BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Prilaku merupakan suatu perasaan positif atau
negatif atau keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari dan diatur
melalui pengalaman yang memberikan pengaruh khusus pada respon seseorang
terhadap orang, obyek ataupun keadaan. Prilaku lebih merupakan determinan
perilaku sebab, prilaku berkaitan dengan persepsi, kepribadian dan motivasi.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan
pengertian prilaku sebagai organisasi keyakinan-keyakinan yang mengandung aspek
kognitif, konatif dan afektif yang merupakan kesiapan mental psikologis untuk
mereaksi dan bertindak secara positif atau negatif terhadap objek tertentu. Prilaku
dapat berubah dan dapat dipengaruhi, dapat dibina dalam berbagai bidang
kehidupan. Prilaku negatif dapat dipengaruhi sehingga menjadi positif, yang
tadinya tidak senang menjadi senang, yang semula antipati menjadi bersimpati,
dan sebagainya.
Prilaku juga merupakan suatu tindakan yang
dimiliki oleh setiap manusia mulai sejak anak – anak hingga dewasa. Pada akhir tahun 1960-an,
hubungan yang diterima tentang prilaku dan perilaku ditentang oleh sebuah
tinjauan dari penelitian. Berdasarkan evaluasi sejumlah penelitian yang
menyelidiki hubungan prilaku perilaku, peninjau menyimpulkan bahwa prilaku
tidak berhubungan dengan perilaku atau, paling banyak, hanya berhubungan
sedikit. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa prilaku memprediksi perilaku masa
depan secara signifikan dan memperkuat keyakinan semula dari Festinger bahwa
hubungan tersebut bisa ditingkatkan dengan memperhitungkan variabel-variabel
pengait.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian Prilaku manusia?
1.2.2 Apa saja komponen – komponen prilaku
manusia?
1.2.3 Apa saja faktor – faktor yang
mempengaruhi pembentukan prilaku?
1.2.4 Apa saja teori – teori mengenai perubahan
prilaku?
1.2.5 Apa saja pengukuran prilaku itu?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dari prilaku
manusia
1.3.2 Untuk mengetahui komponen – komponen dari
prilaku manusia
1.3.3 Untuk mengetahui faktor – faktor
pembentukan prilaku manusia
1.3.4 Untuk memahami teori – teori mengenai
perubahan prilaku
1.3.5 Untuk memahami mengenai pengukuran prilaku
1.3.6 Untuk mengetahui hubungan anatar prilaku,
persepsi, dan kognisi lingkungan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Prilaku
Prilaku (attitude) didefinisikan oleh Robbins
(2007) sebagai pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan maupun tidak
menyenangkan terhadap objek, individu, atau peristiwa. Hal ini mencerminkan
bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu. Sementara Kreitner dan Kinicki
(2005) mendefinisikan prilaku sebagai kecenderungan merespon sesuatu secara
konsisten untuk mendukung atau tidak mendukung denganmemperhatikan objek
tertentu.Setyobroto (2004) merangkum batasan prilaku dari berbagai ahli
psikologi sosialdiantaranya pendapat G.W. Alport, Guilford, Adiseshiah dan John
Farry, serta Kerlinger yaitu :
1) Prilaku bukan pembawaan sejak lahir
2) Dapat berubah melalui pengalaman
3) Merupakan organisasi keyakinan-keyakinan
4) Merupakan kesiapan untuk bereaksi
5) Relatif bersifat tetap
6) Hanya cocok untuk situasi tertentu
7) Selalu berhubungan dengan subjek dan objek
tertentu
8) Merupakan penilaian dari penafsiran terhadap
sesuatu
9) Bervariasi dalam kualitas dan intensita
10) Meliputi sejumlah kecil atau banyak item
11) Mengandung komponen kognitif, afektif dan
komatif
Gibson (2003), menjelaskan prilaku sebagai
perasaan positif atau negatif atau keadaan mental yang selalu disiapkan,
dipelajari dan diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh khusus pada
respon seseorang terhadap orang, obyek ataupun keadaan. Prilakulebih merupakan
determinan perilaku sebab, prilaku berkaitan dengan persepsi, kepribadiandan
motivasiBerdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan
pengertianprilaku sebagai organisasi keyakinan-keyakinan yang mengandung aspek
kognitif, konatif dan afektif yang merupakan kesiapan mental psikologis untuk
mereaksi dan bertindak secara positif atau negatif terhadap objek tertentu. Prilaku
dapat berubah dan dapatdipengaruhi, dapat dibina dalam berbagai bidang
kehidupan. Prilaku negatif dapatdipengaruhi sehingga menjadi positif, yang
tadinya tidak senang menjadi senang, yang semula antipati menjadi bersimpati,
dan sebagainya.
