CONTOH MAKALAH ARKEOLOGI | SEJARAH ARKEOLOGI MAJAPAHIT

MAKALAH ARKEOLOGI

Rangkuman Isi Buku Kebesaran Majapahit
”Majapahit Trowulan”



TROWULAN situs-kota Majapahit
Situs  Trowulan yang berada dalam wilayah Kecamatan Trowulan (Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur), letaknya sekitar 70 km ke arah baratdaya dari Surabaya dan dapat ditempuh dengan kendaraan umum maupun pribadi. Di permukaan dan di dalam tanahnya terdapat banyak tinggalan budaya masa lampau yang dipercaya sebagai tinggalan masa kejayaan Majapahit. Di dalam areal seluas 9X11 km itu dapat dilihat bangunan-bangunan bata berupa candi, gapura, kolam, dan saluran-saluran air di muka tanah maupun di bawah tanah yang seluruhnya mengindikasikan sebuah kota yang sudah cukup maju untuk masa itu.

Rekonstruksi Maclaine Point
Nagarakertagama Pupuh 8-12 memberikan uraian secara rinci tentang gambaran kota Majapahit. Ibu kota kerajaan mempunyai tembok keliling dari batu merah yang tebal dan tinggi. Pintu barat bernama Pura Waktra. Di sebelah utara terdapat gapura, di sebelah timur terdapat panggung luhur yang lantainya berlapis batu putih yang mengkilat. Di sebelah utara dan selatan berderet rumah yang memanjang, di selatan terdapat balai prajurit tempat pertemuan setiap bulan Caitra.
Halaman istana terdapat lapangan luas disebut manguntur. Di bagian timur manguntur terdapat tempat pemujaan. Balai agung manguntur  dengan balai witana di tengah menghadap bangunan watanan. Sebelah timur ada pahoman, tempat pusat keagamaan, berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa.
Uraian Nagarakertagama tentang kota Majapahit itu telah dicari lokasinya di lapangan. Maclaine Point, seorang insinyur Belanda, yang sejak tahun 1924 hingga 1926 menghubungkan gambaran kota Majapahit sebagaimana tercatat dalam Nagarakertagama dengan tinggalan arkeologi di situs Trowulan. Dengan kitab Nagarakertagama di tangan kiri dan cangkul di tangan kanan, ia menggali situs Trowulan. Maclaine Point berhasil membuat sketsa kota Majapahit di situs Trowulan.
Lapangan Bubat, yang dalam sejarah disebut sebagai sebuah tempat peperangan antara kerajaan Sunda dan Majapahit di bawah komando Gajah Mada menurut Nagarakertagama, oleh Maclaine Point diletakkan di Desa Bejijong dan Trowulan.

Batas Kota
Secara geografis kota Majapahit dibatasi oleh Sungai Brangkal di sebelah timur, Sungai Gunting di sebelah barat dan  utara yang kemudian bertemu di Sungai Brantas. Daerah selatan kota dibatasi oleh lereng-lereng pegunungan Anjasmoro dan Welirang.
Tiga buah sisa-sisa kompleks bangunan agama Hindu atau pemujaan Dewa Siwa yang letaknya di penjuru mata angin, diperkirakan sebagai tanda batas kota kerajaan. Batu-batu candi, sisa fondasi dari bata kuna dan sebuah yoni , menjadi bukti pernah berdiri bangunan pemujaan Siwa di tempat ini. Mengingat lokasinya yang memiliki akses dengan Sungai Brantas, Tugu-Badas boleh jadi jalan masuk kota Majapahit apabila orang datang dari utara menggunakan transportasi air. Diperkirakan luas bidang kota Majapahit sekitar 11X9km, yang memanjang utara-selatan.

Situs-Kota
Situs Trowulan merupakan pusat kerajaan terbesar yang pernah ada di Asia Tenggara. Childe(1950) berpendapat bahwa sebuah masyarakat yang sudah berstatus kota harus memenuhi 10 kriteria, antara lain adanya jumlah penduduk yang besar, sejumlah bangunan monumental dan pusat upacara, dan keberadaan golongan-golongan pengrajin dari berbagai jenis pekerjaan.
Ketiga proses pertumbuhan (negara;peradaban;kota), semuanya berkaitan dengan masalah sama yaitu perkembangan susunan masyarakat yang semakin rumit. Dari segi ilmu arkeologi, ketiga jenis kompleksitas ini tidak setaraf. Faktor pendorong utama (prime movers)biasanya diajukan oleh para arkeolog tempo dulu untuk menjelaskan perkembangan kebudayaan kompleks di Indonesia, yaitu adanya pengaruh dari Asia Selatan. Pendapat ini diganti dengan anggapan bahwa peran lokal jenius (local jenius) harus diakui.
Menurut Wheatley, proses perkotaan dapat disamakan dengan perkembangan suatu sistem ekonomi yang menjalin hubungan antara sejumlah wilayah dengan sumber daya yang berbeda, sehingga terbentuk suatu kesatuan wilayah yang saling bergantung. Pendirian bangunan monumental dapat dianggap sebagai suatu tanda bahwa proses urbanisasi sudah mulai berjalan. Salah satu kebertan atas teori Wheatley itu adalah sifatnya yang masih monotetik serta unilineal (Miksic 1991).
