BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Secara geografis, Banyuwangi
terletak di ujung timur Pulau Jawa yang berbatasan dengan Pulau Bali. Dengan
intensitas jarak yang dekat menimbulkan adanya persamaan, yaitu dalam bidang
kebudayaan, dan politik. Akan tetapi dalam sektor perekonomian, nilai jual
suatu pekerjaan relative lebih tinggi dari pada di Jawa, khususnya Banyuwangi.
Faktor pariwisata Pulau Bali sangat besar pengaruhnya terhadap pendapatan yang
ada. Banyaknya wisatawan domestik maupun luar negeri yang berkunjung dan
menetap tinggal di sana mengakibatkan harga kebutuhan pokok (sandang, pangan,
dan papan) mengalami lonjakan.
Berbeda dengan kondisi Banyuwangi,
dimana geomorfologinya datar dan sumber daya alamnya mudah digunakan, yang
mengakibatkan rendahnya nilai jual dalam kebutuhan primer maupun skunder. Namun
meskipun terjadi perbedaan ekonomi yang lebih rendah, masyarakat Banyuwangi
lebih memilih mencari lahan pekerjaan di Pulau Bali. Hal ini terlihat dari
banyaknya kendaraan roda dua maupun roda empat yang menggunakan plat nomor
kendaraan Karisedenan Bali. Dan juga sulitnya ditemukan pekerja (biasanya
pekerja kasar, bangunan), karena mereka lebih memilih bekerja di Bali dengan
alasan gaji yang lebih tinggi daripada daerah Jawa lainnya.
Kondisi ini terjadi terus menerus
dalam lima tahun terakhir. Dan terbukti setelah bekerja di sana, masyarakat
dapat memperbaiki taraf hidup di daerah asal. Kejadian ini menimbulkan adanya
mobilitas sosial yang yang tinggi bagi daerah asal yaitu Banyuwangi. Dengan
adanya permasalahan tersebut, penulis mengangkat judul makalah “Dampak
Mobilitas Penduduk Masyarakat Banyuwangi Terhadap Potensi Pulau Bali Sebagai
Lahan Matapencaharian”.
1.2
Tujuan dan Maksud Penyusunan Makalah
Adapun tujuan dan maksud penyusunan
makalah ini, antara lain:
1.
Menela’ah kondisi daerah asal dan
daerah tujuan mobilitas penduduk.
2.
Mengkaji mobilitas penduduk yang
terjadi di antara dua daerah beda pulau tersebut (Pulau Jawa, khususnya
Banyuwangi dan Pulau Bali).
3.
Menganalisis dampak mobilitas
penduduk masyarakat Banyuwangi terhadap potensi Pulau Bali sebagai lahan mata
pencaharian.
1.3 Kerangka Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka kerangka permasalahan dalam makalah ini, antara lain:
1. Bagaimana
kondisi daerah asal dan daerah tujuan mobilitas penduduk?
2. Bagaimana
mobilitas penduduk yang terjadi di antara dua daerah beda pulau tersebut (Pulau
Jawa, khususnya Banyuwangi dan Pulau Bali)?
3.
Bagaimana dampak mobilitas penduduk
masyarakat Banyuwangi terhadap potensi pulau Bali sebagai lahan mata pencaharian?
1.4 Hipotesa
Mobilitas
penduduk masyarakat banyuwangi yang terjadi di antara dua daerah beda pulau di
pulau jawa khususnya Banyuwangi dan pulau Bali.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1
Mobilitas Penduduk
Mobilitas penduduk merupakan suatu
pergerakan penduduk dari satu daerah ke daerah lain, baik untuk sementara
maupun untuk jangka waktu yang lama atau menetap seperti mobilitas ulang-alik
(komunitas) dan migrasi. Mobilitas dibedakan menjadi dua yaitu mobilitas non
permanen (tidak tetap) dan mobilitas permanen (tetap). Apabila perpindahan
bertujuan untuk menetap di daerah tujuan maka disebut migrasi.
Mobilitas penduduk dapat dibedakan
antara lain: (1) mobilitas penduduk vertikal yang sering disebut dengan
perubahan status, atau perpindahan dari cara-cara hidup tradisional ke
cara-cara hidup yang lebih modern. Contoh: perubahan status pekerjaan.
Seseorang mula-mula bekerja dalam sektor pertanian sekarang bekerja dalam sektor
non pertanian. (2) mobilitas penduduk horizontal yang sering disebut dengan
mobilitas penduduk geografis adalah gerak (movement)
penduduk yang melintas batas wilayah menuju ke wilayah yang lain dalam periode
waktu tertentu. Penggunaan batas wilayah dan waktu untuk indikator mobilitas
penduduk horizontal ini mengikuti paradigma ilmu geografi yang berdasarkan
konsepnya atas wilayah dan waktu (space
and time concept).
2.1.1
Bentuk-bentuk
Mobilitas Penduduk
Bentuk mobilitas penduduk dapat
berkaitan dengan keberhasilan dalam aktivitas ekonomi yang meliputi dua
komponen yaitu kesempatan kerja (produktifitas) dan pendapatan (dana). Komponen
tersebut dapat dipandang sebagai indikator kualitas kehidupan masyarakat.
