Contoh Makalah Antropologi Sosial IPS | Mata Kuliah Antropologi

BAB I PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
            Indonesia merupakan salah satu Negara yang terdiri dari pulau-pulau yang terbentang dari Sabang sampai Marauke. Hamparan pulau yang di dalamnya terdapat begitu banyak kekayaan alam dan sumber daya manusia menjadikan Indonesia negeri yang banyak disorot. Rempah-rempah, budaya, dan adat istiadat Indonesia menjadi daya tarik tesendiri bagi Negara lain untuk mengenalnya lebih dekat. Tidak hanya Negara lain, banyak dari anak bangsa juga yang tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai kekayaan yang dimiliki Indonesia. Satu diantaranya adalah keanekaragaman dari suku yang terdapat di Indonesia.
Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa dengan adat istiadat yang unik. Namun terkadang keunikan yang dimiliki dalam budaya suatu suku bangsa itu tidak relevan dengan kehidupan dewasa ini. Hal ini terlihat pada budaya Suku Toraja. Suku Tana Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian Utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu  Dharma.
Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, daerah Tana Toraja memiliki sejarah yang panjang dan tentu saja tidak diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Pola kehidupannya pun tidak kalah menarik dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Hingga sekarang suku Tana Toraja tetap menjaga kelestarian budayanya. Di wilayah Kabupaten Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu solo’ (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’, serta Ma’nene’, dan upacara adat Rambu Tuka.
Dalam adat Tana Toraja upacara Rambu solo menjadi suatu budaya yang sangat penting kedudukannya dalam adat Tana Toraja. Upacara Rambu solo menghabiskan dana besar dan menyembelih kerbau dalam jumlah relative sangat banyak.  Namun seiring dengan perkembangan zaman dan ekonomi Indonesia saat ini budaya ini menjadi tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. Hal ini dikarenakan kondisi pangan Indonesia yang sedang mengalami masa-masa kesulitan.  Sampai saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional melalui pencapaian swasembada pangan  lima komoditas strategis, yaitu beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula, belum memperlihatkan hasil yang optimal. Situasi tersebut tercermin dalam tingkat ketersediaan beberapa pangan komoditas pangan domestik yang masih tergantung pada impor, yaitu  kedelai sekitar 70 persen, gula sekitar  54 persen, dan daging sapi sekitar 20 persen. Untuk beras dan jagung, impornya tidak terlalu besar yaitu hanya sekitar 11 persen  untuk jagung dan 5 persen untuk beras.  Oleh karean itu dibutuhkannya suatu kajian dan solusi relativisme dalam penyelesain masalah ini agar budaya adat Tana Toraja tetap terlaksana namun dapat membantu kondisi Indonesia saat ini.
1.2       Tujuan
            Tujuannya adalah menganalisis budaya upacara pemakaman Suku Tana Toraja yang cenderung menghabiskan banyak biaya dan berlebihan dalam penggunaan sumber daya hewan untuk melakukan upacara pemakaman, sehingga dapat dihasilkan solusi relativisme agar budaya pemakaman tersebut dapat relevan dengan kehidupan saat ini tanpa mengubah budaya asli Tana Toraja.
1.3       Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan diatas maka kami merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Mengapa upacara pemakaman suku toraja penting dilakukan?
2. Bagaimana cara agar upacara pemakaman tersebut tetap berlangsung dengan biaya yang dapat diminimalisir dan penggunaan sumberdaya dengan cara yang bijak tanpa menghilangkan budaya?

BAB II PEMBAHASAN


2.1 Asal usul Tana Toraja
2.1.1 Asal Tana Toraja
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.  Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
2.1.3 Kondisi Ekonomi Tana Toraja
Budaya Toraja masih mengenal yang dinamakan dengan sistem kelas sosial, Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda).  Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal ditongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.  Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Ketiga golongan lapisan sosial tersebut merupakan dasar atau pedoman yang dijadikan sendi bagi kebudayaan kehidupan sosial masyarakat Toraja, terutama dalam interaksi dan aktifitas masyarakat, seperti pada saat diselenggarakan upacara perkawinan, pemakaman, pengangkatan ketua atau pemimpin adat dan sebagainya.

