Bahsul Masail dan Istinbath Hukum
dalam NU
Oleh KH. MA. Sahal Mahfudh
Bagian pertama
Jakarta.NU.Online.
Nahdlatul Ulama (NU), sebagai
jam’iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima’iyah, sejak awal
berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunah Wal Jama’ah sebagai basis teologi
(dasar beraqidah) dan menganut salah satu dari empat mazhab: Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali sebagai
pegangan dalam berfiqih. Dengan mengikuti empat mazhab fiqih ini, menunjukkkan
elastisitas dan fleksibilitas sekaligus memungkinkan bagi NU untuk beralih
mazhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan
(hajat) meskipun kenyataan keseharian ulama NU menggunakan fiqih masyarakat
Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi’i. Hampir dapat dipastikan bahwa
Fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan
pesantren selalu bersumber dari mazhab Syafi’i. Hanya kadang-kadang dalam
keadaan tertentu untuk tidak terlalu melawan budaya konvensional – berpaling ke
mazhab lain.
Dengan menganut salah satu dari
empat mazhab dalam fiqih, NU sejak berdirinya memang mengambil sikap dasar
untuk “bermazhab”. Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya
pengambilan hukum dari referensi ("maraji’) berupa kitab-kitab fiqih yang
pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: ‘ibadah,
mua’amalah, munakahah (hukum keluarga) dan jinayah/qadla (pidana/peradilan).
Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul masa’il mengarahkan orientasinya
dalam pengambilan hukum kepada aqwal al-mujtahidin (pendapat para mujtahid)
yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan qaul manshush
(pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak
ditemukan, maka akan beralih ke qaul mukharraj (pendapa thasil takhrij). Bila
terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka diambil yang paling kuat sesuai dengan
pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat
dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai
dengan situasi kebutuhan hajjiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun
dlaruriyah (kebutuhan primer).
Dalam memutuskan sebuah hukum,
sebagaimana dimaklumi, NU mempunyai sebuah forum yang disebut bahtsul masa’il
yang dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah (legislatif). Forum ini bertugas
mengambil keputusan tetang hukum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masa’il
fiqhiyah (masalah fiqih) maupun masalah katauhidan dan bahkan masalah-masalah
tasawuf (tarekat). Forum ini biasanya diikuti oleh Syuriyah dan ulama-ulama NU
yang berada di luar struktur organisasi termasuk para pengasuh pesantren.
Masalah-masalah yang dibahas umumnya merupakan kejadian (waqi’ah) yang dialami
oleh anggota masyarakat yang diajukan kepada Syuriyah oleh organisasi ataupun
perorangan. Masalah-masalah itu setelah di inventarisasi oleh Syuriyah lalu
diadakan skala prioritas pembahasannya. Dan apabila dalam pembahasan itu
terjadi kemacetan (mauquf) maka akan diulang pembahasannya dan kemudian
dilakukan ke tingkat organisasi yang lebih tinggi: dari Ranting ke Cabang, dari
Cabang ke Wilayah, dari Wilayah ke Pengurus Besar dan dari PB ke Munas dan pada
akhirnya ke Muktamar.
Dari segi historis maupun
operasionalitas, bahtsul masa’il NU merupakan forum yang sangat dinamis,
demokratis dan “berwawasan luas”. Dikatakan dinamis sebab persoalan (masa’il)
yang dibahas selalu mengikuti perkembangan (trend) hukum di masyarakat.
Demokratis karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiai, santri
baik yang tua maupun muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang
diambil. Dikatakan “berwawasan luas” sebab dalam forum bahtsul masa’il tidak
ada dominasi mazhab dan selalu sepakat dalam khilaf. Salah satu contoh untuk
menunjukkan fenomena “sepakat dalam khilaf” ini adalah mengenai status hukum
bunga bank. Dalam memutuskan masalah krusial ini tidak pernah ada kesepakatan.
Ada yang mengatakan halal, haram atau subhat. Itu terjadi sampai Muktamar NU
tahun 1971 di Surabaya. Muktamar tersebut tidak mengambil sikap. Keputusannya
masih tiga pendapat: halal, haram atau subhat. Ini sebetulnya merupakan langkah
antisipatif NU. Sebab ternyata setelah itu berkembang berbagai bank dan lembaga
keuangan modern yang dikelola secara profesional. Orang pada akhirnya tidak
bisa menghindar dari persoalan bank.
