Argumen Yang Menghalalkan Alat Musik /Musik



Kritik Salafi Yang Mengatakan Al Quran Mengharamkan Musik dan Lagu
Mereka yang menisbatkan dirinya dengan Salafi telah menyatakan bahwa Musik dan lagu haram hukumnya. Tentunya mereka berkata seperti itu dengan dasar dalil dari Al Quran dan Al Hadis. Benarkah seperti itu? Saya berusaha mengkaji masalah ini dan akhir kajian saya adalah ternyata Musik dan Lagu tidak haram. Dalil yang mereka katakan dari Al Quran dan Hadis adalah tidak kuat dan tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah ini.
Mereka yang ngotot sekali dengan pengharaman musik dan lagu sebenarnya hanya mengikut saja kepada Ulama mereka tanpa menelaah dalilnya secara kritis. Saya cukup heran dengan mereka yang sekedar mengikut tetapi berani berteriak di depan orang lain, menguras energinya untuk menunjuk-nunjuk kepada mereka yang mendengarkan musik dan lagu. Dengan pongahnya mereka akan menyalahkan setiap pendapat yang membolehkan musik dan lagu walaupun pendapat tersebut ada dasarnya.
Mereka akan selalu berkata Al Quran dan Hadis telah mengharamkan musik. Aneh sekali seolah-olah hanya mereka saja yang membaca Al Quran dan Hadis, saya katakan mereka yang cuma mengikut itu sudah terkena pengaruh Ulamaisme Salafi. Yang mereka katakan Al Quran dan Hadis itu sebenarnya adalah pemahaman ulama mereka terhadap Al Quran dan Hadis. Mereka yang sekedar mengikut itu telah kehilangan kemampuan untuk memahami dan untuk menutupinya mereka dengan liciknya berlindung dibalik pemahaman Ulama mereka.
Apa daya mereka tanpa ulama mereka, Anda harus memahami Al Quran dan Hadis sesuai dengan pemahaman Salafus salih, lucu apa ulama mereka itu salafus salih. Kita harus ikut Ulama karena mereka lebih ahli, bohong mereka tidak ikut ulama tetapi ikut ulama mereka, ulama yang punya cap ulama salafi Itulah ulama ahli. Ulamaisme Salafi, Ulamaisme demi identitas diri, identitas yang mewah kelas pertama, identitas dengan kebenaran terpasung di lehernya, identitas yang membuatnya berbangga diri dengan menunjuk-nunjuk orang lain, identitas yang penuh candu keselamatan dan kemuliaan. Sungguh Euforia yang tragis demi sebuah identitas.

Tulisan ini akan membahas terlebih dahulu dalil Al Quran yang mereka jadikan dasar untuk mengharamkan musik. Dalam kesempatan lain kalau saya masih hidup saya akan membahas dalil Hadis-hadisnya.

Argumen Salafi
Dalil terkuat dari Al Quran yang mereka pakai untuk mengharamkan musik adalah QS Lukman :6 Wa minannaasi mayyasytarii lahwal hadiitsi liyudhilla ‘an sabiilillaahi bighayri ‘ilmi wayattakhidza haa hudzuwa ,Ulaaaika lahum ‘adzaabummuhiin
“Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan”.QS Lukman: 6


Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa yang dimaksud dengan lahwal hadiitsi(perkataan yang tidak berguna) pada ayat tersebut adalah nyanyian. Dalam hal ini Ibnu Mas’ud bersumpah dengan mengatakan “Demi Allah, itu adalah lagu”.(Sunan Al Kubra Baihaqi 10 hal 223)
Al Wahidi mengatakan, kebanyakan para mufassir mengatakan bahwa yang dimaksud lahwal hadiitsi(perkataan tidak berguna) adalah nyanyian, ini adalah pendapat Mujahid dan Ikrimah. (Sunan Al Kubra Baihaqi 10 hal 223).
Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan Min Mashayid Asy Syaithan jilid I hal 258-259 mengatakan bahwa hadis tersebut(riwayat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar) jika didalamnya telah diteliti maka tidak diragukan lagi lebih prioritas diterima daripada penafsiran orang setelah mereka.