2.1.3  Kelembagaan Tana Toraja
Sebelum memasuki kelembagaan budaya Toraja terdapat aturan-aturan dasar yang ada di Tana Toraja yaitu :
Visi To Lembang dan Aluksanda Pitunna ada 2 (dua) prinsip dasar yang mengatur tata kehidupan To Lembang yaitu: Hubungan antar manusia yang dinamakan Penggarontosan, Hubungan manusia dengan sumberdaya alam yaitu Aluk Sanda Pitunna atau Tallu Lolona.
a. Visi Hubungan Penggarontosan yaitu :
  • Misa ada dipotuo pantan kada dipomate (bersatu kita teguh bercerai kita mati)
  • Sipakaele, disirapai (saling menghargai dan musyawarah)
  • Hidup bagaikan ikan masapi (hidup bersama bagaikan ikan dan air yang saling membutuhkan).
  1. Visi Tallu Lolona Aluksanda
Konon To Lembang dari daerah asalnya dibekali aturan yang dinamakan Aluksanda Pitunna, aturan yang mengatur hubungan manusia dengan sumberdaya alamnya serta manusia dengan dalam komunitas (Sang Lembang). Filosofi Aluk Sanda Pitunna adalah “Tallu Lolona,” artinya bahwa di atas bumi persada terdapat 3 (tiga) unsur kehidupan yang tumbuh dan berkembang biak, saling hidup-menghidupi yaitu : Lolo Tau (manusia), Lolo Patuoan (hewan) dan; Lolo Tananan (tumbuhan).  Ketiga unsur ini saling berkaitan yang diatur melalui Aluk Sanda Pitunna.
Komunitas atau Lembang merupakan sebuah wilayah Masyarakat Hukum Adat yang mempunyai struktur dan perangkat lembaga adat yang dinamakan Tongkonan dan dipimpin oleh Pemangku Adat atau To Parenge.
Sejak dari To Puan dalam perkembangannya sekarang ini ada beberapa aspek yang sangat mendasar serta melembaga dalam pergaulan sosial suku Toraja, yakni :
  • Hidup berkelompok dalam suatu komunitas yang dinamakan Lembang
  • Ada pemimpin atau yang dituakan dan;
  • Nilai demokrasi melalui Kombongan merupakan kekuasaan yang tertinggi (untesse batu mapipang).
Lembang tersebut membuat struktur dan aturan-aturan yang disepakati bersama melalui Kombongan yang diselenggarakan di Rumah Tongkonan. Kombongan inilah yang merupakan Lembaga pengambil keputusan tertinggi. Kewenangan Kombongan diberi arti dengan ungkapan Untesse Batu Laulung (kombongan dapat memecahkan batu pualam).  Kombongan sebagai pilar demokrasi dan sebagai wadah yang mengawal dinamika adat sesuai perubahan kebutuhan masyarakatnya. Sejak To Banua Puan, maka salah satu ciri yang mendasar dalam komunitas adalah musyawarah yang dinamakan Kombongan.
Pada saat ini Kombongan tersebut sudah melembaga dari generasi ke generasi. Semboyan Kombongan yaitu “Untesse batu mapipang”artinya dapat  memecahkan batu cadas yang mempunyai makna bahwa apapun dan bagaimanapun asal disetujui melalui Kombongan dapat merubah, menghapus atau membuat aturan adat yang baru. Hasil Kombongan setelah disahkan merupakan adat. Prinsip tersebut sudah membudaya disetiap insan Toraja sehingga dimanapun mereka berada di seluruh Nusantara hidup berkelompok dan bermusyawarah tetap dipertahankan. Motto, “Kada Rapa dan Kada Situru” (kesepakatan dan persetujuan) yaitu :
  • Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan
  • Kombongan Kalua meliputi seluruh Lembang
  • Kombongan Karopi dalam tiap Karopi
  • Kombongan Saroan dalam kelompok basis di bawah Karopi
Kombongan kalua sang lepongan bulan (Musyawarah Agung), kombongan seluruh Tana Toraja yang merumuskan dan memusyawarahkan aturan-aturan yang menyangkut antar Lembang. Oleh karena pertimbangan efesiensi, maka kombongan tersebut dihadiri oleh wakil atau utusan dari masing-masing kelompok jadi berlaku demokrasi perwakilan.