1.
Mobilitas Tradisional
Penduduk
melakukan mobilitas atas dasar untuk memenuhi kebutuhan primer terutama pangan.
Aktivitas mobilitas tradisional merupakan arus desa ke kota yang termasuk dalam
pengertian urbanisasi.
2.
Mobilitas Pra-modern
Merupakan transisi dari mobilitas
tradisional menuju mobilitas modern. Dalam hal ini penduduk mulai malakukan
mobilitas dengan tujuanyang lebih luas bukan hanya sekedar untuk cukup pangan.
Aktivitas dari desa ke kota sangat meningkat disertai dengan mobilitas antar
kota dan juga mobilitas dari kota ke luar kota (pedesaan). Sehingga terjadi
dengan apa yang disebut urbanisasi modern. Penduduk mobilitas atau migrasi
dengan tujuan yang lebih luas termasuk kesenangan dan kenyamanan.
3.
Mobilitas Modern
Mobilitas penduduk telah melampaui
batas-batas negara dengan berbagai macam tujuan baik kegiatan perdagangan
maupun berwiraswasta.
4.
Mobilitas Canggih atau Super Modern
Mobilitas yang dilakukan telah
melampaui pengertian berwiraswasta secara wajar yang dapat dimasukkan dalam
kategori berfoya-foya dengan konsumsi yang berlebihan.
2.1.2
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Mobilitas Sosial
1. Faktor
dari sejarah asal yang disebut faktor pendorong seperti adanya bencana alam,
panen gagal, lapangan kerja terbatas, keamanan terganggu, kurangnya sarana
pendidikan.
a.
Faktor pendorong yang bersifat
positif yaitu para migran ingin mencari atau menambah pengalaman di daerah
lain.
b.
Faktor pendorong yang bersifat
negatif yaitu fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup terbatas dan lapangan
pekerjaan terbatas pada pertanian.
2. Faktor
yang ada di daerah tujuan yang disebut faktor penarik seperti tersedianya
lapangan kerja, upah tinggi, tersedianya sarana pendidikan kesehatan dan
hiburan.
a.
Faktor penarik yang bersifat positif
yaitu daerah tujuan mempunyai sarana pendidikan yang memadai dan lebih lengkap.
b.
Faktor penarik yang bersifat negatif
yaitu adanya lapangan pekerjaan yang bervariasi, kehidupan yang lebih mewah, sehingga
apa saja yang diperlukan akan mudah didapat di kota.
3. Faktor
penghalang, terletak antara daerah asal dan daerah tujuan. Misalnya: jarak
jenis alat transport dan biaya transport jarak yang tidak jauh dan mudahnya
transportasi mendorong mobilitas penduduk.
4. Faktor
individu merupakan faktor yang terdapat dalam diri seseorang. Faktor ini sangat
mempengaruhi keinginan seseorang untuk melakukan mobilitas atau tidak. Contoh:
faktor individu ini antara lain: umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan.
2.1.3 Perilaku Mobilitas Penduduk
Perilaku
mobilitas penduduk oleh Ravenstain disebut dengan hukum-hukum migrasi sebagai
berikut:
1. Para
migran cenderung memilih tempat terdekat sebagai daerah tujuan. Faktor yang
paling dominan yang mempengaruhi seseorang untuk bermigran adalah situasinya
memperoleh pekerjaan di daerah asal dan kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan
dan pendapatan yang lebih baik di daerah tujuan. Daerah tujuan mempunyai nilai
kefaedahan wilayah (place utility)
lebih tinggi dibanding daerah asal. Semakin tinggi pengaruh kekotaan terhadap
seseorang, semakin besar tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi frekuensi
mobilitasnya.
2. Penduduk
yang masih muda dan belum kawin lebih banyak melakukan mobilitas daripada mereka
yang berstatus kawin. Penduduk yang berpendidikan tinggi biasanya lebih banyak
melaksanakan mobilitas daripada yang berpendidikan rendah. Kepuasaan terhadap
kehidupan di masyarakat baru tergantung pada hubungan sosial para pelaku
hubungan sosial para pelaku mobilitas dengan masyarakat tersebut. Kepuasan
terhadap kehidupan di kota tergantung pada kemampuan perseorangan untuk
mendapatkan pekerjaan dan adanya kesempatan bagi anak-anak untuk berkembang.
Setelah menyesuaikan diri dengan kehidupan kota, para pelaku mobilitas pindah
ke tempat tinggal dan memilih daerah termpat tinggal yang dipengaruhi oleh
daerah tempat tinggal.
2.2 Potensi Daerah Tujuan Migrasi
2.2.1 Pengertian
Keunggulan lokal adalah segala
sesuatu yang merupakan ciri khas kedaerahan yang mencakup aspek ekonomi,
budaya, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain. Sumber lain
mengatakan bahwa keunggulan lokal adalah hasil bumi, kreasi seni, tradisi,
budaya, pelayanan, jasa, sumber daya alam, sumber daya manusia atau lainnya
yang menjadi keunggulan suatu daerah (Dedidwitagama,2007). Dari kedua
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Keunggulan Lokal (KL) adalah suatu
proses dan realisasi peningkatan nilai dari suatu potensi daerah sehingga
menjadi produk/jasa atau karya lain yang bernilai tinggi, bersifat unik dan
memiliki keunggulan komparatif.