Dalam kasus ini, kita harus menghindari penciptaan suatutipologi pemukiman yang amat membedakan antara masyarakat kota dan bukan (belum) berkota. Kita perlu mencari gagasan tentang jenis-jenis proses perkotaan, dan variasi antara perwujudan proses penciptaan pola pemukiman dalam kaitan dengan faktor lain, ekonomi, dan tradisi lokal. Misalnya di daerah Borobudur mungkin dahulu pernah ada semacam perkampungan yang berpusat pada Candi Borobudur, khusus untuk biarawan, masyarakat pendukungnya dan para peziarah yang mengunjungi candi itu, serta masyarakat lain yang melayani keperluannya. Kota semacam ini tentu menunjukkan perbedaan ciri-ciri dibandingkan dengan jenis kota yang didirikan terutama sebagai pusat kerajaan.
Kalau kita menganggap bahwa kota ada kaitannya dengan pemusatan, dan dengan besar kecilnya jumlah penduduk yang mendiami wilayah ini, maka faktor luasnya situs pemukiman merupakan salah satu ciri yang diduga signifikan untuk kota, artinya semakin luas ruang okupasinya semakinpadat penduduk yang menghubunginya, yang mencermikan tingkat kekotaannya. Persebaran puluhan ribu artefak di seluruh situs Trowulan membuktikannya.
Dari sumber sejarah diketahui bahwa kerajaan Majapahit berlangsung selama lebih kurang 300 tahun. Dalam kurun waktu tersebut diduga kota mengalami perubahan, berupa perluasan atau penumpukan (aglomerasi).

Kerajaan Majapahit abad XIV-XV
Berdirinya kerajaan Majapahit pada awal abad XIV-XV sebenarnya sudah direncanakan oleh Krtarajasa Jayawarddhana (Raden Wijaya). Sebagai pendiri Kerajaan Majapahit, penerus kekuasaan Rajawangsa, sebenarnya Raden Wijaya memerintah dalam waktu yang singkat, antara tahun 1293-1309. Babak awal perkembangan kerajaan Majapahit masih penuh dengan intrik politik internal. Masa pemerintahan Jayanagara dan Tribuwonottungadewijayawisnuwarddani merupakan tahap pembentukan kemegahan kerajaan. Baru pada era Hayam Wuruk, yang bernama nobat Rajasanagara (1350-1389), Majapahit berada di puncak kemegahannya.
Surutnya Majapahit berawal dari rasa ketidakpuasan sebagian keluarga raja sepeninggalan Hayam Wuruk. Pecahlah peperangan berlangsung bertahun-bertahun lamanya dan dinamakan Paregrek (1401-1406). Rakyat tentunya dikerahkan untuk keperluan perang, pertanian terbengkalai, daerah-daerah di luar wilayah inti Majapahit yang semula mengakui kejayaan kerajaan berangsur-angsur melepaskan diri. Walaupun kemudian perang merdeka, namun Majapahit terus mengalami kelemahan karena para raja yang berkuasa kemudian tidak mampu mengangkat Majapahit kembali Berjaya. Majapahit pun runtuh sekitar awal abad ke-XVI, hal itu pun karena intrik keluarga. Salah seorang anak raja Majapahit, Bhre Krthabhumi (1468-1478) yang digulingkan dari tahtanya, berhasil menjadi penguasa Demak. 
Majapahit adalah kerajaan yang bercorak agama Hindu-Buddha terbesar pada masa Indonesia kuno. Berbagai buktitinggalannya baik yang berupa artefaktual, monument, karya susastra, dan cerita rakyat (folklore) masih dapat dapat dijumpai hingga sekarang baik di ranah kelahiran Majapahit, yaitu Jawa bagian timur, maupun di wilayah Nusantara yang pernah mendapat pengaruh Majapahit.
Dalam uraian Kakawin Nagarakertagama karya Mpu Prapanca yang selesai digubah tahun 1365, terdapat penyebutan wilayah-wilayah di luar Jawa yang mengakui kejayaan Majapahit.

Kesenian yang populer pada zaman majapahit adalah bentuk cerita Wayang Beber, yaitu  kisah wayang yang dilukiskan pada selembar kain panjang-yang, dimana sang dalang menceritakan adegan-adegan yang digambarkan pada lukisan yang direntangkan (beber).
Secara umum penduduk majapahit menurut Ma Huan dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu orang – orang islam yang datang dari barat dan mendapatkan mata pencaharian di ibukota, orang-orang cina yang juga beragama islam selaku niagawan tinggal di ibukota dan kota-kota pelabuhan, selebihnya adalah penduduk pribumi yang masih menyembah berhala (beragama Hindu-Buddha) dan gemar memelihara anjing.
Dalam melakukan jual beli penduduk majapahit menggunakan uang kepeng cina dari berbagai dinasti, selain uang yang dikenal di majapahit sendiri. Bahasa penduduk pribumi itu sangat halus dan indah dengan kaidah-kaidah tertentu. Ukuran timbangan di majapahit, sekati = 20, tahil, setahil = 16 qian, 1 qian = 4 kubana. Adapun 1 kati jawa = 28 tahil cina. 1 Tahil  Jawa =  tahil 4 qian Cina.
Udara di jawa panas sepanjang tahun, seperti musim panas di Cina. Panen padi terjadi dua kali dalam setahun, butir berasnya amat halus. Di Jawa terdapat pula wijen putih, kacang hijau dan lain-lain, kecuali gandum.