***
Secara historis, forum bahtsul
masa’il sudah ada sebelum NU berdiri. Saat itu sudah ada tradisi diskusi di
kalangan pesantren yang melibatkan kiai dan santri yang hasilnya diterbitkan
dalam buletin LINO (Lailatul Ijtima Nahdlatul Oelama). Dalam buletin LINO,
selain memuat hasil, bahtsul masa’il juga menjadi ajang diskusi interaktif
jarak jauh antar para ulama. Seorang kiai menulis ditanggapi kiai lain, begitru
seterusnya. Dokumentasi tentang LINO ini ada pada keluarga (alm) KH. Abdul
Hamid, Kendal. Lewat LINO ini pula ayah saya (KH. Mahfudh Salam) saat itu
bertentangan dengan Kiai Murtadlo, Tuban
mengenai hukum menerjemahkan khutbah ke dalam bahasa Jawa atau Indonesia. Itu
bukan berarti tukaran (konflik), tetapi hannya sebatas berbeda pendapat dan
saling menghormati. Kiai Mahfudh membolehkan khutbah diterjemahkan sementara
Kiai Muratadlo tidak. Sampai sekarang tradisi khutbah di daerah Tuban tidak ada
yang diterjemahkan.
Sering muncul krtik bahwa forum
bahtsul masa’il NU tidak dinamis, hanya berorientasi pada qaul (pernyataan
verbal) ulama, bukan manhaj (metodologi) dan Syafi’iyyah sentris. Krtitik
tersebut sesungguhnya tidak seluruhnya benar. Misalnya dulu forum bahtsul
masa’il mengharamkan orang Islam memakai jas dan dasi karena dianggap tasyabbuh
(menyerupai) dengan orang kafir. Tetapi KH. Wahab Khasbullah sendiri setelah
merdeka selalu memakai sarung dan dasi. Ini tidak ada dalilnya (qaulnya). Itu
berdasakan manhaj. Tidak ada kitab-kitab fiqih yang secara tekstual menulis
“haruma al-dasi awa al- jas lainnahu…” (diharamkan dasi dan jas karena…).
Contoh lain misalnya, para kiai NU dalam memberikan fatwa hukum sering memakai
kaidah-kaidah fiqih atau ushul fiqih. Hanya saja masalahnya para kiai NU
meskipun sudah memberi fatwa hukum berdasarkan kaidah fiqih mereka tidak mau
kalau tidak ada landasan teks/nashnya. Jadi kelihatan tekstual tetapi
sebetulnya penuangan teks itu selah melalui proses berfikir manhajy yang
panjang dan njlimet.
Penuangan dasar teks ini, kemudian
menimbulkan adanya kesan bahwa kai NU hanya bermazhab fi al-aqwal (dalam
pendapat hukum) tidak fi al-manhaj (dalam metodologi). Tetapi sebenarnya, para
ulama NU juga memegangi dan mempelajari manhaj Imam Syafi’i. Hal ini terlihat
dalam kepustakaan mereka dan kurikulum pesantren yang diasuhnya. Kitab-kitab
seperti Waraqat, Hujjat al-Wushul, Lam’ al-Jawami’, al-Mushtasyfa, al-Ashbah wa
al-Nadha’ir, Qawaid Ibnu Abd al-Salam dan lain-lain banyak dijumpai pada
koleksi kepustakaan mereka dan dibaca (diajarkan) di beberapa pesantren. Dalam
hal ini metodologi itu digunakan utnuk memperkuat pemahaman atas masa’il
furu’iyah (masalah yang tidak prinsip) yang ada pada kitab-kitab fiqih di
samping sering juga diterapkan untuk mengambil langkah tandhir al-masa’il bi
nadhairiha (menetapkan hukum sesuatu
berdasarkan hukum atas sesuatu yang sama yang telah ada) tidak untuk
istinbath al-ahkam min mashadiriha al-ashliyyah (penggalian hukum dari sumber
pokoknya). Ini saya kira satu kekurangan
tersendiri.
Bagaimanapun rumusan fiqih yang
dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua
persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaannya
sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus berputar sesuai dengan ruang dan waktu.
