Hakikat Cinta Kepada Allah SWT

Cinta kepada Allah Ta’ala menduduki tempat khusus dalam Islam dan nash-nash Islam telah menjelaskan ruang lingkup dan batasan cinta ini. Allah Swt.berfirman :

Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, sauara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.

Oleh karena itu, merupakan keharusan bagi kita semua untuk berteduh di bawah naungan ayat mulia ini, yang menjelaskan bahwa cinta kepada Allah Ta’ala harusalah lebih besar dari kecintaan manusia terhadap: bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan, perniagaan, dan rumah. Jika merujuk pada pelbagai riwayat dan mencari penjelasan darinya seputar dimensi ayat ini, kita akan temukan sebuah kesimpulan yang jelas; seorang mukmin hanya akan mencintai Allah Ta’ala, atau sesuatu yang diridhai Allah lantaran cinta-Nya, atau karena diperintahkan-Nya.

Dengan demikian, yang dicinta ( al-Mahbŭb ) pada dasarnya hanya satu dan tidak ada al-Mahbŭb selain-Nya. Dan kecintaan kepada-Nya bercabang pada kecintaan terhadap al-Mustafâ (Rasulullah) saw. Dan keluarga (Ahlul Bait)nya as. Seluruh fenomena kecintaan yang disyariatkan bersumber dari keridhaan Allah Ta’ala.

Imam Ja’far al-Shâdiq as berkata, “ Hati adalah tempat suci Allah, maka janganlah engakau menempatkan (sesuatu) di tempat suci Allah, selain Allah.”

Seseoarang bertanya kepada Amiril Mukminin (Imam Ali) as tentang para pecinta. Imam berkata, “Tingkatan ter endah mereka adalah orang yang menganggap kecil keaatannya dan menganggap besar dosanya; dia beranggapan bahwa tidak ada di alam rumah yang didiami selain-Nya.” Orang tersebut kemudian pingsan. Setelah siuman, dia bertanya kembali, “Adakah derajat yang lebih tinggi dari iu?” Imam menjawab, “Ya, 70 derajat (peringkat).”

Dengan demikian, “alam” kecintaan kepda Allah adalah wilayah yang panjang dan lebar sisi-sisinya. Adalah salah jika kita beranggapan bahwa “alam” tersebut memiliki atap (batas). Kalaulah ada, maka hal itu hanyalah sebuah ungkapan yang dilontarkan dalam sebuah munajat yang tenag atau doa yang khusuk.

Sesungguhnya, kecintaan memiliki beberapa kosa kata (mufradât) yang terkandung dalam ayat yang telah kita sebutkan di atas. Adakalanya, pemiliknya sampai pada suatu taraf di mana dia tidak memiliki pilihan (pasrah). Bahkan, terkadang sampai suau taraf di mana pemiliknya rela mereguk “kebinasaan” di jalan cinta itu. Lalu, bagaimana dengan cinta kepada Allah Ta’ala yang harus menjadi satu-satunya cinta di hati makhluk, agar hanya memeluk Sang Kekasih yang ini saja atas dasar kemurnian dan kebebasan tentunya)? 

Begitulah, dapat kita pahami saba Rasulullah al-Musthafâ dan Ahlul Baitnya yang suci as, yang mengungkapkan tentang cinta yang sangat kuat dan tak tertandingi. Inilah beberapa contoh diantaranya:

“Jika Kau msukkan aku ke dalam neraka, niscaya kukabarkan kepada para penghuninya bahwa sesungguhnya aku mencintai-Mu.” 

“Oh…, seandainya aku, duhai Ilahi, Junjungan, Pelindung, dan Tuhanku! Sekiranya aku mampu bersabar menanggung siksa-Mu, mana m ungkin ku mampu bersabar terpisah dari-Mu? Dan seandainya aku mampu bersabar menahan panas api-Mu, mana mungkin aku bersabar idak melihat kemuliaan-Mu?”

“Buatlah mata yang tak (dapat) melihat-Mu, mata yang senaniasa diawasi. Dan merugilah perdagangan seorang hamba yang idak membuanya cinta kepada-Mu, sebagai bagian dari keuntungannya.”

Jika kita kaitkan pahaman konsepual kecintaan kepda Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, dengan segi praktis yang terdapat dalam riwayat hidup al-Musthafâ dan Ahlul Baitnya as, mungkin kita dapat mengetahui kadar diri kita dan keharusan untuk beramal dengan taraf yang lebih baik dalam hal ini. Cinta Karna Allah SWT