Buah-buahan banyak jenisnya, antara lain: pisang, kelapa, delima, papaya, durian, manggis, langsat dan semangka. Namun di Jawa tidak terlihat adanya persik dan plum. Sayur-mayur juga berlimpah dan banyak macamnya,yang tidak terdapat hanyalah kucai (Chinese chives). Ma-Huan juga terkesan dengan berbagai burung langka yang dikenal di masyarakat, misalnya diceritakan adanya burung beo putih sebesar ayam betina yang mampu menirukan percakapan manusia. Terdapat juga ayam mutiara (kalkun), kelelawar, burung nilam, tekukur yang beraneka warna, nerak, pipit, dan lain-lain.

Kemajuan peradaban yang telah diraih pada masa Majapahit tidaklah punah dengan keruntuhan kerajaan tersebut; namun banyak pencapaian peradaban yang terus dipertahankan hingga masa perkembangan Islam di Jawa, selain yang terus dilestarikan dalam lingkup kebudayaan Bali sampai sekarang.

AGAMA
Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (patirthan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan suci Majapahit ini kebanyakan bersifat agama siwa, dan sedikit yang bersifat agama Buddha, antara lain Candi Jago, Candi Bhayalagu, Candi Sanggrahan dan Candi Jabung. Di samping perbedaan latar belakang keagamaan, terdapat pula perbedaan status dan fungsi bangunan.
Bangunan suci yang dikelola oleh pemerintah pusat ada 2 macam yaitu :
  1. Dharma-Dalm (Arj.XXIII:2), disebut pula Dharma-Haji(Nagk.LXXVV:2a), yaitu bangunan suci yang diperuntukkan bagi raja beserta keluarganya.
  2. Dharma-ipas adalah bangunan suci yang dibangun di atas tanah wakaf (bhudana) pemberian raja untuk para rsi-saiwa-sogata, untuk memuja dewa-dewa dan untuk mata pencaharian mereka (pakajiwita) (Soepomo I,1997:123)
Berdasarkan fungsinya, candi-candi masa majapahit dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
  1. Candi – candi yang mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai pendharmaan raja dan keluarganya, serta sekaligus sebagai kuil pemujaan dewa.
  2. candi – candi yang hanya berfungsi sebagai kuil pemujaan, pada umumnya tidak mempunyai gabhagrha dan arca perwujudan

Pejabat keagamaan dan agamawan di majapahit
Berdasarkan sumber tertulis , aja-raja majapahit pada umumnya beragama siwa dan aliran siwasidhanta, kecuali Tribhuwanottungadewi (ibunda hayam wuruk) beragama budha Mahayana. Saat pemerintahan raden wijaya, ada dua pejaba tinggi siwa dan budha, yaitu dharmadyaksa ring kaisawan dan dharmadiyaksa ring kasogatan, kemudian  5 pejabat siwa dibawahnya pada pemerintahan tribhuawana ditambah dua orang dari agama budha.
Agama Siwa Budha
Pembaharuan /pertemuan agama siwa dan agama budha pertama kali terjadi pada masa pemerintahan kertanagara, raja singasari terakhir. Candi siwa-budha seperti yang di buat kertanegara emang tidak dijumpai pada jaman majapahit, tetapi uniknya candi yang bersifat buddha masa majapahit tidak segan-segan menghias dindingnya dengan relief cerita bersifat siwa dan begitu sebaliknya. Pembauran agama siwa-budha ini sebenarnya adalah sebatas mempersamakan kenyataan tertinggi kedua agaa berserta segala emanasinya. Kedua agama tersebut masih tetap exist dengan penganut masing-masing yang menjalankan tata upacara sesuai ajaran dan aturan agama mereka. Pembauran agama siwa-budha pada jaman majapahit antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi yang berbeda sifat keagamaannya. Misalnya kertarajasa, raja pertama majapahit di dharmakan di candi sumberjati sebagai wujud siwa dan di antahpura sebagai budha.
Agama Siwasiddhanta dan Agama Siwa Bhairawa
Agama siwa yang berkembang di peluk oleh raja-raja majapahit adalah agama siwasiddhanta yang mulai berkembang di jawa timur pada masa raja sindok. Sumber ajaran agama siwasiddhanta adalah agama kitab tutur, dan yang tertua adalah tutur bhwanakosa yang disusun pada jaman mpu sindok dan yang termuda da terpanjang adalah tutur jnanasiddhanta yang disusun pada jaman majapahit. Ajaran agama ini sangat di pengaruhi oleh saiwa upanisad, Vedanta, dan samkhya. Kenyataan tertinggi agama ini disebut paramasiwa yang disamakan dengan suku kata suci OM. Selain agama siwasiddhanta terdapat pula aliran siwa bhairawa yang telah muncul sejak pemerintahan raja jayabhaya dari kediri. Bhairawa siwapaksa adalah aliran yan memuja siwa sebagai bhairawa. Dalam kitab tantu panggelaran diceritakan tentang tokoh-tokoh  bhairawa sewapaksa yaitu mahampu palyat, mpu barangdan mpu waluhbang yan tinggal di kuburan kalyasem di gunung Hyang.
GAPURA DAN CANDI
Sekarang di trowulan masih terdiri sejumlah bangunan monumental berupa candi dan gapura yang dibua dari bata. Ditemukan juga bangunan bata berupa tembok-tembok dan sisa banguna rumah.
Gapura Wringinlawang
Dalam perjalan dari mojokerto menuju jombang ,sebelum mencapai trowulan kearah timur desa jatipasar, tampak sesosok bangunan berwarna merah bata bentuknya berupa candi bentar yakni banguna gapura yang terbelah di tengah. Ekskavasi di beberapa tempat sekitar gapura ini berhasil menemukan beberapa buah sumur kuna. Sumur-sumur yang di temukan tersebut ada yang di buat dari susunan bata, adapula yang dibuat dari terakota, diantaranya ring terakota.