Keunggulan lokal harus dikembangkan
dari potensi daerah. Potensi daerah adalah potensi sumber daya spesifik yang
dimiliki suatu daerah. Sebagai contoh potensi kota Batu Jawa Timur, memiliki
potensi budi daya apel dan pariwisata. Pemerintah dan masyarakat kota Batu
dapat melakukan sejumlah upaya dan program, agar potensi tersebut dapat
diangkat menjadi keunggulan lokal kota Batu sehingga ekonomi di wilayah kota
Batu dan sekitarnya dapat berkembang dengan baik.
Kualitas dari proses dan realisasi
keunggulan lokal tersebut sangat dipengaruhi oleh sumber daya yang tersedia,
yang lebih dikenal dengan istilah 7 M, yaitu Man, Money, Machine, Material,
Methode, Marketing and Management. Jika sumber daya yang diperlukan bisa
dipenuhi, maka proses dan realisasi tersebut akan memberikan hasil yang bagus,
dan demikian sebaliknya. Di samping dipengaruhi oleh sumber daya yang tersedia,
proses dan realisasi keunggulan lokal juga harus memperhatikan kondisi pasar,
para pesaing, substitusi (bahan pengganti) dan perkembangan IPTEK, khususnya
perkembangan teknologi. Proses dan realisasi tersebut akan menghasilkan produk
akhir sebagai keunggulan lokal yang mungkin berbentuk produk (barang/jasa) dan
atau budaya yang bernilai tinggi, memiliki keunggulan komparatif, dan unik.
2.2.2
Potensi Keunggulan Lokal
Konsep pengembangan keunggulan lokal
diinspirasikan dari berbagai potensi, yaitu potensi sumber daya alam (SDA),
sumber daya manusia (SDM), geografis, budaya dan historis. Uraian masing-masing
sebagai berikut.
1) Potensi
Sumber Daya Alam, Sumber daya alam (SDA) adalah potensi yang terkandung dalam
bumi, air, dan dirgantara yang dapat didayagunakan untuk berbagai kepentingan
hidup. Contoh bidang pertanian: padi, jagung, buah-buahan, sayur-sayuran dll.
Bidang perkebunan: karet, tebu, tembakau, sawit, coklat dll. Bidang peternakan:
unggas, kambing, sapi dll. Bidang perikanan: ikan laut, ikan air tawar, rumput
laut, tambak, dll. Contoh lain misalnya di provinsi Jawa Timur memiliki
keunggulan komparatif dan keragaman komoditas hortikultura buah-buahan yang
spesifik, dengan jumlah lokasi ribuan hektar yang hampir tersebar di seluruh di
wilayah kabupaten/kota. Keunggulan lokal ini akan lebih cepat berkembang, jika
dikaitkan dengan konsep pembangunan agropolitan (Teropong Edisi 21, Mei-Juni
2005, h.24). Agropolitan merupakan pendekatan pembangunan bottom-up untuk
mencapai kesejahteraan dan pemerataan pendapatan yang lebih cepat, pada suatu
wilayah atau daerah tertentu, dibanding strategi pusat pertumbuhan (growth pole).
2) Potensi
Sumber Daya Manusia, Sumber daya manusia (SDM) didefinisikan sebagai manusia
dengan segenap potensi yang dimilikinya yang dapat dimanfaatkan dan
dikembangkan untuk menjadi makhluk sosial yang adaptif dan transformatif dan
mampu mendayagunakan potensi alam di sekitarnya secara seimbang dan
berkesinambungan (Wikipedia, 2006). Pengertian adaptif artinya mampu
menyesuaikan diri terhadap tantangan alam, perubahan IPTEK dan perubahan sosial
budaya. Bangsa Jepang, karena biasa diguncang gempa merupakan bangsa yang
unggul dalam menghadapi gempa, sehingga cara hidup, sistem arsitektur yang
dipilihnya sudah diadaptasikan bagi risiko menghadapi gempa. Kearifan lokal (indigenous wisdom) semacam ini agaknya
juga dimiliki oleh penduduk pulau Simeulue di Aceh, saat tsunami datang yang
ditandai dengan penurunan secara tajam dan mendadak muka air laut, banyak ikan
bergelimpangan menggelepar, mereka tidak turun terlena mencari ikan, namun
justru terbirit-birit lari ke tempat yang lebih tinggi, sehingga selamat dari
murka tsunami. Pengertian transformatif artinya mampu memahami, menerjemahkan
dan mengembangkan seluruh pengalaman dari kontak sosialnya dan kontaknya dengan
fenomena alam, bagi kemaslahatan dirinya di masa depan, sehingga yang
bersangkutan merupakan makhluk sosial yang berkembang berkesinambungan. SDM
merupakan penentu semua potensi keunggulan lokal. SDM sebagai sumber daya, bisa
bermakna positif dan negatif, tergantung kepada paradigma, kultur dan etos
kerja.Dengan kata lain tidak ada realisasi dan implementasi konsep keunggulan
lokal tanpa melibatkan dan memposisikan manusia dalam proses pencapaian
keunggulan. SDM dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas SDA, mencirikan
identitas budaya, mewarnai sebaran geografis, dan dapat berpengaruh secara
timbal balik kepada kondisi geologi, hidrologi dan klimatologi setempat akibat
pilihan aktivitasnya, serta memiliki latar sejarah tertentu yang khas. Pada
masa awal peradaban, saat manusia masih amat tergantung kepada alam, ketergantungannya
yang besar terhadap air telah menyebabkan munculnya peradaban pertama di
sekitar aliran sungai besar yang subur.
