SALAT MERUPAKAN IBADAH MAHDHAH

SALAT MERUPAKAN IBADAH MAHDHAH
Oleh: Ibnu Muchtar


Nabi saw. telah diberi pesan oleh Allah dengan firman-Nya
{ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَى لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ } - النحل : 44 -
Artinya: "...dan Kami turunkan kepadamu Alquran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka..." (Q.S. Al Nahl:44).
Beliau telah menjalankan tugas ini dengan sempurna, dan salatlah yang paling banyak beliau terangkan secara teori dan praktek. Beliau bahkan pernah melakukan salat di atas mimbar. Di situ beliau berdiri dan ruku', kemudian beliau bersabda kepada para sahabat:
إِنَّمَا صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوْا بِيْ وَلِتَعْلَمُوْا صَلاَتِيْ - رواه البخاري و مسلم -
Artinya: "Ini aku lakukan tiada lain agar kamu bermakmum kepadaku dan mengetahui salatku," (H.R. Bukhari dan Muslim).
Nabi saw. juga mengharuskan kita meneladani salat beliau. Sabdanya:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ

Artinya, "Salatlah kalian sebagaimana kalian mengetahui bagaimana tata cara aku salat," (H.R. Bukhari).

Kata ro-a artinya bukan melihat apabila maf’ulnya dua, tetapi artinya yakin atau mengetahui. Dalam Lisanul ‘Arab (XIV:291) ditegaskan
الرُّؤْيَة بالعَيْن  تَتَعَدَّى إِلَـى مَفْعُوْلٍ وَاحِدٍ، وَبِمَعْنَى العِلْـمِ  تتعدَّى   إِلَـى مَفْعُوْلَـْيِن
Ro-a artinya melihat dengan mata bila muta’addi kepada satu maf’ul, dan dengan arti mengetahui bila muta’addi kepada dua maf’ul

Dengan demikian karena kata “raitumuni” muta’addi kepada dua maf’ul, yaitu “aku” dan “salat” maka artinya bukan melihat tapi mengetahui, baik dengan cara melihat maupun mendengar, yakni mengetahui apa yang dilakukan dan mendengar apa yang dibaca. Karena itu, para ulama membuat ta’rif salat antara lain sebagai berikut:
الصَّلاَةُ هِيَ عِبَادَةٌ تَتَضَمَّنُ أَقْوَالاً وَأَفْعَالاً مَخْصُوصَةً مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيرِ وَ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيمِ
Salat adalah Ibadah yang mengandung ucapan-ucapan dan amalan-amalan yang khusus, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam’
Bagi orang yang tidak sezaman dengan Nabi diperlukan ilmu tentang kaifiyat salat Nabi agar sesuai dengan perintah ini. Ada 3 macam kaifiyat salat yang perlu diketahui:
1. Tidak ada pilihan
- Berdiri (qiyam) dan Menghadap Kiblat (H.r. Muslim, Al-Bukhari, At-Tirmidzi
-  Takbiratul Ihram (H.r. Ahmad)
- Mengangkat Tangan ketika takbiratul ihram, hendak ruku, bangkit  dari ruku, dan bangkit dari tahiyyat awwal (H.r. Al-Bukhari)
-  Menyimpan Tangan Kanan di atas Tangan Kiri (H.r. Ahmad)
-  Membaca doa Iftitah (H.r. Abu Daud)
-  Membaca Ta’awwudz {H.R. Ahmad dan At Tirmidzi} 
- Membaca Al-Fatihah (termasuk bismillah) (H.r.Al-Bukhari dan Muslim)
- Mengucapkan aamien setelah al-Fatihah (H.r. Al-Jama’ah kecuali at-Tirmidzi)
- Membaca surat selain Al Fatihah pada dua rakaat pertama (H.r. Muslim)
- Takbir untuk ruku’ dan menyimpan kedua tangan di atas kedua lutut berikut bacaanya (H.r. Ahmad, At-Tirmidzi, Muslim)
-  Bangkit dari Ruku’berikut bacaannya(H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
- Berdiri I’tidal, tangan tidak bersedekap berikut bacaannya (H.r. Ahmad dan At-Tirmidzi)
-  Takbir untuk Sujud (H.r. Al-Bukhari)
- Sujud dengan tujuh anggota badan; 1) dahi dan hidung, 2) dua tangan sejajar dengan pundak dan sikut diangkat, 3) dua lutut, 4) dua telapak kaki dengan jari-jari menghadap ke arah kiblat. (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
-  Berdoa dalam Sujud (H.r. Muslim)
- Duduk iftirasy di antara dua sujud, yaitu duduk di atas kaki kiri yang terhampar dan kaki kanan tegak beridir dengan ujung jari menghadap ke arah kiblat (H.r. Ahmad dan Muslim)  
- Duduk Tasyahud/tahiyat awwal sama dengan duduk antara dua sujud (H.r. Abu Daud)
- Duduk tawarruk pada tasyahhud akhir, yaitu mengeluarkan kaki kiri dan duduk miring di atas punggung kaki itu dan lantai. Sedangkan kaki kanan sama seperti pada tahiyyat awal (H.r. Ahmad dan Abu Daud)
-  Isyarat telunjuk pada duduk tasyahhud (H.r. Muslim)
-  Bacaan dan salawat dalam tasyahhud (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
-  Salam ke sebelah kanan dan kiri (H.r. Muslim dan An-Nasai)
2. Boleh memilih
- Dalam mengangkat tangan
a)     sejajar dengan bahu (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
b)     Sejajar dengan telinga (H.r. Abu Daud dan An-Nasai)
c)      Bersamaan dengan takbir (H.r. Ahmad dan Abu Daud)
d)     Mengangkat tangabn kemudian takbir (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
e)     Takbir kemudian mengangkat tangan (H.r. Muslim)
-       Redaksi/bacaan doa iftitah
a)     ‘Subhanaka Allahuma wabihamdika watabarakasmuka wata’ala jaduka wala ilaha ghairuka’ (H.r. Muslim dan Abu Daud)
b)     Allahumma ba’id baini wabaina khatayaya… (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
c)     Wajjahtu wajhiya liladzi fatharas samawati wal ard… sampai astagfiruka wa atubu ilaka (H.r. Muslim dan Ahmad) bukan sampai wama ana muslimin.
-          Redaksi ta’awudz
a)     A’udzubillahis sami’il alimi minas syaithanirrajim min hamzihi wa nafkhihi wa naftsihi (H.r. Ahmad dan At-Tirmidzi)
b)     A’udzubillahi minas syaithanir rajim (H.r. Ibnul Mudzir dan Q.s. An-Nahl:98)
-          Baca Surat
a)     Satu surat dalam satu rakaat (H.r. Muslim)
b)     Lebih dari satu surat dalam satu rakaat (H.r. At-Tirmidzi)
c)      Surat yang sama pada dua rakaat (H.r. Abu Daud)
d)     Sebagian surat pada satu rakaat sebagian lagi pada rakaat yang lain (H.r. Ahmad dan Muslim)
-          Bacaan ketika ruku dan sujud
a)     Tidak ada batasan berapa kali dibaca (H.r. Abu Daud)
b)     Redaksi ketika ruku
-       subhana rabbiyal azhim (H.r. Muslim)
-       Subbuhun Quddusun rabbul malaikati war ruh (H.r. Ahmad, Muslim dan Abu Daud)
-       Subhanakallahumma rabbana wabihamdika allahummag firli (H.r. al-Jama’ah kecuali At Tirmidzi)
c)      Redaksi ketika sujud
-       Subhana rabbiyal a’la (H.r. Muslim)
-       Sama dengan ruku
Keterangan bacaan ruku dan sujud pakai tambahan wabihamdihi hadisnya daif, yaitu diriwayatkan oleh Muhamad bin Abdurrahman bin Laila, dia daif (lihat, Aunul Ma’bud III:122)
- bacaan ketika berdiri I’tidal
a)     rabbana walakal hamdu (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
b)     allahumma rabbana lakal hamdu (H.r. Ad-Daraquthni)
c)      rabbana lakal hamdu (H.r. al-Bukhari dan Muslim)
d)     allahumma rabbana walakal hamdu (H.r. Al-Bukhari)
- Bacaan dalam tasyahud
a) At tahiyyatu lillah wash shalawatu wath thayyibatu as salamu alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wa barakatuh assalamu alaina wa’ala ibadillahish shalihin, asyhadu anla ilaha illallah waasyhadu anna muhammadan abduhu warasuluh’ (H.r. Al-Bukhari)
b) At-tahiyyatul mubarakatus salawatut tayyibatu lillah as salamu alaika…(sama dengan di atas) (H.r. Muslim)
- Shalawat dalam tasyahud
a)     Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad kama shallaita ala ali Ibrahim wabarik ala Muhammad wa ala ali Muhammad kama barakta ala ali Ibrahim fil alamina innaka hamidun majid.’(H.r. Ahmad)
b)     Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad kama shallaita ala Ibrahim wa ali Ibrahim innaka hamidum majid wabarik ala Muhammad wa ala ali Muhammad kama barakta ala Ibrahim wa ali Ibrahim innaka hamidun majid. (H.r. An-Nasai)
- Bacaan salam
a)     Assalamu alaikum ke kanan dan kiri
b)     As salamu Alaikum warahmatullah ke kanan dan kiri
c)     As salamu Alaikum warahmatullahi wabarakatuhu ke kanan dan kiri.
d)     Atau boleh tidak satu paket seperti Assalamu alaikum ke kanan dan As salamu Alaikum warahmatullah ke kiri (lihat, H.r. Muslim dan Imam yang lima)
3. Kaifiyat yang dianggap ikhtilaf dengan sebab:
A.     Hadisnya sahih tapi beda pemahaman atau pemahaman kurang tepat, antara lain menyimpan tangan apakah di dada, diperut atau dibawah pusar. (di bawah pusar hadisnya daif, karena pada sanadnya ada rawi bernama Abdurrahman bin Ishaq. Nailul Authar II:203)
B.     Hadisnya daif
-          Cara turun ke sujud
a)  Tangan terlebih dahulu kemudian lutut (H.r. At-Tirmidzi)
b)  Lutut terlebih dahulu kemudian tangan (H.r. Abu Daud, Al-Baihaqi, al-Haitsami)
Keterangan: Hadis mendahulukan tangan daif, karena pada sanadnya ada rawi bernama Abdul Aziz bin Muhamad Ad-Darawardi, ia buruk hapalan. Tahdzibul Kamal XVIII:194.
-          Bentuk isyarat waktu tasyahhud
a)  telunjuk digerak-gerakkan (H.r. Ahmad, An-Nasai, Al-Baihaqi, dan Ad-Darimi)
b)  telunjuk tidak digerak-gerakan (H.r. Abu Daud, Al-Baihaqi, dan An-nasai)
c)  Mengangkat telunjuk ketika mengucapkan syahadat
Keterangan:
-       Hadis tidak menggerakkan telunjuk daif. Pada sanadnya terdapat rawi bernama Hajjaj bin Muhamad, ia pikun dan hapalannya berubah. Mizanul I’tidal I:464.
-       Mengangkat telunjuk ketika mengucapkan syahadat tidak didapatkan satu hadis pun meski yang daif.