Gapura Bajangratu
Bentuk gapura ini berbeda dengan gapura wringinlawang. Di bagian atas jalan masuknya terdapat atap penutup. Dipercaya bahwa bila melintasi gapura seperti ini, maka tujuan belajar atau berkarya tidak akan tercapai. Mitos ini di kaitkan dengan bajang yang disandang pada gapura ini. Bajang berarti kerdil/kecil. Gapura bajangratu terdapat ditengah kota trowulan, dukuh keraton, desa temon. Dari jalan kecil yang menghubungkan desa trowulan dan candi tikus, membelok ke kiri menuju ke utara, kita akan menjumpai bangunan gapura yang di buat dari bata ini.
Gapura bojong ratu secara vertical terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, tubuh dan atap serta sayap dan pagar tembok di kedua sisinya. Struktur kaki terdiri dari susunan pelipit rata maupun sisi genta. Pada sudut-sudut kaki terdapat hiasan panel-panel. Pada bagian tengah kaki terdapat stuktur tangga yang lantainya terbuat dari batu andesit. Badan gapura terdapat ambang pintu terbuat dari batu andesit berhias kepala kala serta sulur-suluran. Atap gapura disusun bertingkat makin keatas makin kecil dengan puncak berbentuk kubus.
Candi Brahu
Candi brahu termasuk salah satu bangunan di trowulan yang berarsitektur indah yang masih berdiri kokoh. Kaki banguna terdiri dari dua tingkatan, yaitu yang bawah ukuran ya lebih lebar dari tingkat kedua sehingga terdapat selasar di sekeliling kaki ke -2. Struktur bangunan tubuh candi sebagian besar merupakan susunan bata yang dipasang pada masa pemerintahan colonial belanda. Dibagian dalam tubuhnya terdapat bilik yang berukuran 4 x 4 meter. Sayangnya, dilantai bagian dalam bilik bangunan telah rusak dan arca nya telah hilang.
Candi Tikus
Menuju kearah timur-tenggar dari gapura bojongratu, pada jarak sekitar 300 meter terdapat seah peninggalan budaa lain, peninggalan bangunan yang teletak di dukuh dinuk, desa temon ini dikenal dengan candi tikus runtuhnya bangunan ini awalnya di temukan pada tahun 1914 oleh rakyat atas perintah bupati mojokerto, R.A.A. kromodjodjo adinegoro. Ketika itu sang bupati memerintahkan rakyat trowulan untuk memberantas hama tikus yag sedang merajalela. Ketika memberantas hama tikus pada sarangnya, di temukanlah runtuhan bangunan yang dibuat dari bata. Karena itulah runtuhan bangunan tersebut dinamakan candi tikus.
Candi Minak Jinggo terletak di wilayah administrasi dukuh Unggah – unggahan, Desa Trowulan. Karena jaraknya sekitar 300 meter kea rah timur/tenggara dari sisi timur Kolang Segaran, maka dapat ditempur dengan berjalan kaki melalui jalan dukuh. Reruntuhan Candi Minak Jinggo mulai ditampakkan tahun 1977 – 1985 dan menghasilkan bentuk denah yang berukuran 24,3 x 27,8 meter membujur arah utara – selatan. Tinggi bangunan yang masih tersisa belum dapat diketahui, karena sebagian besar masih tertutup tanah dan semak belukar. Bahan baku untuk membuat bangunan candi berupa bata dan andesit. Dari reruntuhan bangunan ini ditemukan juga sebuah arca batu yang dikenal oleh penduduk sebagai arca Minak Jinggo. Sebetulnya arca ini berwujud Garuda, sekarang ditempatkan di Balai Penyelamatan Arca Trowulan. Di sebelah barat daya runtuhan bangunan ditemukan saluran air yang cukup besar yang terdiri dari tiga lapis bata, panjang saluran belum diketahui karena sebagian masih tertutup tanah. Melihat orientasi barat – timur, saluran ini menuju kea rah Kolam Segaran.
Candi Gentong terletak di Desa Jambumente, Kecamatan Trowulan. Candi ini beada di sebelah timur Candi Brahu. Dalam rangkaian penelitian untuk merekonstruksi kota Kerajaan Majapahit, Maclaine Pont (1926) menyebutkan bahwa Candi Gentong merupakan salah satu dari tiga canti yang berderet dengan arah bujur barat ke timur, dinamakan Candi Gedong, Candi Tengah, dan Candi Gentong. Kedua candi yang disebut tadi sudah tidak nampak kecuali Candi Gentong. Pada tahun 1907 dikatakan bahwa Candi Gentong sdah tidak nampak lagi, tinggal berupa gundukan.
Usaha pelestarian Candi Gentong telah dilakukan selama 6 tahun mulai tahun 1995 – 2001. Hasil yang dapat dicapai yaitu menampakan struktur Candi Gentong I dan Candi Gentong II serta usaha – usaha pelestariannya. Dari konsep tata ruang dan didukung oleh temuan – temuan artefaktual yang bersifat agama Buddha, disimpulkan bahwa Candi Gentong merupakan mandala stupa dimana bangunan pusat dikelilingi ruangan – ruangan lain yang lebih kecil mengitarinya.
