KRITERIA BUNGA
Bunga Bank
Sebagaimana sikap para ulama
dalam menetapkan kriteria riba, di antara ahli ekonomi konvensional pun terjadi
perbedaan pendapat mengenai; a) untuk apa bunga dibayarkan, b) beberapa pakar
mengatakan bahwa bunga itu adalah suatu harga, tetapi harga apa? Apakah yang
diberikan kreditur sehingga ia menuntut suatu imbalan uang bulan demi bulan
atau tahun demi tahun? Para pendukung bunga menemukan kesulitan untuk
bersepakat dalam hal ini. Perbedaan ini melahirkan berbagai konsep tentang
bunga.
Kata riba dalam bahasa Arab
hanya tercakup sebagian dalam kata usury dalam bahasa Inggeris yang
dalam penggunaan modern berarti suku bunga yang lebih dari biasanya atau suku
bunga yang mencekik. (Lihat, al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary,
1993: 1020) Kamus Oxford mendefinisikan usury sebagai “praktik meminjamkan uang dengan suku
bunga yang berlebih-lebihan, terutama bunga itu lebih besar dari apa yang telah
dibolehkan atau ditetapkan oleh hukum”. Menurut definisi ini, setiap “tarif tambahan, khususnya yang lebih
tinggi dari tarif yang telah ditentukan oleh pemerintah adalah suku bunga yang
sangat berlebihan.” (Lihat, Muhamad: Encyclopedia of
Seerah (alih bahasa Dewi Nurjulianti), 1997:318). Lebih jauh, pakar ekonomi
Thomas Aquinas (1225-1274) berpendapat bahwa bunga harus dianggap sebagai biaya
hipotetis yang dengan curang diminta
untuk sesuatu yang dimiliki secara umum, yaitu waktu. (Ibid., 320)
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa bunga mengandung tiga unsur;
a) kelebihan atau surplus di atas modal,
b) penetapan kelebihan ini berhubungan dengan waktu,
c) transaksi yang menjadi syarat pembayaran kelebihan itu
Dengan
demikian, jika terdapat perbedaan antara riba dalam Alquran dan bunga dalam
masyarakat kapitalis, hal ini merupakan perbedaan tingkat atau derajat, dan
bukan mengacu kepada perbedaan jenis. Karena itu kami berkesimpulan bahwa riba
dalam Alquran dan hadis serta bunga dalam dunia perbankan modern adalah satu kondisi, syarat dalam
transaksi, atau jenis transaksi yang sama, hanya saja berbeda nama dan kemasan.
Perbedaan Bunga dengan Laba
Setelah kita mengkaji hakikat riba dan bunga di atas, maka kita
dapat melihat adanya perbedaan antara bunga dari modal dan laba hasil
perdagangan sebagai berikut:
F
Bunga
bukan hasil suatu usaha produksi apapun, sedangkan laba sebaliknya merupakan
hasil angka produksi.
F
Laba
dalam perdagangan kerapkali bersifat tidak tetap dan juga mengandung
kemungkinan resiko rugi. Sedangkan modal yang ditanam di bank atau modal milik
bank yang dipinjamkan menghasilkan bunga
tetap dan tidak mengandung kerugian apapun.
Jalan Keluar dari Bunga
Untuk menghindari pengoperasian bank
dan lembaga keuangan non bank dengan sistem bunga, Islam sejak dahulu
memperkenalkan prinsip-prinsip mu’amalat yang akan membebaskan umat dari
kegelisahan yang berkepanjangan tentang bunga bank. Prinsip-prinsip mu’amalat yang dalam mekanisme atau
operasionalnya bebas bunga dan sesuai dengan syariat Islam adalah sebagai
berikut:
a)
al-wadi’ah, yaitu titipan murni berupa uang, barang, dan surat
berharga atau deposito. Titipan ini dengan seijin pemiliknya dapat dipergunakan
atau dikelola oleh bank. Apabila dari pengolahan uang tersebut bank memperoleh
laba, maka laba itu sepenuhnya milik bank. Bank atas kehendaknya sendiri, tanpa
perjanjian dan ketentuan waktu di muka dapat memberikan bonus kepada pemiliknya
sebagai bentuk terima kasih.