Pada masa awal Islam, ketika para sahabat non Makki dan Hijazi sangat berat melafalkan huruf-huruf Arab dan ketika itu bahasa Arab masing terdengar asing bagi telinga mereka, namun tidak ada ada seorang pun di antara mereka yang diberi rukhshah oleh Rasululullah untuk melafalkan bacaan salat dengan bahasa masing-masing. Bahkan orang Arab yang belum hafal surat al-Fatihah pun tidak diizinkan oleh Rasulullah saw. untuk membaca dengan bahasa yang dikuasainya, yakni membaca menurut arti dan maksud surat al-Fatihah. Rifa’ah bin Rafi’ menerangkan bahwa Rasul bersabda kepada orang yang tidak hafal Alquran ketika salat
فَإِنْ كَانَ مَعَكَ قُرْآنٌ فَاقْرَأْ بِهِ وَإِلَّا فَاحْمَدِ اللَّهَ وَكَبِّرْهُ وَهَلِّلْهُ   - أبو داود -
Maka jika kamu hapal Alquran bacalah, dan jika tidak hendaklah bertahmid, bertakbir, dan bertahlil. H.r. Abu Daud.
Sedangkan dalam riwayat lain Ibnu Abu Aufa menerangkan
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ آخُذَ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ فَعَلِّمْنِي شَيْئًا يُجْزِئُنِي مِنَ الْقُرْآنِ فَقَالَ قُلْ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ – رواه النسائي و أبو داود –

Seorang laki-laki menghadap Nabi saw., lalu ia berkata, “Sesungguhnya aku tidak dapat mengambil (menghapal) sedikit pun ayat Alquran. Maka ajarkanlah sesuatu kepadaku yang akan memadaiku dari baca Alquran” Lalu Nabi bersabda, “Ucapkanlah, subhanallah, laa ilaaha illallah, allahu akbar, dan lahaula wala quwwata illa billah”. H.r. An-Nasai dan Abu Daud.
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa
1.   Bacaan dan doa pada salat bukan semata-mata bahasa Arab melainkan bahasa wahyu yang diajarkan kepada Nabi. Karena itu, kita dituntut untuk melaksanakan atau membaca apa adanya seperti yang diajarkan Nabi.
2. bagi orang yang belum hafal fatihah dan surat-surat lainnya diizinkan ketika salat untuk membaca subhanallah, laa ilaaha illallah, allahu akbar, dan lahaula wala quwwata illa billah.
3.  Ketika sujud kita dibolehkan berdoa dengan bahasa sendiri karena ada dalil
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا وَإِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ – رواه مسلم –


Data-data
·     Ada diriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah membolehkan baca du’a iftitah dengan bahasa Persi? Tanggapan: (1) Dari mana sumbernya kita tahu bahwa Imam Abu Hanifah berfatwa seperti itu?, (2) seandainya Abu Hanifah telah berfatwa seperti itu, maka Ma qala Abu Hanifah itu telah dibantah oleh kedua muridnya sendiri, yaitu Anu Yusuf dan Muhamad, karena tdk berdasarkan dalil.
·     Ada yang beralasan dengan fatwa Imam Abu Hanifah, yaitu imam yang dianut di Turki, tapi alasan itu itu hanya dibuat-buat. Sebab bila benar yg demikian itu fatwa atau pendapat Abu Hanifah, mengapa setelah seribu tahun baru diamalkan oleh penganutnya, yaitu orang-orang Turki. Kalau benar demikian, seharusnya kan salat dgn bahasa Turki itu lebih diperlukan dahulu kala pada awal Islam di saat orang Turki belum mengerti bahasa Arab dan belum menguasai huruf Arab dan bahasanya. Tapi kenyataannya mereka pada saat itu salat dengan bahasa wahyu, bukan dgn bahasa Turki. Dan mengapa baru 1932 mereka baru melaksanakan salat dgn bahasa Turki.
·     Kasus Roy: Yusman Roy baru memeluk agama Islam pada 1975. Setelah itu, Yusman tak mempelajari Islam secara intensif. Sekitar 1982, ia menekuni ajaran yang dianutnya secara intensif dan membangun pondok di Sumberwaras, Lawang. Malang. Liputan6.com 06/5/2005 04:59
·   seharusnya kan salat dgn bahasa Jawa dan Indonesia itu lebih diperlukan dahulu kala pada awal Roy masuk Islam (1975) di saat ia belum mengerti bahasa Arab dan belum menguasai huruf Arab dan bahasanya. Tapi kenyataannya ia pada saat itu salat dengan bahasa wahyu, bukan bahasa Jawa dan Indonesia. Dan mengapa baru 1982  ia menekuni ajaran yang dianutnya itu. Dan mengapa setelah 10 tahun (tepatnya tahun 2002) mendalami ajaran Islam serta tata cara salat, ia baru berani menyebarkan cara salat selain berbahasa Arab, yaitu dengan bahasa Indonesia atau Jawa.


