SEJARAH DAN
PROSES PENETAPAN SYARIAT TARAWIH
Oleh: Ibnu
Muchtar
Beberapa minggu setelah
peristiwa di Gua Hira, Nabi mendapat perintah shalat malam dengan turunnya
surat al-Muzammil ayat 1-11 (di antara ayatnya)
يَاأَيُّهَا
الْمُزَّمِّلُ # قُمْ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا
Hai
orang yang berselimut (Muhammad). bangunlah (untuk salat) di malam hari kecuali
sedikit (daripadanya). Q.s. Al-Muzammil:1-2.
Kata Aisyah, "Maka beliau dan para
sahabatnya melaksanakan perintah itu setiap malam hingga kaki-kaki mereka bengkak
dan Allah menahan (belum menurunkan) ayat akhir dari surat itu (al-muzammil)
selama 12 bulan. Kemudian Allah memberikan keringanan dengan menurunkan ayat
terakhir dari surat itu (ayat 20). (Setelah turunnya ayat ke
20 al-Muzammil) salat itu hukumnya menjadi sunat (bagi kaum muslimin, namun
tetap wajib hukumnya bagi Nabi saw)"[1] Ibnu
Abas menegaskan bahwa selisih waktu turun antara ayat-ayat pertama dan terakhir
pada surat itu selama 1 tahun.[2] Demikian Nabi melaksanakan salat malam itu selama 13 tahun hidup di Mekah sebelum
hijrah, yakni sejak tahun ke-40 (dari kelahirannya) yang bertepatan dengan
bulan Agustus 611 M, hingga tahun ke-53 (dari kelahirannya) yang bertepatan
dengan bulan April tahun 623 M. Dan selama itu, istilah
shalat malam hanya disebut qiyamul lail dan
tahajjud, walaupun dilakukan di bulan Ramadhan.
Setelah
Nabi hijrah ke Madinah, dan baru menetap selama 17 bulan di Madinah, sejak
Rabi’ul Awwal hingga Sya’ban 2 H, salat malam terus dilakukan oleh Nabi dan istilah
salat ini masih qiyamul lail dan tahajjud. Namun setelah turunnya ayat 183-184
al-Baqarah, yang turun pada hari Kamis tanggal 28 Sya’ban tahun ke-2 H yang bertepatan
dengan tanggal 23 Pebruari 624 M, Nabi menyebut Istilah lain bagi shalat
tersebut dengan ungkapan qiyamu ramadhan
مَنْ
قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا
Selain menyebut dengan
istilah baru, Nabi pun menetapkan beberapa aturan pada salat malam di bulan Ramadhan
itu yang sebelumnya tidak dilakukan, antara lain:
a. dikerjakan dengan
berjama’ah atau munfarid. Hanya berjamaah lebih utama. Hal itu tampak jelas
dari ajakan dan pengumuman yang dilakukan beliau pada sore hari ketika ba'da
ashar, kepada halayak untuk berjamaah salat Tarawih.
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ لَمَّا كَانَ العَشْرُ الأَوَاخِرُ إِعْتَكَفَ
رَسُولُ اللهِ فِى الْـمَسْجِدِ فَلَمَّا
صَلَّى الـنَّبِيُّ صَلاَةَ العَصْرِ
مِنْ يَوْمِ اثْـنَـيْنِ وَعِشْرِينَ قَالَ : إِنَّا قَائِمُونَ اللَيْلَةَ إِنْ
شَاءَ اللهُ، مَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَقُومَ فَلْيَقُمْ وَهِيَ لَيْلَةُ
ثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ فَصَلاَّهَا الـنَّبِيُّ
جَمَاعَةً بَعْدَ العَتَمَةِ حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَيْلِ ثُمَ
انْصَرَفَ، فَلَمَّا كَانَ لَيْلَةَ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًا
وَلَمْ يَقُمْ فَلَمَّا لَيْلَةَ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ قَامَ بَعْدَ صَلاَةِ العَصْرِ
يَوْمَ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ ، فَقَالَ
إِنَّا قَائِمُونَ اللَّـيْلَةَ إِنْ شَاءَ الله ُ يَعْنِى لَيْلَةَ خَمْسٍ