Selanjutnya
dikatakan oleh Azwar bahwa prilaku dapat dikategorikan ke dalam tiga orientasi
pemikiran yaitu: yang berorientasi kepada respon, yang berorientasi kepada
kesiapan respon, dan yang berorientasi kepada skema triadit.
Pertama:
yang berorientasi kepada respon. Orientasi ini diwakili oleh para ahli seperti
Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood. Dalam pandangan mereka, prilaku
adalah suatu bentuk atau reaksi perasaan. Secara lebih operasional prilaku
terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun
perasaan tidak mendukung atau memihak terhadap objek tersebut (Berkowitz
dalamAzwar, 1995).
Kedua
:yang berorientasi kepada kesiapan respon. Orientasi ini diwakili oleh para
ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre, Mead, dan Allport. Konsepsi yang mereka
ajukan ternyata lebih kompleks. Menurut pandangan orientasi ini, prilaku
merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara
tertentu. Kesiapan ini berarti kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan
cara tertentu apabila individu dihadapkan kepada suatu stimulus yang
menghendaki adanya respons. Prilaku oleh La Pierre (dalam Azwar, 1995)
dikatakan sebagai suatu pola perilaku, terdetensi atau kesiapan
antisipatif.predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial atau
secara sederhana prilaku adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah
terkondisikan.
Ketiga
yang berorientasi kepada skema triadik. Menurut pandangan orientasi ini, prilaku
merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang
saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu
objek. Secord dan Backman (dalam Azwar, 1995) mendfinisikan prilaku sebagai
keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan
predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan
sekitamya.
Berdasarkan definisi para ahli
diatas dapat disimpulkan bahwa Prilaku merupakan determinan perilaku sebab, prilaku
berkaitan dengan persepsi kepribadiandan motivasi. Sebuah prilaku adalah
perasaan positif atau negative atau keadaan mentalyang selalu disiapkan,
dipelajari dan diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh khusus pada
respon seseorang terhadap obyek-obyek dan keadaan.Definisi prilaku memiliki
implikasi tertentu pada manajer. Pertama, prilaku dapat dipelajari.Kedua, prilaku
mendifinisikan predisposisi kita terhadap aspek-aspek yang diberikandunia.
Ketiiga, prilaku memberikan dasar perasaan bagi hubungan antarpribadi kita
danidentifiikasi dengan orang lain. Dan keempat, prilaku diatur dan dekat
dengan intikepribadian. Beberapa prilaku selalu berulang dan bertahan; bahkan,
seperti setiap variabel psikologi, prilaku adalah subyek perubahan. Teori
menyatakan bahwa afeksi, kognisi, dan perilaku menentukan prilaku, dan
sebaliknya.
2.2
Komponen – Komponen Prilaku Manusia
Secara umum, dalam berbagai
referensi, prilaku memiliki 3 komponen yakni: kognitif,afektif, dan
kecenderungan tindakan (Morgan dan King, 1975;Krech dan Ballacy, 1963,Howard
dan Kendler 1974, Gerungan, 2000).
1. Komponen kognitif
Aspek prilaku
yang berkenaan dengan penilaian individu terhadap obyek atau subyek. Informasi
yang masuk ke dalam otak manusia, melalui proses analisis, sintesis, dan
evaluasi akan menghasilkan nilai baru yang akan diakomodasi atau diasimilasikan
dengan pengetahuan yang telah ada di dalam otak manusia. Nilai – nilai baru
yangdiyakini benar, baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya akan
mempengaruhi emosiatau komponen afektif dari prilaku individu.
2. komponen afektif
Aspek
ini Dikatakan sebagai perasaan (emosi) individu terhadap obyek atau subyek,yang
sejalan dengan hasil penilaiannya.
3. komponen kecenderungan bertindak
Berkenaan
dengan keinginan individu untuk melakukan perbuatan sesuai dengankeyakinandan
keinginannya.Prilaku seseorang terhadap suatu obyek atau subyek dapat positif
atau negatif.Manifestasikan prilaku terlihat dari tanggapan seseorang apakah ia
menerima ataumenolak, setuju atau tidak setuju terhadap obyek atau subyek.