Jika hanya melulu berlandaskan pada rumusan teks, bagaimana jika ada masalah
hukum yang tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fiqih? Apakah harus mauquf
(tak terjawab)?. Padahal memauqufkan persoalan hukum, hukumnya tidak boleh bagi
ulama (fuqaha). Disinilah perlunya “fiqih baru” yang mengakomodir permasalahan-permasalahan
baru yang muncul dalam masyarakat. Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj
yakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fiqih serta
qawa’id (kaidah-kaidah fiqih).
(Bersambung)
*Tulisan ini diambil dari tulisan KH
Sahal Mahfudz dalam pengantar buku Kritik Nalar Fikih NU, penerbit Lakpesdam
NU, Jakarta, 2002.
Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum
NU
Oleh : KH.MA. Sahal Mahfudz
Bagian kedua
Bagaimanapun rumusan fiqih yang
dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk memadai untuk
menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan
kebudayaannya sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus berputar sesuai dengan
ruang dan waktu. Jika hanya melulu berlandaskan pada rumusan teks, bagaimana
jika ada masalah hukum yang tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fiqih?
Apakah harus mauquf (tak terjawab)?. Padahal me-mauquf-kan persoalan hukum,
hukumnya tidak boleh bagi ulama (fuqaha). Disinilah perlunya “fiqih baru” yang
mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Dan
untuk itu kita harus kembali ke manhaj yakni mengambil metodologi yang dipakai
ulama dulu dan ushul fiqih serta qawa’id (kaidah-kaidah fiqih).
Pemikiran tentang perlunya “fiqih
baru” ini sebetulnya sudah lama terjadi. Kira-kira sejak 1980-an ketika mulai
muncul dan marak diskusi tentang “tajdid” karena adanya keterbatasan
kitab-kitab fiqih klasik dalam menjawab persoalan kontemporer di samping
munculnya ide konstekstualisasi kitab kuning. Sejak itu lalu berkali-kali
diadakan halaqah (diskusi) yang diikuti oleh beberapa ulama Syuriyah dan
pengasuh pondok pesantren untuk merumuskan “fiqih baru” itu. Kesepakatan telah
dicapai, yaitu menambah dan memperluas muatan agenda bahtsul masa’il yang tidak
saja meliputi persoalan hukum halal/haram melainkan juga hal-hal yang bersifat
pengembangan pemikiran keislaman dan kajian kitab.
Dalam halaqah ini juga disepakati
perlunya melengkapi referensi madzhab selain syafi’i dan perlunya penyusunan
sistematika bahasan yang mencakup pengembangan metode-metode dan proses
pembahasan untuk mencapai tingkat kedalaman dan ketuntasan suatu masalah.
Rumusan “fiqih baru” ini kemudian di bahas secara intensif pada Muktamar ke-28
di Krapyak, Yogyakarta yang kemudian dikukuhkan dalam Munas Alim Ulama di
Lampung, 1992. Di dalam hasil Munas tersebut diantaranya disebutkan perlunya
bermazhab secara manhaji (metodologis) serta “merekomendasikan” para kiai NU
yang sudah mempunyai kemampuan intelektual cukup untuk beristinbath langsung dari
teks dasar. Jika tidak mampu maka diadakan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif).
Bentuknya bisa istinbath (menggali dari teks asal/dasar) maupun ilhaq (qiyas).
Pengertian istinbath hukum di
kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu
al-Qur’an dan Sunnah akan tetapi – sesuai dengan sikap dasar bermazhab –
mentathibkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks
permasalahan yang dicari hukumnya. Sedangkan istinbath dalam pengertian pertama
(cenderung ke arah perilaku ijtihad yang oleh ulama NU dirasa sangat sulit
karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama di bidang
ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh yang namanya
muj’tahid. Sementara itu, istinbath
dalam pengertiannya yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan oleh
semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat kitab-kitab fiqih sesuai dengan
terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kalimat istinbath di kalangan NU terutama dalam kerja bahtsu
masa’il-nya Syuriyah NU tidak populer karena kalimat itu telah populer di
kalangan ulama NU dengan konotasinya yang pertama yaitu ijtihad, suatu hal yang
oleh ulama Syuriyah tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai
gantinya dipakai kalimat bahtsul masa’il yang artinya membahas masalah-masalah
waqi’ah (yang terjadi) melalui maraji’(referensi) yaitu kutubul-fuqaha
(kitab-kitab karya para ahli fiqih).