Oleh karena itu berdasarkan keterangan di atas jelas bahwa Al Quran mengharamkan musik sehingga yang melakukannya akan mendapat azab yang menghinakan.
Pembahasan dan Bantahan
Sepintas lalu kalau kita melihat Al Quran Lukman ayat 6 tersebut kita tidak akan terpikir bahwa ayat tersebut mengharamkan musik dan lagu karena lahwal hadiitsi diterjemahkan sebagai perkataan yang tidak berguna atau perkataan yang bersifat permainan. Jadi satu-satunya sandaran bahwa lahwal hadiitsi adalah nyanyian adalah hadis yang menerangkan perkataan Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa lahwal hadiitsi yang dimaksud dalam Lukman ayat 6 adalah nyanyian.
Hadis tersebut dalam Sunan Baihaqi adalah hadis yang shahih jadi saya tidak akan menolak hadis tersebut. Bahkan hadis ini disahkan oleh Al Hakim dalam kitabnya Mustadrak As Shahihain. Tetapi perlu ditekankan bahwa hadis itu tidak bersambung sampai ke Rasulullah SAW atau tidak marfu’. Hadis itu hanya menjelaskan penafsiran Sahabat Nabi terhadap lahwal hadiitsi.
Memang ada ulama yang berpendapat penafsiran Sahabat dihukumi marfu’ atau berasal dari Rasulullah SAW dengan alasan mereka para Sahabat telah menyaksikan turunnya wahyu. Pendapat ini tidaklah benar karena kalau memang benar penafsiran Sahabat Nabi itu(dalam hadis Sunan Baihaqi diatas) berasal dari Rasulullah SAW mereka pasti akan menjelaskan dengan kata-kata telah berkata Rasulullah SAW atau saya melihat Rasulullah SAW. Kata-kata itu akan menjelaskan sebab turunnya ayat yang merupakan bukti kalau mereka Sahabat itu menyaksikan turunnya ayat tersebut. Hadis-hadis dengan kata-kata yang jelas marfu’nya ini banyak terdapat dalam Kitab Hadis yang menjadikan hadis tersebut sebagai penafsiran Rasulullah SAW terhadap ayat Al Quran.
Sedangkan hadis tentang Nyanyian ini tidak terdapat kata yang jelas bahwa penafsiran itu berasal dari Rasulullah SAW jadi lebih tepat kalau hadis ini merupakan penafsiran Sahabat Nabi terhadap lahwal hadiitsi. Apakah dengan begitu penasiran Sahabat itu tidak diterima? Tentu saja diterima, Bagaimana mungkin kita bisa menerima penafsiran ulama tetapi tidak menerima penafsiran Sahabat Nabi. Bedanya kalau itu penafsiran dari Rasulullah SAW maka tidak ada tempat bagi kita untuk mengkritiknya.
Jadi penafsiran sahabat bahwa lahwal hadiitsi itu nyanyian bisa diterima dalam arti nyanyian itu termasuk salah satu dari lahwal hadiitsi yang dimaksud tetapi tidak hanya itu. Karena arti sebenarnya lahwal hadiitsi itu adalah perkataan yang tidak berguna atau perkataan yang bersifat permainan.
Apakah dengan begitu kita mengakui bahwa nyanyian itu haram? Ho ho ho tentu saja tidak, nah disinilah letak bantahannya. Lihat kembali surah Lukman ayat 6 tersebut, nah anda akan tahu bahwa lahwal hadiitsi yang mendapatkan azab itu adalah lahwal hadiitsi(perkataan yang tidak berguna) yang digunakan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah SWT. So yang diharamkan itu adalah menyesatkan manusia dari jalan Allah SWT dengan perkataan tidak berguna atau main-main termasuk dengan nyanyian.
Sedangkan lahwal hadiitsi sendiri adalah hal yang biasa saja, kata itu mengandung arti perkataan yang tidak berguna atau perkataan yang bersifat permainan. Tentu sebagai seorang muslim yang ideal hendaknya mengeluarkan perkataan yang berguna saja dan Jangan suka main-main. Idealnya begitu, kalau saya sih jelas tidak ideal, saya masih suka main-main dan perkataan saya banyak juga yang tidak berguna. Saya tidak setuju kalau hal seperti ini diharamkan selagi kata-kata itu tidak buruk dan tidak menyakiti orang lain.
Lahwal hadiitsi, kata hadiitsi sendiri berarti perkataan sedangkan kata lahwu berarti tidak berguna atau permainan. Mereka yang ingin mempermasalahkan kata lahwu dan menyatakannya haram adalah tidak benar. Lihatlah Al Quran Muhammad ayat 36 Innamal hayaatuddunyaa la’ibun wa lahwu “Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau…”QS Muhmmad :36
Bagaimana mungkin lahwu bisa dikatakan haram, kalau iya maka kehidupan dunia menjadi haram pula. Ini jelas tidak benar, lahwu(permainan) itu adalah hal yang biasa saja selagi tidak memalingkan kita pada kehidupan akhirat. Oleh karena itu kelanjutan ayat itu “Dan jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu”.QS Muhammad 36
Kembali kepada Al Quran Lukman ayat 6, ayat ini sebenarnya ditujukan buat orang-orang kafir. Ini dapat dilihat dari kelanjutan ayat tersebut Lukman ayat 7.  “Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan”.QS Lukman :6
“Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia tidak mendengarnya. Seakan-akan ada penghalang di kedua telinganya, maka berikan kabar gembira padanya dengan azab yang pedih”.QS Lukman :7
Jelas sekali bahwa yang berpaling dengan menyombongkan diri ketika dibacakan ayat-ayat Allah adalah orang kafir.
• Ibnu Jarir At Thabary dalan Tafsir Ath Thabary jilid I hal 41 tafsir surah Lukman menegaskan dari riwayat Ibnu Wahabyang berkata “Ibnu Zaid mengatakan bahwa Lukman ayat 6 “Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna” maksudnya adalah orang-orang kafir.
• Pendapat ini juga dikemukakan Ibnu Athiyyah dalam Tafsir Ibnu Athiyyah jilid 11 hal 484 yang mengatakan bahwa yang rajih atau lebih kuat adalah ayat yang diturunkan tentang lahwul hadis ini untuk orang-orang kafir, karenanya ungkapan tersebut sangat keras yaitu “untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa pengetahuan dengan menggunakannya sebagai olok-olokan” dan disertai dengan ancaman siksaan yang sangat hina.
• Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla jilid 9 hal 10 telah membantah mereka yang menggunakan Lukman ayat 6 ini sebagai dasar pengharaman musik Beliau berkata “Nash ayat tersebut membatalkan Argumentasi –argumentasi mereka sendiri, karena dalam ayat tersebut “Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan” Ini menunjukkan bahwa yang melakukannya adalah orang kafir,tanpa ikhtilaf jika menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan. Inilah yang dicela oleh Allah . Sedangkan orang yang menggunakan perkataan yang sia-sia untuk tujuan hiburan atau menenangkan dirinya bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tidaklah dicela. Maka terbantahlah pendapat mereka dengan perkataan mereka sendiri. Bahkan jika seseorang melalaikan shalat dengan sengaja dikarenakan bacaan Al Quran atau membaca hadis atau dengan obrolan dan lagu sama saja termasuk kefasikan dan dosa kepada Allah. Tetapi siapa yang tidak melalaikan kewajiban sebagaimana yang kami sebutkan maka tetap merupakan kebaikan”
Maaf kalau terlalu panjang mari kita akhiri saja dengan kesimpulan Ayat Al Quran Lukman ayat 6 adalah lebih tepat ditujukan untuk orang-orang kafir yang ingin menyesatkan manusia dari jalan Allah dengan perkataan yang tidak berguna. Jadi Ayat ini tidak benar dijadikan dasar pengharaman musik dan lagu. Singkatnya Al Quran tidak mengharamkan musik dan lagu. Salam damai.

Ja'far Shodiq Al-Palembani, di/pada Agustus 20th, 2007 pada 2:04 pm Dikatakan:

Menurutku, musik/nyanyian yang membuat dosa adalah musik mengumbar hawa nafsu, dan berisi kata-kata yang haram dan menyesatkan. Ini sangat sesuai dengan :
“Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan”.QS Lukman: 6
Musik/nyanyian yang model seperti itu adalah salah satu contoh ‘perkataan yang tidak berguna’.
Musik bisa jadi sarana dakwah (nasyid), musik yang berharmoni juga bisa meningkatkan kemampuan otak kanan dan mempercepat penyembuhan penyakit (sbg terapi alternatif), musik juga bisa mengingatkan seseorang akan suatu sesuatu yang baik melalui bait-bait lagu tsb, musik juga dapat melembutkan hati…
By the way, menurut saya halal atau haram musik/nyanyian tsb tergantung dari bagaimana musik tsb. Musik dapat menjadi halal dan musik juga dapat menjadi haram.
secondprince, di/pada Agustus 21st, 2007 pada 10:42 am Dikatakan:
@ Kustoro
kalau soal manfaat itu relatif Mas, bagi anda yang mungkin tidak pernah mendengar nyanyian maka anda tidak akan tahu manfaatnya. Sekedar informasi Mas Musik sudah menjadi salah satu terapi psikis bagi penyakit psikis tertentu.
Anda bicara dalil, boleh saja tetapi tahukah anda bahwa setiap dalil mesti ditelaah
1. Allah Ta’ala berfirman:


وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا


“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan “perkataan yang tidak berguna” untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.” (Luqmaan:6)
Kebanyakan ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “perkataan yang tidak berguna” adalah nyanyian.