Komponen prilaku berkaitansatu dengan yang lainnya. Dari manapun kita memulai
dalam analisis prilaku, ketigakomponen tersebut tetap dalam ikatan satu
sistem.komponen kognitif, afektif, dan kecenderungan bertindak merupakan suatu
kesatuansistem, sehingga tidak dapat dilepas satu dengan lainnya. Ketiga
komponen tersebutsecara bersama-sama membentuk prilaku dan Ketiga komponen
kognitif, afektif, dankecenderungan bertindak secara bersama- sama membentuk prilaku.
Penjelasan di atas relevan dengan
pendapat Robbins (2007) yang menyatakan bahwaprilaku terbentuk dari tiga
komponen (aspek) yaitu aspek evaluasi (komponen kognisi) dan perasaan yang kuat
(komponen afektif) yang akan membimbing pada suatu tingkah laku(komponen
kecenderungan untuk berbuat/konasi).Keyakinan bahwa ”diskriminasi salah”
merupakan sebuah pernyataan evaluatif. Opinisemacam ini adalah komponen
kognitif (cognitive component), yang menentukantingkatan untuk bagian yang
lebih penting dari sebuah prilaku. Komponen afektif-nya(affective component).
Perasaan adalah segmen emosional atau perasaan dari sebuahsegmen emosional atau
perasaan dari sebuah prilaku, perasaan ini selanjutnyamenimbulkan hasil akhir
perilaku. Komponen perilaku (behavioral component) dari
sebuah prilaku
merujuk pada suatu maksud untuk berperilaku dalam cara tertentu
terhadapseseorang atau sesuatu.Gambar yang ditampilkan berikut menunjukkan
hubungan dari tiga komponen prilaku.Contoh yang diberikan oleh Robbins ini
menggambarkan bagaimana prilaku negatif seorang karyawan terhadap pengawasnya.
Gambar 1
Interaksi
Antar Komponen Prilaku. Menurut para ahli psi~ologi sosial, interaksi antar
komponen prilaku adalah selaras dan konsisten. Hal ini disebabkan karena ketika
dihadapkan dengan suatu objek prilaku yang sarna, maka ketiga komponen tersebut
seharusnya akan membentuk pola arah prilaku yang seragam. Apabila salah satu
dari komponen prilaku tidak konsisten satu sarna lain, maka akan terjadi ketidakselarasan
yang menyebabkan terjadinya mekanisme perubahan prilaku sedemikian rupa
sehingga konsistensi akan tercapai kembali (Azwar, 1995).
Hubungan
Antara Prilaku dan Perilaku. Prilaku selalu dikaitkan dengan perilaku yang
berada di dalam batas kewajaran dan kenormalan yang merupakan respon atau
reaksi terhadap suatu stimulus (Azwar, 1995),meski prilaku pada hakikatnya
hanyalah merupakan predisposisi atau tendensi untuk bertingkah laku, sehingga
belum dapat dikatakan merupakan tindakan atau aktivitas (Mar' at, 1984).
Ajzen
dan Fishbein (dalam Azwar, 1995) berusaha mengembangkan suatu pemahaman
terhadap prilaku dan prediksinya terhadap perilaku. Mereka mengemukakan teori
Tindakan Beralasan (theory of reasoned action). Teori ini mengatakan bahwa prilaku
mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan
beralasan, serta dampaknya terbatas hanya pada tiga hal, yaitu:
a. Perilaku tidak banyak ditentukan oleh prilaku
umum, tetapi oleh prilaku spesifik terhadap sesuatu;
b. Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh prilaku
tetapi juga oleh norma-norma subjektif;
c. Prilaku terhadap suatu perilaku bersama-sama
norma-norma subjektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku
tertentu.
2.3
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Prilaku
Prilaku sosial seseorang dapat
terbentuk dengan adanya interaksi sosial. Interaksi sosial disisini tidak hanya
bersifat kontak atau hubungan sosial belaka, melainkan juga terdapat saling
pengaruh – mempengaruhi antar individu yang terjadi secara timbal balik,
sehingga akan mempengaruhi pola perilaku masing – masing individu (Azwar,
1995).
