POTRET KAMPUNG KUMAYAN
OST Film. 7 Manusia Harimau
Jutaan tanaman yang ditumbuhkan Allah SWT dimuka bumi
“pasti” ada nilainya. Kata “pasti” di sini tersangkut dengan aspek
tauhid yang dilandasi keyakinan bahwa tak ada ciptaan Allah yang sia-sia
(Q.S. Ali Imran [3]:191). Termasuk jilatang yang paling gatal sekalipun.
Hanya saja, kesalahan dalam penggunaan tanaman itulah
yang membuatnya turun nilai. Tapi yang akan dibahas di sini adalah soal
kumayan.
Agaknya kumayan/kemenyan (astyrax benzoin)
merupakan salah satu hasil alam Minagkabau yang pernah menjadi “lubang
kelam” sejarah Islam di Minangkabau. Betapa tidak, kumayan yang kerap
hadir dalam upacara adat, ritual perdukunan bahkan upacara keagamaan,
dianggap sebagai komoditas yang bersetuju dengan praktik syirik yang
mengiringi pelaksanaan ajaran Islam di Minangkabau.
Aliran keagamaan yang sering disebut kaum
tradisionalis, acap menggunakan kumayan sebelum memulai upacara
keagamaan, misalnya doa bersama. Penulis yang akrab dengan lingkungan
tradisionalis sering merasakan bagaimana harumnya aroma kumayan sebelum
niat/kaul do’a dipasang. Tujuannya adalah pewangi ruangan dan bukan
sebagai media penyampai do’a.
Sementara, mereka yang mendaku kaum Islam modern
mengolok-olok masyarakat yang masih melakoni praktik ini. “Masa iya, di
zaman modern ini, orang Islam masih menggunakan praktik keagamaan
Hindu/Budha, membakar kumayan segala sebelum berdoa?” kata mereka.
Pernah hal ini penulis tanyakan kepada Buya Ahmad Khatib
Maulana Ali (1915-1993), akrab dipanggil Inyiak Imam Salo. Beliau
menjawab, “tak usah dipikirkan. Itu hanya tradisi yang melekat dalam
gairah keagamaan. Tak ada tradisi yang kekal. Nanti, ada saatnya
kumayan tak lagi dijual orang, tradisi itu akan hilang dengan
sendirinya,” kata beliau menghibur.
Benar saja, hampir 20 tahun sejak itu beliau ucapkan,
ritual membakar kumayan nyaris habis dan masyarakat “tradisionalis”
itu juga tidak begitu mempersoalkan. Tak ada kumayan, tak masalah.
Dunia “modern” ternyata telah meninggalkannya dengan santai, tanpa
konflik yang berarti. Saya tidak tahu persis, apakah ada kemajuan tema
pemurnian agama yang baru setelah gerakan anti-praktik membakar
kumayan dalam upacara keagamaan ini.
Pertanyaannya, dapatkah dikatakan hilangnya kumayan dari
pasaran akibat kampanye pemurnian agama? Atau barangkali komoditas
ini hilang akibat hilangnya pohon kumayan dari hutan-hutan kita karena
penebangan liar (illegal logging)?
Sejarah mencatat, praktik membakar kumayan dalam ritual
keagamaan terjadi saat kumayan melimpah ruah di negeri ini. Orang
Minangkabau yang “penggalas” mengangkut komoditas dagang ini dari tanah
Batak, kemudian dijual di Minangkabau untuk keperluan macam-macam.
William Marsden etnolog abad ke-18 dari East Indian Companies (EIC) dalam bukunya Sejarah Sumatera (W. Marsden, 2008:144-145)
bercerita tentang populernya kumayan sebagai komoditas dagang “tempo
doeloe”. Getah kumayan yang paling murni disebut “kepala kumayan”.
Kepala kumayan kualitas tinggi disebut “kepala eropa”, dan kualitas yang lebih rendah disebut “kepala hindia”
Kumayan kepala eropa dijual ke pasar eropa. Kegunaannya
antara lain pengharum gereja, obat batuk (ekspektoran) dan penyembuh
luka (styptic). Sementara kumayan kepala hindia diekspor ke
Arab, Persia hingga India. Kegunaannya antara lain pengharum kuil
atau rumah pribadi, pengusir serangga dan dapat pula menyingkirkan
efek udara kotor yang mengganggu pernafasan.
Memang kumayan pernah memiliki catatan hitam dalam
sejarah agama Islam di Minangkabau. Tetapi sebagai benda mati tak
perlu pula kumayan dipandang sinis sebagai properti “kaum pagan”.
Apapula bedanya dengan keris pusaka atau benda-benda lainnya yang
berwajah ganda, gelap dan terang. Wajah gelap ketika benda tersebut
digunakan untuk tujuan jahat, dan wajah cerah ceria bila digunakan
untuk kemaslahatan.
Nah, sebagai penunjang maslahat, terutama
soal kesejahteraan dan ekonomi, tak ada salahnya dikembangkan budi
daya kumayan. Setidaknya untuk menjemput kembali “success story”
kumayan dalam sejarah kebudayaan Minangkabau. Selanjutnya, hutang
pakar tumbuh-tumbuhanlah untuk menganalisis, apakah tanaman kumayan
dapat tumbuh di tanah Minangkabau modern. Sementara ahli-ahli lainnya
diharapkan meneliti terus manfaat dan khasiat yang masih tersembunyi di
balik kumayan. Sedangkan ahli agama cukup mendo’a dan mengaminkan,
semoga pohon kumayan dapat tumbuh baik dan berguna menunjang
perekonomian anak nagari. Amin.