Candi Kedaton
Masih di daerah Dukuh Kedaton, pada jarak sekitar 200 meter menuju arah utara dari runtuhan bangunan lantai profane, terdapat runtuhan bangunan lain yang juga dibuat dari bata. Runtuhan bangunan yang dikenal dengan nama Candi Kedaton. Dekat dengan reruntuhan bangunan ini terdapat sebuah sumur tua yang dibuat dari susunan bata.menuju ke arah barat dari runtuhan bangunan Candi Kedaton ditemukan juga tinggalan purbakala yang berupa umpak – umpak batu dengan ukuran yang cukup besar. Umpak batu ini berjumlah seluruhnya 20 buah uang disusun berjajar arah timur – barat. Melihat ukurannya, diduga umpakbatu ini masih terletak pada tempat asalnya.
Siti Hinggil letaknya di wilayah administrative dukuh Bejijong, desa Bejijong, kecamatan Trowulan. Pada saat ini, bagian atas runtuhan bangunan kuno dari bata di Siti Hinggil ditumpangi makam baru dan dimanfaatkan sebagai tempat pemujaan, bahkan merupakan pusat kegiatan mistik. Di sekeliling runtuhan bangunan diberi pagar keliling dari batu dan besi.
Bhre Kahuripan berupa reruntuhan bangunan kuno yang dibuat dari andesit dan sebuah yoni yang raya dengan hiasan. Runtuhan bangunan ini secara administrative terletak di dukuh Klinterejo, desa Klinterejo, kecamatan Sooko. Bangunan kuno yang dikenal dengan nama Bhre Kahuripan ini di bagian ataasnya terdapat sebuah yoni dari bata. Pada salah satu sisi – sisi dari yoni terdapat pahatan angka –tahun 1293 Saka (1375 Masehi). Sisi – sisinya terdapat hiasan bermotif tupai dan wajik yang penuh dengan stiliran tanam – tanaman. Di bagian bawah cerat terdapat hiasan naga yang memakai mahkota, dan di bagian permukaan atas terdapat lubang yang berdenah bujur sangkar tempat untuk menempatkan lingga.
ARCA RAJA MAJAPAHIT
Kitab  Nagarakrtagama, ditulis oleh Empu Prapanca pada tahun 1365 M, merupakan sumber informasi yang sangat berharga tentang Majapahit dalam berbagai aspek, baik aspek fisik, yaitu kota dan perangkatnya, maupun aspek non fisik berupa tradisi – tradisi yang berkembang pada masa itu.
Kitab nagarakrtagama menyebutkan 9 orang tokoh, raja dan pejabat pemerintah yang dibuatkan arca dan candi pendharmaan sesudah tokoh tersebut 12 tahun meninggal. Tiga orang diantaranya berasal dari masa Majapahit, yakni :
  • Raja Krtarajasa Jajawardhana yang di – dharmakan di Antahprura, diarcakan sebagai jina, dan di Simping sebagai arca Siwa.
  • Raja Jayanagara di – dharma – kan di dalam “pura” dan diarcakan sebagai Wisnu di Shila Ptak dan Bubat, dan sebagai Amogasiddi di Sukhalila.
  • Sri Rajapatni Gayatri di – dharmakan dan diarcakan sebagai Prajnaparamita di Bhayalango.
Raja Krtarajasa
Raja Krtarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya adalah raja peertama dan pendiri kerajaan Majapahit. Tempat pendharmaannya di Anthapura tidak diketahui lokasinya, dan arcanya sebagai  jina pun tidak pernah ditemukan. Candi pendharmaanya di Simping, yang oleh F.D.K Bosch diidentifikasikan sebagai candi Sumberjati, didasari oleh penulususan makan Hayam Wuruk ke beberapa candi. Menurut Nagarakrtagama pupuh, Raden Wijaya diarcakan sebagai Siwa di Simping, keterangan ini menjadi acuan temukan di candi Sumberjati, yaitu arca Siwa dalam bentuk Harihara. Harihara adalah salah satu manifestasi Siwa dalam bentuk persatuan Siwa dan Wisnu.
Raja Jayanagara
Raja Jayanagara diangkat menjadi raja pada usia yang sangat belia, dan meninggal di usia yang muda pula, sehingga masa pemerintahannya memang sangat singkat. Semasa Raden Wijaya memerintah dengan sangat berkuasa dan pemberontakan ditindas dengan tegas dan keji. Namun karena Raja Jayanagara tidak memiliki kekuatan kepemimpinan sekuat ini, beberapa pemberontakan muncul sewaktu ia menjadi raja. Sampai sekarang belum diketahui dimana letak candi pendharmaan raja Jayanagara, begitu juga cara arca pendharmaannya sebagai Wisnu dan Amogasiddhi belum perna kita temukan.
 Sri Rajapatni Gayatri
Rajapatni adalah salah satu putrid Krtanagara, raja Singhasari terakhir, yang juga menjadi istri Raden Wijaya. Karena itu, pada saat jayanagara wafat tanpa meninggalkan penerus, Rajapatni sesungguhnya mempunyai hak atas tahta, namun Rajapatni memilih untuk menjadi petapa.
Candi pendharmaan Rajapatni menuruk Nagarakrtagama adalah Bhayalango. Arcanya dalam bentuk Prajnaparamita, Dewi Kebijaksanaan Ilahi, salah satu dewi tertinggi dalam agama Budha. Desa bayalango di daeah Tulungagung masih mempunyai sisa – sisa candid an arca, jadi mungkin candi di Bayalangu inilah pendharmaan Rajapatni yang disebutkan dalam Nagarakrtagama. Dalam candi Bayalango ini hanya tertinggal bagian alas – batur saja, tidak ada struktur tubuh dan atap candi, mungkin dulu bangunan candinya dibuat dari bahan yang tidak tahan lama. Pengerjaan pahatan arca ini sangat halus, menunjukan hasil seni yang bermutu sangat tinggi.