Dasar hukum al-wadi’ah:
1) Alquran surat An Nisa:58
2)
Sunnah Rasul riwayat Abu Daud dan Tirmidzi: “Tunaikanlah titipan kepada yang berhak
menerimanya.”
b)
al-mudharabah, yaitu kerjasama antara pemilik modal dengan pengelola atas dasar
perjanjian bagi hasil. Dengan mudharabah ini, bank dapat bertindak
sebagai mudharib (pengelola) dan penabung sebagai shahibul mal
(pemilik modal). Pembagian keuntungan dapat dilakukan sesuai dengan nisbah
(porsi kontribusi modal) yang telah disetujui bersama. Atau bisa saja bank yang
memberikan modal kepada pengusaha (mudharib) dengan perjanjian bagi hasil
sesuai dengan kesepakatan. Dengan ketentuan untung sama-sama rugi pun
sama-sama.
Dasar hukum mudharabah:
1) Alquran surat al-Muzammil : 20
2)
Sunnah Rasul riwayat Ibnu Majah: “Tiga perkara di dalamnya terdapat
keberkahan (1) Menjual dengan pembayaran secara kredit (2) mudharabah (3)
mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan bukan untuk dijual.”
c)
al-musyarakah, yaitu perjanjian usaha para pemilik modal pada suatu proyek
dengan sistem bagi hasil menurut kesepakatan. Dengan musyarakah ini,
pihak bank dan pihak pengusaha sama-sama mempunyai saham pada usaha bersama
(joint venture). Kedua belah pihak berpartisipasi mengelola usaha patungan ini
dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjian bagi hasil.
Dasar
hukum al-musyarakah:
1)
Alquran surat Shad : 24.
2)
Hadis Qudsi riwayat Abu Daud: “Aku pihak ketiga di antara dua orang
yang berkongsi selama salah seorang di antara mereka tidak berkhianat kepada
yang lainnya. Maka bila berkhianat aku akan keluar dari mereka.”
d) al-qardhul hasan, yaitu suatu
pinjaman lunak yang diberikan atas dasar kewajiban semata di mana si peminjam
tidak dituntut untuk mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman. Bank dapat
memberikan pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah yang baik. Dalam hal ini
peran para agniya atau muhsinin sangat signifikan.
Dasar hukum al-qardhul hasan:
1) Alquran surat Al Baqarah : 245.
2)
Sunnah Rasul riwayat Ibnu Hiban: “Tidaklah seorang muslim meminjamkan 2
kali kecuali sama baginya dengan memberi satu kali.”
Perbedaan Bunga dengan Bagi Hasil
Setelah kita mengkaji hakikat riba dan bunga di atas, maka kita
dapat melihat adanya perbedaan antara imbalan yang berdasarkan bunga dengan
yang berdasarkan bagi hasil. Adapun perbedaannya
sebagai berikut:
Bunga
a. Penentuan bunga dibuat pada waktu
akad tanpa berpedoman pada untung rugi.
b. Besarnya persentase berdasarkan
pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
c.
Pembayaran bunga tetap seperti dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang
dijalankan pihak nasabah untung atau rugi
d.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat
atau keadaan ekonomi sedang “booming” (berhasil).
e.
Pertambahan bunga menjadi tidak terbatas oleh waktu melainkan oleh kemampuan membayar
Bagi hasil
a.
Penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman
pada untung rugi.
b. Besarnya rasio bagi hasil
berdasarkan pada jumlah keuntungan yang
diperoleh.
c.
Bagi hasil bergantung kepada proyek yang dijalankan. Sekiranya itu tidak
mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah
pihak.
d. Jumlah pembagian laba meningkat
sesuai dengan jumlah pendapatan.
e. Imbalan melalui sistem
bagi hasil kerap kali tidak tetap, sesuai kenyataan yang benar-benar terjadi.
Pada akhirnya, semua kembali kepada
niat ihklas atau niat baik yang sungguh sungguh dari kaum muslimin sendiri,
karena bagaimanapun hanya kaum muslimin yang akan berhadapan dengan halal dan
haram dengan keinsafan akan adanya hari pembalasan di akhirat kelak, akan
adanya surga dan neraka.
Untuk mewujudkan pengoperasian ekonomi non ribawi, maka semua elemen
dari kaum muslimin harus bahu membahu; ulama, muballig, agniya, muhsinin,
ekonom, paktisi ekonomi, termasuk masyarakat muslim yang membutuhkan pinjaman
agar berjalan seiring. Pada akhirnya setiap diri akan menghadap Allah dan
mempertanggung jawabkan semua amal perbuatannya sendiri-sendiri. Oleh karena
itu setiap langkah nyata yang ikhlas dalam membebaskan kaum muslimin dari debu
pekat riba nan mencekik adalah jihad fi sabilillah. Mudah-mudahan Allah
mendengar setiap hambaNya yang menjerit ingin terbebas dari riba.