Dalil-dalil
باب الذكر يقوم مقام القراءة إذا لم يحسن من القرآن شيئا     عن رفاعة بن رافع ثم أن رسول الله  صلى الله عليه وسلم  فقص يعني حديث الرجل الذي صلى وقال فيما علمه النبي  صلى الله عليه وسلم إذا قمت إلى الصلاة فتوضأ كما التابعين الله ثم تشهد فأقم ثم كبر فإن كان معك قرآن فاقرأ به وإلا فاحمد الله وكبره وهلله قال في آخره وإن انتقصت منه شيئا انتقصت من صلاتك – البيهقي في الكبرى 2: 381 رقم 3789 –
ذكر الأمر بالتسبيح والتحميد والتهليل والتكبير في الصلاة لمن لا يحسن قراءة فاحة الكتاب
عن بن أبي أوفى قال جاء رجل إلى النبي  صلى الله عليه وسلم  فقال ثم إني لا أحسن من القرآن شيئا فعلمني شيئا يجزئني منه فقال قل سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر قال هذا لربي فما لي قال قل اللهم اغفر لي وارحمني وارزقني وعافني -– إبن حبان 5: 116 رقم 1809–
ذكر الخبر المدحض قول من أمر لمن لم يحسن قراءة فاتحة الكتاب أن يقرأها بالفارسية      عن بن أبي أوفى قال جاء رجل إلى النبي  صلى الله عليه وسلم  فقال ثم يا رسول الله إني لا أستطيع أن أتعلم القرآن فعلمني ما يجزئني من القرآن قال قل سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله قال هذا لله فما لي قال قل رب اغفر لي وارحمني واهدني وعافني وارزقني فقال رسول الله  صلى الله عليه وسلم لقد ملأ يديه خيرا – إبن حبان 5: 116 رقم 1810–




Danarto:

Awalnya, Saya Salat Berbahasa Jawa

24/05/2004
Bagaimana seorang yang mengaku dirinya Abangan, buta huruf Arab, dan tidak bisa mengaji ketika salat? Inilah sekelumit pengalaman spiritual yang dituturkan sastrawan Danarto, penulis novel dan cerpen bercorak sufistik atau realisme-magis seperti Godlob dan Asmaraloka serta buku perjalanan hajinya itu Orang Jawa Naik Haji kepada kami.
 “Nah, ketika saya pertama kali Salat dan mengucap takbir: “Allahu Akbar”, seluruh kawasan itu seolah menyahut dengan ucapan yang sama: Allahu Akbar, Allahu Akbar... Jadi, seperti ada sambutan dan dalam jumlah ribuan orang. Luar biasa.. Pengalaman itu berlangsung sampai satu minggu. Ketika itu saya salat sendiri di rumah.”
Demikianlah sekelumit pengalaman spiritual yang dituturkan sastrawan Danarto, penulis novel dan cerpen bercorak sufistik atau realisme-magis seperti Godlob dan Asmaraloka serta buku perjalanan hajinya itu Orang Jawa Naik Haji kepada Ulil Abshar-Abdalla dan Nong Darol Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dalam wawancara Kamis (13/5). Berikut petikannya:
ULIL ABSHAR-ABDALLA (ULIL): Mas Danarto, saya pribadi mengikuti pengalaman spiritual Anda dalam buku-buku yang Anda tulis, sangat dalam dan menyentuh. Sebenarnya bagaimana persepsi Anda tentang Tuhan?
DANARTO: Sederhana saja, kita rupanya tidak mungkin melepaskan diri dari kekuasaan Tuhan, karena Beliaulah yang mencipta alam semesta beserta isinya. Bahkan Tuhan sendiri berfirman, dibanding mencipta alam semesta, mencipta manusia itu amat sangat gampangnya. Nah, saya membayangkan Tuhan itu sebagai Yang-tak-terbayangkan. Jadi kita memberi nama beliau itu Zat.
ULIL: Agak aneh juga menyebut Tuhan dengan sebutan “Beliau”. Biasanya kita menggunakan kata ganti “Dia” (dengan D Kapital) !
DANARTO: Ya, ini disebabkan kekurangan rasa bahasa Indonesia. Kalau menggunakan bahasa Jawa sebenarnya agak longgar. Bahasa Jawa memakai kata ganti Gusti atau Pangeran. Di bahasa Indonesia tidak ada (kata ganti) seperti itu, hanya ada kata Tuhan. Tapi kenyataan bahwa manusia sudah berhasil memberi nama Tuhan, yaitu Zat yang Maha Suci, itu merupakan kreativitas manusia sebenarnya. Sebab dalam Al-Qur’an sendiri Tuhan belum pernah menyebut Aku atau Dia itu siapa.
ULIL: Bagaimana proses yang Anda alami dalam mengenal agama?
DANARTO: Saya sebenarnya belajar tasawuf lebih dulu dari pada beragama. Selama proses itu, saya tunggang-langgang. Lalu saya sadar, “lho, ini kok belum-belum sudah meloncat ke angka sepuluh!” Mestinya kan dari angka satu dulu.
ULIL: Apakah latar belakang Anda Jawa-Abangan?
DANARTO: Ya, saya orang Jawa-abangan. Sampai sekarang saya buta huruf Al-Qur’an. Jadi tidak bisa ngaji. Saya berdo’a dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dulunya waktu masih belajar, saya salat memakai bahasa Jawa. Pengalaman itu indah sekali. Dan sebenarnya saya agak terlambat salat. Setelah umur 27 tahun, saya baru menunaikan salat.
ULIL: Masih pakai bahasa Jawa?
DANARTO: Pakai bahasa Jawa dulu. Misalnya: Duh, Gusti. Mugi nebihaken kawulo saking dosa kados anggen paduko nebihaken antawis plethek lan suruping suryo (Ya Allah, semoga Engkau menjauhkan saya dari dosa, sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara terbit dan tenggelamnya matahari). Ketika saya berdoa seperti itu, saya sempat tertawa; lho, ini wayang kulit, bukan salat (tertawa).
ULIL: Mengapa Anda tidak memakai bahasa Arab; apakah ada perbedaan kedua bahasa itu dari segi penghayatan?
DANARTO: Saya kan buta huruf Arab dan tidak bisa mengaji sampai sekarang. Bahasa asing tidak ada yang nyanthol pada saya. Seperti bahasa Inggris, saya sudah keliling dunia, tapi bahasa Inggris yang saya bisa cuma “I love you, Don’t leave me, if you leave me I will die.” Nah, waktu saya pakai bahasa Jawa, rasanya enak sekali. Luar biasa, karena saya menghayati rasa bahasa itu. Tapi lama-lama, kok salat saya kayak pertunjukan wayang orang atau wayang kulit. Akhirnya saya betul-betul belajar salat sebagaimana Rasulullah. Jadi sekarang sudah pakai bahasa Arab.
Memang ada perbedaaan rasa bahasa di sini. Misalnya sami’alLâhu liman hamidah itu kalau dalam bahasa Jawa artinya sama dengan gajah Hamidah. Sami’alLâh itu sama; liman itu gajah (bahasa jawa halus), midah itu nama cewek. Jadi terjemahannya kira-kira sama dengan gajah Hamidah (ketawa).
ULIL: Apakah keluarga Anda mengajarkan pendidikan agama secara formal?
DANARTO: Sebenarnya langsung tasawuf, karena ayah suka membaca buku-buku tasawuf Al-Ghazali, Agus Salim, bahkan Leadbiter, seorang tokoh teosufi, dan Krisnamurti. Jadi ayah saya membaca banyak pelbagai literatur keagamaan, walau sehari-hari belepotan lumpur. Jadi kalau dia pulang kerja, dia membaca buku-buku tasawuf dalam yang ditulis dalam bahasa Jawa dan menggunakan huruf Jawa.
ULIL: Apa Anda pernah belajar agama di madrasah atau surau?
DANARTO: Tidak, karena saya tinggal di kota yang boleh dikatakan tidak ada pesantren, atau saya tidak tahu pesantrennya. Jadi saya sekolah biasa, dan ternyata saya tidak maju. Saya berkenalan secara resmi dengan agama ketika berumur 27 tahun. Waktu itu saya di desa Leles Garut, saya memperhatikan bibit padi yang disiram air secara pelan-gemericik. Pemandangan itu menyadarkan saya. Bayangan saya, kalau bibit padi ini diguyur air satu tong, dia tentu bisa hanyut dan mati. Makanya harus disiram secara perlahan-gemericik.
Dari situ pikiran saya terbuka; saya harus salat ini!, tekad saya. Lalu saya membeli buku “Tuntunan Salat” seharga Rp 15.000, dan mulai salat. Nah, ketika saya pertama kali mengucap takbir: “Allahu Akbar”, seluruh kawasan itu seolah-oleh menyahut dengan ucapan yang sama: Allahu Akbar, Allahu Akbar. Jadi seperti ada sambutan dan dalam jumlah ribuan orang. Itu berlangsung sampai satu minggu. Ketika itu saya salat sendiri di rumah. Dan itulah pengalaman spiritual saya yang pertama kali.
ULIL: Dalam belajar agama, apakah Anda tidak berguru pada seseorang?
DANARTO: Tidak, karena waktu itu saya bekerja sebagai pemahat relief, lebih kurang seperti pemahat relief di Borobudur itu. Jadi saya bekerja di satu rumah orang kaya. Ketika saya tersadar oleh tuntutan spiritual, saya langsung saja salat. Saya tidak sempat berguru, padahal di sekeliling itu banyak para kiai.
ULIL: Apakah ketika itu Anda sudah banyak menulis cerpen?
DANARTO: Sudah. Dari situlah muncul cerpen-cerpen sufistik saya, yang biasa disebut para kritikus modern bercorak realisme-magis. Itulah yang terkumpul di Godlob. Jadi, cerpen-cerpen saya itu murni sufistik sebenarnya. Tapi ada juga yang menyebut karya seperti itu bersifat surealistik. Ya, saya kira memang bisa campur baur seperti itu.
ULIL: Tadi Anda mengatakan berkenalan dengan tasawuf lebih dulu, baru kemudian agama. Bagaimana kok bisa begitu?
DANARTO: Jadi begini. Dulu saya punya seorang teman pelukis yang bernama Pak Rustamaji. Beliaulah yang membukakan saya pada wacana tasawuf. Saya membaca banyak bukunya. Beliau kini sudah meninggal, dan semoga Allah mengaruniai beliau kebahagiaan di alam kubur dan alam akhirat. Sampai usia 80 tahun, beliau itu masih aktif menulis. Sebenarnya, tulisannya tidak bisa dibaca karena bersifat repetitif. Lalu saya benyak berburu buku-buku tasawuf mulai karya Abu Bakar Aceh, Hamka, dan lainnya. Dari situlah saya mulai terbuka. Saya bisa berkenalan dengan Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, dan Ibnu Arabi. Dari situ saya mengira Al-Hallaj itu gurunya-guru, termasuk guru filsuf-filsuf besar Eropa. Dia itu gurunya Nietzsche, Bergson, ataupun Sartre.
ULIL: Lantas, apa Anda mendapat semacam pencerahan dari mereka?
DANARTO: Semuanya itu menurut saya bagian dari wajah Tuhan. Saya mengalami pengalaman sipirutual yang luar biasa pada tahun 1968. Ketika itu saya berusia 28 tahun. Saya bangun pagi di rumah orang kaya di jalan Dago Bandung. Lantas saya mendapatkan seorang supir yang Tuhan.
ULIL: Anda mengalami itu sungguh-sungguh?
DANARTO: Sungguh-sungguh. Saya melihat Tuhan ada di mana-mana; kucing yang (manifestasi) Tuhan, ayam yang Tuhan, dan lain-lain. Jadi dari situlah saya merasa cocok dengan paham wihdatul wujud. Jadi sebetulnya di dunia ini tidak ada yang lain kecuali Tuhan. Dari situlah mengalir terus cerpen-cerpen saya.
ULIL: Lalu, bagaimana posisi agama menurut pandangan Anda?
DANARTO: Agama itu sebenarnya mengendalikan semua laju kendaraan (kecenderungan spiritual, Red) kita yang suka ngebut. Jadi harus dikendalikan dengan salat lima waktu, puasa, membayar zakat, kurban, dan hal-hal yang dipraktikkan langsung oleh Rasulullah.
ULIL: Apakah tasawuf membuat Anda ngebut, sehinga perlu direm?
DANARTO: Dia merupakan samudera yang dalam, dan sangat nikmat dijadikan arena untuk mengembara. Dan itu tanpa ujung. Misalnya, ketika saya berhadapan dengan Anda, Mas Ulil dan Nong, semuanya menjadi abstrak. Saya tidak mengenal Anda kecuali ini Tuhan. Apa sih Ulil itu, dan apa sih Nong ini? Jadi, (Anda) seperti gundukan daging yang abstrak saja, sebenarnya.
ULIL: Apakah Anda pernah membaca literatur tasawuf Jawa yang bersifat kejawen?
DANARTO: Pernah. Memang ada perbedaaan antara tasawuf lokal dengan import. Tapi saya begitu terkesan oleh Al-Hallaj, Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi, Al-Atthar. Itu karena mereka lebih memberikan daya dorong.
ULIL: Anda mempelajari Syeikh Siti Jenar?
DANARTO: Tidak mempelajari, tapi sekedar membaca. Saya melihat Syekh Siti Jenar terpengaruh oleh Al-Hallaj. Tapi pengalaman spiritualnya dihayati betul oleh Siti Jenar. Jadi tetap berbeda dengan Al-Hallaj. Dan ini merupakan sisi ruhaniyah pengalaman Siti Jenar, karena dia mendapat pencerahan dari tasawuf. Mungkin persis seperti waktu saya di Bandung dulu itu. Jadi saya melihat orang yang Tuhan, binatang yang Tuhan dan lain sebagainya.
ULIL: Anda tidak takut dikatakan sesat?
DANARTO: Saya tidak keluar dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, karena saya tetap salat lima waktu dan saya tambahkan lagi shalat Dhuha dua rakaat. Saya membaca Al-Qur’an dua kali sehari: subuh dan maghrib. Saya juga membayar zakat, berpuasa Ramadlan, naik haji dan umrah, serta membayar kurban. Saya pernah menuliskan pengalaman haji saya dalam buku “Orang Jawa Naik Haji”. Ini buku pertama tentang pengalaman haji yang ditulis orang Indonesia. Saya merasakan ketika saya naik haji, penuh keajaiban di Mesjid Haram dan Mesjid Nabawi. Pengalaman yang luar biasa.[]
Penyebar Salat Berbahasa Indonesia Itu Bekas Petinju