Berkata Ibnu Mas’ud: “Itu adalah nyanyian. Demi Allah, yang tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali Dia.” Beliau mengulanginya tiga kali. Dan berkata Al-Hasan Al-Bashriy: “Ayat ini turun berkaitan dengan nyanyian dan alat musik.” (Lihat Tafsiir Ibni Katsiir 6/145 cet. Maktabah Ash-Shafaa)
Bukankah dalil ini sudah dibahas dalam tulisan di atas,aneh berarti anda sama sekali tidak membaca tulisan saya lihat lagi tulisan di atas
Anda bilang kebanyakan ahli tafsir menyatakan itu nyanyian, tetapi kenapa anda tidak menyebutkan siapa saja mereka
Mengenai Ibnu Mas’ud kan udah dibahas di atas saya sepakat hadisnya shahih tetapi itu kan cuma penafsiran sahabat, tidak ada kata indikasi marfu’ ke Rasulullah SAW
Anda mengutip Hasan Bashri yang notabenenya seorang tabiin, apakah tabiin menyaksikan turunnya Ayat Al Qur’an
Sebenarnya Mas kalau anda mau menelaah dengan cermat ayat di atas maka yang diharamkan itu tujuannya untuk menyesatkan manusia, sekali lagi baca tulisan di atas apa menurut anda saya itu cuma main-main
Dalil no 2 anda, jelas sekali anda tidak menampilkan referensinya dari mana anda tahu bahwa suara itu adalah nyanyian, seharusnya maaf anda menampilkan pendapat siapa itu
Dalil hadisnya akan saya bahas nanti, hadis itu terdapat keraguan pada sanadnya bahkan Bukhari sendiri meriwayatkan secara muallaq artinya sanadnya terputus, lengkapnya akan saya bahas nanti

Anda menukil pendapat ulama, percayalah saya juga punya sumber ulama yang membolehkan nyanyian
jadi pendapat ulama tidak menjadi hujjah mati ketika banyak juga ulama yang membolehkan nyanyian, salah satu yang membolehkan adalah Asy Syaukani, Ibnu Thahir, dan Ibnu Hazm.

Pendapat Ibnu Taimiyyah yang anda kutip masih janggal
1.Anda mengaitkan dengan syirik maka yang jadi haramnya itu yang syiriknya bukan musiknya , menurut saya yg seperti ini jelas berlebihan
2 dan 3 Ibnu Taimiyyah mengaitkan hal keji seperti zina dan pembunuhan dengan musik, ya yang seperti ini kan berarti zina dan pembunuhannya yang haram. ini generalisasi namanya bagaimana dengan yang mendengarkan musik sendirian di kamar
4. Musik seperti arak bagi jiwa, mana dalilnya? ini cuma perkataan Ibnu Taimiyyah saja, bagaimana dengan mereka para ahli psikolog yang melakukan terapi musik, perkataan itu harus dengan dalil kuat Mas, kalau cuma pendapat tidak bisa dijadikan dasar pengharaman.
rakhman, di/pada September 5th, 2007 pada 8:02 pm Dikatakan:
Assalamu’alaikum,

Boleh ikutan dong, wah mas jago tafsir ya mengalahkan Sahabat Rasululloh.
Terus bagaimana dengan hadits ini mas:
“Sungguh, benar-benar akan ada dari ummatku kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr (minuman keras) dan ma’aazif.” Ma’aazif adalah musik. (HR. Al-Bukhariy dan Abu Dawud)
Masalah terapi dengan musik, menurut saya mah kebanyakan pemusik itu org yg jauh dengan agama (kecuali yg beragama non-muslim- maaf).
Jadi gimana nih? Oh ya ttg efek musik bagi tubuh juga blm final kok, masih banyak ilmuwan yg menyangkal (iseng2 search di google)

Klo saya mah ngejaga utk tdk dengerin musik. Takut, soalnya pilihannya cuman 2, klo benar cmn dapat kenikmatan mendengarkan musik, klo salah padahal sdh tahu hadits-nya dosa dong.
Cari aman ahhhh.
Wallahu a’lam
secondprince, di/pada September 6th, 2007 pada 10:19 am Dikatakan:
@ Rakhman

Maaf mas anda salah kok, saya gak jago tafsir dibanding sahabat, apa saya menolak tafsir sahabat,tidak kok. Baca lagi dengan baik saya menerima tafsir sahabat, tapi pemahamannya tidak seperti yang salafi katakan.Tapi tafsir sahabat nggak mutlak karena ayat Al Quran nya jelas dan umum.
Hadis itu terdapat keraguan pada sanadnya, coba anda cek sendiri. Bukhari meriwayatkan secara muallaq,ntar saya akan bahas anda juga sembarangan generalisasi masalah pemusik jauh dari agama gak ada hubungan dengan hukum musik sendiri. Apa anda tidak pernah mendengar musik yang bernuansa agama.

Memang belum final kok, ada ilmuwan yang menyangkal, maaf Mas baca lagi teliti memang ada yang ragu terapi musik untuk kasus-kasus tertentu. Bukan menyangkal tetapi mereka berpendapat itu tak terlalu berpengaruh.
Anehnya anda mengabaikan mereka yang berpendapat terapi musik bermanfaat untuk kasus-kasus tertentu
Silakan saja Mas, itu kan hak anda, entahlah apa anda pernah mendengar hadis-hadis yang membolehkan musik.
saya rasa anda hanya mendengar hadis-hadis yang dikatakan salafi mengharamkan musik, tetapi anehnya luput dari pandangan anda keraguan pada hadis tersebut
ibnu chusaeri, di/pada September 7th, 2007 pada 10:12 am Dikatakan:

Assalamu’alaikum…
Maaf, saya hanya seorang tholabul ilmi, dan belum mempunyai kemampuan untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist. Saya lebih memilih mencari dan mengikuti kebenaran yg berdasarkan Al-qur’an dan Assunnah (hadist yg shahih)yg disampaikan oleh para ulama. Saya tidak akan berpendapat menurut pribadi saya apalagi mengkritik, karena memang saya merasa belum cukup, bahkan jauh, dari mampu. Maka berikut ini saya sampaikan beberapa artikel sebagai tambahan, yg mudah-mudahan bermanfaat.
dan mohon maaf bila terlalu panjang.. l  - comment-562
*kabur*
Shelling Ford, di/pada Oktober 5th, 2007 pada 11:58 am Dikatakan:
@ ahmad abu faza
Sudah jelas hadist-hadist yang melarang musik :
sudah jelas juga kalo tulisan di sini membantah kalo hadist2 itu melarang musik http://secondprince.wordpress.com/
@ Mas Joe


ah saya juga heran Mas l
secondprince, di/pada Oktober 25th, 2007 pada 5:35 pm Dikatakan:

@Ifanogoo
ah saya malas nanggepin komen anda,tapi sepertinya sudah ada yang menanggapi anda. Nah saya sependapat dengan mereka
saya hanya ingin menanggapi kata-kata anda
ingat kawan,… pada akhir zaman pemahaman terhadap alquran, sunnah, hadist akan menjadi sempit seiring dengan propaganda yahudi untuk menghancurkan islam….. telaah lah dan kritislah terhadap permasalahan tersebut. apakah kita pernah aware (waspada) terhadap propaganda2 yahudi terhadap islam ?,…

percayalah saya bingung dengan anda ini, tulisan saya yang ada sekarang saja anda memahaminya dengan tidak benar, apalagi yang jauh-jauh ke akhir zaman dan propaganda yahudi segala. aduh Mas jangan tertipu dengan pikiran-pikiran sendiri.
Kita kan gak bicara masalah Yahudi, coba lihat tulisan diatas mana ada sedikitpun tentang yahudi. Yang aneh siapa jadi
@Mas Joe
saya setuju dengan ini