3)
Potensi Geografis, Objek geografi
antara lain meliputi, objek formal dan objek material. Objek formal geografi
adalah fenomena geosfer yang terdiri dari, atmosfer bumi, cuaca dan iklim,
litosfer, hidrosfer, biosfer (lapisan kehidupan fauna dan flora), dan
antroposfer (lapisan manusia yang merupakan tema sentral). Sidney dan Mulkerne
(Tim Geografi Jakarta, 2004) mengemukakan bahwa geografi adalah ilmu tentang
bumi dan kehidupan yang ada di atasnya. Pendekatan studi geografi bersifat
khas. Pengkajian keunggulan lokal dari aspek geografi dengan demikian perlu
memperhatikan pendekatan studi geografi. Pendekatan itu meliputi; (1) pendekatan
keruangan (spatial approach), (2)
pendekatan lingkungan (ecological
approach) dan (3) pendekatan kompleks wilayah (integrated approach). Pendekatan keruangan mencoba mengkaji adanya
perbedaan tempat melalui penggambaran letak distribusi, relasi dan inter-relasinya.
Pendekatan lingkungan berdasarkan interaksi organisme dengan lingkungannya,
sedangkan pendekatan kompleks wilayah memadukan kedua pendekatan tersebut. Tentu
saja tidak semua objek dan fenomena geografi berkait dengan konsep keunggulan
lokal, karena keunggulan lokal dicirikan oleh nilai guna fenomena geografis
bagi kehidupan dan penghidupan yang memiliki, dampak ekonomis dan pada
gilirannya berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Contoh tentang angina fohn
yang merupakan bagian dari iklim dan cuaca sebagai fenomena geografis di
atmosfer. Angin fohn adalah angin jatuh yang sifatnya panas dan kering. terjadi
karena udara yang mengandung uap air gerakannya terhalang oleh gunung atau
pegunungan. Contoh angin fohn di Indonesia adalah angin Kumbang di wilayah
Cirebon dan Tegal karena pengaruh Gunung Slamet, angin Gending di wilayah
Probolinggo yang terjadi karena pengaruh gunung Lamongan dan pegunungan
Tengger, angin Bohorok di daerah Deli, Sumatera Utara karena pengaruh
pegunungan Bukit Barisan. Seperti diketahui angin semacam itu menciptakan
keunggulan lokal Sumber Daya Alam, yang umumnya berupa tanaman tembakau, bahkan
tembakau Deli berkualitas prima dan disukai sebagai bahan rokok cerutu.
Semboyan Kota Probolinggo sebagai kota Bayuangga (bayu = angin, anggur dan
mangga) sebagai proklamasi keunggulan lokal tidak lepas dari dampak positif
angin Gending.
4) Potensi
Budaya, Budaya adalah sikap, sedangkan sumber sikap adalah kebudayaan. Agar
kebudayaan dilandasi dengan sikap baik, masyarakat perlu memadukan antara
idealisme dengan realisme yang pada hakekatnya merupakan perpaduan antara seni
dan budaya. Ciri khas budaya masing-masing daerah tertentu (yang berbeda dengan
daerah lain) merupakan sikap menghargai kebudayaan daerah sehingga menjadi
keunggulan lokal. Beberapa contoh keunggulan lokal menghargai kebudayaan
setempat yaitu upacara Ngaben di Bali, Malam Bainai di Sumatera Barat,
Sekatenan di Yogyakarta dan Solo dan upacara adat perkawinan di berbagai
daerah.
5)
Potensi Historis, Keunggulan lokal
dalam konsep historis merupakan potensi sejarah dalam bentuk peninggalan
benda-benda purbakala maupun tradisi yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Konsep historis jika dioptimalkan pengelolaannya akan menjadi tujuan wisata
yang bisa menjadi asset, bahkan menjadi keunggulan lokal dari suatu daerah
tertentu. Pada potensi ini, diperlukan akulturasi terhadap nilai-nilai
tradisional dengan memberi kultural baru agar terjadi perpaduan antara
kepentingan tradisional dan kepentingan modern, sehingga aset atau potensi sejarah
bisa menjadi aset/potensi keunggulan lokal.
