsman ini tidak termasuk rangkaian ibadah Jumat, tetapi beliau
tidak dapat dikatakan mengadakan bid’ah dalam ibadah, namun selaku khalifah
berdasarkan apa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. atas tindakan
sahabatnya yaitu Bilal yang kemudian beliau menyetujuinya.
Atas tindakan Utsman ini, tak
teriwayatkan seorang sahabat pun yang masih ada pada zaman itu yang
menentangnya, maka diamnya para sahabat atas tindakan Utsman ini umum disebut
Ijma’ Sukuti, yang bermakna menyetujui dengan cara diam, dan khlifah Ali tidak
teriwayatkan melanjutkan kebijakan ini.
Dalam hal bacaan doa Iftitah
teriwayatkan dengan bacaan sir, namun Umar bin Khattab membacanya dengan
memperdengarkan atau menjaharkan bacaan itu apabila beliau menganggap, bahwa
pada makmum ada yang perlu mengetahui bacaan itu, beliau melakukan demikian,
karena pada zaman Rasulullah saw. pernah terjadi bacaan yang sir semacam
bacaan Fatihah dan surat pada salat dhuhur dan ashar oleh Rasulullah saw.
kadang-kadang diperdengarkan kepada makmum dengan maksud ta’lim, yaitu
agar makmum mengetahui apa yang beliau baca, yang pada hakikatnya bacaan pada
salat itu adalah sir.
Demikianlah yang disampaikan, semoga Allah membukakan
pintu jariyyah dari Ilmun Yuntafa’u bih.