@Difo
ikutan nonton
Bambang Soebiawak, di/pada Oktober 25th, 2007 pada 6:06 pm Dikatakan:
Berantemnya ga jadi? http://mbelgedez.wordpress.com/

@Tri End
Ah, cara Salafi menggunakan akal benar-benar beda l  - comment-742
tukang ngeyel, di/pada Nopember 12th, 2007 pada 12:38 pm Dikatakan:
Gini aja amalku ya amalku, amalmu ya amalmu wissssssssss
Kholifatul vica cristin, di/pada Nopember 13th, 2007 pada 11:27 am Dikatakan:
Alah terserah dirimu2 yg tw mslh dalil2,bagi ku hidup di dunia akan terasa Hampa bila tanpa musik……….
Taufiq, di/pada Desember 6th, 2007 pada 9:16 pm Dikatakan:

Perkataan shahabat anda tolak, ulama pun anda tolak, lalu pendapat siapa yang anda pegang? pendapat anda sendiri?
“Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik … .” (HR. Bukhari 10/51/5590-Fath)
secondprince, di/pada Desember 7th, 2007 pada 1:36 pm Dikatakan:

@Taufiq
Perkataan sahabat mana yang saya tolak, maaf kalau baca itu yang benar, lihat kata-kata saya yang ini
Apakah dengan begitu penasiran Sahabat itu tidak diterima? Tentu saja diterima, Bagaimana mungkin kita bisa menerima penafsiran ulama tetapi tidak menerima penafsiran Sahabat Nabi.

baca jangan buru-buru atau terpengaruh dengan emosi
teliti dulu tulisannya
ulama yang saya tolak pendapatnya adalah ulama salafi, sedangkan Ibnu Thahir, asy Syaukani, Ibnu Hazm, Ibnu Arabi, Syaikh Muhammad al Ghazali dan Syaikh Yusuf Qardhawi malah saya terima pendapat mereka yang tidak mengharamkan musik

Saya berpegang dengan hadis Rasulullah yang shahih dan tidak diperselisihkan sanadnya Mas, lihat tulisan saya ini
http://secondprince.wordpress.com/2007/09/08/kritik-salafi-yang-mengabaikan-hadis-hadis-yang-membolehkan-musik-dan-lagu/
Maaf Mas pengetahuan anda bahwa yang punya dalil hanya salafi itu lebih baik perlu diperiksa
Yang punya dalil tidak hanya Salafi Mas
bara, di/pada Desember 11th, 2007 pada 7:59 am Dikatakan:

@ second
kata anda
Perkataan sahabat mana yang saya tolak, maaf kalau baca itu yang benar, lihat kata-kata saya yang ini
Apakah dengan begitu penasiran Sahabat itu tidak diterima? Tentu saja diterima, Bagaimana mungkin kita bisa menerima penafsiran ulama tetapi tidak menerima penafsiran Sahabat Nabi.
tuh kan ternyata kita harus menerima penafsiran sahabat, dari para ulama/imam
J Algar, di/pada Desember 11th, 2007 pada 7:44 pm Dikatakan:

@bara
Ya jelas dong diterima kalau memang dalilnya shahih
intinya itu Mas dalil shahih dan metode yang benar
bukan dengan taklid
saya menerima penafsiran sahabat dan ulama yang sesuai dengan dalil yang shahih
Perhatikan itu Mas
bara, di/pada Desember 11th, 2007 pada 8:29 pm Dikatakan:

@ second
klo hadits fadak yang dibawa sahabat Abubakar ????? ( kan sahih di kitab bukhari ) masak lupa
Taufiq, di/pada Desember 12th, 2007 pada 6:13 pm Dikatakan:

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa yang dimaksud dengan lahwal hadiitsi (perkataan yang tidak berguna) pada ayat tersebut adalah nyanyian. Dalam hal ini Ibnu Mas’ud bersumpah dengan mengatakan “Demi Allah, itu adalah lagu”. (Sunan Al Kubra Baihaqi 10 hal 223)
Sebagaimana yang anda tulis, pendapat Abdullah bin Mas’ud RA, Abdullah bin ‘Abbas RA dan Abdullah bin ‘Umar RA yang anda tolak, bukankan mereka sama menyatakan bahwa nyanyian itu haram?
Ya, sanadnya memang tidak menyambung kepada Rasulullah SAW, dan bahwa memang ini penafsiran mereka sendiri, tetapi adakah dalil yang menyatakan para shahabat lainnya menolak pendapat mereka ini? Kalau ada tolong anda sampaikan! Dan bukankah anda tahu kedudukan Abdullah bin ‘Abbas diantara para shahabat, bahwa dialah salah seorang ahli tafsir terbaik diantara mereka.
Maafkan saya kalau saya terbawa emosi.
almirza, di/pada Desember 12th, 2007 pada 8:27 pm Dikatakan:

@bara
Eh pokok bahasan itu udah ada tulisannya
komen disana saja
Gak berani ya
komen kok di tempat yang jauh begini

@Taufiq
Payah nih, anda kan cuma bawa hadis Baihaqi yang udah dibahas diatas
gak ada tuh keterangan Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud mengharamkan nyanyian
mereka cuma bilang lahwal hadisi itu nyanyian
Lagian si second itu udah bilang kok
Apakah dengan begitu kita mengakui bahwa nyanyian itu haram? Ho ho ho tentu saja tidak, nah disinilah letak bantahannya. Lihat kembali surah Lukman ayat 6 tersebut, nah anda akan tahu bahwa lahwal hadiitsi yang mendapatkan azab itu adalah lahwal hadiitsi(perkataan yang tidak berguna) yang digunakan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah SWT. So yang diharamkan itu adalah menyesatkan manusia dari jalan Allah SWT dengan perkataan tidak berguna atau main-main termasuk dengan nyanyian.

Memang orang-orang Salafi gak pernah baca tulisan orang dengan baik
Nafsunya sih yang bekerja bukan akalnya l
buritan, di/pada Januari 14th, 2008 pada 7:46 am Dikatakan:

@ taufiq
emang semua lagu itu membawa kepada kesesatan, emang semua bikinan kaum kufar itu membawa kepada kesesatan, klo begitu jangan pake mobol biar gak sesat, mobil kan bikinan kaum kufar ???
Maz JoEyZt, di/pada Februari 22nd, 2008 pada 9:33 pm Dikatakan:
Sebaiknya yang nulis artikel di atas belajar dulu deh. Masih bodoh aja sok tau… sok alim……sombong banget….

dikira dirinya lebih alim dari ulama….
dikira dirinya lebih alim dari sahabat yang telah dijamin masuk surga….
dikira dia itu sudah jadi ahli hadits….
dikira …dikira…dikira…..

ente masih bodoh mas, ibarat anak kecil tuh masih jilatin permen lolipop.
mbok ya belajar dulu to mas…
ngenes gue bacanya….