6) Salah satu contoh keunggulan lokal yang
diinspirasi oleh potensi sejarah, adalah tentang kebesaran “Kerajaan
Majapahit”, antara lain: Pemerintah Kabupaten Mojokerto secara rutin
menyelenggarakan Perkawinan ala Majapahit sebagai acara resmi yang
disosilaisasikan kepada masyarakat.
BAB III
ANALISA PEMBAHASAN
3.1
Kondisi Geografi Daerah Asal dan Daerah Tujuan Mobilitas Penduduk
Pada dasarnya, penyebab terjadinya
mobilitas sosial dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi yang berbeda antar
daerah. Terutama di Indonesia ini memiliki geomorfologi yang bervariasi mulai
dari topografi kasar sampai halus. Pulau Jawa mempunyai topografi kasar dengan
adanya banyak gunung berapi yang masih aktif, sedangkan Pulau Bali mempunyai
topografi sedang. Untuk penjelasan lebih rinci, akan dibahas kondisi
geomorfologi kedua daerah tersebut, yaitu daerah asal dan daerah tujuan.
3.1.1 Daerah Asal
Daerah asal dalam mobilitas ini
yaitu Pulau Jawa khususnya Banyuwangi. Kabupaten Banyuwangi terletak diantara
7o 43’ - 8o 46’ LS dan 113o 53’ - 114o 38’ BT. Luas wilayah 578.250 ha. Secara
administratif Kabupaten Banyuwangi terdiri dari 24 kecamatan diantaranya 3
kecamatan yaitu Kecamatan Tegalsari, Licin dan Siliragung merupakan kecamatan
baru, dengan batas administratif sebagai berikut:
·
Sebelah Utara : Kabupaten Situbondo
·
Sebelah Timur : Selat Bali
·
Sebelah Selatan : Samudera Indonesia
·
Sebelah Barat : Kabupaten Jember dan
Bondowos
3.1.2 Kondisi Fisik
·
Topografi
Kabupaten Banyuwangi terbagi dalam beberapa jenis topografi 0,50 mdpl merupakan wilayah pantai dan dataran rendah.
Kabupaten Banyuwangi terbagi dalam beberapa jenis topografi 0,50 mdpl merupakan wilayah pantai dan dataran rendah.
·
50-500 mdpl merupakan wilayah
dataran rendah. Wilayah tersebut sangat sesuai untuk kawasan perikanan dan
pertumbuhan, pertanian tanaman pangan dan pertanian tanaman semusim serta pengembangan
perdesaan dan perkotaan.
·
500-1000 mdpl merupakan wilayah
perbukitan dan sangat sesuai untuk tanaman keras/tahunan dan sebagai penyangga
bagi kawasan perlindungan tanah.
·
1000-2000 mdpl merupakan wilayah
pegunungan dengan kesusaian lahan untuk kawasan penyangga sebagai kawasan perlindungan
tanah dan air.
·
>2000 sesuai untuk pemanfaatan hutan
lindung yang berfungsi untuk melindungi kawasan bawahannya.
Jenis Tanah
Jenis
tanah di Kabupaten Banyuwangi diklasifikasikan dalan 17 jenis tanah, yaitu
aluvial coklat kemerahan; aluvial hidromorf; andosol cklat kekuningan; asosiasi
aluvial kelabu dan aluvial coklat kekelabuan; asosiasi andosol coklat;
kekuningan dan regosol coklat; kekuningan; asosiasi latosol coklat dan regosol
kelabu; grumosol hitam; grumosol kelabu; kompleks latosol coklat kekuningan dan
litosol; komplek latosol coklat kemerahan dan litosol; komplek mediteran coklat
dan litosol; komplek mediteran merah dan litosol; komplek regosol kelabu dan
litosol;komplek brown forest soil, litosol dan mediteran; latosol coklat
kemerahan ; regosol coklat dan regosol kelabu. Sebagian besar tanah Kabupaten
Banyuwangi termasuk pada jenis tanah asosiasi latosol coklat dan regosol
kelabu.
Geologi
Jenis
batuan di Kabupaten Banyuwangi dikelompokan dalam beberapa bagian yaitu endapan
permukaan, batuan sedimen, batuan gunung api dan batuan terobosan. Sebagian
besar geologi yang ada di Kabupaten Banyuwangi termasuk dalam formasi Kalibaru
dengan luas 181.963 atau 31,5 % dari keseluruhan luas lahan Kabupaten
Banyuwangi.
Tekstur Tanah
·
Tekstur tanah adalah kasar halusnya
bahan padat organik tanah berdasarkan perbandingan fraksi pasir, debu, dan
liat. Berdasarkan teksturnya, tanah di Kabupaten Banyuwangi dikelompokkan
menjadi 3, yaitu:
·
Halus (liat) tersebar di Kecamatan
Tegaldlimo, Purwoharjo, Bangorejo, sebagian Genteng, Siliragung, cluring dan
muncar.
·
Sedang (lempung) tersebar hampir di
seluruh kecamatan di Kabupaten Banyuwangi kecuali kecamatan Tegaldlimo dan
Purwoharjo.
·
Kasar (pasir) hanya terdapat di
sebagian kecil wilayah Kabupaten Banyuwangi, tepatnya di wilayah pantai selatan
di Kecamatan Purwoharjo dan Tegaldlimo.
