PROBLEMATIKA HUKUMANMATI BERKAITAN DENGAN HAM
(HAK ASASI MANUSIA) DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Perdebatan tentang hukuman mati sudah
cukup lama berlangsung dalam wacana hukum pidana di Indonesia. Dari pendekatan
historis dan teoritik, hukuman mati adalah pengembangan teori absolut dalam ilmu hukum pidana. Teori ini
mengajarkan tentang pentingnya efek jera (detterence effect) dalam
pemidanaan.
Dari pendekatan secara historis
dan teoritik tersebut maka hukuman mati menjadi wacana pro dan kontra di
Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. Bagi yang kontra didasarkan pada alasan
atau menyangkut HAM (Hak Asasi Manusia), salah satunya ialah hak manusia untuk
hidup hal ini didasarkan pada Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi
"Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya". Keabsahan hukuman mati terus dipertanyakan. ini terkait
dengan pandangan “Hukum Kodrat” yang
menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu
yang tidak dapat dirampas dan dikurang-kurang (non-derogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan
dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum atau dalam situasi
darurat. Sebagai hak yang dianugerahkan Tuhan, hak hidup tidak bisa diambil
oleh manusia manapun meski atasnama Tuhan sekalipun. berangkat dari alasan
inilah maka hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
Sebaliknya bagi yang pro
berpendapat bahwa penjatuhan hukuman mati tidak ada hubungannya dengan
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). sebab segala bentuk hukuman pada dasarnya
melanggar hak asasi orang. Penjara seumur hidup itu juga merampas hak asasi,
sebab pemidanaan dijatuhkan dengan melihat tindak pidana atau perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa. Hukuman mati dilakukan terhadap pelanggaran norma
hukum yang mengancam suatu perbuatan sehingga harus dihukum demikian. Secara
normatif hukuman mati diterapkan di negara-negara modern khususnya Indonesia
atas perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan subversi, makar, terorisme,
pembunuhan berencana dan lain-lain. Dengan demikian pantaslah orang yang
melakukan demikian dijatuhi hukuman mati.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berangkat dari problematika terhadap hukuman mati diatas
maka penulis menarik sebuah rumusan masalah yaitu Masih relevankah hukuman mati
diterapkan di Indonesia berkaitan dengan Hak Asasi Manusia?
B.
PEMBAHASAN
1. Hak Asasi Manusia (HAM)
Sebelum kita membahas
tentang hukuman mati terlebih dahulu kita bahas tentang Hak Asasi Manusia
(HAM). Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah
setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak
mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No.
39 Tahun 1999 tentang HAM).
Di dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 juga dapat dipahami bahwa Indonesia sangat menekankan pentingnya perlindungan
Hak Asasi Manusia. Di dalam Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua
dijelaskan: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya. Di dalam Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945
amandemen kedua dijelaskan: hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum yang berlaku surat adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 28 A dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar
1945 amandemen kedua merupakan pengaturan hak asasi manusia, perbedaanya pasal 28 A
Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua hanya mengatur tentang hak hidup
seseorang tetapi Pasal 28 I Undang-Undang Dasar 1945 hak asasi manusia tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Baik dalam keadaan normal (tidak dalam
keadaan darurat, tidak dalam keadaan perang atau tidak dalam keadaan sengketa
bersenjata) maupun dalam keadaan tidak normal (keadaan darurat, dalam keadaan
perang dan dalam keadaan sengketa
bersenjata) hak hidup tidak dapat dikurangi oleh Negara, Pemerintah, maupun masyarakat. Hak hidup
bersifat non deregoble human right artinya hak hidup seseorang tidak dapat disimpangi dalam keadaan
apapun. Hak hidup tidak bersifat deregoble human right artinya dapat disimpangi
dalam keadaan daraurat atau ada alasan yang diatur di dalam peraturan perundang
undangan, misalnya melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati.
Dari pembahasan tentang Hak Asasi
Manusia diatas dapat kita simpulkan bahwa Negara menjamin hak hak asasi tiap
tiap warga negaranya yang terdapat dalam Undang-Undang 1945.
2. Hukuman Mati Dilihat Dari Sistem Hukum Indonesia
Seperti
yang kita tahu bahwa di Indonesia terdapat 3 (tiga) sistem hukum: Sistem Hukum
Barat, Sistem Hukum Islam dan Sistem Hukum Adat. Ketiga sistem tersebut pada
akhirnya dikemas menjadi Sistem Hukum Nasional.