artikel di atas justru menunjukkan kebodohan penulis (siapapun dia gw ga tau, cuma satu hal….
BAHWA DIA TAU KALAU GW TAU BAHWA DIA TAU GW MENYADARI BAHWA DIA ITU BODOH SOK ALIM, SOMBONG)


Kritik Salafi Yang Mengabaikan Hadis-hadis Yang Membolehkan Musik Dan Lagu
Sekali lagi mari kita bahas soal musik. Kali ini akan dibahas hadis-hadis yang mengindikasikan bolehnya musik dan lagu. Hadis-hadis ini menjadi dasar yang kuat sebagai kritikan bagi mereka yang menisbatkan dirinya dengan Salafi. Juga ditujukan buat mereka yang menanggapi tulisan saya yang lalu. Hadis-hadis ini membantah anggapan mereka bahwa musik dan lagu itu diharamkan.
Hadis Pertama
Diriwayatkan oleh Buraidah bahwa Rasulullah SAW hendak menuju perperangan, ketika kembali dari perperangan seorang Jariyyah hitam datang menghampiri Rasulullah SAW seraya berkata ”wahai Rasulullah SAW sesungguhnya aku telah bernadzar apabila Engkau kembali dengan selamat aku akan menabuh Duff dan bernyanyi di hadapanmu, Rasulullah SAW bersabda ”apabila kau telah bernadzar maka tabuhlah sekarang karena apabila tidak maka engkau telah melanggar nadzarmu”. Kemudian Jariyyah tersebut menabuh Duff dan bernyanyi, kemudian Abu Bakar ra masuk ke rumah Rasulullah SAW ketika Jariyyah itu masih menabuh Duff dan bernyanyi, kemudian ketika Ali ra masuk dia masih menabuhnya dan ketika Utsman ra masuk dia juga tetap menabuh, ketika Umar ra masuk beliau langsung melemparkan Duff itu ke arahnya yang kemudian Jariyyah itu duduk. Lalu Rasulullah SAW bersabda ”wahai Umar sungguh setan akan takut kepadamu, sungguh ketika Aku duduk, dia menabuh Duff, ketika Abu Bakar masuk dia juga masih demikian, Ketika Ali masuk juga demikian, ketika Utsman masuk dia juga tetap menabuhnya akan tetapi ketika engkau masuk wahai Umar engkau lemparkan Duff itu”. (Hadis Sunan Tirmidzi no 3690 dimana At Tirmidzi mengatakan hadis ini hasan shahih gharib, hadis ini juga dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi. Juga diriwayatkan dalam Musnad Ahmad bab Buraidah no 22989 dengan sanad yang kuat, dan diriwayatkan dalam Shahih Ibnu Hibban hadis no 6892).
Hadis ini adalah bukti jelas dibolehkannya menabuh Duff(sejenis alat musik tabuh) dan bernyanyi. Tidak boleh bernadzar dalam hal yang diharamkan atau dalam bermaksiat kepada Allah, hal ini sudah sangat jelas. Izin Rasulullah SAW melalui kata-kata tunaikanlah nadzarmu menjadi bukti kuat kebolehan menabuh duff dan bernyanyi. Sedangkan sikap Umar ra itu adalah kecenderungannya yang tidak suka mendengarkan duff dan nyanyian. Adalah aneh sekali jika menganggap sikap Umar ra sebagai menunjukkan haramnya menabuh musik dan bernyanyi karena kalau memang haram tidak mungkin dari awal Rasulullah SAW membiarkannya termasuk Abu Bakar ra, Ali ra dan Usman ra. Adalah lucu sekali berpendapat Umar ra tahu itu haram sedangkan Rasulullah SAW tidak, yang seperti ini jelas tidak benar. Oleh karena itu sikap Umar ra tidak lain adalah kecenderungan pribadinya.
Hadis Kedua
Diriwayatkan dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz beliau berkata ”Rasulullah SAW datang, pagi-pagi ketika pernikahan saya kemudian Beliau SAW duduk dikursiku seperti halnya kau duduk sekarang ini di depanku, kemudian aku menyuruh para Jariyah memainkan Duff,dengan menyanyikan lagu-lagu balada orang tua kami yang syahid pada perang Badr, mereka terus bernyanyi dengan syair yang mereka kuasai, sampai salah seorang dari mereka mengucapkan syair yang berbunyi…”Diantara kita telah hadir seorang Nabi yang mengetahui hari depan”…Maka Nabi SAW bersabda ”Adapun syair ini janganlah kamu nyanyikan”.(Hadis Shahih Bukhari Kitab Nikah Bab Dharbal Duff Al Nikah Wa Al Walimah no 5147, juga diriwayatkan dalam Shahih Ibnu Hibban no 5878).
Hadis ini juga mengisyaratkan bolehnya memainkan Duff dan bernyanyi, hal ini berdasarkan taqrir atau diamnya Nabi saat Jariyyah tersebut memainkan duff dan bernyanyi. Bukhari telah meriwayatkan hadis ini dalam Bab Dharbal Duff Al Nikah Wa Al Walimah(Memukul Tambur Selama Pernikahan). Perkataan Nabi SAW ”Adapun syair ini janganlah kamu nyanyikan” merujuk kepada syair yang berbunyi..”Diantara kita telah hadir seorang Nabi yang mengetahui hari depan”, Nabi melarang kata-kata dalam syair ini karena Hanya Allah SWT yang mengetahui hari depan.
Hadis Ketiga
Dari Aisyah ra Suatu hari Abu Bakar ra masuk ke rumah Rasul SAW disana ada dua jariyah yang sedang bernyanyi dengan memainkan rebana, mereka sudah biasa bernyanyi, sedangkan Rasulullah SAW terhalang dengan tirainya. Abu Bakar melarang keduanya sehingga Rasulullah SAW membuka tirai sambil bersabda ”Wahai Abu Bakar biarkanlah(mereka bernyanyi) karena hari ini adalah hari Id(hari raya)”. (Hadis Shahih Bukhari dan Shahih Muslim sebagaimana disampaikan Syaikh Al Albani dalam Ghayatul Maram Takhrij Al Halal Wal Haram Fil Islam hadis ke 399Al Maktab Al Islami Al Ula hal 227).
Hadis ini juga menjadi dasar bolehnya bernyanyi dan memainkan gendang atau rebana. Hal ini tampak jelas dari kata-kata Nabi SAW ”Biarkanlah”. Tidak mungkin Nabi SAW membiarkan yang haram. Sedangkan anggapan sebagian orang bahwa yang dibolehkan hanya pada hari raya sedangkan selain hari raya itu dilarang adalah anggapan yang tidak benar. Pertama sudah jelas dalam dua hadis sebelumnya nyanyian dibolehkan ketika nadzar dan pernikahan bukankah itu artinya selain hari raya. Kedua dalam hari raya tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang haram. Bagaimana mungkin sesutu yang haram menjadi halal karena hari raya. Oleh karena itu tidak beralasan menyatakan nyanyian itu haram.
Hadis Keempat
Diriwayatkan dari Aisyah ra yang berkata ”di kamarku ada Jariyyah Anshar kemudian aku menikahkannya maka Rasulullah SAW masuk pada hari pernikahannya itu Beliau SAW sama sekali tidak mendengar nyanyian ataupun lahwu(permainan) kemudian Beliau SAW bersabda ”wahai Aisyah apakah engkau tidak memberikan nyanyian untuknya?”. Kemudian Beliau SAW bersabda lagi ”bukankah di kampung ini kampungnya orang Anshar yang mereka itu sangat menyukai nyanyian”.(Hadis dalam Shahih Ibnu Hibban no 5875 semua perawinya tsiqat).
Begitu pula dalam hadis ini yang berkesan adanya anjuran nyanyian atau hiburan dalam pernikahan. Hal ini setidaknya membuktikan nyanyian itu tidak haram karena Nabi SAW telah mengizinkannya dalam pernikahan.
Hadis kelima
Dari Amir bin Said dia berkata ”Aku masuk ke rumah Abi Mas’ud dan Qardhah bin Ka’ab dan diantara mereka ada beberapa Jariyah yang sedang bernyanyi, kemudian aku bertanya ”Apakah kalian melakukan semua ini padahal kalian itu sahabat Nabi SAW?” Abu Amir berkata lalu keduanya menjawab ”duduklah, jika engkau suka dengarkanlah bersama kami, akan tetapi jika tidak pergilah sungguh kami telah diberikan keringanan untuk bersuka ria selama walimah pernikahan”(Hadis Sunan An Nasa’i Bab Al Lahwu Wa Al Ghina ’Inda Al ’Arus hadis no 3168, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih An Nasa’i).
Hadis ini juga menjadi dasar dibolehkannya nyanyian karena para sahabat ra sendiri juga mendengarkan nyanyian. Ketika ditanya kenapa mendengarkan nyanyian padahal mereka sahabat Rasulullah SAW, maka mereka menjawab bahwa Rasulullah SAW telah memberikan keringanan dalam hal ini atau telah dibolehkan oleh Rasulullah SAW yaitu ketika walimah pernikahan.
Kelima hadis tersebut menunjukkan dibolehkannya nyanyian dan menabuh alat musik seperti duff atau rebana. Jadi bagaimana mungkin alat musik itu haram. Adalah tidak benar menyatakan kebolehan itu bersifat khusus dan selain itu haram. Aneh apakah karena bernadzar, pernikahan dan hari raya maka yang haram menjadi halal. Ini jelas tidak benar, justru hadis tersebut dipahami sebagai keumuman pembolehannya. Situasi-situasi yang berlainan yaitu ketika menunaikan nadzar, ketika ada pernikahan dan ketika hari raya jelas lebih menunjukkan keumuman dibolehkannya nyanyian. Dibolehkannya sudah pasti tidak menunjukkan haram.
DIarsipkan di bawah: Hadis, Kritik Salafi
Hadis Yang Sanadnya Shahih Tetapi Matannya Tidak Jelas Mengharamkan Musik

Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah mengharamkan khamr, judi, Al Kubah dan Al Ghubaira. Setiap yang memabukkan adalah haram.(Hadis riwayat Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud no 3685 dan Ahmad dalam Musnad Ahmad)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda Sesungguhnya Allah mengharamkan kepadaku yaitu mengharamkan khamar, judi dan Al Kubah. Setiap yang memabukkan adalah haram.(Hadis riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad no 2476)
Hadis pertama telah dikritik Asy Syaukani dalam Nailul Authar, dia berkata “Al Hafiz Adz Dzahabi tidak berkomentar tentang hadis ini, dan dalam sanadnya terdapat Walid bin Abduh. Abu Hatim dan Ar Razi berkata bahwa Walid majhul atau tidak diketahui identitasnya. Al Mundziri berkata bahwa hadis ini mangandung ‘illat (kecacatan).”
Hadis kedua riwayat Ibnu Abbas telah dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad hadis no 2476. Hadis riwayat Ibnu Abbas ini juga dinyatakan shahih oleh Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrijnya terhadap Musnad Ahmad hadis no 2476. Walaupun begitu kedua hadis ini matannya tidak jelas mengharamkan musik. Mereka yang mengharamkan musik dengan dalil hadis ini selalu mengartikan Al Kubah dengan alat musik perkusi atau tabuh dan Al Ghubaira dengan alat musik petik.
Padahal terjadi perbedaan di kalangan ulama dalam penafsiran kata Al Kubah dan Al Ghubaira. Ali bin Budzaimah mengatakan bahwa Al Kubah diartikan sebagai tambur, sedangkan dalam kitab Gharib Al Hadis Ibnu Arabi, Al Khatib dan Abu Ubaid mengatakan Al Kubah adalah permainan dadu. Perbedaan pendapat juga terjadi di kalangan ulama dalam menafsirkan Al Ghubaira, sebagian ada yang mengatakan alat musik sedangkan sebagian yang lain mengatakan Al Ghubaira adalah khamr yang terbuat dari jagung atau gandum, begitu pendapat Ibnu Atsir dalam kitab An Nihayah tentang Gharibul Hadis.
Menurut kami Al Kubah lebih tepat diartikan sebagai permainan dadu dan Al Ghubaira sebagai minuman khamr dari jagung dan gandum. Hal ini karena