Kondisi
kependudukan merupakan salah satu faktor yang mendorong perkembangan dan
pertumbuhan Kabupaten Banyuwangi secara umum dan kota Banyuwangi pada khususnya.
Pertumbuhan pendudukan Kabupaten Banyuwangi dari tahun 2000-2004 sebesar 1,49%
hal ini terjadi karena pada tahun 2004 terbentuk kecamatan baru. Mata
pencaharian masyarakat Kabupaten Banyuwangi sangat beragam, dimana sebagian
besar masyarakatnya bekerja pada sektor pertanian baik pertanian tanaman
pangan, perkebunan, perikanan maupun kehutanan. Selain itu masyarakat Kabupaten
Banyuwangi juga bergerak di sektor perdagangan, jasa kemasyarakatan serta
industri pengolahan dimana masing-masing menempati posisi kedua, ketiga dan
keempat. Berdasarkan tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat Kabupaten
Banyuwangi merupakan lulusan SD/MI sederajat sebesar 33,50%. Sedangkan jumlah
terbesar kedua merupakan tidak lulus sekolah yaitu sebesar 32,35%.
Kondisi Perekonomian Wilayah Kabupaten Banyuwangi
Kondisi
perekonomian Kabupaten Banyuwangi dapat dilihat PDRB wilayah, dimana PDRB
Kabupaten Banyuwangi memiliki kecenderungan peningkatan. Peranan sektor
terhadap PDRB masih didominasi oleh sektor pertanian disusul kemudian sektor
perdagangan, hotel dan restaurant. Dalam analisis sektor-sektor ekonomi dan
pertumbuhan wilayah, sektor-sektor dalam PDRB dikelompokkan menjadi 4 sektor
utama, yaitu:
·
Sektor primer : pertanian dan
pertambangan
·
Sektor industri : industri dan konstruksi
·
Sektor utilitas : listrik, air
minum, gas, angkutan dan komunikasi
·
Sektor jasa : perdagangan, hotel dan
restauran, jasa-jasa serta keuangan, persewaan dan jasa peruahaan
3.1.3
Daerah Tujuan
Pulau Bali adalah bagian dari
Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari
Pulau Jawa. Secara astronomis, Bali terletak di 8°25'23? Lintang Selatan dan
115°14'55? Lintang Timur yang membuatnya beriklim tropis seperti bagian
Indonesia yang lain.
Gunung Agung adalah titik tertinggi
di Bali setinggi 3.148 m. Gunung berapi ini terakhir meletus pada Maret 1963.
Gunung Batur juga salah satu gunung yang ada di Bali. Sekitar 30.000 tahun yang
lalu, Gunung Batur meletus dan menghasilkan bencana yang dahsyat di bumi.
Berbeda dengan di bagian utara, bagian selatan Bali adalah dataran rendah yang
dialiri sungai-sungai.
Berdasarkan relief dan topografi, di
tengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke
timur dan diantara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu
Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi yaitu Gunung
Merbuk, Gunung Patas, dan Gunung Seraya. Adanya pegunungan tersebut menyebabkan
Daerah Bali secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama
yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai, dan Bali
Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali
terdiri dari lahan datar (0-2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%)
seluas 118.339 ha, lahan curam (15-40%) seluas 190.486 ha, dan lahan sangat
curam (>40%) seluas 132.189 ha. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau
yang berlokasi di daerah pegunungan yaitu : Danau Beratan, Buyan, Tamblingan
dan Danau Batur.
Ibu kota Bali adalah Denpasar.
Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud sebagai pusat seni terletak di
Kabupaten Gianyar; sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua
adalah beberapa tempat yang menjadi tujuan pariwisata, baik wisata pantai
maupun tempat peristirahatan.
Luas wilayah Provinsi Bali adalah
5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Republik Indonesia. Secara administratif
Provinsi Bali terbagi atas 9 kabupaten/kota, 55 kecamatan dan 701
desa/kelurahan.
Demografis
Penduduk
Bali kira-kira sejumlah 4 juta jiwa, dengan mayoritas 92,3% menganut agama
Hindu. Agama lainnya adalah Islam, Protestan, Katolik, dan Buddha. Selain dari
sektor pariwisata, penduduk Bali juga hidup dari pertanian dan perikanan.
Sebagian juga memilih menjadi seniman. Bahasa yang digunakan di Bali adalah
Bahasa Indonesia, Bali, dan Inggris khususnya bagi yang bekerja di sektor
pariwisata. Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling luas
pemakaiannya di Bali, dan sebagaimana penduduk Indonesia lainnya, sebagian
besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Meskipun
terdapat beberapa dialek dalam bahasa Bali, umumnya masyarakat Bali menggunakan
sebentuk bahasa Bali pergaulan sebagai pilihan dalam berkomunikasi. Secara
tradisi, penggunaan berbagai dialek bahasa Bali ditentukan berdasarkan sistem
catur warna dalam agama Hindu Dharma; meskipun pelaksanaan tradisi tersebut
cenderung berkurang.