Kombongan kalua sang lembangan,  kombongan yang tertinggi dalam wilyah adat misalnya Sang Nanggalan. Dilakukan setiap tahun atau apabila ada hal yang penting atau khusus. Dihadiri oleh seluruh pemuka To Parenge bersama pemuka adat dan masyarakat. Mekanisme dalam persidangan sangat terbuka dan bebas dimana tiap peserta bebas mengeluarkan pendapat namun pengambil keputusan oleh tiap Karopi melalui musyawarah dan mufakat.
Kombongan Karopi di tingkat Karopi dinamakan Kombongan saja. Dilaksanakan tiap tahun atau apabila ada hal yang khusus antar lain apabila terjadi pelanggaran adat atau hasil kombongan kalua. Kombongan dihadiri oleh seluruh warga dan dilaksanakan dengan demokratis. Dalam kombongan tersebut tanpa melihat tingkatan dan golongan bebas berbicara sehingga kadang-kadang terjadi perdebatan yang sengit. Di sini kecenderungan rakyat meminta pertanggungjawaban dari To Parenge atas pelaksanaan adat dalam wilayahnya.  Yang dibahas adalah aturan adat yang berlaku, merubah, mencabut aturan-aturan baru yang semuanya berasal dari usulan masyarakat.
Kombongan Soroan, kombongan yang menyangkut aturan lokal dalam wilayah kecil atau kelompok keluarga atau organisasi kemasyarakatan antara lain organisasi jemaat gereja, koperasi kelompok atau wilayah sebesar RT. Mengkaji dan membuat kesepakatan khususnya yang berkaitan dengan gotong-royong kelompok atau menyelesaikan kasus tanah hak milik bersama atas tanah atau hutan.

2.2 Budaya Tana Toraja
Di wilayah Kabupaten Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu solo’ (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’, serta Ma’nene’, dan upacara adat Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka’ maupun Rambu solo’ diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya.  Dalam adat Tana Toraja upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal diantara upacara-upacara yang telah disebutkan sebelumnya.  Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar.  Seluruh upacara dalam rangkaian penguburan mayat ini memerlukan biaya yang besar. Itu ditanggung oleh yang bersangkutan disamping sumbangan-sumbangan yang berasal dari kerabat-kerabat namun sumbangan itu bersifat hutang sehingga harus dibayar kembali ketika ada kerabat yang kehilangan keluarga. Besar kecilnya upacara mencerminkan tingkat kekayaan suatu keluarga. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan kePuya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih.  Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam “masa tertidur”. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau taubiasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
2.3 Solusi Relativisme
Budaya Toraja memiliki prinsip dasar dalam mengatur tata kehidupan, yaitu mengatur hubungan antara manusia dan sumber daya alam. Tata kehidupan yang mengatur sumber daya tersebut salah satunya adalah hubungan antara manusia dengan hewan, yang dikenal dengan Lolo Patuoan. Dalam perayaan upacara pemakaman budaya Toraja, masyarakat menggunakan kerbau sebagai syarat perayaan pemakaman. Sekitar 24 – 100 ekor kerbau yang dibeli dengan harga 10 – 50 juta per ekor untuk kaum bangasawan sedangkan untuk kaum menengah adalah sekitar 8 ekor kerbau dan 50 ekor babi.
Berakar pada kondisi sosial budaya Toraja yang cenderung berlebihan dalam penggunaan sumber daya hewan tersebut, maka kami mengusulkan solusi relativisme melalui fungsi kelembagaan yang ada pada masyarakat Toraja.   Solusi tersebut dilakukan dengan menggunakan fungsi demokratis yang dimobilisasi oleh ketua adat dalam forum musyawarah sesuai dengan Visi Hubungan Penggarontosan yaitu :
  • Misa ada dipotuo pantan kada dipomate (bersatu kita teguh bercerai kita mati)
  • Sipakaele, disirapai (saling menghargai dan musyawarah)
  • Hidup bagaikan ikan masapi (hidup bersama bagaikan ikan dan air yang saling membutuhkan).