وَعِشْرِينَ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَقُمْ
فَصَلَّى بِالنَّاسِ حَتَّي ذَهَبَ ثُلُثُ اللَيْلِ ثُمَّ انْصَرَفَ
فَلَمَّا كَانَ لَيْلَةَ سِتٍّ وَعِشْرِينَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًا وَلَمْ يَقُمْ
فَلَمَّا كَانَ عِنْدَ صَلاَةِ العَصْرِ مِنْ يَوْمِ سِتٍّ وَعِشْرِينَ قَامَ
فَقَالَ إِنَّا قَائِمُونَ إِنْ شَاءَ
اللهُ يَعْنِى لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَقُومَ فَلْيَقُمْ
قَالَ أَبُو ذَرٍّ فَـتَجَلَّدْنَا
لِلْقِيَامِ فَصَلَّى بِنَا النَّبِيُّ e حَتَّى ذَهَبَ ثُلُـثَا اللَيْلِ ثُمَّ انْصَرَفَ اِلَى
قُـبَّتِهِ فِى الْـمَسْجِدِ فَقُلْتُ لَهُ إِنْ كُنَّا لَقَدْ طَمِعْنَا يَا
رَسُولَ اللهِ أَنْ تَقُومَ بِنَا حَتَّى تُصْبِحَ، فَقَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ إِذَا صَلَّيْتَ مَعَ
إِمَامِكَ وَانْصَرَفْتَ إِذَا انْصَرَفَ كُتِبَ لَكَ قُنُوتُ لَيْلَتِكَ رواه
احمد
Dari Abu Dzar, ia berkata, ”Tatlaka sepuluh hari
terakhir Ramadhan, Rasulullah saw. itikaf di masjid, ketika salat ashar pada hari ke 22, ia bersabda,
'Insya Allah kita akan berjamaah malam ini, siapa di antara kamu yang akan
salat pada malam itu silahkan ia salat, yakni malam ke 23, kemudian Nabi salat
malam itu dengan berjamaah setelah salat isya sampai lewat sepertiga malam.
Kemudian beliau pulang. Pada malam ke 24, ia tidak berkata apapun dan tidak
mengimami, pada malam ke 25 beliau berdiri setelah salat ashar, yaitu pada hari
ke 24, kemudian bersabda, 'Kita akan berjamaah malam ini Insya Allah yakni pada
malam ke 25, Siapa pun yang mau ikut berjamaah silahkan’ Kemudian ia mengimami
orang-orang sampai lewat sepertiga malam. Kemudian ia pulang. Tatkala
malam ke 26 ia tidak berkata apa pun dan tidak mengimami kami, tatkala malam ke
27, beliau berdiri setelah salat ashar pada hari ke 26, kemudian berdiri dan
bersabda, 'Insya Allah kita akan berjamaah malam ini yakni pada malam ke 27,
siapa yang akan mengikuti berjamaah silahkan ‘Abu Dzar berkata, 'Maka kami
berusaha keras untuk ikut salat berjamaah itu, lalu Nabi saw. mengimami kami
sampai lewat dua pertiga malam. Kemudian beliau pergi menuju Qubahnya di
masjid (karena sedang I’tikaf). saya berkata padanya, 'Bagaimana jika kami
sangat menginginkan tuan mengimami kami sampai subuh. Beliau bersabda, 'Wahai
Abu Dzar jika engkau salat beserta imammu, dan engkau selesai (salat) ketika
imam itu selesai, telah ditetapkan (pahala) untukmu karena panjangnya salatmu
pada malamku. H.r. Ahmad. [3]
Sikap
seperti ini tidak pernah dilakukan oleh beliau selama 13 tahun di Mekah,
termasuk pada bulan Ramadhan. Demikian pula selama di Madinah di luar bulan Ramadhan
sikap ini tidak dilakukan oleh beliau.
b. dikerjakan pada awal, tengah, atau akhir malam. Hal ini
berbeda dengan Ramadhan ketika di Mekah atau di luar bulan Ramadhan ketika
sudah hijrah ke Madinah. Pada riwayat Al-Bukhari, Umar bin Khathab menyatakan:
وَكَانَ النَّاسُ
يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan
orang-orang melakukannya pada awal malam.
Dari sinilah kita
mendapatkan adanya kaifiyat yang berbeda ketika shalat itu dilaksanakan di luar
ramadhan yang populer dengan sebutan Tahajud dan witir serta yang dilakukan di
ramadhan yang popoler dengan sebutan qiyamu ramadhan dan tarawih.