• Penafsiran seperti ini lebih sesuai dengan teks hadis yang mengharamkan khamr dan judi. Al Ghubaira berkaitan dengan khamr dan Al Kubah berkaitan dengan judi.
• Menafsirkan Al Kubah sebagai alat musik tabuh jelas bertentangan dengan hadis shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW membolehkan menabuh duff(sejenis alat musik tabuh atau perkusi) dan rebana. Lihat tulisan saya Kritik Salafi Yang Mengabaikan Hadis-Hadis Yang Membolehkan Musik dan Lagu.
Oleh karena itu menjadikan hadis-hadis ini sebagai dasar pengharaman musik dan lagu adalah kurang tepat.
Diriwayatkan dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling pengembara maka beliau memasukkan jarinya ke telinganya, kemudian beliau menyimpangkan kudanya dari jalanan, ia mengatakan “hai Nafi apakah kamu mendengar?”. Aku menjawab: ya, maka ia berlalu sampai aku mengatakannya tidak. Maka beliau mengangkat tangannya dan kembali menunggang ke jalanan kemudian beliau berkata ”Aku pernah melihat Rasulullah SAW mendengar suara seruling pengembara maka beliau berbuat seperti ini”(Hadis Sunan Abu Dawud Bab Adab hadis no 4924).
Tentang hadis ini Abu Dawud berkata “hadis ini mungkar”. Al Hafidz Al Munziri dalam kitabnya Mukhtasar Lis Sunan jilid 7 hadis no 4755 tidak mengingkari atas kemunkarannya. Hal ini ditanggapi oleh Abu Thayyib Muhammad Syamsyulhaq Adzim Abadi dalam Kitabnya Aun Al Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud yang berkata “tidak mengetahui sisi keingkarannya tetapi sanadnya kuat dan tidak bertentangan dengan periwayatan yang tsiqah”. Hadis ini juga dinyatakan shahih oleh Abu Sulaiman Al Khattabi dan Ibnu Hibban(dalam Shahih Ibnu Hibban).
Walaupun hadis ini shahih juga tidak tepat dijadikan dasar untuk mengharamkan musik karena matan hadis tidak jelas menyatakan haramnya suara seruling itu. Pada awalnya Ibnu Umar mendengar suara seruling kemudian dia menutup telinganya seraya berkata kepada Nafi apakah ia mendengarnya, Nafi memang mendengarnya dan terus mendengarnya sampai suara seruling itu tidak terdengar lagi. Ketika Ibnu Umar memastikan kepada Nafi apakah suara seruling itu tidak terdengar lagi, barulah ia menurunkan tangannya. Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW berbuat seperti ini. Tindakan seperti itu hanya menunjukkan ketidaksukaan Rasulullah SAW kepada suara seruling tersebut dan bukan menunjukkan keharamannya.
Seandainya mendengar suara seruling itu haram maka Ibnu Umar pasti akan menyuruh Nafi untuk menutup telinganya juga, serta mencari siapa yang memainkan seruling itu (tidak hanya diam menunggu sampai suara seruling itu tidak terdengar) untuk memperingatkan bahwa yang dilakukannya adalah haram. Hal ini juga menyiratkan bahwa Rasulullah SAW ketika bersama Ibnu Umar ra juga tidak menyuruh Ibnu Umar untuk menutup telinganya ketika mendengar suara seruling pengembara. Apalagi jika benar Rasulullah SAW mengharamkannya maka Ibnu Umar pasti akan berkata Rasulullah SAW telah mengharamkan mendengar suara seruling dan Ibnu Umar akan memberitahu kepada Nafi tentang ini, tapi yang ada malah Ibnu Umar hanya berkata Rasulullah SAW berbuat seperti ini. Oleh karena itu hadis ini lebih tepat menunjukkan ketidaksukaan terhadap suara seruling dan bukan pengharamannya.
Asy Syaukani dalam kitab Nailul Authar jili8 hal 27 menyatakan bahwa Tindakan Rasulullah SAW dan Ibnu Umar yang tidak melarang pengembala tersebut untuk memainkan serulingnya adalah dalil yang menunjukkan ketidakharamannya. Selain itu Abu Dawud juga mencantumkan hadis ini dalam Bab Makruhnya Lagu dan Seruling yang menunjukkan bahwa Abu Dawud sendiri memahami kalau hadis ini tidak menunjukkan haramnya lagu dan seruling.
Hadis Yang Dikatakan Shahih Tetapi Terdapat Keraguan Pada Sanadnya
Diriwayatkan dari Hisyam bin Ammar dengan sanadnya sampai ke Abu Malik Al Asy’ari, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda “Akan ada dari umatku yang menghalalkan kemaluan(zina), sutera, khamr dan al ma’azif (alat-alat musik). Kemudian sebahagian dari ummatku akan ada yang turun dari gunung. Lalu datang orang yang membawa ternak-ternak mereka dan mendatangi untuk satu keperluan. Mereka berkata, “Datanglah lagi kemari besok.” Maka malam itu Allah menghancurkan mereka, Allah meruntuhkan gunung itu dan merubah sebahagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”. (Shahih Bukhari Bab Akan Datang Orang Yang Menghalalkan Khamr dan Menamakan Dengan Bukan Namanya, hadis no 5590).
Hadis ini terdapat dalam Shahih Bukhari, jadi memiliki sanad yang shahih. Sayangnya terdapat keraguan pada sanad hadis ini. Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari secara Muallaq artinya terputus sanadnya. Oleh karena itu Ibnu Hazm dalam Al Muhalla menolak hadis ini. Pernyataan Ibnu Hazm ini ditolak oleh Ibnu Qayyim di dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan Min Mashaidis Syaithan. Beliau Ibnu Qayyim menjawab keraguan Ibnu Hazm yaitu beliau menuliskan

Jawaban mengenai kerancuan ini adalah sebagai berikut:
• Sesungguhnya Al Bukhari telah bertemu Hisyam bin Ammar dan telah mendengarkan hadits dirinya. Maka jika Al Bukhari mengatakan, “Hisyam telah berkata. ” itu berarti sama artinya dengan mengatakan, :Dari Hisyam.”
• Seandainya Al Bukhari belum pernah mendengar hadits itu darinya, maka sudah tentu dia tidak akan membolehkan untuk meyakini hadits itu darinya, kecuali memang shahih bahwa ia (Hisyam) benar-benar pernah mengatakannya. Hal semacam ini banyak digunakan saking banyaknya rawi yang meriwayatkannya hadits dari syaikh tersebut dan karena kemasyhurannya. Lagi pula yang namanya Al Bukhari itu adalah rawi yang paling jauh dari perbuatan tadlis (pemalsuan).
• Al Bukhari sendiri memasukkan hadits tersebut dalam kitabnya yang diberi nama Shahih, yang dijadikan hujah oleh beliau. Seandainya hadits ini tidak dianggap shahih oleh beliau, tentu beliau tidak akan memasukkannya dalam kitab Shahih beliau.
• Al Bukhari menta’liqnya dengan shighar jazm, bukan shighat tamridh. Ia juga mengambil sikap tawaquf mengenai suatu hadits atau jika hadits yang ada itu tidak memenuhi persyaratannya, maka Al Bukhari biasanya mengatakan, “Wa yurwa’an Rasulullah wa yudzkaru’anhu.” (Diriwayatkan dari Rasulullah dan disebutkan darinya), atau ungkapan yang sejenisnya. Namun jika Al Bukhari sudah mengatakan, “Qola Rasulullah ” (Rasulullah telah bersabda), maka berarti ia telah menetapkan dan memastikan bahwa hal itu benar-benar dari Nabi.
• Kalau saja kita buang alasan di atas, maka hadits ini tetap dianggap shahih dan muttasil oleh hadits lainnya. Abu Dawud dalam kitab Al Libas mengatakan : telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab bin Najdah, katanya : Bisyr bin Bakar telah menceritakan kepada kami Athiyah bin Qais yang mengatakan : Aku telah mendengar Abdurrahman bin Ghanm Al Asy’ari berkata : Abu Amir atau Abu Malik telah menceritakan kepada kami, lalu disebutkan hadits seperti di atas secara ringkas.
Alasan-alasan yang dikemukakan Ibnu Qayyim berpijak pada kredibilitas Bukhari sebagai perawi yang handal dan kitab Hadis Bukhari yang disepakati sebagai kitab shahih, alasan ini tentu bisa diterima. Seandainya begitu maka seharusnya kita juga menerima kalau Bukhari sendiri memasukkan hadisnya ini dalam Bab Akan Datang Orang Yang Menghalalkan Khamr dan Menamakan Dengan Bukan Namanya. Beliau tidak menamakan babnya itu pengharaman lagu atau ma’azif dan dalam kitab Shahihnya itu memang tidak ada sedikitpun pokok bahasan tentang pengharaman musik dan lagu.
Sedangkan alasan yang terakhir bahwa hadis ini diriwayatkan secara muttashil dalam Sunan Abu Dawud adalah benar tetapi beliau Ibnu Qayyim terburu-buru dalam hal ini. Hadis dalam Sunan Abu Dawud yang dimaksud beliau memiliki matan yang berbeda dengan hadis Shahih Bukhari, Abu Dawud tidak menyebutkan lafal Al Ma’azif yang menjadi pokok bahasan dalam masalah ini. Hadis dalam Sunan Abu Dawud memang disebutkan secara ringkas. Abu Dawud meriwayatkan hadisnya dengan matan “Manusia dari umatku akan meminum khamr yang mereka namakan bukan dengan namanya” . Tentu saja hal yang seperti ini haram tetapi dalam hadis ini tidak ada dalil untuk mengharamkan musik dan nyanyian.
Keraguan pada sanad hadis Bukhari ini tidak hanya terbatas pada periwayatan yang muallaq. Semua sanad yang bersambung dari hadis ini bersumber dari perawi tunggal, Hisyam bin Ammar. Dalam Hadi As Sari jilid 2 hal 218, Mizan Al Itidal jilid 4 hal 302 no 9234, Tahdzib At Thadzib jilid 11 hal 51-54 dan Tahdzib Al Kamal no 6586 didapat keterangan tentang Beliau. Hisyam bin Ammar dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Main, Al Ajli, Daruquthni dan An Nasa’i mengatakan “hadisnya tidak masalah”. Sayangnya terdapat keraguan terhadap beliau yang mesti dipertimbangkan