Bahasa
Inggris adalah bahasa ketiga (dan bahasa asing utama) bagi banyak masyarakat
Bali, yang dipengaruhi oleh kebutuhan yang besar dari industri pariwisata. Para
karyawan yang bekerja pada pusat-pusat informasi wisatawan di Bali, seringkali
juga memahami beberapa bahasa asing dengan kompetensi yang cukup memadai.
3.2
Kondisi Mobilitas Sosial yang Terjadi Antar Dua Pulau
Tingkat mobilitas sosial yang
terjadi diantara dua Pulau, Pulau Jawa (Banyuwangi) dengan Pulau Bali mengalami
lonjakan yang tinggi. Masyarakat Banyuwangi berlomba-lomba mencari pekerjaan di
sana. Mereka menganggap apabila masih bertahan di tempat asal, kehidupan sosial
mereka tidak akan berubah dan tidak akan dapat memperbaiki status sosial
mereka. Selain itu, lapangan pekerjaan di Banyuwangi seperti pertanian sudah
jarang mungkin tidak lagi digeluti oleh masyarakat terutama masyarakat kaum
muda. Hal ini disebabkan menipisnya lahan pertanian. Lahan pertanian diubah
sebagai lahan perumahan. Dan juga banyaknya gagal panen akibat kondisi lahan
pertaniannya yang jelek dan musim yang tidak menentu sekarang ini. Dengan
alasan tersebut, masyarakat lebih memilih bekerja sebagai wiraswasta dan memilih
meninggalkan daerah asal dan melakukan migrasi ke daerah terdekat yang lebih
terjangkau dan harga pekerjaannya lebih tinggi dibandingkan di daerah Pulau
Jawa lainnya.
Akan tetapi tidak hanya terjadi
mobilitas sosial Banyuwangi ke Bali, Bali ke Banyuwangi juga sering terjadi
adanya mobilitas sosial yaitu dalam bidang pendidikan. Bidang pendidikan di
Pulau Jawa lebih baik dari pada di Pulau Bali.
Pada dasarnya orang Bali itu pintar
dalam melakukan strategi pembangunan. Mereka memperbanyak lapangan pekerjaan
yang menimbulkan banyak orang luar Pulau Bali terutama masyarakat Banyuwangi
yang datang dengan tujuan meningkatkan pendapatan daerahnya serta mencarkan
program pembangunan daerah tujuan. Sumbangan terbesar Pulau Bali yaitu sektor
pariwisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun wisatawan
manca Negara.
Secara teoritis migrasi merupakan
respons terhadap perbedaan pendapatan di desa dan di kota. Namun faktor
perbedaan pendapatan itu saja tidak cukup dapat menerangkan niat masyarakat Banyuwangi
melakukan migrasi. Beberapa studi empiris menunjukkan niat penduduk bermigrasi
dipengaruhi oleh faktor-faktor pendorong (push
factor), seperti keterbatasan pemilikan lahan, pendapatan yang rendah,
beban tenaga kerja yang tinggi atau faktor lain yang pada umumnya menunjukkan
kondisi marjinal desa. Peluang individu bermigrasi pun sangat dipengaruhi oleh
karakteristik calon migran, seperti umur, jenis kelamin, status perkawinan
ataupun tingkat pendidikan. Sedangkan faktor penarik (full factor) untuk bermigrasi merupakan ekspektasi terhadap kondisi
yang lebih baik di kota, yang dicerminkan dari tingkat upah yang tinggi, status
kota tujuan (kota metropolitan, ibukota propinsi dsb), hubungan dengan famili
di kota serta aksesibilitas ke kota.
Dari kondisi mobilitas sosial
diatas, dapat disimpulkan bahwa Mobilitas sosial yang terjadi merupakan
mobilitas secara vertikal. Sebagian besar masyarakat Banyuwangi memilih
pekerjaan yang berbeda dari tempat asal. Dalam mencari kesempatan kerja dan
pendapatan, masyarakat menggunakan bentuk mobilitas tradisional.
3.3 Dampak Mobilitas Penduduk
Masyarakat Banyuwangi Terhadap Potensi Pulau Bali
Sebagai
Lahan Mata Pencaharian
Salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya mobilitas sosial yaitu distribusi kesempatan (kemakmuran) yang tidak
merata, baik di dalam maupun melewati batas daerah. Berpindah dari daerah asal
merupakan pilihan terbaik dan terbuka untuk memperbaiki kesempatan dalam hidup
mereka. Migrasi dapat menjadi cara yang sangat efektif untuk meningkatkan penghasilan,
tingkat pendidikan dan partisipasi individu dan keluarga, serta memperbaiki
status sosial mereka dalam masyarakat daerah asal.
Dampak yang ditimbulkan oleh adanya
mobilitas sosial tersebut, antara lain:
1.