Ketiga sistem hukum
tersebut membahas tentang kejahatan terhadap nyawa yang berbeda-beda. Dalam
sistem hukum barat yang tertuang dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana),
Pidana mati adalah hukuman yang terberat dari semua yang
diancamkan terhadap
kejahatan yang berat, misalnya :
a. Pembunuhan berencana (Pasal
340 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Di dalam pasal tersebut
dijelaskan: Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa
orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord) dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
b. Kejahatan terhadap keamanan
Negara, Pasal 104 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Di dalam pasal
tersebut dijelaskan: Makar dengan maksud membunuh Presiden atau Wakil Presiden
atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka tidak mampu memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana paling lama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
c. Melanggar Pasal 124 ayat (3) ke 1 dan ke
2 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) ancaman hukumannya pidana mati atau penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Dalam sistem hukum adat sering kita
dengar bahwa “Nyawa harus dibayar dengan nyawa” hal ini menunjukan bahwa
didalam hukum adat mengenal hukuman mati. Begitu pula dengan Sistem hukum
islam, Dalam
kitab-kitab fikih, pembahasan tentang hukuman mati menjadi bagian dari
pebahasan tentang kriminalitas (al-jinayah) seperti pencurian (al-sariqah),
minuman keras (al-khamr), perzinaan (al-zina), hukum balas/timbal
balik (al-qishas), pemberontakan (al-bughat), dan perampokan (qutta’u
tariq).
Dalam
wilayah lain, hukuman mati juga dijatuhkan kepada pelaku perzinaan dalam bentuk
dilempar batu hingga mati (al-rajam) untuk pelaku perzinaan yang sudah
menikah. Juga hukuman mati dilakukan dalam kasus pemberontakan (al-bughat)
dan pindah agama (al-riddah) yang dikenal sebagai hukuman (al-had/al-hudud)
atas pengingkaran terhadap Islam. Termasuk dalam kasus meninggalkan ibadah salat,
beberapa ulama mempersamakannya dengan murtad (al-riddah). Imam Ahmad
bin Hanbal mengatakan, “Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir,
kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman
mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.” Sementara Imam
Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan, “Orang yang meninggalkan adalah
fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya,
menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati (al-hadd/al-hudud)”,
dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”.
Hukuman
mati merupakan hukuman puncak, terutama untuk tindak pidana yang dinyatakan
sangat berbahaya seperti pembunuhan (al-qital) dimana jika tidak ada
pengampunan dari pihak keluarga dengan membayar denda pengganti (al-diyat),
maka pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati sebagai bentuk hukum balas/timbal
balik (al-qishas). Dalam konsepsi ini, maka kejahatan dibalas dengan
hukuman yang serupa. Dalam kasus penetapan hukuman mati (al-qishas),
ditetapkan beberapa syarat antara lain: bahwa yang bersangkutan telah melakukan
pembunuhan terhadap yang tak “boleh” (haq)
dibunuh, atau orang yang “boleh” (haq) dibunuh, akan tetapi belum
diputuskan oleh hakim. Pelaku bisa dihukum mati dengan ketentuan bahwa pada
saat melakukan kejahatan telah cukup umur (baligh) dan berakal (aqil).
Dengan melihat ketiga sistem hukum
tersebut diatas dapat kita simpulkan bahwa tujuan dari hukuman mati diberikan kepada mereka-mereka akibat dari perbuatan melanggar
kepentingan-kepentingan orang lain. Disini kita melihat dari perspektif
hubungan hukum dan ilmu-ilmu sosial yang tumbuh dalam masyarakat dan dalam hal
ini negara juga wajib melindungi warga negaranya terhadap tindak kejahatan
terhadap nyawa.
D. KESIMPULAN
Dari
pembahasan tersebut diatas dapat penulis tarik kesimpulan bahwa sebenarnya
hukuman mati masih relevan diterapkan di Indonesia jika dilihat dari kacamata
hubungan hukum dan ilmu sosial yang tumbuh dalam masyarakat walaupun dalam
Undang-undang Dasar 1945 telah dirumuskan bahwa Hak Asasi Manusia dalam hal ini
tentang Hak Hidup wajib dilindungi oleh negara yang bersifat non deregoble
human right artinya hak hidup seseorang tidak dapat disimpangi dalam keadaan
apapun akan tetapi demi kepentingan umum negara wajib memberi pembatasan HAM
tentang hak hidup berdasarkan perbuatan sesorang agar tujuan-tujuan dari hukum
dapat berjalan dengan baik.