Adapun
istilah taraweh mulai muncul sejak pertengahan abad ke-1 H. Hal itu
terbukti pada jawaban Abu Hanifah (80 H - 150 H/699 M -767 M) ketika ditanya
oleh muridnya bernama Abu Yusuf tentang fi’il Umar (Lihat, Aujazul Masalik,
II:293). Jadi tidak
benar kalau dikatakan bahwa istilah taraweh baru dikenal sejak abad ke-2 H.
Siapa Yang paling Tahu
Shalat Malam Rasul
Yang paling mengetahui
salat malam Rasul adalah Aisyah, dibandingkan dengan para sahabat lainnya,
karena Nabi sering melakukannya waktu bermalam di Aisyah. Ketika Ibnu Abas
ditanya oleh Sa’id bin Hisyam, ia berkata:
..أَلاَ
أَدُلُّكَ عَلَى أَعْلَمِ أَهْلِ اْلأَرْضِ بِوِتْرِ رَسُولِ اللهِ قَالَ: مَنْ؟ قَالَ: عَائِشَةُ, فَأْتِهَا
فَاسْأَلْهَا..
Maukah engkau kutunjukkan orang yang paling mengetahui dari
antara penghuni bumi ini pada witir Rasulullah saw.? Saad bertanya,’Siapakah?
Ibnu Abas menjawab,’Aisyah, maka datanglah kepadanya dan bertanyalah... [5]
Sehubungan dengan itu apabila terjadi perbedaan pendapat
pada salat malam Rasulullah saw. dengan para sahabatnya, maka riwayat Aisyah-lah
yang harus didahulukan sebelum yang lainnya selama kedudukannya shahih, karena
ia yang paling mengetahui tentang salat Malam Rasulullah saw. Karena itu tidak mengherankan bila banyak di
antara tabi’in yang bertanya kepada Aisyah tentang shalat malam Rasul, antara
lain: Abdullah bin Syaqiq, Abdullah bin Abu Qais.
Jumlah dan Formasi Rakaat
Bagaimana bilangan dan format
rakaat salat taraweh itu? Mengenai bilangan dan format rakaat dan ini, Ummul
Mukminin Aisyah pernah ditanya oleh Abu Salamah bin Abdurahman:
كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ
رَسُولِ اللهِ e فِى رَمَضَانَ، قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ
عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ
حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ
حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثاً، قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ
يَارَسُولَ اللهِ، أَ تَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ
عَيْنَيَّ تَنَامُ وَلَمْ يَنَمْ قَلْبِي
Artinya: “Bagaimana
(cara) salat Rasulullah saw. pada malam bulan Ramadhan ? Ia (Aisyah) menjawab,
’Tidaklah Rasulullah saw. menambah pada bulan Ramadhan, (juga) pada bulan yang
lainnya, dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat, dan engkau jangan
bertanya tentang baik dan panjangnya, beliau salat (lagi) empat rakaat, dan jangan
(pula) engkau bertanya tentang baik dan panjangnya, kemudian beliau salat tiga
rakaat. Aisyah berkata, ‘Aku bertanya wahai Rasulullah ! Apakah engkau tidur
sebelum witir ? Beliau menjawab, ’Hai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur,
tapi hatiku tidak tidur. H.r.
Al-Bukhari, pada bab fadhlu man qama ramadhan.[6]
Hadis ini oleh Imam al-Bukhari ditempatkan
pula pada Kitabut Tahajjud, bab
بَاب قِيَامِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ فِي رَمَضَانَ
وَغَيْرِهِ
Dalam riwayat ini Aisyah menerangkan
dengan tegas jumlah rakaat salat taraweh “sebelas”. Kemudian ia memperinci,
empat rakaat, empat rakaat dan tiga rakaat. Tetapi ia tidak menerangkan cara
dan bacaan yang dibaca pada setiap rakaat, karena sudah dimaklumi oleh yang
bertanya khususnya tentang arti rakaat dalam salat.
