KONSEP FI JAMA’ATIN DALAM SALAT JUMAT

KEDUDUKAN “FI JAMA’ATIN DALAM SALAT JUMAT
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةٍ عَبْدِ مَمْلُوكٍ ، أْوِ امْرَأَةٍ ، أَوْ صَبِىٍّ ، أَوْ مَرِيضٍ
Rumusan Masalah:
1.     Berjamaah salat jumat sebagai azimah, maka rukhsah salat jumat munfarid karena da uzur (tidak ada orang lain untuk berjamaah)
2.    Berjamaah salat jumat sababul wujub. Ada berjamaah ada kewajiban salat jumat, tidak ada berjamaah tidak ada kewajiban salat jumat/
3.    Berjamaah salat jumat syartus shihhah. Tidak berjamaah tidak sah salat jumat. Ada berjamaah tidak mesti sah salat jumat.

Rumusan “I’rab Ushuli”
Kalimat shalatul Jum’ah disebut mahkum bih, padanya terdapat dua hukum: pertama hukum taklifi. Kedua, hukum wadh’I (sababul wujub dan syarat shihhah). Pada hadis  itu yang menjadi hukum taklifi-nya adalah haqqun wajibun. Adapun hukum wadh’I sababul wujubnya adalah yaumul Jumat. Sedangkan syarat shihhahnya adalah syarat-syarat yang berlaku untuk salat pada umumnya. Karena salat Jumat tidak dikecualikan dari keumuman lafal salat.
‘ala kulli muslimin disebut mukallaf, padanya terdapat sabab & syarat taklif. Sababut taklifnya adalah muslim, laki-laki, sehat, dan merdeka  (mafhum dari illa arba’atan: ‘abdun mamluk, imraah, maridh). Adapun syarat taklifnya adalah aqil & baligh (mafhum dari arba’atan: sabiy)
Kalimat Fi Jama’atin secara lughah disepakati sebagai sifat (syibh jumlah ba’da nakirah), namun secara hukum wadh’i masih diikhtilafkan apakah sababul wurud, syarat shihhah, atau Azimah? Apabila sebagai sabab, maka sababnya menjadi dua (yaumul jumat & fi jama’atin). Apabila sebagai syarat, maka menjadi syarat tambahan selain syarat-syarat yang berlaku untuk salat pada umumnya. Apabila sebagai azimah, maka dapat berubah menjadi rukhshah bila terdapat uzur syar’i.
Berbagai Variasi Metodologi
Untuk menentukannya, apakah dapat digunakan pendekatan lughah di atas? Misalnya melalui analisa mahall. Dalam analisa ini terdapat tiga opsi:
Pertama;
(a)  Apabila mahall-nya jar, maka sebagai sifat bagi kata muslimin, implikasinya fi jama’atin sebab mukallaf. Logika sabab-nya, muslim yang berjama’ah mukallaf salat Jum’at. Muslim yang tidak berjama’ah bukan mukallaf Jum’at. Berjama’ah dalam konteks ini bukan dalam pengertian salat berjama’ah, tapi kumpulan orang.
(b) Apabila mahall-nya marfu, maka sebagai sifat kata wajibun, implikasinya fi jama’atin sabab wujub salat Jumat. Logika sabab-nya, ada berjama’ah ada wajib Jum’at. Tidak ada berjama’ah tidak ada wajib Jum’at. Berjamaah dalam konteks ini salat berjamaah, bukan kumpulan orang.

Kedua:
Mahall-nya disepakati marfu’, maka disepakati pula sebagai sifat bagi kata wajibun, hanya implikasinya berbeda, yang satu menempatkan fi jama’atin sebagai Sababul Wujub, yang lain sebagai syarat shihhah.
Logika sabab-nya, ada berjama’ah ada wajib Jum’at. Tidak ada berjama’ah tidak ada wajib Jum’at.
Logika syaratnya, tidak ada berjama’ah tidak sah salat Jum’at. Ada berjama’ah tidak mesti sah salat Jumat (karena perlu kepada syarat lain).
Ketiga:
Mahall-nya disepakati majrur, maka disepakati pula sebagai sifat bagi kata muslim, hanya implikasinya berbeda, yang satu menempatkan fi jama’atin sebagai Sabab wujub, yang lain sebagai syarat shihhah. Logikanya sama dengan di atas.
B. Pendekatan Nash
Imam al-Bukhari telah membuat bab dengan judul
باب الرخصة إن لم يحضر الجمعة في المطر
Maksudnya bab tentang penjelasan hukum rukhsah jika tidak menghadiri salat jumat pada waktu turun hujan.
Judul ini merupakan kesimpulan al-Bukhari dari hadis Ibnu Abbas.
قال ابن عباس لمؤذنه في يوم مطير إذا قلت أشهد أن محمدا رسول الله فلا تقل حي على الصلاة قل صلوا في بيوتكم . فكأن الناس استنكروا قال فعله من هو خير مني إن الجمعة عزمة وإني كرهت أن أحرجكم فتمشون في الطين والدحض
Bahwa ia berkata kepada muazinnya pada hari turun hujan, “Apabila engkau telah sampai pada ucapan, “Asyhadu Al-Laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammad ar rasuulullah”, maka jangan engkau lanjutkan dengan ucapan: “Hayya ‘alas shalah”. Katakan, ‘Shalluu fi buyuutikum’ (salatlah kalian di rumah kalian). Orang-orang nampaknya mengingkari hal itu. Maka ia berkata, “(Apakah kalian heran dengan hal itu) padahal hal itu pernah dilakukan oleh seseorang yang lebih baik dariku (Rasulullah saw.). Salat Jumat adalah azimah. (Tetapi) saya tidak suka membuat kalian merasa berat, berjalan di atas lumpur kotor.
Yang dijadikan wajhul istidlal oleh al-Bukhari kalimat
إن الجمعة عزمة وإني كرهت أن أحرجكم فتمشون في الطين والدحض
Yang dipahami oleh al-Bukhari dari perkataan Ibnu Abbas itu bahwa menghadiri salat Jumat itu ‘azimah, namun ketika ada uzur di antaranya hujan, berubah menjadi rukhsah.
Dari judul itu dapat dipahami bahwa berjama’ah salat Jumat hukumnya ‘azimah, ketika ada uzur hingga tidak dapat berjama’ah maka rukhsah salat Jumat tanpa berjama’ah.

Catatan;
Jika terjadi sendirian, tidak ada orang, apakah akan salat Jumat atau tidak?
: Akan melaksanakan salat Jumat, tanpa khutbah. Hanya salat saja 2 rakaat.