PRASASTI
Seperti juga isi prasasti pada umumnya, prasasti Majapahit lebih banyak yang berisi ketentuan suatu daerah menjadi daerah perdikan atau sima. Meskipun demikian, banyak hal yang menarik untuk diungkapkan disini. Dari prasasti Kudadu misalnya, dapat diketahui pengalaman Raden Wijaya sebelum menjadi raja Majapahit yang telah ditolong oleh Rama Kudadu dari kejaran balatentara Jayakatwang.
Dari prasasti Sukamerta dan prasasti Balawi diketahui bahwa Raden Wijaya telah memperistri keempat purti Kertanegara, serta menyebutkan anaknya dari permaisuri bernama Sri Jayanegara yang dijadikan raja muda di Daha.
Prasasti Waringin Pitu mengungkapkan bentuk pemerintahan dan system birokrasi kerajaan Majapahit. Disebutkan bahwa kekuasaan Majaahit bersifat territorial dan disentralisasikan dengan birokrasi yang terperinci.
Prasasti Cangu isinya tentang pengaturan tempat – tempat penyeberangan di bengawan Solo. Prasasti Biluluk I, II, dan III menyebutkan pengaturan sumber air asin untuk keperluan pembuatan garam dengan ketentuan pajaknya. Prasasti Karang Bogem menyebutkan tentang pembukaan daerah perikanan di Karang Bogem.
Prasasti Manah I Manuk isinya tentang sengketa tanah, dan prasasti Parung tentang sengketa antara pejabat – pejabat desa Parung dengan pejabat – pejabat desa Plang. Persengketaan ini diputuskan oleh pejabat kehakiman yang menguasai kitab – kitab hukum dan hukum adat setempat.
Prasasti Alasantan merupakan prasasti yang ditulis pada empat lempeng tembaga. Prasasti yang ditemukan di desa Bejijong, kecamatan trowulan ini ditulis dalam aksara dan bahasa jawa kuno. Kini prasasti tersebut disimpan dib alai pelestarian peninggalan purba kala. Isinya menyebutkan bahwa Sri Maharaja Rakai Halu dyah Sindok Sri Isanawikrama memerintahkan agar tanah di Alasantan dijadikan sima milik Rakryan Kabayan.
Prasasti Patapan pertama (Prasasti Trowulan VI) dikeluarkan oleh Arya Rajaparakrama, seorang dharmadhyaksa pada masa itu atass perkenan Bhatara Hyang Wisesa, yaitu sebutan Wikramawardhana dan menantu Hayam Wuruk. Prasasti Patapan kedua ditemukan di daerah Surabaya, isinya sama seperti Prasasti Patapan pertama, tetapi angka tahunnya berbeda. Kini prasasti ini disimpan di Museum Nasional.
Prasasti Tirah, prasasti ini ditulis ini dituliskan pada satu lempeng tembaga dalam bahasa dan aksara Jawa Kuna. Dikeluarkan pada tanggal 20 januari dan 19 februari 1387. Prasasti ini dikenal juga dengan nama Prasasti Trowulan V ditemukan di daerah Trowulan. Kabupaten Mojokerto, karena di dalamnya menyebutkan nama desa Karang Bogem, maka prasasti ini disebut juga Prasasti Karang Bogem.
Dari sembilan prasasti yang ditemukan dari daerah Trowulan, tidak semuanya berasal dari masa Majapahit. Tiga prasasti (Prasasti Alasantan, Kamban dan Prasasti Hara-hara) berasal dari masa kerajaan Kadiri, tiga dari masa Singhasari (Prasasti Kubur, Panjang, Wurare, dan Maribong), dan tiga prasasti dari masa Majapahit (Prasasti Canggu, Patapan, dan Tirah). Dugaan berdasarkan prasasti ini memperkirakan daerah Trowulan telah lama dihuni, sekuang-kurangnya sejak  masa Kadiri (sekitar abad X), berlanjut terus ke masa Singashari, dan terakhir masa Majapahit.
Situs Trowulan merupakan runtuhan sebuah kota tertua yang berkaitan erat dengan Majapahit. Situs ini secara administratif terletak di wilayah kecamatan Trowulan dan kecamatan Sooko, kabupaten Mojokerto, atau sekitar 55 km dari kota Surabaya. Situs ini terletak di sebelah barat kota Trowulan sampai ke selatan Mojoagung.
Situs-kota Majapahit yang luasnya 9 x 11 km ini terletak pada sebuah dataran aluvial Jatirejo yang terbentuk oleh aktivitas gunung berapi di masa lampau. Ketinggian dataran aluvial ini sekitar 30 – 40 meter di atas muka laut. Pada jarak 10 km ke arah utara terdapat hamparan banjir sungai Berantas, sedangkan pada jarak sekitar 25 km ke arah selatan dan tenggara membentang rangkaian perbukitan dan gunung api Anjasmoro, Welirang, dan Arjuna yang tingginya antara 2000-3000 meter di atas muka laut. Menuju ke arah timur terdapat Sungai Berantas.