Yang jadi pokok persoalan, apakah format
4-4-3 yang ditegaskan Aisyah ini merupakan ta'yin (kemestian) atau takhyir
(pilihan). Untuk fi ghairihi (di luar Ramadhan) format ini bukan ta'yin, karena
ditemukan format lain yang pernah dilakukan oleh Nabi, sebagaimana keterangan
Aisyah sendiri juga sahabat lainnya, antara lain
i)
2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 1 = 11 cara
ini disebut witir dengan 1 rakaat
قَالَتْ عَائِشةُ كَانَ
رَسُولُ اللهِ يُصَلِّي إِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ رواه مسلم
Artinya: Aisyah ra.
Berkata, “Rasulullah saw. salat sebelas rakaat. Beliau salam setiap dua rakaat
dan witir dengan satu rakaat.” H.r. Muslim
ii)
2 + 2 + 2 + 2 + 3 = 11 cara ini
disebut witir dengan 3 rakaat
عَنْ عَامِرٍ
الشَّعْبِيِّ قَالَ سَأَلْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ وَعَبْدَ اللهِ بْنَ
عُمَرَ عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللهِ
بِاللَّيْلِ فَقَالاَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْهَا ثَمَانٍ وَيُوتِرُ
بِثَلاَثٍ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْفَجْرِ
رواه ابن ماجة
Artinya: Dari Amir
as-Sya’bi, ia berkata, “Aku bertanya kepada Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin
‘Umar ra. tentang salat malam Rasulullah saw., maka keduanya berkata, ‘Salat
Rasulullah pada malam hari tiga belas rakaat, antara lain delapan rakaat dan
witir tiga rakaat, dan dua rakaat setelah fajar’.” H.r. Ibnu Majah
Sedangkan untuk fi Ramadhan (di bulan
Ramadhan), hemat kami format ini adalah ta'yin, karena tidak ditemukan format
lain yang dilakukan oleh Nabi pada bulan Ramadhan, selain keterangan Aisyah. Sedangkan
Aisyah adalah orang yang lebih tahu keadaan Nabi waktu malam. Kata Ibnu Hajar:
مَعَ
كَوْنِ عَائِشَةَ أَعْلَمَ بِحَالِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم لَيْلاً مِنْ غَيْرِهَا
Di samping
Aisyah adalah yang paling tahu keadaan Nabi di waktu malam daripada istri Nabi
lainnya. [8]
Selain ketegasan Aisyah bahwa Nabi saw. tidak
pernah salat Tarawih lebih dari 11
rakaat dengan format 4-4-3, dapat
diambil kesimpulan pula bahwa para sahabat pun demikian, sebab
para sahabat adalah makmum-makmumnya. Oleh karena itu apabila dikatakan bahwa
terdapat sahabat yang berbeda darinya tentulah harus ditunjukan dalilnya yang
kuat. Karena itu Syekh al-Albani menyatakan bahwa
keterangan Aisyah tersebut sesuai dengan keterangan Jabir dan Aisyah sendiri
yang menerangkan peristiwa salat tarawih Nabi secara berjamaah selama tiga
malam di awal Ramadhan. [9]
قَالَ جَابِرُ بْنُ
عَبْدِ اللهِ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ
فِي شَهْرِ رَمَضَانَ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ وَأَوْتَرَ فَلَمَّا كَانَتِ الْقَابِلَةُ
إِجْتَمَعْنَا فِي الْمَسْجِدِ وَرَجَوْنَا أَنْ يَخْرُجَ فَلَمْ نَزَلْ فِيهِ حَتَّى
أَصْبَحْنَا ثُمَّ دَخَلْنَا فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ إِجْتَمَعْنَا
الباَرِحَةَ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجَوْنَا أَنْ تُصَلِّيَ بِنَا فَقَالَ إِنِّي خَشِيتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْكُمْ
Artinya: Jabir bin Abdulah telah berkata, ”Rasulullah saw. Salat
mengimami kami delapan rakaat pada malam Ramadhan dan beliau melakukan witir.