Dalam berintarksi sosial, reaksi
individu membentuk pola prilaku tertentu terhadap berbagai objek psikologis
yang dihadapinya. Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan prilaku
diantaranya :
1. Pengalaman Pribadi
Pengalaman
yang telah lalu maupun pengalaman yang sedang kita alami ternyata memiliki
pengaruh pada penghayatan kita terhadap suatu objek psikologis tertentu. MiddIebrook
(dalamAzwar, 1995) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali
terhadap suatu objek psikologis cenderung akan membentuk prilaku negatif
terhadap objek tersebut. Selanjutnya dikatakan oleh Azwar (1995) bahwa
pembentukan kesan atau tanggapan
Terhadap
objek merupakan proses yang kompleks dalam diri individu yang melibatkan
individu yang bersangkutan, situasi dimana tanggapan tersebut terbentuk, dan
ciri – ciri objektif yang dimiliki stimulus. Oleh karena itu sebagai dasar
pembentukan prilaku, maka pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang
kuat. Karenanya prilaku akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi
tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional, dimana
penghayatan akan pengalaman akan mendalam dan lebih lama membekas.
2. Kebudayaan
Kebudayaan
yang berkembang dimana seseorang hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan prilaku. Sebagai contoh, misalnya prilaku orang desa
dengan orang kota terhadap kebebasan dalam pergaulan antara muda-mudi
barangkali memiliki perbedaan yang amat tajam. Orang kota cenderung memiliki prilaku
yang lebih permisif dibandingkan orang desa yang masih memegang teguh
norma-norma. Di lain pihak apabila seseorang tinggal di dalam lingkungan yang
sangat mengutamakan kehidupan berkelompok, maka akan sangat mungkin apabila ia
memiliki prilaku yang negatif terhadap kehidupan yang individualistis yang
mementingkan perorangan. Tanpa kita sadari bersama, kebudayaan ternyata telah
menanamkan pengaruh yang kuat terhadap prilaku terhadap berbagai macam hal.
Kebudayaan telah mewarnai prilaku anggota masyarakatnya, karena kebudayaan
tersebut yang berperan di dalam memberi corak pengalaman-pengalaman individu
yang menjadi anggotanya.
3. Orang lain yang dianggap penting
seseorang
yang dianggap penting adalah orang yang kita harapkan persetujuannya bagi
setiap gerak tingkah laku dan opini kita, orang
yang tidak ingin kita kecewakan, dan orang yang berarti khusus
(Significant others). Mereka ini yang antara lain adalah orangtua, pacar; suami/istri, teman dekat,
guru, pemimpin; akan banyak mempengaruhi pembentukan prilaku seseorang terhadap
sesuatu hal. Pada umumnya individu.cenderung memiliki prilaku yang searah
(konformis) dengan orang yang dianggapnya penting. Hal ini disebabkan oleh dua
hal, yaitu adanya motivasi untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari
konflik terhadap orang yang dianggapnya penting tersebut.
4. Media masa
Media massa merupakan salah satu
bentuk media atau sarana komunikasi yang memiliki beragam bentuk seperti media
cetak (surat kabar, majalah) dan media elektronik (radio, televisi,
internet).Media massa memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan
kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi, media massa membawa pula pesan-pesan
sugesti yang dapat mempengaruhi opini penerima. Informasi baru mengenai sesuatu
hal dapat memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya prilaku terhadap
informasi tersebut. Pesan-pesan sugestif yang disampaikan apabila cukup kuat,
maka akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuk
suatu prilaku tertentu.
5. Institusi / lembaga pendidikan agama
Lembaga
pendidikan maupun agama sebagai suatu sistem ternyata memiliki pengaruh dalam
pembentukan prilaku seseorang. Hal ini disebakan karena keduanya meletakkan
dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman baik dan
buruk,salah atau benar, garis pemisah antara yang tidak boleh dan yang boleh,
semuanya merupakan hal-hal yang diperoleh dari pendidikan dan lembaga
keagamaan. Konsep moral dan ajaran agama, pada hakikatnya amat menentukan
sistem kepercayaan sehingga pada akhirnya konsep tersebut akan ikut berperan
dalam menentukan prilaku seseorang terhadap suatu hal.
