(Catatan Untuk Dr. M. Abdurrahman)
Oleh: Teteng Sopian dan Syahidin
Ilmu hadis merupakan salah satu dari sekian banyak anugerah dari Allah yang diperoleh umat Islam, yaitu melalui gerakan anti pemalsuan hadis yang dilakukan para ulama untuk membendung gerakan pemalsuan hadis yang terjadi sekitar tahun 41H. Jerih payah itu menunjukkan tanggung jawab mereka dalam menjaga kemurnian Sunnah. Oleh sebab itu, wajib kiranya kita berterima kasih dan menghargai segenap upaya para ulama yang telah mengklasifikasikan hadis kepada sahih, hasan, dan dha’f, karena dengan washilah (perantaraan) mereka kita memiliki landasan epistemologi kualitas hadis.
Meskipun demikian, para ulama kerapkali dianggap berbeda pendapat dalam mensikapi pengamalan hadis dha’if. Perbedaan ini dengan mudahnya dijadikan “senjata” untuk menjustifikasi suatu persoalan atau amalan yang seharusnya dibahas secara ilmiah, namun dicap bahwa hal itu merupakan khilafiah, yang sering dikambinghitamkan sebagai biang perpecahan, bahkan pemicu konflik horizontal. Oleh sebab itu, apapun upaya yang dilakukan dalam memelihara ukhuwah islamiyyah jangan sampai mengorbankan standar ilmiah.
Dalam menyikapi pengamalan hadis dha’if, para ulama dikelompokkan menjadi tiga madzhab:
Madzhab pertama
لاَيُعْمَلُ بِهِ مُطْلَقًا لاَفِى الْفَضَائِلِ وَلاَ فِى الأَحْكَامِ
“Hadis dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak, baik dalam urusan fadhailul amal (keutamaan amal) maupun hukum”
Pendapat ini dikemukan oleh Ibnu Sayyidin Nas dari Yahya bin Main, dan menjadi pegangan Abu Bakar Ibnul Arabi, Imam Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Hazm. Ushulul Hadits, 1989:351.
Madzhab kedua:
أَنَّهُ يُعْمَلُ بِالْحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ مُطْلَقًا
“Hadis dha’if dapat diamalkan secara mutlak (tidak terbatas dalam urusan apa saja)”
Pendapat ini dinisbahkan (disandarkan) kepada beberapa imam, di antaranya Ahmad dan Abu Daud. Manhajun Naqd fi Ulumil Hadits, 1981:291
Madzhab ketiga:
أَنَّهُ يُعْمَلُ فِى الْفَضَائِلِ وَالْمَوَاعِظِ وَنَحْوِ ذَلِكَ إِذَا تَوَفَّرَتْ لَهُ بَعْضُ الشُّرُوْطِ :
1- أَنْ يَكُوْنَ الضَّعْفُ غَيْرَ شَدِيْدٍ.
2- أَنْ يَنْدَرِجَ تَحْتَ أَصْلٍ مَعْمُوْلٍ بِهِ.
3- أَنْ لاَيَعْتَقِدَ عِنْدَ الْعَمَلِ بِهِ ثُبُوْتَهُ بَلْ يَعْتَقِدَ الإِحْتِيَاطَ.
“Hadis dha’if dapat diamalkan dalam urusan fadailul amal, nasehat, dan yang semacam itu, apabila memenuhi syarat-syarat 1) kedaifannya tidak parah, 2) harus berada dibawah hadis pokok yang ma’mul bih (diamalkan), 3) ketika mengamalkannya tidak boleh berkeyakinan bahwa hadis itu tsubut (benar-benar adanya), tetapi berkeyakinan semata-mata untuk ihtiyath (kehati-hatian).”
Pendapat ini dikemukan oleh Syekh Islam Ibnu Hajar. Tadribur Rawi, 1993: 196-197. Taisiru Mushthalahil Hadits, hal. 65
Yang perlu ditelaah secara cermat dari pengelompokkan di atas, bukan sekedar perbedaannya, namun lebih jauh dari itu adalah penisbahan pendapat-pendapat tersebut kepada imam-imam tertentu, khususnya Imam Ahmad.