Maka ketika malam berikutnya kami berkumpul dan berharap beliau akan keluar
lagi, dan kami terus menerus di situ sampai pagi, kemudian kami masuk dan kami
berkata kepadanya, ’Wahai Rasulullah, kami berkumpul di mesjid malam tadi dan
kami berharap anda mengimami kami, beliau bersabda, Saya khawatir dianggap
wajib atas kalian.’” [10]
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ
النًّبِيَ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى
الثَّانِيَةَ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ
أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللهِ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ رَأَيْتُ الَّذِى صَنَعْتُمْ
فَلَمْ يَمْنَعْنِى مِنَ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيتُ أَنْ
تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ وَذلِكَ فِي رَمَضَانَ متفق عليه
Artinya: Dari Aisyah, (ia berkata),
”Bahwasanya Rasulullah saw. salat di mesjid, dan orang-orang pun ikut salat
berjamaah dengannya. Kemudian beliau salat pada hari kedua (dari Ramadhan), dan
orang-orang pun semakin banyak dan berkumpul pada hari kedua atau ke empat
(untuk ikut berjamaah). Kemudian (hari selanjutnya) Rasulullah saw. tidak
keluar menemui mereka (untuk salat). Ketika masuk waktu subuh beliau bersabda,
’Aku melihat apa yang telah kamu kerjakan, tidak ada yang menghalangiku untuk
keluar menemui kalian semua selain aku khawatir (salat itu) diwajibkan atas
kamu, dan itu pada bulan ramadan”. Muttafaq ‘Alaih. [11]
Adakah format lain yang
dilakukan oleh Nabi pada bulan Ramadhan selain keterangan Aisyah yang tegas
itu?
B.
Latar Belakang Penamaan
Qiyamul lail,
tahajjud, witir, qiyamur ramadhan, dan tarawih itu adalah istilah lain untuk
shalatul lail, yakni salat sunat non rawatib yang dilakukan pada waktu malam
setelah Isya hingga menjelang waktu shubuh. Sedangkan munculnya istilah-istilah
lain terhadap salat itu karena dilihat dari dimensi lain, yaitu
(1) waktu pelaksanaan memunculkan istilah shalatul lail (di luar
bulan Ramadhan) dan qiyamur ramadhan (di bulan Ramadhan);
(2) rakaat
memunculkan istilah witir;
(3) kondisi pelaksananya memunculkan istilah tarawih, yakni
istirahat setiap selesai dua rakaat.
Adapun penggunaan
istilah tahajud harus dilihat dari atau berkaitan erat dengan dimensi lain,
yakni perkembangan bahasa sebagai berikut: Pada awalnya kata hajada dan tahajjada
dipergunakan oleh orang Arab dengan makna tidur di malam hari, dari kata al-hujud
an-naum. Sedangkan tidak tidur
semalaman disebut as-saharu. Namun setelah orang Arab melihat bahwa
dalam syariat Islam orang yang bangun dari tidur pada malam untuk salat disebut
mutahajjid, maka lafal hujud dan tahajjud itu dapat
diartikan sebaliknya, yakni as-saharu, sehingga kata al-hujud dikategorikan
sebagai al-adh-dad (kata berlawanan). Demikian yang disampaikan oleh Abu
Manshur Muhamad al-Azhari dalam kitab Tahdzibul Lughah, sebagaimana
dikutip pula oleh Fakhruddin ar-Razi[12]. Berdasarkan penjelasan al-Azhari ini dapat diambil kesimpulan
bahwa salatul lail disebut tahajud, karena dilaksanakan setelah bangun dari
tidur pada waktu malam.
Keinginan untuk
menulis buku tentang sekelumit masalah taraweh, witir, dan tahajud, telah lama
bersemi di hati kami. Tampaknya, pengalaman dakwah lapangan menjadi pendorong
utama untuk menulis buku ini. Namun demikian, usaha ke arah
itu merupakan sesuatu yang hampir saja mustahil dilakukan secara individual,
karena terdapat kesenjangan yang sangat jauh. Di satu pihak, persoalan hadis
dan fikih sangat abstrak dan rumit, di samping terjadi pengembangan pemikiran
terhadap keduanya. Sementara di pihak lain, kemampuan individu sarat dengan
berbagai keterbatasan. Keterbatasan dalam memilah dan memilih data serta
informasi yang dapat dihimpun, karena sangat banyak jumlahnya
dan bertebaran dalam beragam dan beratus-ratus jilid kitab; keterbatasan sudut pandang yang digunakan; Bahkan keterbatasan
waktu dan usia yang dapat digunakan.
Sehubungan dengan itu penyusunan buku ini melalui proses
pengembaran intelektual yang cukup panjang dan melelahkan, disertai kesabaran
menanti hasil penelitian beberapa tahun lamanya. Alhamdulillah dengan inayah
Allah buku ini dapat diterbitkan untuk edisi perdana pada bulan oktober tahun
2004, dan tak disangka-sangka edisi perdana habis terjual dalam waktu 1 bulan.