Forum musyawarah dalam adat Toraja itu disebut dengan Kombongan Karopi di tingkat Karopi dinamakan Kombongan saja. Dilaksanakan tiap tahun atau apabila ada hal yang khusus antar lain apabila terjadi pelanggaran adat atau hasil kombongan kalua. Kombongan dihadiri oleh seluruh warga dan dilaksanakan dengan demokratis. Dalam kombongan tersebut tanpa melihat tingkatan dan golongan bebas berbicara sehingga kadang-kadang terjadi perdebatan yang sengit. Di sini kecenderungan rakyat meminta pertanggungjawaban dari To Parenge atas pelaksanaan adat dalam wilayahnya.  Yang dibahas adalah aturan adat yang berlaku, merubah, mencabut aturan-aturan baru yang semuanya berasal dari usulan masyarakat.  Kombongan Karopi ini dapat digunakan untuk membahas kembali aturan adat berlaku yaitu aturan upacara adat pemakaman yang bertolak belakang pada sistem kekerabatan Tana Toraja yang berarti bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Selain itu, dewasa ini budaya seperti itu kurang relevan dengan kondisi pangan yang ada di Indonesia saat ini.  Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Kesulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli itu terancam kelestariannya, hal ini menjadi salah satu permasalahan yang ada di adat Tana Toraja.  Badan Intelijen Negara Republik Indonesia mengatakan bahwa Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta lebih dengan ditandai oleh kelompok menengah yang  mulai tumbuh, daya beli masyarakat  yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang semakin membaik, menyebabkan permintaan pangan bertambah dalam jumlah, mutu dan keragamannya. Sementara, pertumbuhan kapasitas produksi pangan domestik menghadapi hambatan, karena adanya kompetisi pemanfaatan lahan, dukungan infrastruktur pangan yang kurang memadai, agroekosistem yang tidak sesuai, serta iklim usaha yang kurang kondusif.
Hal inilah yang menjadi ancaman krisis pangan di Indonesia, sehingga dengan mengurangi penggunaan sumber daya hewan kerbau pada upacara pemakaman adat Toraja diharapkan dapat menyelamatkan kita dari krisis pangan yang melanda Indonesia saat ini.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

            Sistem upacara adat pemakaman Tana Toraja menggunakan biaya yang sangat besar dan berlebihan dalam penggunaan sumber daya hewan khususnya kerbau. Sistem adat pemakaman Tana Toraja menggunakan kerbau yang diperoleh dari biaya sendiri keluarga yang ditinggalkan dan sumbangan dari kerabat. Namun ternyata sumbangan ini dinilai sebagai hutang yang suatu wajib dibayar oleh keluarga yang ditinggalkan kepada para kerabat yang telah memberikan sumbangan. Dalam adat Tana Toraja ternyata konsep sistem kekerabatan bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang itu sangat bertolak belakang.
Penggunaan kerbau yang terlalu berlebihan dalam adat pemakaman Tana Toraja juga dapat menyebabkan krisis pangan di Indonesia. Kesulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli itu terancam kelestariannya. Hal ini menjadi salah satu permasalahan yang ada di adat Tana Toraja, sehingga perlu dilakukan pengurangan dalam penggunaan sumber daya hewan secara bijak.
3.2 Saran
            Saran yang kami berikan berdasarkan solusi relativismedalam adat Tana Toraja perlu dimuculkan kembali sistem kelembagaan yaitu kombongan Karopi untuk meninjau kembali aturan adat yang berlaku, merubah, mencabut aturan-aturan baru yang semuanya berasal dari usulan masyarakat. salah satunya meninjau kembali sistem kekerabatan yang bertolak belakang dengan adat pemakaman dan penggunaan sumber daya yang berlebihan, agar adat pemakaman Tana Toraja relevan dengan kehidupan Indonesia saat ini tanpa merusak budaya yang telah ada.