Kenyataan mengenai terlalu
dominannya Mazhab Syafi’i memang ada. Pendapat para ulama Syafi’iyah masih cukup
dominan dalam forum bahtsul masa’il NU. Namun demikian perlu saya jelaskan
bahwa dominasi Sayfi’i bukan berarti ulama NU menolak pendapat (aqwal) ulama di
luar Sayif’iyyah. Hal itu dilakukan lantaran para kiai NU memang tidak
mempunyai referensi lain di luar mazhab Syafi’i semisal kitab al-Mudawanah
(Imam Malik?), Kanzal al-Wushul (Bazdawi al-Hanafi), al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam
(Ibnu Hazm), Raudhat al-Nadhir wa Jannat all-Munadhir (Ibnu Qudamah al-Hanbali)
dan lain-lain. Karena itu jangan heran jika keputusan bahtsul masa’il selalu
sarat dengan kitab-kitab Syafi’i mulai dari yang paling kecil semisal Safinat
al-Shalah karya Imam Nawawi Banten sampai
dengan yang paling besar seperti al-Um atau al-Majmu’. Sangat sulit dijumpai
dalam kepustakaan mereka kitab-kitab lain di luar Syafi’i kecuali sebagian
kecil ulama. Ini karena di samping harganya belum terjangkau juga lantaran
kitab-kitab itu masih sulit diperoleh di Indonesia. Seandainya mereka mempunyai
referensi lain selain mazhab Syafi’i tentu mereka akan menerima sepanjang bisa dinalar dan tidak bertentangan dengan
akar cultural masyarakat setempat.Hal ini terbukti dengan keputusan bahtsul
masa’il NU belakangan ini yang diwarnai dengan pendapat di luar mazhab Syafi’i.
Walaupun terlihat kuat pengaruh
mazhab Syafi’i bukan berarti menolak apalagi antipati terhadap ulama lain.
Sejak dulu para kiai tidak mengharuskan Syafi’i saja. Satu misal, masyarakat di
banyak daerah menggunakan qaul di luar Syafi’i mengenai padi yang belum
dizakati tapi si penuai padi sudah diberi upah. Padahal, memberi upah kepada
penuai padi (istilah jawa derep) sementara padi belum di zakati menurut Syafi’i
tidak boleh. Akan tetapi sejak dulu, sejak saya masih kecil, upah selalu di
berikan sebelum padi di zakati. Pendapat ini diambail dari Imam Ahmad. Semua
kiai memakai itu karena mereka umumnya petani. Hanya saja intiqal (pindah) ke
mazhab-mazhab itu masih menggunakan referensi kitab Syafi’iyah yang menyinggung
mazhab lain dan mereka tidak pernah mengambil referensi langsung dari mazhabnya.
Baru sekarang ada perkembangan sejumlah kiai sudah mengoleksi kitab-kitab
non-Syafi’iyah. Jadi persoalan ini jangan lantas dijadikan dasar kritik. Memang
mereka tidak memiliki kitab lain. Misalnya, Kiai Bisri Syansuri pada saat
membolehkan KB berpegang pada pendapat Ghazali yang menyatakan kebolehan KB,
meskipun dengan motifasi supaya istri awet muda. Pendapat ini sangat luar biasa
sebab dulu kiai-kiai lain masih ketat soal ber-KB ini. Secara budaya, NU sudah
biasa mempraktikkan pendapat di luar Syafi’i.
(Bersambung)
*Penulis adalah Rais 'Aam Syuriah
PBNU
Bagian terakhir
Memang harus diakui keputusan
Lampung belum operasional di seluruh wilayah NU karena di samping
sosialisasinya masih lemah juga keterbatasan referensi yang tersedia. Meskipun
begitu sudah ada perkembangan misalnya soal intiqal atau pindah mazhab. Dulu
takut talqif sekarang sudah tidak lagi.
Saya masih ingat perkataan Kiai
Wahab, meskipun kelakar tapi sangat menarik. Suatu saat (ketika saya masih di
pesantren) saya sowan ke tempat Kiai Bisri Syansuri di Jombang yang kebetulan
di sana sedang ada pertemuan pengurus Syuriyah PB NU. Di sana ada Kiai Wahab,
Kiai Jalil Kudus, Kiai Dahlan dan lain-lain sedang membahas sisa-sisa bahtsul
masa’il yang belum di bahas di Muktamar.