Pada bulan yang sama di tahun berikutnya (2005) buku tersebut diterbitkan
kembali oleh penerbit yang berbeda dengan judul Kontroversi Shalat Malam,
Witir, dan Tarawih. Baik edisi perdana maupun kedua ini telah dibedah beberapa
kali diberbagai tempat. Dan pada tahun 2006 ini acara bedah buku tersebut
digelar 2 kali: Pertama di Masjid an-Nur PT Inti pada hari Senin 9 Oktober
2006, sayangnya pembanding tidak hadir. Kedua, hari ini di UIN Sunan Gunung
Djati. Sehubungan dengan itu kami haturkan terima kasih teriring doa
jazakumullah khairan katsira atas inisiatif dan ide kreatif dari para mahasiswa
jurusan tafsir-hadis dalam menggelar acara ini, sehingga ide dan pemikiran kami
dapat dikaji pula oleh kalangan akademis, dan tak lupa ucapan terima kasih kami
haturkan pula kepada Bapak Ketua Jurusan Tafsir-Hadis UIN Sunan Gunung Djati
Bandung dan Pembanding Bapak Mudjio M.Ag yang telah meluangkan waktu
disela-sela kesibukannya dan diharapkan dapat memberikan beberapa catatan
penting sebagai pelengkap buku ini.
Ikhwatu iman rahimakumullah
Sebagaimana yang kita ma’lumi bahwa masalah shalat tarawih ini kalau diteliti secara ilmiah dalam
berbagai kitab yang telah disusun para ulama mutaqaddimin bukanlah
masalah baru, tetapi persoalannya sudah berkembang sejak lama. Bahkan masalah
ini telah dibahas oleh para ulama sejak pertengahan abad ke-1 H. Polemik dan
perdebatan yang terjadi pada umumnya diseputar istilah, waktu pelaksanaan, dan
jumlah rakaat. Karena itu, masalah yang diangkat dalam buku ini pun tidak
keluar dari persoalan di seputar itu. Namun karena acara ini digelar oleh
mahasiswa jurusan tafsir-hadis, maka kami mengajak semua pihak untuk melakukan
telaah kritis atas hadis-hadis tentang hal itu, khususnya hadis tentang salat
tarawih lebih dari 11 rakaat, apakah absah atau tidak? Sehubungan dengan hal
itu ada beberapa hal yang hendak kami sampaikan sebagai bahan perbandingan
Pertama, bi’tibari qaailih (dilihat
dari aspek pembicara), hadis tentang tarawih lebih dari 11 rakaat, terdiri atas
2 macam: Ada
yang marfu, dan ada pula yang mauquf.
A. Yang marfu, yakni konon Nabi saw. salat pada bulan Ramadan sebanyak dua puluh rakaat dan
(ditambah) witir. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi, As
Sunanul Kubra, II:496, Ath Thabrani, Al Mu’jamul Kabir XI:393, Al Ausat
I: 444 & VI: 210; Dan Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf II:285-286.
Semuanya bersumber dari Ibnu Abbas r.a.
B. Yang mauquf, yakni konon Orang-orang salat malam pada masa Umar bin Khatab r.a di bulan
Ramadhan dengan 20 Rakaat,, sebagaimana diriwayatkan
oleh al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, II:496. Riwayat ini
bersumber dari As-Saib bin Yazid.
Kedua, bi’tibaril qabul war radd
(dilihat dari aspek derajat hadis),
[1]Lihat, H.r. Abdurrazaq,
al-Mushannaf, III:39; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, II:499;
Ishaq bin Rahawaih, al-Musnad, III:711
[10]
Hadis
ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Mu’jamus Shagir,
I:190. Selain riwayat di atas masih
terdapat riwayat-riwayat lain yang semakna tetapi terdapat sedikit perbedaan
lapal, yaitu dua riwayat Ibnu Hiban di dalam Shahih Ibnu Hibban, IV: 110
dan 111, No 2.540 dan No.2.541; Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la al-Mushili,
III:336,337, No 1.801 dan 1.802; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah,
II:138, No. 1.070; ath-Thabrani, al-Mu’jamul Ausath, IV: 440-441,
No.3743 dan 3745, dan Ahmad, Fathur Rabani, V:15