IKLIM
Iklim pada masa Majapahit agaknya tidak berbeda jauh dengan keadaan iklim sekarang, yaitu hujan tropik tipe Aw. Lingkungan alam di Trowulan dan sekitarnya dapat dikatakan memenuhi syarat untuk kehidupan sebuah kota. Bentang alam yang datar dan luas memberi kemungkinan pengembangan lahan pemukiman kota.
WADUK DAN KANAL
Berbicara tentang bangunan air di Majapahit, kita mengenal waduk dan kanal, termasuk di dalamnya kolam dan saluran air, sekarang masih ditemukan sisa-sisa bangunannya, bangunan air tersebut berfungsi untuk mengelola air. Sekurang kurangnya terdapat 20 waduk kuno yang tersebar di dataran sebelah utara daerah Gunung Anjasmoro, Welirang dan Arjuno. Waduk Baureno, Kumitir, Domas, Temon, Kraton, dan Kedung Wulan merupakan waduk-waduk yang berhubungan dengan kota Majapahit yang letaknya di antara Kali Gunting di sebelah barat dan Kali Brangkal di sebelah timur.
Waduk Baureno adalah waduk yang terbesar. Bendungannya dikenal dengan sebutan Candi Lima. Waduk ini terletak 0,5 km dari pertemuan Kali Boro dengan Kali Landean. Bekas waduk ini sekarang menjadi cekungan alamiah yang ukurannya besar dan yang dialiri oleh beberapa sungai. Di bagian terendah cekungan alamiah yang cukup besar ini, pada sisi barat dahulu terdapat Waduk Domas.
Waduk Kumitir, yang sekarang dikenal penduduk sebagai Rawa Kumitir, merupakan daerah yang lebih rendah di antara daerah pesawahan yang luas yang terletak di sebelah barat Waduk Baureno. Di Waduk Baureno tampak sebuah saluran air yang mengalir masuk ke sebelah tenggara Waduk Kumitir. Saluran air lainnya mengalirkan air dari bagian utara Waduk Kumitir ke arah barat laut menuju sebuah cekungan alamiah yang tidak terlalu besar, disebut Waduk Kraton, letaknya di utara Gapura Bajangratu. Waduk yang terakhir adalah Waduk Temon yang letaknya di selatan Waduk Kraton, di barat daya Waduk Kumitir. Di tempat ini sekarang banyak ditemukan mata air.
Di samping waduk-waduk tersebut, di Trowulan juga ditemukan tiga buah kolam buatan yang terletak berdekatan yaitu: Segaran, Balong Bunder, dan Balong Dowo.
Kolam segaran untuk pertama kalinya ditemukan oleh Maclaine Pont pada tahun 1926 yang ketika itu sedang menekuni pencarian reruntuhan kota Majapahit. Kolam ini berukuran panjang 375 meter, lebar 175 meter, dan dalamnya sekitar 3 meter, membujur arah timurlaut – baratdaya. Segaran berfungsi sebagai waduk penampungan dari satu sistem irigasi. Para ahli menduga bahwa kolam segaran tidak lain adalah “telaga” seperti yang disebutkan dalam kitab Nagarakrtagama Pupuh 8:5.
Keberadaan waduk-waduk di sekitar kota Majapahit telah diketahui sejak tahun 1924, tetapi baru pada tahun 1970-an, dari foto udara yang dibuat di Situs Trowulan dan sekitarnya, diketahui dengan jelas adanya kanal-kanal berupa jalur-jalur yang bersilangan saling tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan barat-timur. Di samping itu, ada pula jalur-jalur yang agak menyerong. Lebar jalur-jalur tersebut bervariasi, umumnya antara 35-45 meter, tetapi ada pula yang hanya 12 meter dan ada yang mencapai 94 meter. Perbedaan lebar ini disebabkan oleh aktivitas penduduk masa kini berkenaan dengan pertanian dan pembuatan bata yang cenderung mengikis tanggul-tanggul kanal tersebut atau membuat jalur baru yang polanya sama dengan kanal-kanal yang sudah ada.
Melihat kegiatan masyarakat masa kini kanal-kanal tersebut dahulu tentunya tidak selebar yang terlihat sekarang. Kanal-kanal ini di daerah pemukiman terlihat jelas sebagai daerah yang lebih rendah dan merupakan daerah persawahan. Pengeboran yang pernah dilakukan pada sejumlah kanal memperlihatkan adanya lapisan sedimentasi sampai sedalam 4 meter. Hal ini menunjukan bahwa jalur-jalur tersebut dahulu jauh lebih dalam dari sekarang dan dialiri oleh air.
Melihat besarnya bangunan-bangunan air ini dapat diperkirakan bahwa pembangunannya membutuhkan suatu sistem organisasi yang teratur, bukan saja dalam hal pengaturan sumber daya manusianya, tapi juga penyediaan logistik bagi para pekerja. Pemeliharaan bangunan-bangunan air serta jaringan pendukungnya juga membutuhkan struktur masyarakat yang teratur dan terkoordinir dengan baik. Skala bangunan air yang ada jelas menunjukan bahwa masyarakat yang menghasilkannya merupakan masyarakat perkotaan yang maju dan sadar bahwa daerah hunian mereka merupakan daerah yang rawan banjir, tetapi dapat dikendalikan.
Sampai sekarang, baik dari prasasti maupun naskah-naskah kuno, tidak diperoleh keterangan mengenai kapan waduk dan kanal-kanal ini dibangun serta berapa lama berfungsinya. Rusaknya waduk dan kanal-kanal ini mungkin diawali oleh letusan gunung Anjasmoro pada tahun 1451 yang membawa lapisan lahar yang tebal, membobol waduk Baureno dan mengakibatkan kerusakan pada waduk-waduk lain serta sistem jaringan air yang ada di kota Majapahit.