06/5/2005 04:59 — Yusman Roy baru memeluk agama Islam pada 1975. Setelah itu, Yusman tak mempelajari Islam secara intensif. Sekitar 1982, ia menekuni ajaran yang dianutnya secara intensif dan membangun pondok di Sumberwaras, Lawang.


Liputan6.com, Malang: Aksi menentang terus diarahkan kepada Ustad Yusman Roy dan jemaahnya yang mempraktikkan salat berbahasa Indonesia di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Bahkan tak sedikit yang mulai meneror. Kendati demikian, Yusman bersikeras akan terus menyebarkan keyakinannya sekalipun itu berisiko tinggi.

Sebelum dikenal sebagai penyebar salat berbahasa Indonesia, Yusman adalah petinju peringkat dua nasional. Dalam karier tinjunya, Yusman adalah pemegang rekor pemukul knock out (KO) tercepat di Tanah Air, yakni pada 1980-an. Yusman sendiri baru memeluk agama Islam pada 1975. Setelah itu, lelaki ini tak mempelajari Islam secara intensif
Ketika ditemui SCTV baru-baru ini, Yusman mengaku bahwa dirinya sempat bergelimang dalam dunia hitam setelah pensiun dari arena tinju. Baru sekitar tahun 1982, ia menekuni ajaran yang dianutnya itu secara intensif. Bahkan Yusman membangun Pondok Iktikaf Ngaji Lelaku di kawasan Sumberwaras, Lawang, Malang. Menurut dia, pondok itu sebagai wahana berdiskusi masalah agama.

Setelah 10 tahun mendalami ajaran Islam serta tata cara salat, tahun 2002, Yusman akhirnya berani menyebarkan cara salat selain berbahasa Arab, yaitu dengan bahasa Indonesia atau Jawa. Namun setelah ajarannya tersebar melalui video compact disc dan selebaran, kini Yusman menuai teror. Meski, teror tersebut belum pada tindakan secara fisik.