6. Faktor emosional
Pandangan
yang menyatakan bahwa faktor emosional sebagai pembetuk prilaku sangat
dipengaruhi oleh teori Freud. Suatu prilaku tertentu terkadang merupakan suatu
pernyataan yang dilandasi oleh emosi yang fungsinya sebagai semacam penyaluran
frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Prilaku yang
dipengaruhi emosi ini dapat bersifat sementara ataupun menetap (persisten/tahan
lama). Salah satu contoh bentuk prilaku yang didasari oleh faktor emosional
adalah prasangka. Oleh Harding dkk. (dalam Azwar,1995) prasangka didefinisikan
sebagai prilaku yang tidak toleran, tidak fair, atau tidak favorable terhadap
sekelompok orang. Prasangka ini menurut Azwar (1995) seringkali merupakan
bentuk prilaku negatif yang didasari oleh kelainan kepribadian pada orang-orang
yang sangat frustrasi.
2.4
Teori – Teori Mengenai Perubahan Prilaku
Para
ahli psikologi sosial ban yak tertarik untuk mengembangkan teori-teori mengenai
prilaku.
Dalam buku ini pembahasan teori mengenai prilaku hanya akan disajikan ke dalam
empat teori, yaitu
1. Teori keseimbangan
Teori
keseimbangan meliputi tekanan konsistensi diantara akibat – akibat dalam sistem
kognitif yang sederhana. (Heider daIam sears 1995). Sistem tersebut terdiri
dari dari dua objek, hubungan antara kedua objek tersebut, dan penilaian individu
tentang. objek-objek tersebut.
Menurut
Sears (1995) terdapat tiga penilaian, yakni; penilaian individu tentang objek
dan tentang hubungan objek satu sama lain. Dengan kata lain, perasaan sesorang
(P, untuk orang) tentang orang lain (0, untuk orang lain) dan perasaan-perasaan
mereka tentang objek (X, untuk sesuatu). Sebagai contoh, pertimbangankanlah prilaku
seorang murid terhadap seorang guru, dan perasaan mereka bersama tentang
abortus. Bila kita membatasi pada perasaan positif-negatif yang sederhana, maka
terdapat beberapa gabungan unsur-unsur ini.
Pengertian
tentang gaya keseimbangan munculnya dari teori Gestalt tentang organisasi
persepsi. Sebagaimana yang telah ketahui bahwa orang berusaha untuk memperoleh
"bentuk yang bagus" dalam persepsi mereka tentang benda mati.
Hubungan yang seimbang di antara dua orang bersifat "cocok"; hubungan
itu "sepadan", membuat gambaran yang pantas, masuk di akal, dan penuh
arti. Motif utama yang mendorong seseorang ke arah keseimbangan adalah usaha
untuk memperoleh pandangan tentang hubungan sosial yang selaras~ sederhana,
logis, dan penuh arti. Jadi dapat dikatakan bahwa suatu sistem yang seimbang
terjadi apabila
seseorang
sependapat dengan orang lain yang disukainya atau tidak sependapat dengan orang
yang tidak disukainya. Sementara itu, ketidakseimbangan terjadi apabila
seseorang tidak sependapat dengan orang yang disukaiatau sependapat dengan
orang yang tidak disukai.
Suatu
sistem akan seimbang apabila satu atau dua di antara hubungan di antara
hubungan - hubungan tersebut bersifat positif (Sears dkk. 1995). Suatu sistem
yang tidak seimbang eenderung berubah menjadi seimbang. Perubahan dapat terjadi
melalui berbagai cara. Seseorang dapat mengubah hubungan afeksi sesedikit
mungkin dan tetap menghasilkan sistem yang seimbang. Beberapa hubungan dapat
diubah untuk menghasilkan keseimbangan.
2. Teori konsistensi kognitif-afektif
Teori
Konsistensi Kognitif-Afektif berusaha menjelaskan bagaimana seseorang berusaha
membuat kognisi mereka konsisten dengan afeksinya. Jadi berdasar t~ori ini
dapat dikatakan bahwa pengetahuan ataupun keyakinan seseorang tentang suatu
fakta tertentu sebagian ditentukan oleh pilihan afeksinya, begitu pula
sebaliknya (Sears dkk. 1995). Teori Konsistensi Kognitif-Afektif ini
dikemukakan oleh Rosenberg (dalam Azwar,1995) yang memandang bahwa komponen
kognitif prilaku tidak saja sebagai apa yang diketahui mengenai objek prilaku,
akan tetapi mencakup pula apa yang dipercayai mengenai hubungan antara objek prilaku
itu dengan nilai-nilai penting lainnya dalam diri individu.