Pada waktu itu, Kiai Bisri dan
Kiai Wahab pertentangan (berdebat sengit) membahas soal status Yayasan Yamualim
di Semarang yang mengurusi ibadah haji. Kiai Bisri menentang pendirian Yayasan
itu karena tergolong “muamalat yang tidak jelas”. Sementara Kiai Wahab
membolehkan karena di samping omsetnya cukup besar, NU juga sangat
memerlukannya. Saat itu Kiai Wahab sempat bilang “Pekih itu kalau rupek ya di
okeh-okeh” (fiqih itu kalau menyempitkan ya diupayakan agar longgar).
Pernyataan ini memang kelakar tetapi mengandung nilai filosofis yang tinggi.
Maksudnya, fiqih itu merupakan produk ijtihady. Karena produk ijtihad maka
keputusan fiqih bukan barang sakral, yang tidak boleh di ubah meskipun situasi
sosial budayanya sudah melaju kencang.
Pemahaman yang mensakralkan fiqih
jelas keliru. Dimana-mana yang namanya fiqih adalah “al-ilmu bi al-ahkam
al-syar’iyah al-amalaiyah al-muktasab min adillatiha tafshiliyah”. Definisi
fiqih sebagai al-muktasab (sesuatu yang digali) menunjukkan pada sebuah
pemahaman bahwa fiqih lahir melalui serangkaian proses penalaran dan kerja
intelektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum
praktis. Produk fiqih tidak hanya hasil dari penalaran intelektual
(rasionalisasi) berdasarkan logika-logika keilmuan tertentu tetapi juga kerja ilmiah.
Contohnya adalah penggunaan metode riset ('istiqra’) yang dilakukan Imam
Syafi’i untuk melahirkan hukum fiqih tentang menstruasi (haidl).
Para ulama klasik juga sering
melibatkan disiplin ilmu lain diluar fiqih untuk menentukan status hukum
masalah tertentu. Misalnya ilmu falak (hisab) dan ikhtilaf al-mathla’ dalam hal
penentuan awal Ramadhan dan Syawal, ma’rifat al-qiblah dan ma’rifar al- waqti
dalam hal shalat dan penemuan obat-obatan dalam kontrasepsi (man’ al-hamli,
ibhta’ al hamli) dalam masalah nikah. Semua itu menunjukkan bahwa fiqih
merupakan “produk ijtihady”.
Sebagai produk ijtiahd, maka sudah
sewajarnya jika fiqih terus berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan
sosio-politik dan sosio-budaya serta pola pikir yang melatarbelakangi hasil
penggalian hukum sangat mungkin mengalami perubahan. Para peletak dasar fiqih,
yakni imam mazhab (mujtahidin) dalam melakukan formasi hukum Islam meskipun
digali langsung dari teks asal (al-Quran dan Hadis) namun selalu tidak lepas
dari pertimbangan “konteks lingkungan” keduanya baik asbab al-nuzul maupun
asbabul- wurud. Namun konteks lingkungan ini kurang berkembang dikalangan NU.
Ia hanya dipandang sebagai pelengkap (komplemen) yang memperkuat pemahaman
karena yang menjadi fokus pembahasannya adalah norma-norma baku yang telah
dikodifikasikan dalam kitab-kitab, furu’
al-fiqh. Fungsi syarah, hasyiyah, taqrirat dan ta’liqat juga dipandang sebagai
“figuran” yang hanya berfungsi memperjelas pemahaman muatan teks. Meskipun di
dalam kitab-kitab syarah, hasyiyah, ta’liqat sering ditemukan adanya kritik,
penolakan (radd), counter, perlawanan (i’tiradl), atas teks-teks matan yang
dipelajari dan dibahas, namun hal itu kurang mendapat kajian serius di
lingkungan NU.
Karena sadar bahwa fiqih merupakan
produk ijtihad maka para fuqaha terdahulu baik al-a’immah al-arba’ah maupun
yang lain meskipun berbeda pandangan secara tajam, mereka tetap menghormati
pendapat lain, tidak memutlakkan pendapatnya dan menganggap ijtihad fuqaha lain
sebagai keliru. Mereka tetap berpegang pada kaidah al-ijtihad la yunqadlu bi
al-ijtihad, yakni bahwa suatu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain.
Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Hasil ijtihad seorang fuqaha
mungkin tidak pas pada ruang dan waktu tertentu tetapi sesuai untuk ruang dan waktu yang berbeda. Disinilah fiqih
menunjukkan wataknya yang fleksibel, dinamis, realistis, dan temporal, tidak
kaku dan tidak pula permanen.
Dalam konteks ini pula maka
kriteria mu’tabar yang sudah direduksi menjadi hanya melulu kitab-kitab mazhab
empat sebetulnya tidak senafas dengan semangat fiqih sebagai produk ijtihad.
Mengapa demikian? Sebab kriteria mu’tabar dan ghairu mu’tabar berarti disitu
ada pandangan yang mengunggulkan pendapat imam tertentu dan merendahkan
pendapat imam lain. Ini sudah menyalahi kaidah “al-ijtihad la yunqadlu bi
al-ijtihad” diatas. Masalah kutub al-mu’tabarah ini dirumuskan di Muktamar
Situbondo (tahun 1984). Saat itu saya sebagai ketua komisi dan masih sebagai
Rais Syuriyab PWNU Jateng. Kutubul-mu’tabarah itu maksudnya kitab-kitab
Ahlussunah dan dipersempit lagi kitab-kitab madzahib. Kitab-kitab di luar ahl
madzahib tidak boleh dipakai. Contohnya kitab-kitab yang mengkritik tawasul,
praktik tarekat, kewalian dan lain-lain seperti karya Ibnu
Taimiyah atau Ibnul Qoyyim.
Saat itu saya sudah menentang
pendapat ini. Waktu itu saya menggunakan kaidah atau pepatah Arab: khuz ma
shafa watruk ma qadlara (ambillah yang jernih dan tinggalkan yang keruh). Para
kiai waktu itu tidak setuju pendapat saya dan mereka mengambil sikap syaddan li
dzari’ah (preventif). Dengan alasan supaya umat tidak terjerumus maka
kitab-kitab tersebut dilarang saja. Karena saya kalah suara, saya tidak bisa
berbuat lebih. Padahal yang namanya pendapat tentu bisa salah bisa benar karena
itu jangan menggunakan pendekatan like & dislike, ini mu’tabar, itu tidak.
Alasan saya, disamping untuk menghindari fanatisme bermazhab juga kitab-kitab
yang ditolak itu tidak semuanya bertentangan dengan Sunni. Hanya mungkin pada
bagian tertentu saja yang kebetulan berbeda. Hanya gara-gara dalam bab
“tawasul” kitab ini mengecamnya, mengkritik para wali, lantas semua kitab
tulisan mereka tidak boleh dipakai. Prinsipnya mana yang “reasonable” dan
“applicable” bisa digunakan. Tentu tetap harus mempertimbangakn latar budaya
masyarakat agar kita bisa diterima oleh semua komunitas yang majemuk ini.
Lebih jauh, harus ditegaskan bahwa
muara fiqih adalah terciptanya keadilan sosial di masyarakat. Sehingga Ali bin
Abi Thalib pernah berkata: “Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan
keadilan meskipun ma’a al-kufri dan negara itu akan hancur dengan kezaliman
meskipun ma’a al-muslimin”. Ibnu Taimiyah juga pernah berkata: “Allah akan
menegakkan negara yang adil meskipun (negara) kafir dan Allah akan menghancurkan negara yang zalim
meskipun (negara) Muslim”. Dalam kerangka berfikir ini, maka seandainya ada
produk fiqih yang tidak bermuara pada terciptanya sebuah keadilan di masyarakat
maka harus ditinggalkan. Misalnya “fiqih politik” (fiqh siyasah) yang
seirngkali diktum-diktumnya tidak seirama dengan gagasan demokrasi yang
mensyaratkan keadilan dan persamaan hak manusia di depan hukum. Rumusan fiqih
siyasah klasik biasanya menempatkan kelompok non-Muslim sebagai “kelas dua”
bukan sebagai entitas yang sederajat dengan kaum Muslim. Saya rasa pandangan
ini selain bertabrakan dengan gagasan demokrasi modern juga bertentangan dengan
ide negara-bangsa (nation-state) seperti Indonesia. Profesionalisme, kemampuan
atau kapabilitas mestinya yang menjadi pilihan utama, bukan Muslim atau tidak,
bukan laki-laki atau perempuan.