Sejauh ini belum ada upaya-upaya pihak lain, termasuk pemerintah, untuk menghentikan ajaran Yusman. Padahal aparat keamanan kerap mendatangi pondok lelaki tersebut. Hingga saat ini, Yusman mengklaim mempunyai 300 jemaah. Semuanya masih di sekitar Kota Malang. Anehnya salat berjemaah ini diikuti tak lebih dari 20 orang.(DEN/Noor Ramadhan)

Dialog Salat Berbahasa Indonesia 'DiceKal' MUI Jatim

SURABAYA--MIOL: Dialog mengenai shalat menggunakan Bahasa Indonesia dengan narasumber utama Yusman Roy (38 tahun) yang sedianya digelar Tabloid Nurani 'dicekal' oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim.
Direktur Tabloid Nurani, Surya Aka ketika dihubungi di Surabaya, Sabtu pagi menjelaskan, pihaknya mendapatkan surat dari MUI Jatim, Jumat (29/4) sore yang berisi keberatan atas diselenggarakannya dialog tersebut.
"Sebetulnya kami mau jalan terus karena Direktur Pascasarjana IAIN yang menjadi tempat penyelenggaraan acara itu tidak keberatan. Namun pagi ini pihak IAIN juga menyerah dan kami tidak bisa memaksa karena IAIN yang punya tempat," katanya.
Tabloid Nurani akan menggelar dialog, Jumat (29/4) untuk mendengarkan argumen Yusman Roy, pimpinan Pondok I'tikaf Jamaah Ngaji Lelaku, Malang, Jatim yang sejak tahun 1998 melaksanakan salat menggunakan bahasa Indonesia.
"Memang MUI Kabupaten Malang pada 21 Januari mengeluarkan fatwa pelarangan ajaran Roy itu dan MUI Jatim juga melakukan hal sama pada Februari 2005. Tapi fatwa itu tidak pernah sampai ke Roy dan dia juga tidak pernah diajak dialog," katanya.
Ia menyayangkan adanya fatwa MUI itu karena tidak pernah sampai ke yang bersangkutan sehingga tidak efektif dan Roy dengan 300-an santrinya tetap menjalankan ajaran yang dianggap menyimpang itu.
"Kami menyelenggarakan dialog itu untuk memberi kesempatan kepada Roy memberikan argumennya dan khalayak, termasuk pakar Islam juga memberikan argumennya. Kalau ada orang salah, bukan lalu dibunuh, tapi diluruskan," katanya.
Dikatakannya, Roy sendiri sudah berkali-kali mengatakan bahwa dirinya siap mencabut ajarannya itu jika di kemudian hari ada argumen kuat mengenai larangan shalat menggunakan bahasa Indonesia tersebut.
"Kami ini menggelar dialog untuk mencari jalan keluar yang efektif, tapi kok MUI malah demikian. Ini kan namanya tidak mendidik. Jaman reformasi seperti ini kok masih ada cekal-cekalan, kayak orde baru saja. Mungkin ini juga ada tekanan dari ormas lain juga," katanya.
Aka menceritakan, Roy itu sebetulnya baru memeluk agama Islam tahun 1997 dan mulai menjalankan keyakinannya itu sekitar tahun 1998.
"Roy beranggapan bahwa salat itu kan mendekatkan diri kepada Allah dan Allah mengerti semua bahasa manusia. Kenapa harus menggunakan bahasa Arab? Itu argumen yang dikembangkan oleh Roy," katanya.
Dikatakannya, meskipun menggunakan bahasa Indonesia, tidak semua bacaan salat yang dilakukan Roy dan pengikutnya tidak menggunakan bahasa Arab.
"Beberapa bacaan salatnya Roy itu tetap menggunakan bahasa Arab. Yang menggunakan bahasa Indonesia hanya bacaan Al-Fatihah dan surat pendek setelahnya," katanya. (Ant/OL-1)

Salat Berbahasa Indonesia Memicu Kontroversi
05/5/2005 11:57 — MUI menyatakan bahwa salat yang melafalkan bacaannya dalam bahasa Indonesia tak bisa dibenarkan. Namun, Ustad Yusman Roy yang menyebarkan ajaran ini balik menantang MUI untuk menunjukkan kesalahannya.

Liputan6.com, Malang: Sorotan terhadap Ustad Yusman Roy dan jemaahnya yang mempraktikkan shalat berbahasa Indonesia di Kabupaten Malang, Jawa Timur, kian tajam. Majelis Ulama Indonesia setempat bahkan mengatakan ajaran yang disebarkan Yusman itu menyesatkan.

Dari pemantauan SCTV hingga Kamis (5/5), sejumlah polisi berpakaian preman mengawasi kegiatan di Pondok Pesantren Itikaf Ngadi Lelaku yang terletak di kawasan Sumberwaras, Lawang. Mereka terlihat berjaga-jaga di sekitar lokasi.

Meski demikian, Yusman bergeming. Dia dan pengikutnya tetap menjalankan ibadah yang melafalkan bacaan salat dalam bahasa Indonesia. Yusman bahkan menantang para ulama untuk membuktikan bahwa ajarannya dilarang agama. Ia menganggap pelarangan itu hanyalah buatan manusia bukan atas perintah Allah.

Menanggapi masalah ini, Ketua Majelis Ulama Indonesia Kiai Haji Umar Shihab menyatakan, ajaran yang disebarkan Yusman tidak bisa dibenarkan. Sebab, semua ketentuan salat harus sesuai dengan ajaran Alquran yang telah baku. Namun, Umar Shihab tidak setuju Yusman ditahan polisi. Ia menilai ustad ini hanya cukup diberi pengarahan tentang pemahaman agama Islam.(TOZ/Tim Liputan 6 SCTV)