Pendekatan teori ini menjadi
menarik, karena menurut Sears dkk(1992) penilaian seseorang dalam suatu
kejadian akan mempengaruhi keyakinannya. Sebagai contohnya adalah ketika
seseorang ingin mencoba untuk jajan di suatu restoran bakmi yang namanya sudah
banyak dikenal dimana - mana, terpaksa mengembangkan prilaku negatifnya
terhadap warung bakmi tersebut karena sebagian dari teman-temannya mengatakan
bahwa warung bakmi tersebut tidak halal. Kendatipun orang tersebut belum pernah
mencoba jajan ke warung tersebut, ia tetap berprilaku negatif. Ia akan meneari
kognisi yang diperlukan untuk mendukung penilaian negatifnya. Kognisi yang
diperolehnya akan selalu konsisten dengan pilihan afektifnya.
3. Teori ketidaksesuaian
Teori Ketidaksesuaian
menjelaskan bahwa prilaku akan berubah untuk mempertahankan konsistensinya
dengan perilaku nyatanya. Teori ini amat dipengaruhi oleh teori ketidak
sesuaian kognitif dari Leon Festinger.
Pendekatan teori ini difokuskan kepada dua sumber'pokok inkonsistensi
antara prilaku dan perilaku, yaitu akibat dari pengambilan keputusan dan akibat
dari perilaku yang saling bertentangan dengan prilaku (counterattitudinal
behavior).
Pada
umumnya, suatu pengambilan keputusan. menimbulkan beberapa inkonsistensi,
karena tindakan memutuskan tersebut memiliki arti bahwa seseorang harus
membuang sesuatu yang diinginkan (segala sesuatu yang diputuskan untuk
dilakukan) dan menerima sesuatu yang tidak diinginkan (bahkan pilihan terbaik
pun masih mengandung beberapa kelemahan). Apabila sesorang berperilaku yang
bertentangan dengan prilakunya, maka inkonsistensi antara prilaku dan perilaku
akan muncul. Inkonsistensi semacam ini dilukiskan sebagai hasilketidaksesuaian
kognitif, yang dapat dikurangi dengan berbagai macam cara. Salah satu cara yang
menarik adalah dengan cara dengan mengubah prilaku agar sesuai dengan
perilakunya.
4. Teori atribusi
Teori
atribusi temyata diterapkanpula dalam mengkaji inkonsistensi prilaku-perilaku.
Pada umumnya para ahli psikologi berasumsi bahwa orang menetapkan prilaku
mereka sendiri dengan mempertimbangkan bermacam-macam kognisi dan afeksi dalam
kesadaran mereka. Akan tetapi menurut Ben (dalamSears, 1992) individu
mengetahui prilakunya sendiri bukan melalui peninjauan ke dalam dirinya sendiri,
tetapi mengambil kesimpulan dari perilakunya sendiri dan persepsinya tentang
situasi. Implikainya adalah bahwa perubahan perilaku yang dilakukan seseorang
memungkinkan timbulnya
kesimpulan
pada orang tersebut bahwa prilakunya telah berubah. Bila tiba-tiba seseorang
menyadari bahwa dirinya belajar psikologi faal setiap malam, maka ia akan
mengambil kesimpulan bahwa ia pasti menyukai mata kuliah itu.
2.5
Pengukuran Prilaku
Menurut Mar'at (1984) prilaku
adalah masalah yang banyak dibahas di dalam cabang psikologi sosial karena
memiliki kegunaan praktis. Oleh karena itu diperlukan adanya upaya untuk
memahami prilaku dan perilaku seseorang, yaitu melalui pengukuran (measurement)
dan pengungkapan (assesment) prilaku. Sebagai landasan utama dari pengukuran prilaku
adalah pendefinisian prilaku yang dikemukakan terdahulu dimana prilaku terhadap
suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan
tidak mendukung atau tidak memihak (unfavourable)
terhadap
objek tersebut.
Beragam
teknik dan metode telah dikembangkan oleh para ahli dalam upayanya untuk
mengungkap prilaku manusia. Berikut ini akan dibahas satu persatu metode-metode
pengungkapan prilaku, yaitu pengamatan perilaku, wawancara
langsung,pengungkapan langsung, dan skala prilaku.
a. Pengamatan Perilaku.
Pengamatan langsung
dilakukan terhadap tingkah laku individu mengenai objek psikologis tertentu.