Penisbahan kepada beliau di atas sering kali dimanfaatkan oleh mereka yang memalsukan sesuatu ke dalam urusan fadhailul amal dan akhlak, sehingga dalam Islam banyak ajaran bid’ah yang disangka sunnah. Dalam hal ini mereka berdalih, “Imam Ahmad membolehkan hadis dhaif diamalkan”. Oleh sebab itu, penisbahan pendapat kelompok kedua kepada Imam Ahmad perlu dikaji ulang sehingga dapat dipastikan tingkat akurasinya
Sikap Imam Ahmad
Ibnu Hazm dalam kitab-nya Al-Muhalla I:68 dan Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, VI:225-226/CD hadis Al-Alfiyyah lisunnatin Nabawiyyah, At-Turats Ver. 1.5 Th. 1999, meriwayatkan perkataan Imam Ahmad melalui putranya Abdullah bin Ahmad
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبِيْ يَقُوْلُ : أَلْحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ أَحَبُّ إِلَيْنَا مِنَ الرَّأْيِ
Dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, ia berkata, ’Saya mendengar bapakku berkata, ’Hadis daif lebih kami sukai daripada ra’yu (pendapat seseorang)”
Kemudian Al-Khatib Al-Bagdadi, dalam kitab-nya Al-Kifayah fi Ilmir Riwayah, hal. 213, meriwayatkan perkataan Imam Ahmad:
إِذَا رَوَيْنَا عَنْ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فِي الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ وَالسُّنَنِ وَالأَحْكَامِ تَشَدَّدْنَا فِي الأَسَانِيْدِ وَإِذَا رَوَيْنَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فيِ فَضَائِلِ الأَعْمَالِ وَمَا لاَ يَضَعُ حُكْمًا وَلاَ يَرْفَعُهُ تَسَاهَلْنَا فِي الأَسَانِيْدِ
“Apabila kami meriwayatkan dari Rasulullah saw. tentang halal dan haram, sunnah-sunah, dan hukum-hukum, maka kami sangat keras/ketat di dalam urusan sanad. Sedangkan apabila kami meriwayatkan hadis dari Nabi tentang fadailul amal, dan apa saja yang tidak menimbulkan atau menghilangkan hukum, maka kami tidak keras/tidak ketat dalam urusan sanad”
Pernyataan serupa dikemukakan pula oleh Abdurrahman bin Mahdi, Al-Mustadrak alas Shahihain, I:666
Pernyataan di atas, dipahami sebagai sikap Imam Ahmad terhadap hadis dha’if; Dengan pernyataan itu, sebagian orang menganggap bahwa Imam Ahmad membolehkan hadis dha’if diamalkan secara mutlak (tidak terbatas dalam urusan apa saja). Ushulul Hadits, 1989:351. Sedangkan sebagian lagi beranggapan bahwa hadis dha’if dapat diamalkan secara mutlak, yaitu dalam urusan halal, haram, fardhu, dan wajib selama tidak didapati yang lainnya (tidak ada hadis sahih). Manhajun Naqd fi Ulumil Hadits, 1985:291.
Berangkat dari kenyataan di atas, persoalan paradigma dalam menentukan kriteria hadis dalam tulisan Dr. M. Abdurrahman (lihat, Risalah, No. 12 Th. 39 Pebruari 2002) dengan judul “Tranformasi Nilai-nilai Piagam Madinah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia:Telaah Haditsiah dan Tarikhiyyah”, menjadi sebuah wacana yang menarik untuk dikaji, terutama penisbahan salah satu paradigma terhadap Imam Ahmad, yakni dalam urusan selain akidah dan hukum, seperti tarikh, Imam Ahmad bersikap longgar, yaitu boleh dengan sanad yang tak terlalu sahih.
Apakah penisbahan tersebut memenuhi standar ilmiah atau tidak, kita perlu uji petik tingkat akurasinya. Ada dua aspek dari pernyataan Imam Ahmad di atas yang mendesak untuk dikaji, yaitu aspek sejarah dan konsistensi.
Dr. M. Abdurrahman menulis bahwa sejak Imam Ahmad bin Hanbal atau sebelum munculnya Imam At-Tirmidzi – akhir abad ke-2 H. dan awal abad ke- 3 H – hadis hanya terdiri atas dua kategori, yaitu hadis shahih dan hadis dha’if (lemah). Namun, hadis dha’if pada masa ini termasuk di dalamnya yang pada masa At-Tirmidzi kategori hadis hasan. (Risalah, No. 12 Th. 39 Pebruari 2002, hal. 39).
Dari keterangan di atas, kami menangkap pesan bahwa kedua ungkapan Imam Ahmad tersebut harus dipahami secara proporsional dan kontekstual, karena keduanya tidak dapat dilepaskan begitu saja dari aspek sejarah. Artinya, apakah dha’if yang dimaksud oleh Imam Ahmad itu kategori hadis hasan ataukah kategori hadis dha’if pada masa At-Tirmidzi dan selanjutnya ?