Bagi penduduk yang memilih mobilitas
sosial non permanen, maka hasil pendapatan yang mereka akan digunakan sebagai
modal dalam pembuatan tempat tinggal. Apabila setiap migran yang pulang ke
daerah asal merencanakan membuat tempat tinggal, maka lahan pertanian akan
menyempit dan kelestarian lingkungan tidak dapat terkontrol lagi. Sedangkan
bagi penduduk yang memilih mobilitas sosial permanen, maka mereka telah menetap
di daerah tujuan yang mengakibatkan berkurangnya jumlah penduduk di daerah
asal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi dalam pendapatan
pemerintahan karena program pembanguna tidak ditunjang dengan banyaknya tenaga
kerja dari daerah asal sendiri.
2.
Kegiatan migrasi memberikan
kontribusi pendapatan yang cukup tinggi terhadap pendapatan rumah tangga. Hal
ini menunjukkan besarnya ketergantungan ekonomi rumah tangga di pedesaan
terhadap kegiatan migrasi. Namun mengingat sebagian besar pendapatan migran
juga dibelanjakan kembali di desa, kegiatan migrasi akan memberikan dampak
positif terhadap peningkatan ekonomi wilayah.
3.
Status sosial penduduk dalam
masyarakat dapat terangkat yang berakibat pada perubahan sosial dalam daerah
asal.
4.
Kurangnya tenaga kerja di daerah
asal.
5.
Kebudayaan atau gaya hidup para
migran akan terbawa dan menyebar luas di daerah asal. Hal ini perlu di lakukan
intensfikasi terhadap anak kecil, karena mereka mudah terpengaruh kepada
sesuatu hal yang mereka anggap baru.
6.
Akan terjadi stratifikasi sosial
yang drastis antara masyarakat yang migrasi dengan yang non migrasi dalam
daerah asal.
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1 Kesimpulan
1. Mobilitas
penduduk yang terjadi merupakan mobilitas secara vertikal. Sebagian besar
masyarakat Banyuwangi memilih pekerjaan yang berbeda dari tempat asal. Dalam
mencari kesempatan kerja dan pendapatan, masyarakat menggunakan bentuk
mobilitas tradisional.
2. Faktor-faktor
pendorong (push factor), seperti
keterbatasan pemilikan lahan, pendapatan yang rendah, beban tenaga kerja yang
tinggi atau faktor lain yang pada umumnya menunjukkan kondisi marjinal desa.
3. Faktor
penarik (full factor) untuk
bermigrasi merupakan ekspektasi terhadap kondisi yang lebih baik di kota, yang
dicerminkan dari tingkat upah yang tinggi, status kota tujuan (kota
metropolitan, ibukota propinsi dsb), hubungan dengan famili di kota serta
aksesibilitas ke kota
4. Kegiatan
mobilitas penduduk dapat menyebabkan sukses dan gagalnya pembangunan dalam
suatu wilayah.
4.2
Rekomendasi
Saran yang dapat diberikan penulis
dalam permasalahan makalah ini, antara lain:
1. Mobilitas
sosial boleh terjadi apabila sesuai dengan kelestarian lingkungan. Hasil yang
diperoleh (pendapatan) diharapkan tidak mengakibatkan rusaknya kondisi
lingkungan. Misalnya perubahan lahan pertanian menjadi perumahan.
2. Sebaiknya
dalam proses mobilitas sosial terdapat simbiosis mutualisme antara Banyuwangi dan
Bali.
3. Sebaiknya
mobilitas sosial dijadikan ajang berlomba secara positif dalam memperoleh
lapangan pekerjaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ida Bagoes. 2003. Demografi Umum.
Yogyakarta ; Pustaka Pelajar.
Mantra, Ida Bagoes. Agus Joko Pitoyo. 1998. Kumpulan Beberapa
Teori Mobilitas Penduduk Buku I. Fakultas Geografi. UGM.
Mantra, Ida Bagoes. 1984. Mobilitas Penduduk di Indonesia
dan Implikasi Kebijaksanaan. Yogya, Pusat Penelitian Kependudukan.
Black,
J.A. and D.J. Champion, 1999. Metode dan
Masalah Penelitian Sosial. Cetakan Kedua. PT. Refika Aditama. Bandung.
Chadwick, B.
A., H. M. Bahr and S. L. Albrecht. 1991. Metode
Penelitian Ilmu Sosial. Cetakan Pertama. IKIP Semarang Press. Semarang.
Koentjaraningrat.
1999. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Cetakan Pertama. PT. Gramedia.
Jakarta.
Maryaeni. 2008. Metode Penelitian Kebudayaan. Cetakan Ketiga. Bumi
Aksara. Jakarta.
Ridwan, H. J.
dan A. Sodik., 2008. Hukum Tata Ruang:
dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah. Cetakan I. Penerbit Nuansa. Bandung.
Silalahi, U.
2009. Metode Penelitian Sosial. Penerbit Refika Aditama. Cetakan Pertama. Bandung.
Kartono Wirosuharjo,
dkk, 1985, Kebijaksanaan Kependudukan dan
Ketenagakerjaan di Indonesia, Lembaga
Penerbit FEUI.
Lucas, David, 1984, Pengantar Kependudukan, UGM Press, Yogyakarta.
www.balitbangjatim.com
www.detik.com
http://fuadinotkamal.wordpress.com/2009/05/13/pendidikan-dan-kemiskinan/
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Komitmen
dan Konsistensi Pemerintah.pdf