Cara ini penggunaannya amat terbatas, karena amat bergantung dengan jumlah
individu yang diamati dan berapa banyak aspek yang diamati. Semakin banyak
faktor-faktor yang harus diamati, maka makin sukar serta makin kurang objektif
pengamatan terhadap tingkah laku individu.Selain itu juga apabila tingkah laku
yang
diinginkan
terhadap objek psikologis tertentu seringkali tidak terjadi sesuai dengan yang
diinginkan, maka hasil pengamatan belum dapat dikatakan menggambarkan keadaan
yang objektif (Mar' at, 1984).
b. Wawancara Langsung.
Untuk
mengetahui bagaimana perasaan seseorang terhadap objek psikologi yang
dipilihnya,maka cara yang paling mudah dilakukan adalah dengan menanyakan
secara langsung melalui wawancara (direct questioning). Asumsi yang mendasari
metode iniada dua yaitu: individu merupakan orang yang paling tabu mengenai
dirinya sendiri dan manusia akan mengemukakan secara terbuka apa yang
dirasakannya (asumsi keterusterangan). Oleh karena itu dalammetode ini, jawaban
yang diberikan dapat dijadikan indikator prilaku seseorang (Azwar,
1995).Jawaban yang diperoleh dapat pula dikategorikan dimana individu memiliki prilaku
yang sesuai ataupun prilaku yang tidak sesuai dengan objek psikologis ataupun
tidak dapat menentukan prilaku sarna sekali (ragu-ragu). Kelemahan dari cara
ini adalah apabila individu yang diberi pertanyaan tidak dapat menjawab sarna
sekali sehingga kita tidak dapat mengetahui pendapat atau prilakunya (Mar' at,
1984). Secara langsung melalui wawancara (direct questioning). Asumsi
yangmendasari metode ini ada dua yaitu: individu merupakan orang yang paling
tabu mengenai dirinya sendiri dan manusia akan mengemukakan secara terbuka apa
yang dirasakannya (asumsi keterusterangan). Oleh karena itu dalammetode ini,
jawaban yang diberikan dapat dijadikan indikator prilaku seseorang (Azwar,
1995).Jawaban yang diperoleh dapat pula dikategorikan dimana individu memiliki prilaku
yang sesuai ataupun prilaku yang tidak sesuai dengan objek psikologis ataupun
tidak dapat menentukan prilaku sarna sekali (ragu-ragu). Kelemahan dari cara
ini adalah apabila individu yang diberi pertanyaan tidak dapat menjawab sarna
sekali sehingga kita tidak dapat mengetahui pendapat atau prilakunya (Mar' at,
1984).
c. Pengungkapan Langsung.
Suatu metode pengembangan dari wawancara
langsung adalah pengungkapan langsung (direct assessment) yang dilakukan secara
tertulis dengan menggunakan baik item tunggal maupun ganda (Ajzen dalam Azwar,
1995). Prosedur pengungkapan langsung dengan item tunggal sangat sederhana.
Responden diminta menjawab langsung suatu pertanyaan prilaku secara tertulis
dengan memberi tanda setuju atau tidak setuju. Kebebasan responden lebih
dijamin dalam menjawab per- tanyaan, karena ia tidak harusmenuliskan nama atau
identitasnya.
d. Skala Prilaku.
Skala prilaku
adalah kumpulan pertanyaan mengenai objek prilaku. Dari respon subjek pada
pertanyaan tersebut kemudian dapat diambil kesimpulan mengenai arah dan
intensitas seseorang. Pada beberapa bentuk skala dapat pula diungkap mengenai
keluasan dan konsistensi prilaku (Azwar, 1995). Pertanyaan-pertanyaan atau item
yang membentuk skala prilaku kemudian dikenal dengan nama statement. Statement
sendiri didefinisikan sebagai pernyataan yang menyangkut objek psikologi (Mar'
at, 1984). MenurutAzwar (1995) dalampenyusunan skala prilaku sebagai instrumen
pengungkapan prilaku individu maupun prilaku kelompok ternyata bukanlah sesuatu
hal yang mudah. Kendatipun sudah melalui prosedur dan langkah-langkah yang
sesuai dengan kriteria, suatu skala prilaku ternyata masih tetap memiliki
kelemahan, sehingga tujuan pengungkapan prilaku yang diinginkan tidak
seluruhnya dapat tercapai.
2.6
Hubungan Antara Prilaku, Persepsi, dan Kognisi Lingkungan
Prilaku
merupakan suatu evaluasi positif atau negatif terhadap objek atau permasalahan
tertentu yang berhubungan dengan lingkungan. Prilaku ini dipengaruhi oleh
persepsi dan kognisi lingkungan, akan tetapi prilaku terhadap lingkungan ini
mampu pula mempengaruhi persepsi dan kognisi lingkungan (Holahan, 1982).