Melihat perkembangan hadis pada masa Imam Ahmad, Abdurrahman bin Mahdi, dan Abdullah bin Al-Mubarak, hadis yang telah memasyarakat terdiri atas dua kategori, yaitu sahih dan dha’if. Hadis sahih pada masa mereka disepakati sebagai hadis dengan derajat paling tinggi. Adapun hadis yang derajatnya di bawah itu, yakni yang dikategorikan hasan oleh para ahli periode berikutnya, dipandang sebagai bagian dari dha’if pada masa mereka.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan hadis dha’if di sini mengandung dua pengertian:
1. hadis dha’if yang kelemahannya sangat ringan atau kurang sedikit dalam memenuhi syarat-syarat sahih sebuah hadis, yang oleh para ahli periode selanjutnya dikategorikan hasan lidzatihi
2. hadis dha’if yang kelemahannya dikategorikan masih dapat tertolong apabila ditemukan mutabi atau periwayatan lain yang dapat dijadikan syahid, yang oleh para ahli periode selanjutnya dikategorikan hasan la lidzatihi/lighairihi
Memperhatikan aspek sejarah di atas, maka paradigma yang harus digunakan dalam memahami ungkapan “tasyaddadna” dan “tasahalna” adalah paradigma lama (masa mereka) bukan paradigma baru (masa setelahnya, apalagi masa sekarang ini). Dengan paradigma tersebut, pernyataan Imam Ahmad di atas dipahami oleh para ulama sebagai berikut:
كَانُوْا إِذَا رَوَوْا فِي الْحَلاَلِ والحرام يتشددون أي فلا يحتجون الا بأعلى درجات الحديث,
فان رووا في الفضائل ونحوها مما لا يمس الحل والحرمة يتساهلون أي لم يجدوا ضرورة للتشدد بل جنحوا الى قبول ما هو دونه في الدرجة وهو الحسن الذي لم تكن تسميته قد استقرت في عصرهم
فان رووا في الفضائل ونحوها مما لا يمس الحل والحرمة يتساهلون أي لم يجدوا ضرورة للتشدد بل جنحوا الى قبول ما هو دونه في الدرجة وهو الحسن الذي لم تكن تسميته قد استقرت في عصرهم
“Apabila meriwayatkan hadis dalam urusan halal dan haram, mereka tasyaddud, artinya tidak berhujjah kecuali dengan derajat hadis yang paling tinggi, yang pada masa mereka disepakati dengan nama “shahih”. Jika meriwayatkan hadis dalam urusan fadilah amal dan sejenisnya yang tidak bersentuhan dengan halal dan haram, mereka tasahul, artinya tidak memerlukan tasyaddud, tetapi cenderung untuk menerima hadis di bawah shahih derajatnya, yaitu hasan yang penamaannya belum begitu diakui pada masa mereka”
Dengan penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa yang dimaksud dengan tasyaddud (sangat keras) di dalam hadis-hadis hukum itu tidak mengganggap kecuali harus benar-benar memenuhi syarat sahih. Sedangkan maksud tasahul (tidak keras) itu menerima hadis yang kurang sedikit dalam memenuhi syarat-syarat sahih, dan masuk dalam kategori hasan. Ungkapan tersebut sama dengan “dha’if yang dapat diamalkan”.
Kemudian memperhatikan kedudukan Imam Ahmad, di samping sebagai mukharrij beliau terkenal juga sebagai ahli jarh dan ta’dil. Beliau tidak menerima hadis-hadis dha’if yang kelemahannya berat, seperti sanad yang di situ ada rawi yang bathil, munkar, ghaflah (ceroboh), tertuduh dusta, dan lain-lain. Karena itu, terlalu tasahul (gegabah) apabila pernyataan Imam Ahmad di atas disimpulkan bahwa hadis dha’if dapat diamalkan secara mutlak (tidak terbatas dalam hal apa pun).
Dengan demikian, jika pernyataan Imam Ahmad di atas kita amati secara cermat sebenarnya beliau tidak berpendapat bahwa hadis dha’if boleh diamalkan walaupun dalam urusan selain akidah dan hukum. Justru beliau dan kawan-kawannya yang sependapat menolak hadis dha’if untuk diamalkan. Sikap ini sama dengan madzhab pertama dan ketiga. Wallahu A’lam
Penulis, santri Tahdzibul Washiyyah, Gumuruh Bandung
Imam Ahmad lahir tahun 164 H. wafat 241 H.