Shalat Berbahasa Indonesia Gaya Malang
Dalam salah satu hadis, Rasulullah SAW pernah menegaskan soal kewajiban menegakkan shalat. ''Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.'' Begitu sabda Rasulullah SAW. Menurut Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma'ruf Amien, hadis tersebut bermakna bahwa setiap hal yang dikerjakan dalam shalat, harus benar-benar sama dengan shalat Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW telah mengajarkan gerakan dan bacaan dalam shalat secara jelas. Sehingga, menurut dia, berbagai gerakan dan bacaan itu harus ditiru tanpa menambah-nambah maupun mengurangi. Inovasi-inovasi dalam pelaksanaan shalat yang 'keluar' dari contoh Rasululllah SAW, kata dia, terlarang. Meski begitu, ada komunitas yang mencoba menegakkan shalat dengan menyisipkan 'inovasi'. Muhammad Yusman Roy, pengasuh Pondok I'tikaf Jamaah Ngaji Lelaku, Lawang, Malang, Jawa Timur (Jatim), sejak tahun 2000 terus mengembangkan model shalat dengan menyisipkan bacaan berbahasa Indonesia atau bahasa Jawa. Bacaan berbahasa Indonesia dan bahasa Jawa itu diperuntukkan bagi imam shalat.
Pria yang 20 tahun lalu memutuskan memeluk Islam itu beranggapan bahwa makmum akan lebih khusyuk dan paham bacaan Alquran yang dibaca dalam shalat apabila diterjemahkan langsung. Dengan cara begitu, Roy yang sebelumnya beragama Kristen itu mengaku yakin bahwa shalat akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Ajaran soal shalat dengan menyisipkan bahasa Indonesia itu kemudian ditulisnya dalam selebaran enam lembar dan disebarkan secara luas. Roy juga menyebar VCD yang merekam aktivitas shalat berbahasa Indonesia itu. Dalam VCD yang beredar di lingkungan tertentu, terlihat belasan orang tengah mengikuti shalat berjamaah yang dipimpin imam yang berbahasa Indonesia. Setiap bacaan ayat Alquran terlebih dulu dibaca, kemudian diiringi dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Misalnya, Bismillahirrahmaanirrahim diteruskan dengan terjemahnya 'dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang'. Cuma, untuk bacaan di antara gerakan shalat semisal takbir tidak diterjemahkan. Dalam keping VCD tersebut juga diperlihatkan shalat berjamaah yang imamnya menerjemahkan bacaannya dalam bahasa Jawa. Roy beranggapan bahwa umat Islam lebih suka menerima petunjuk (Alquran) dengan bahasa Arab. Padahal, kata dia, tidak semua umat Islam tahu arti dari bahasa Arab itu sendiri. Itulah sebabnya, banyak orang yang shalat tapi juga masih melanggar perintah Allah. ''Kita ini seperti beo atau robot. Bisa mengucapkan tapi tidak tahu artinya. Makanya, banyak orang yang shalat tapi masih berbuat maksiat,'' ujar mantan petinju Sasana Sawunggaling ini.
Untuk mendukung pendapatnya, dalam selebaran Roy mengutip Surat Albaqarah ayat 2 yang dia diterjemahkan sendiri. Terjemahan terhadap ayat tersebut versi Roy berbunyi, ''Ketahuilah apabila dengan sengaja Anda memberi petunjuk hanya dengan membacakan firman-firman yang masih berbahasa Arab itu, dengan tidak disertai dengan terjemahannya yang akibatnya membuat orang tidak mengerti maksudnya hal itu adalah termasuk perbuatan menyesatkan orang dan pelakunya terlaknat.'' Padahal, terjemahan aslinya berbunyi, ''Itulah Kitab (Alquran) yang tidak ada keraguan di dalamnya.''
Roy mengklaim bahwa jamaah yang telah mengikuti ajaran shalat berbahasa Indonesia itu sudah tersebar di Surabaya, Malang, Blitar, Tulungagung, Pekalongan, dan Samarinda. Menurut dia, umat Islam saat ini lebih mendewakan bahasa Arab sekalipun ada sebagian besar umat yang tidak begitu paham dan menguasai bahasa Arab. Orang yang seperti ini, disebutnya sebagai penganut Islam fanatik yang tidak ingin adanya kemajuan dalam beriman dan bertakwa kepada Allah. Tema soal shalat berbahasa Indonesia itu pernah didebatkan dalam forum diskusi di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Jatim, akhir pekan lalu. Sayang, sebelum sesi tanya jawab berlangsung, moderator diskusi menyebutkan bahwa dirinya menerima surat keberatan dari MUI Jatim dan Kejaksaan Tinggi Jatim terhadap adanya debat itu. Karena itu, acara dihentikan di tengah jalan.
Menurut Ma'ruf, shalat gaya Roy itu tidak berlangsung sesuai contoh Rasulullah SAW. Menurut dia, makmum shalat harus mengerti sendiri makna bacaannya tanpa harus diterjemahkan lebih dulu oleh imam. Karena itu, pihaknya pun berjanji akan menerjunkan tim untuk mengecek ke lapangan. ''Paham-paham seperti itu dulu bermunculan. Kemudian 'masuk tong sampah', kemudian sekarang bermunculan lagi,'' tuturnya. Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, Drs Abd Salam, juga mengecam keras ajaran tersebut. Kata Salam, shalat adalah wahana dzikrullah (dzikir kepada Allah). Jika memahami posisi shalat sebagai aktualisasi dzikrullah, kata Salam, orang yang mengerjakan shalat sudah barang tentu mampu mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar. Dalam shalat jamaah, lanjutnya, makmum tidak boleh masuk dalam arus kesadaran sebagai objek imam, namun harus bersama imam berada dalam satu kesatuan subjek untuk secara bersama-sama mengaktualisasikan dzikrullah.
Untuk itu, tambah dia, imam dan makmum harus mempersiapkan diri menuju kemampuan mengaktualisasikan dzikrullah dengan sebaik-baiknya termasuk di antaranya berusaha menghayati bacaannya. ''Persiapan itu harus dilakukan di luar shalat. Kalau dilakukan di dalam shalat maka itu bukanlah shalat, melainkan belajar shalat,'' ujar dia. Salam pun mengaku prihatin dengan makin berkembangnya ajaran tersebut.
(arz/fer )




عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ السَّلَامَ وَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ الرَّجُلُ فَصَلَّى كَمَا كَانَ صَلَّى ثُمَّ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْكَ السَّلَامُ ثُمَّ قَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ حَتَّى فَعَلَ ذَلِكَ ثَلَاثَ مِرَارٍ فَقَالَ الرَّجُلُ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَ هَذَا فَعَلِّمْنِي قَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ اجْلِسْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا قَالَ الْقَعْنَبِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَقَالَ فِي آخِرِهِ فَإِذَا فَعَلْتَ هَذَا فَقَدْ تَمَّتْ صَلَاتُكَ وَمَا انْتَقَصْتَ مِنْ هَذَا شَيْئًا فَإِنَّمَا انْتَقَصْتَهُ مِنْ صَلَاتِكَ وَقَالَ فِيهِ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَحْيَى بْنِ خَلَّادٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَذَكَرَ نَحْوَهُ قَالَ فِيهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ لَا تَتِمُّ صَلَاةٌ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّى يَتَوَضَّأَ فَيَضَعَ الْوُضُوءَ يَعْنِي مَوَاضِعَهُ ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَحْمَدُ اللَّهَ جَلَّ وَعَزَّ وَيُثْنِي عَلَيْهِ وَيَقْرَأُ بِمَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَرْكَعُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ ثُمَّ يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَسْجُدُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِدًا ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَسْجُدُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ فَيُكَبِّرُ فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ تَمَّتْ صَلَاتُهُ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ وَالْحَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ قَالَا حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَحْيَى بْنِ خَلَّادٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَمِّهِ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ بِمَعْنَاهُ قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهَا لَا تَتِمُّ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ حَتَّى يُسْبِغَ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَيَغْسِلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ وَيَمْسَحَ بِرَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثُمَّ يُكَبِّرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَيَحْمَدَهُ ثُمَّ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا أَذِنَ لَهُ فِيهِ وَتَيَسَّرَ فَذَكَرَ نَحْوَ حَدِيثِ حَمَّادٍ قَالَ ثُمَّ يُكَبِّرَ فَيَسْجُدَ فَيُمَكِّنَ وَجْهَهُ قَالَ هَمَّامٌ وَرُبَّمَا قَالَ جَبْهَتَهُ مِنَ الْأَرْضِ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ وَتَسْتَرْخِيَ ثُمَّ يُكَبِّرَ فَيَسْتَوِيَ قَاعِدًا عَلَى مَقْعَدِهِ وَيُقِيمَ صُلْبَهُ فَوَصَفَ الصَّلَاةَ هَكَذَا أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ حَتَّى تَفْرُغَ لَا تَتِمُّ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ حَتَّى يَفْعَلَ ذَلِكَ حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ مُحَمَّدٍ يَعْنِي ابْنَ عَمْرٍو عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَحْيَى بْنِ خَلَّادٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ بِهَذِهِ الْقِصَّةِ قَالَ إِذَا قُمْتَ فَتَوَجَّهْتَ إِلَى الْقِبْلَةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَبِمَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَقْرَأَ وَإِذَا رَكَعْتَ فَضَعْ رَاحَتَيْكَ عَلَى رُكْبَتَيْكَ وَامْدُدْ ظَهْرَكَ وَقَالَ إِذَا سَجَدْتَ فَمَكِّنْ لِسُجُودِكَ فَإِذَا رَفَعْتَ فَاقْعُدْ عَلَى فَخِذِكَ الْيُسْرَى حَدَّثَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ يَحْيَى بْنِ خَلَّادِ بْنِ رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَمِّهِ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذِهِ الْقِصَّةِ قَالَ إِذَا أَنْتَ قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَكَبِّرِ اللَّهَ تَعَالَى ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ عَلَيْكَ مِنَ الْقُرْآنِ وَقَالَ فِيهِ فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلَاةِ فَاطْمَئِنَّ وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ ثُمَّ إِذَا قُمْتَ فَمِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى تَفْرُغَ مِنْ صَلَاتِكَ حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ مُوسَى الْخُتَّلِيُّ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنِي ابْنَ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنِي يَحْيَى ابْنُ عَلِيِّ بْنِ يَحْيَى بْنِ خَلَّادِ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَصَّ هَذَا الْحَدِيثَ قَالَ فِيهِ فَتَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ ثُمَّ تَشَهَّدْ فَأَقِمْ ثُمَّ كَبِّرْ فَإِنْ كَانَ مَعَكَ قُرْآنٌ فَاقْرَأْ بِهِ وَإِلَّا فَاحْمَدِ اللَّهَ وَكَبِّرْهُ وَهَلِّلْهُ وَقَالَ فِيهِ وَإِنِ انْتَقَصْتَ مِنْهُ شَيْئًا انْتَقَصْتَ مِنْ صَلَاتِكَ *
ذكر الأمر بالتسبيح والتحميد والتهليل والتكبير في الصلاة لمن لا يحسن قراءة فاحة الكتاب
ثنا محمد بن أبي بكر المقدمي قال حدثنا عمر بن علي عن مسعر عن إبراهيم السكسكي عن بن أبي أوفى قال جاء رجل إلى النبي  صلى الله عليه وسلم  فقال ثم إني لا أحسن من القرآن شيئا فعلمني شيئا يجزئني منه فقال قل سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر قال هذا لربي فما لي قال قل اللهم اغفر لي وارحمني وارزقني وعافني -– إبن حبان 5: 116 –
ذكر الخبر المدحض قول من أمر لمن لم يحسن قراءة فاتحة الكتاب أن يقرأها بالفارسية     1810 أخبرنا الحسين بن إسحاق الأصفهاني بالكرخ قال حدثنا أبو أمية قال حدثنا الفضل بن موفق قال حدثنا مالك بن مغول عن طلحة بن مصرف عن بن أبي أوفى قال جاء رجل إلى النبي  صلى الله عليه وسلم  فقال ثم يا رسول الله إني لا أستطيع أن أتعلم القرآن فعلمني ما يجزئني من القرآن قال قل سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله قال هذا لله فما لي قال قل رب اغفر لي وارحمني واهدني وعافني وارزقني فقال رسول الله  صلى الله عليه وسلم لقد ملأ يديه خيرا – إبن حبان 5: 116 –
باب الذكر يقوم مقام القراءة إذا لم يحسن من القرآن شيئا     3789 أنبأ أبو علي الروذباري أنبأ أبو بكر محمد بن بكر ثنا أبو داود ثنا عباد بن موسى الختلي ثنا إسماعيل يعني بن جعفر أخبرني يحيى بن علي بن خلاد بن رافع الزرقي عن أبيه عن جده عن رفاعة بن رافع ثم أن رسول الله  صلى الله عليه وسلم  فقص يعني حديث الرجل الذي صلى وقال فيما علمه النبي  صلى الله عليه وسلم إذا قمت إلى الصلاة فتوضأ كما التابعين الله ثم تشهد فأقم ثم كبر فإن كان معك قرآن فاقرأ به وإلا فاحمد الله وكبره وهلله قال في آخره وإن انتقصت منه شيئا انتقصت من صلاتك – البيهقي في الكبرى 2: 381 –
730 حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ حَدَّثَنَا أَنَسٌ يَعْنِي ابْنَ عَيَّاضٍ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ وَهَذَا لَفْظُ ابْنِ الْمُثَنَّى حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ السَّلَامَ وَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ الرَّجُلُ فَصَلَّى كَمَا كَانَ صَلَّى ثُمَّ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْكَ السَّلَامُ ثُمَّ قَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ حَتَّى فَعَلَ ذَلِكَ ثَلَاثَ مِرَارٍ فَقَالَ الرَّجُلُ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَ هَذَا فَعَلِّمْنِي قَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ اجْلِسْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا قَالَ الْقَعْنَبِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَقَالَ فِي آخِرِهِ فَإِذَا فَعَلْتَ هَذَا فَقَدْ تَمَّتْ صَلَاتُكَ وَمَا انْتَقَصْتَ مِنْ هَذَا شَيْئًا فَإِنَّمَا انْتَقَصْتَهُ مِنْ صَلَاتِكَ وَقَالَ فِيهِ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَحْيَى بْنِ خَلَّادٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَذَكَرَ نَحْوَهُ قَالَ فِيهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ لَا تَتِمُّ صَلَاةٌ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّى يَتَوَضَّأَ فَيَضَعَ الْوُضُوءَ يَعْنِي مَوَاضِعَهُ ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَحْمَدُ اللَّهَ جَلَّ وَعَزَّ وَيُثْنِي عَلَيْهِ وَيَقْرَأُ بِمَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَرْكَعُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ ثُمَّ يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَسْجُدُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِدًا ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَسْجُدُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ فَيُكَبِّرُ فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ تَمَّتْ صَلَاتُهُ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ وَالْحَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ قَالَا حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَحْيَى بْنِ خَلَّادٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَمِّهِ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ بِمَعْنَاهُ قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهَا لَا تَتِمُّ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ حَتَّى يُسْبِغَ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَيَغْسِلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ وَيَمْسَحَ بِرَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثُمَّ يُكَبِّرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَيَحْمَدَهُ ثُمَّ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا أَذِنَ لَهُ فِيهِ وَتَيَسَّرَ فَذَكَرَ نَحْوَ حَدِيثِ حَمَّادٍ قَالَ ثُمَّ يُكَبِّرَ فَيَسْجُدَ فَيُمَكِّنَ وَجْهَهُ قَالَ هَمَّامٌ وَرُبَّمَا قَالَ جَبْهَتَهُ مِنَ الْأَرْضِ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ وَتَسْتَرْخِيَ ثُمَّ يُكَبِّرَ فَيَسْتَوِيَ قَاعِدًا عَلَى مَقْعَدِهِ وَيُقِيمَ صُلْبَهُ فَوَصَفَ الصَّلَاةَ هَكَذَا أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ حَتَّى تَفْرُغَ لَا تَتِمُّ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ حَتَّى يَفْعَلَ ذَلِكَ حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ مُحَمَّدٍ يَعْنِي ابْنَ عَمْرٍو عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَحْيَى بْنِ خَلَّادٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ بِهَذِهِ الْقِصَّةِ قَالَ إِذَا قُمْتَ فَتَوَجَّهْتَ إِلَى الْقِبْلَةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَبِمَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَقْرَأَ وَإِذَا رَكَعْتَ فَضَعْ رَاحَتَيْكَ عَلَى رُكْبَتَيْكَ وَامْدُدْ ظَهْرَكَ وَقَالَ إِذَا سَجَدْتَ فَمَكِّنْ لِسُجُودِكَ فَإِذَا رَفَعْتَ فَاقْعُدْ عَلَى فَخِذِكَ الْيُسْرَى حَدَّثَنَا مُؤَمَّلُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ يَحْيَى بْنِ خَلَّادِ بْنِ رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَمِّهِ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذِهِ الْقِصَّةِ قَالَ إِذَا أَنْتَ قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَكَبِّرِ اللَّهَ تَعَالَى ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ عَلَيْكَ مِنَ الْقُرْآنِ وَقَالَ فِيهِ فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلَاةِ فَاطْمَئِنَّ وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ ثُمَّ إِذَا قُمْتَ فَمِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى تَفْرُغَ مِنْ صَلَاتِكَ حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ مُوسَى الْخُتَّلِيُّ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنِي ابْنَ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنِي يَحْيَى ابْنُ عَلِيِّ بْنِ يَحْيَى بْنِ خَلَّادِ بْنِ رَافِعٍ الزُّرَقِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَصَّ هَذَا الْحَدِيثَ قَالَ فِيهِ فَتَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ ثُمَّ تَشَهَّدْ فَأَقِمْ ثُمَّ كَبِّرْ فَإِنْ كَانَ مَعَكَ قُرْآنٌ فَاقْرَأْ بِهِ وَإِلَّا فَاحْمَدِ اللَّهَ وَكَبِّرْهُ وَهَلِّلْهُ وَقَالَ فِيهِ وَإِنِ انْتَقَصْتَ مِنْهُ شَيْئًا انْتَقَصْتَ مِنْ صَلَاتِكَ * - أبو داود -

Bacaan dan doa dalam salat adalah bahasa wahyu

 

Bacaan dan doa pada salat bukan semata-mata bahasa Arab melainkan bahasa wahyu yang diajarkan kepada Nabi. Karena itu, kita dituntut untuk melaksanakan atau membaca apa adanya seperti yang diajarkan Nabi, sebagai contoh

 

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله ُ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا قُمْتَ اِلَى الصَّلاَةِ فَأَصْبِغِ الوُضُوْءَ ثُمَّ إسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ. - رواه مسلم -
Dari Abi Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw.bersabda, ”Apabila engkau berdiri (mau) salat maka sempurnakanlah wudu, lalu bertakbirlah” - H.R. Muslim. Dalam hadis lain dengan redaksi
لاَتَتِمُّ صَلاَةُ أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّى يَتَوَضَّأُ فَيَضَعُ الوُضُوءَ مَوْضِعَهُ ثُمَّ يَقُولُ :  اللهُ أَكْبَرُ - رواه الطبراني -
Tidak shah shalat salah seorang kecuali ia berwudlu sebagaimana mestinya, kemudian mengucapkan Allahu akbar H.R. at-Thabrani.



عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ e : إِذَا اسْتَفْتَحَ الصَّلاَةَ قَالَ : سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلآ إِلَهَ غَيْرُكَ. - ابو داود -
Dari Aisyah, ia berkata, “Rasululah saw.. apabila memulai shalat beliau mengucapkan: Subhaanaka Allohumma wabihamdika.... walaa ilaaha ghairuka”. - Abu Dawud -
قَالَ اَبُو سَعِيْدٍ : اُمِرْنَا أَنْ نَقْرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَمَا نُيَسِّرُ. - ابو داود -
Abu Said berkata, “Kami diperintah (oleh Rasulullah saw.) supaya membaca al Fatihah dan apa yang mudah (di antara surat atau ayat)”.  H.r. Abu Dawud
 
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ e  اِذَا قَرَأْتُمُ الْحَمْدُللهِ فَاقْرَأُوا  بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ أَنَّهَا أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَسَبْعُ الْمَثَانِي وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ إِحْدَاهَا. - الدرقطنى -
 Dari Abu Hurairah, ia berkata, ”Rasulullah saw. bersabda,”Apabila kamu membaca surat al-fatihah hendaklah kamu baca Bismillaahir Rahmaanir Rahiem sebab ia itu Ummul Quran, Ummul Kitab, dan Sab’ul Masani dan Bismillahir Rahmanir Rahim salah satu ayatnya”. H.R. Ad-Daraquthnie.
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ : صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ e فَكَانَ يَقُوْلُ فِى رُكُوْعِهِ : سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَفِي سُجُوْدِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى. - الخمسة -
Dari Hudzaifah, ia berkata, “Saya pernah shalat bersama Nabi saw.Maka beliau mengucapkan pada rukunya, ‘Subhaana Rabbiyal Adziem’ dan pada sujudnya ‘Subhaana Robbiyal A’la’. H.R. Al Khamsah -

 

dan dilarang untuk membuat bacaan dan doa sekehendak kita kecuali ada dalil yang membolehkannya.

 

DEFINISI SALAT
Secara bahasa, salat berarti doa. Salat juga sering disebut doa, karena semua hal dalam salat mencakup doa. Adapun secara istilah, salat adalah suatu ibadah, yang mempunyai gerakan dan ucapan tertentu, yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Awal diwajibkannya salat adalah saat Rasulullah saw. menjalani peristiwa Isra' Mi'raj. Dari Anas bin Malik r.a., ia bercerita, "Awal diwajibkannya salat kepada Nabi itu pada malam diperjalankannya Nabi sebanyak lima puluh kali. Kemudian dikurangi, hingga akhirnya menjadi lima. Setelah itu beliau diseru, 'Wahai Muhammad, tidak ada firman yang dapat diganti di hadapan-Ku, dan dengan lima salat ini, kamu akan mendapatkan pahala sebanyak lima puluh kali lipat'." (HR Ahmad, Nasai, dan Tirmizi).
Hukum Salat dan Hukum Meninggalkannya
Salat merupakan dasar atau pilar yang kedua dalam Islam setelah dua kalimat syahadat. Maka dari itu, salat diwajibkan atas setiap muslim. Meninggalkan salat merupakan perbuatan kufur (yang menjadikan pelakunya kafir). Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya ikatan perjanjian yang membedakan antara kita dan mereka (orang-orang kafir) adalah salat. Maka, barang siapa yang meninggalkannya, berarti ia telah kafir." (HR An-Nasai). Dan, "sesungguhnya, yang ada di antara seorang hamba dan kesyirikan maupun kekafiran adalah meninggalkan salat." (HR Muslim).
Banyak sekali firman Allah dalam Alquran yang berisi tentang perintah mendirikan salat. Di antaranya, "Maka, dirikanlah salat, sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (An-Nisa: 103).
Dan firman Allah, "Peliharalah segala salat, dan salat wustha." (Al-baqarah: 238). Salat wustha adalah salat yang berada di pertengahan waktu. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan salat wustha adalah salat asar. Menurut kebanyakan ahli hadis, ayat ini menekankan agar semua salat itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Rasulullah saw. bersabda, "Islam itu dibangun atas lima hal: yaitu, bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi orang yang mampu." (HR Mutaffaq Alaih).
Maka dari itu, salat hukumnya wajib, dan seseorang tidak dikatakan sebagai muslim jika tidak mengerjakan dan mendirikan salat.
Menurut ijma, orang yang meninggalkan salat karena ingkar adalah kafir dan keluar dari Islam. Orang yang meninggalkan salat--meskipun disertai rasa keimanan dan keyakinan akan wajibnya, dan ia meninggalkannya karena malas atau sibuk--banyak disebutkan di dalam hadis dinyatakan sebagai kafir. Bahkan, ada keterangan akan halalnya darah orang yang meninggalkan salat. Rasulullah saw. bersabda, "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan salat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka mengerjakannya, maka darah dan harta kekayaan mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka atas Allah Azza wa-Jalla." (HR Mutaffaq Alaih).
Secara lahiriah, hadis di atas menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan salat adalah kafir dan dihalalkan darahnya.
Dalam hadis lain Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa meninggalkan salat fardu dengan sengaja, maka ia telah terlepas dari tanggung jawab Allah." (HR Ahmad).
Sumber: Diadaptasi dari kitab Minhajul Muslim karya Syekh Abu Bakar Jabir al-Jazairi dan Al-Jami' fi Fiqhin Nisa' karya Syekh Kamil Muhammad 'Uwaidah



·      Bahasa Arab sebagai bahasa Syariat
Danarto mengungkapkan secara jujur apa yang ia rasakan dan alami. Tuhan itu berbicara dengan bermilyar-milyar bahasa, baik bahasa manusia, binatang,tumbuhan atau makhluk lainnya.Ia tidak hanya dapat didekati dengan satu bahasa. Bahasa Arab sebagai salah satu bahasa di dunia, adalah bahasa dimana rasul diturunkan sehingga secara langsung digunakan sebagai bahasa mushaf al-quran, Allah menurunkan wahyu dengan bahasa yang dimengerti oleh si penerima wahyu.Apabila Rasul orang Jawa, gak mungkin Allah nurunin dengan bahasa Arab sebab ia gak akan ngerti. Secara esensial, dari sudut pandang penerima wahyu,tidak ada perbedaan antara bahasa Jawa maupun Arab sebab lebih daripada itu, Allah menjelaskan kepada manusia dengan bahasa yang langsung nyampe ke kalbu seseorang sampe orang tersebut ngerti.
Dalam konteks shalat, dari bahasan syariah kita tidak dapat merubah seenaknya dengan bahasa lain, tetapi secara hakiki tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut dimungkinkan. Hal ini seolah-olah bertentangan antara aspek syariah sebagai aspek formal dengan aspek hakikat sebagai aspek material. Sebenarnya hal ini tidak bertentangan, sebab syariah dibuat untuk alasan PERSATUAN UMAT jadi ada faktor publik di dalam hal ini sehingga diperlukan suatu unifikasi agar tidak terjadi perpecahan yang sangat besar, sedangkan hakikat adalah hubungan privat antara pribadi dengan Tuhannya, ia secara pribadi memiliki hal-hal yang lebih khusus yang diantara seseorang dengan seseorang lainnya bisa sangat berbeda.