Dinamika dari ketiga konsep ini akan diperjelas dengan pembahasan berikut ini.
Menurut
Shaver (dalamMar' at, 1984)predisposisi untuk bertindak positif atau negatif
terhadap objek tertentu (atau prilaku) mencakup komponen kognisi, afeksi, dan
konasi. Komponen kognisi akan menjawab apa yang dipikirkan atau dipersepsikan
tentang objek. Komponen afeksi menjawab pertanyaan tentang apa yang dirasakan
(positif/negatif) terhadap objek. Dan komponen konasi akan menjawab pertanyaan
bagaimana kesediaan/kesiapan untuk bertindak terhadap objek. Selanjutnya
dikatakan oleh Mar' at, bahwa ketiga komponen itu tidak berdiri sendiri, akan
tetapi menunjukkan bahwa manusia merupakan suatu sistem kognitif. Hal ini
berarti bahwa yang dipikirkan seseorang tidak akan terlepas dari perasaannya.
Masing-masing komponen tidak dapat berdiri sendiri, namun merupakan interaksi
dari ketiga komponen tersebut secara kompleks. Aspek kognisi merupakan aspek
penggerak perubahan karena informasi yang diterima menentukan perasaan dan
kemauan untuk berbuat.
Persepsi
merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi, yang
banyak dipengaruhi oleh faktor personal individu (seperti minat, kepentingan,
pengetahuan, kebiasaan mengamati, dan pengalaman), faktor sosial dan budaya,
dan faktor lingkungan fisik (Fisher dkk., 1984; Mar' at, 1984; Gifford, 1987;
dan Iskandar, 1990). Melalui komponen kognisi akan timbul ide, kemudian konsep
mengenai apa yang dilihat. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki pribadi
sesorang, akan terjadi keyakinan terhadap objek tersebut (Mar' at, 1984).
Pada tahap selanjutnya komponen
afeksi memberikan evaluasi emosional (positif atau negatif) terhadap objek.
Lalu, komponen konasi yang berperan dalam menentukan kesediaan kesiapan jawaban
berupa tindakan. Atas dasar inilah, maka situasi yang semula kurang atau tidak
seimbang menjadi seimbang kembali. Keseimbangan dalam situasi ini berarti bahwa
antara objek yang dilihat sudah sesuai dengan penghayatannya, dimana unsur
milai dan norma dirinya dapatmenerima secara rasional dan emosional. Jika
situasi ini tidak tercapai, maka individu menolak dan reaksi yang timbul adalah
prilaku apatis, acuh tak acuh, atau menentang sampai ekstrim (memberontak).
Keseimbangan ini dapat kembali jika persepsi dapat diubah melalui komponen
kognisi.Terjadinya keseimbangan ini akan melalui perubahan prilaku, dimana
ketiga komponennya mengolah masalahnya secara baik (Mar' at, 1984).
BAB II
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Prilaku merupakan determinan perilaku
sebab, prilaku berkaitan dengan persepsi kepribadiandan motivasi. Sebuah prilaku
adalah perasaan positif atau negative atau keadaan mentalyang selalu disiapkan,
dipelajari dan diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh khusus pada
respon seseorang terhadap obyek-obyek dan keadaan.Definisi prilaku memiliki
implikasi tertentu pada manajer. Pertama, prilaku dapat dipelajari.Kedua, prilaku
mendifinisikan predisposisi kita terhadap aspek-aspek yang diberikandunia.
Ketiiga, prilaku memberikan dasar perasaan bagi hubungan antarpribadi kita
danidentifiikasi dengan orang lain. Dan keempat, prilaku diatur dan dekat
dengan intikepribadian. Beberapa prilaku selalu berulang dan bertahan; bahkan,
seperti setiap variabel psikologi, prilaku adalah subyek perubahan. Teori
menyatakan bahwa afeksi, kognisi, dan perilaku menentukan prilaku, dan
sebaliknya.
Daftar
Pustaka
http://www.scribd.com/doc/8365104/PENGERTIAN-ETIKA
Robbins,
Stephen P. Perilaku Organisasi , 2007, Jakarta: Salemba Empat
Suwarto.
Perilaku Keorganisasian. 1999. Yokyakarta. Universitas ATMA Jaya
Toha,
Miftah. Perilaku Organisasi. 2005. Yokyakarta. Rajawali Pers