Pada sisa waduk-waduk tersebut terlihat lapisan lahar yang menutupi dasarnya. Candi tikus yang letaknya diantara waduk Kumitir dan waduk Kraton. Bahkan seluruhnya pernah tertutup oleh lahar. Keadaan kerajaan yang kacau karena perebutan kekuasaan, ditambah dengan munculnya kekuasaan baru di daerah pesisir menyebabkan kerusakan bangunan-bangunan air di kota Majapahit tidak dapat diperbaiki seperti sediakala. Erosi dan banjir yang terus menerus terjadi mengakibatkan daerah ini tidak layak dihuni dan pertanian tidak lagi menghasilkan panen yang menguntungkan. Hal ini lah yang kemungkinan besar mengakibatkan kota Majapahit semakin tidak terawat dan perlahan-lahan ditinggalkan oleh penduduknya.
Bentang lahan trowulan yang termasuk daerah aluvial fasies gunung berapi, merupakan suatu daerah yang mempunyai sumber air tanah yang cukup, apalagi di daerah selatan trowulan merupakan daerah kaki gunung Arjuna, Welirang, dan Anjosmoro. Keletakan ini memungkinkan “melimpahnya” air tanah dan air permukaan di trowulan. Air bersih antara lain diperoleh dengan cara menggali tanah untuk membuat sumur, bagian sumurnya diberi penguat yang dibuat dari struktur bata dan tembikar (jobong).
Sebuah survei yang sistematis di situs trowulan yang meliputi area seluas 9 x 11 km berhasil menemukan sumur-sumur kuna. Dari tempat ini sekurang-kurangnya ditemukan 25 buah sumur kuna yang dibuat dari struktur bata dan jobong. Melihat bahannya, sumur-sumur kuna di trowulan dibuat dari dua macam bahan, yaitu bata dan tembikar. Jenis sumur lain adalah sumur jobang. Bahan untuk membuat jobong adalah tanah liat yang adonannya sama seperti tanah liat untuk membuat tempayan dan wadah yang ukurannya besar.
Awal tahun 1990-an dimulai penelitian arkeologi yang memusatkan perhatian pada upaya menemukan data bangunan rumah. Dari temuan itu dapat diasumsikan bahwa struktur bangunan didirikan diatas batur setinggi kira-kira 60cm. Tubuh bangunan agaknya tidak dibangun dari bata, karena disekitar bangunan itu tidak ditemukan bata dalam jumlah yang besar yang sesuai dengan volumenya. Mungkin tubuh bangunan dibuat dari kayu (papan) atau anyaman bambu jenis gedek atau bilik. Tiang-tiang kayu penyangga atap  tentunya sudah hancur, agaknya tidak dilandasi oleh umpak-umpak batu yang justru banyak ditemukan di situs trowulan, karena tak ada satu umpak pun yang ditemukan disekitar bangunan. Tiang-tiang rumah mungkin diletakan langsung pada lantai yang melapisi permukaan batur. Atap bangunan yang diperkirakan mempunyai sudut kmiringan antara 35-60 derajat ini ditutup dengan susunan genteng terakota berbentuk pipih empat persegi panjang (24 x 13 x 0,9 cm ). Jumlahnya sekitar 800-1000 keping genteng yang diperkirakan berdasarkan volume bangunan tersebut.
Kendi adalah wadah air yang dikenal sejak masa prasejarah hingga kini, dan ditemukan hampir diseluruh indonesia. Kendi berasal dari bahasa sanskerta, kundika yang menurut van der tuuk berarti wadah air seorang pendeta, kendi juga ditemukan dalam naskah-naskah kuno atau prasasti dari daerah jawa timur, dan disebut dengan nama kundi dan kamandalu. Kendi dari masa klasik di jawa tengah disebut kundika , mempunyai bentuk badan yang tinggi dan agak persegi, lehernya juga tinggi dan bertutup. Ceratnya pendek, agak besar, menempel lurus di atas pundak kundika. Kendi majapahit merupakan kendi yang banyak bentuk dan bahan pembuatannya yang ditemukan di situs-situs trowulan. Kendi- kendi ini ada yang bercerat, dan ada pula yang tidak bercerat.
Ditemukan pula kendi yang  berbadan lonjong agak pipih, bercerat panjang yang mengecil diujungnya. Ada pula kendi yang berbadan lonjong sempurna, berwarna merah hingga merah tua, dan perlukaan-luar dari badannya diupam halus. Dan ada lagi kendi yang berbadan bulat dengan dasar pejal, dan tidak berkaki dari tanah liat, bercerat bulat yang ujungnya kecil, seakan-akan menempel pada pundak kendi. Kemudian ada kendi tanah liat yang berbentuk seperti belah ketupat , yang bagian tengahnya dilingkari semacan sabuk. Serta kendi yang diberi gambar yang ditemukan disitus trowulan.
Dalam arkeologi “terakota” digunakan untuk menunjukan barang tanah liat yang dibakar. Diantara barang terakota terdapat bentuk “figurin” yang menggambarkan laki-laki atau wanita dengan ekspresi wajah, usia, bentuk dan ukuran serta sikap yang beragam dan juga macam pakaian yang dikenakan dan perhiasan yang dipakai, teknik pembentukan, dan teknik penghiasan.