Ada satu contoh kecil. Suatu hari
saya menitipkan barang kepada seorang yang dapat dipercaya dan kebetulan ia
bukan Muslim. Pertanyaannya apakah boleh menitipkan barang kepada dia? Kan lucu
kalau tidak boleh. Tentu tidak semua persoalan harus melibatkan non-Muslim
dengan dalil demokrasi. Kalau mengenai urusan-urusan yang berkaitan dengan
permasalahan umat Islam seperti penyusunan UU zakat tentu mereka tidak boleh
dilibatkan, sebab bukan kompetensinya. Jadi, prinsipnya pada kata keadilan
(kemaslahatan). Maka kalau ada fiqih-fiqih klasik yang tidak relevan atau tidak
bermuara pada keadilan maka harus dibuat fiqih baru. Harus diingat bahwa yang
namanya fiqih itu mesti ijtihady. Fiqih siyasah itu sendiri bukan sebatas
kekuasaan tapi lebih pada kebijakan-kebijakan yang dapat menimbulkan
kemaslahatan umum. Rasul sendiri pernah berkata: “Antum a’lamu biumri
dunyakum”. Artinya, pada wilayah “non-ibadah” semisal kepolitikan, umat Islam
diberi kebebasan penuh untuk me-rumuskan dasar-dasar politik yang adil dan
egaliter sehingga bisa diterima semua pihak. Rumusan itu harus mengacu pada
prinsip maqashid syari’ah yang meliputi lima hal, yaitu (1) melindungi agama
(hifdz al-din), (2) melindung jiwa dan keselamtan fisik (hifdz al-nafs), (3)
melindungi kelangsungan keturunan (hifdz al-nasl), (4) melindungi akal pikiran
(hifdz al-‘aql), (5) melindungi harta benda (hifdz al-mal). Rumusan lima
maqashid ini memberikan pemahaman bahwa Islam tidak mengkhususkan perannya
hanya dalam aspek pemyembahan Tuhan dalam arti yang terbatas pada serangkaian
perintah dan larangan yang tidak dapat secara langsung dipahami manfaatnya.
Dalam kerangka pandang ini,maka aspek kehidupan apapun yang melingkupi
kehidupan manusia (kecuali yang bersifat ubudiyah murni) harus disikapi dengan
meletakkan kemaslahatan sebagai bahan pertimbangan. Karena dengan hanya menjaga
stabilitas kemaslahatan inilah tugas-tugas peribadatan dilaksanakan dengan
baik.
***
Demikianlah catatan pengantar dari
saya, selanjutnya ke depan para ahli bahtsul masa’il harus mengantisipasi
kemajuan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Artinya bahwa kebutuhan
manusia dan proses perubahan itu akan terus bergulir secara cepat. Kalau tidak
cepat direspons kita akan ketinggalan dan nanti akan ada satu masalah yang
mauquf.. Dan kalau sampai ada masalah hukum yang mauquf maka hukumnya dosa bagi
para ahli fiqih. Dalam merumuskan masalah hukum harus tetap berpegang pada
prinsip maqashid al-syari’ah serta memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang lebih
bersifat nilai (baca: legal value). Nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan,
kejujuran, kebebasan, persamaan di muka hukum, perlindungan hukum terhadap
masyarakat tak seagama serta menjunjung tinggi supremasi hukum Allah. Dengan
begitu keputusan bahtsul masa’il tidak kehilangan relevansi dengan semangat
demokrasi dan pluralisme.
Atas penerbitan buku bunga rampai
yang membahas mengenai tradisi system bahtsul masa’il NU yang umumnya ditulis
para generasi muda NU ini saya sangat menyambut positif jika ditulis dengan
jujur dan berdasarkan pada fakta yang terjadi. Diharapkan dengan penerbitan
buku ini semakin memicu dan meningkatkan profesionalitas dan kinerja para ahli
bahtsul masa’il dalam menjalankan kerja ilmiahnya.
***
*Penulis adalah Rais 'Aam Syuriah
PBNU