• Abu Dawud menyatakan bahwa Hisyam meriwayatkan empat ratus hadis yang tidak ada dasarnya.
• Abu Hatim berkata “dia shaduq (dipercaya) tetapi kemudian berubah, maka setiap yang datang darinya mesti dikaji kembali dan setiap yang disampaikannya mesti dipertanyakan lagi”
• Ibnu Sayyar menyatakan “ini bencana besar yang membuat kita bertawaqquf(berdiam diri) terhadap apa yang diriwayatkan darinya karena mungkin apa yang disampaikannya telah terjadi perubahan”
• Ahmad bin Hanbal menyatakan penolakan terhadap Hisyam. Beliau berkata “dia kurang ingatannya” selain itu Ahmad berkata “ia seorang yang picik dan sederhana pemikirannya” atau dari kata-kata Ahmad terhadap Hisyam “jika kalian shalat di belakang Hisyam maka hendaknya kalian mengulangi shalat kalian”.
• Sebagian Ulama mengecam Hisyam dengan mengatakan bahwa dia tidak mengeluarkan hadis kecuali menuntut upah.
• Adz Dzahabi berkata “Ia dapat dipercaya tetapi banyak yang mengingkari hadisnya”. Selain itu Adz Dzahabi berkata “perkataan Hisyam dapat dipertimbangkan akan tetapi orang tidak dibenarkan memutlakkan perkataannya”.
Oleh karena keraguan terhadap Hisyam bin Ammar maka hadis ini dipermasalahkan oleh sebagian ulama. Yang jelas dengan keraguan pada sanadnya maka hadis ini bukanlah hujjah yang kuat dalam mengharamkan musik dan lagu. Ibnu Qayyim dalam kitab Ighatsatul Lahfan Min Mashaidis Syaithan membawakan hadis lain dari Sunan Ibnu Majah dan beliau Ibnu Qayyim menshahihkannya.
Diriwayatkan dari Abu Malik Al Asy’ari ra bahwa ia berkata : Rasulullah telah bersabda ” Sungguh akan ada manusia-manusia dari umatku yang meminum khamr yang mereka namakan dengan nama lain, kepalanya dipenuhi dengan musik dan penyanyi- penyanyi wanita. Maka Allah akan menenggelamkan mereka ke dalam bumi dan menjadikan di antara mereka kera dan babi. (Sunan Ibnu Majah Bab Fitan Hadis no 4020 dan Shahih Ibnu Hibban Hadis no 6758).

Ibnu Qayyim menyatakan hadis ini shahih padahal terdapat perawi yang majhul dalam sanadnya yaitu Malik bin Abi Maryam. Ibnu Hazm berkata “Tidak diketahui siapa dia”. Adz Dzahabi juga berkata bahwa Malik bin Abi Maryam adalah majhul (tidak diketahui). Seandainya hadis ini shahih maka arti yang benar dari hadis ini adalah mengabarkan sekelompok manusia yang tenggelam dalam kehidupan hura-hura dan kemaksiatan, meminum khamar diringi musik dan penyanyi wanita (bisa diperkirakan kalau tipe musiknya adalah musik yang diiringi maksiat).

Perhatikan, pengharaman dengan lafal Ma’azif hanya diriwayatkan oleh Hisyam bin Ammar yang terdapat keraguan padanya. Sedangkan hadis-hadis lain seperti dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan Ibnu Majah matannya jelas mengharamkan khamar. Oleh karena itu seandainya kita menerima riwayat Hisyam bin Ammar maka arti yang tepat dari hadis itu adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Muhammad Al Ghazali dalam As Sunnah An Nabawiyah Baina Ahlul Fiqh Wa Ahlul Hadis Bab Perihal Nyanyian hal 91, yang berpendapat “Mungkin yang dimaksud Bukhari adalah gambaran yang menyeluruh dari sebuah pesta yang diisi dengan acara –acara minuman khamr serta nyanyian-nyanyian yang diiringi dengan perbuatan kefasikan. Pesta seperti ini jelas haram sesuai ijma’ kaum muslimin”. Pendapat ini bisa diterima dan cukup menjelaskan kenapa Bukhari sendiri memasukkan hadisnya dalam Bab Akan Datang Orang Yang Menghalalkan Khamr dan Menamakan Dengan Bukan Namanya dan beliau tidak sedikitpun menyebutkan tentang pengharaman musik dan lagu. Oleh karena itu yang lebih tepat dalam masalah ini adalah musik dan lagu haram jika diiringi dengan perbuatan maksiat(tarian seronok) apalagi disertai dengan minuman khamr.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Ada dua Suara yang dilaknat, Suara Seruling ketika ada kenikmatan, dan Suara jeritan ketika datang bencana”.(Kasyful Atsar ’an Zawaid Musnad Al Bazzar hadis no 795 dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah As Shahihah hadis no 427).
Hadis ini juga terdapat dalam kitab Ruba’iyyat Abu Bakar Asy Syafii tetapi dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Yunus yang dikenal sebagai pemalsu hadis. Syaikh Al Albani ketika menilai hadis ini telah menguatkan dengan perkataan Al Haitsami dalam Kasyful Atsar’an Zawaid Musnad Al Bazzar hadis no 795 yang mengikuti pernyataan Al Mundziri bahwa perawi dalam hadis riwayat Al Bazzar ini semuanya tsiqah. Dalam kitab At Targhib Wa At Tarhib jilid 4 hal 177, Al Mundziri berkata “diriwayatkan oleh Al Bazzar dan para periwayatnya tsiqah”. Hadis ini telah dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib Wa At Tarhib. Syaikh Al Albani telah menjadikan hadis ini sebagai dalil pengharaman musik dalam kitabnya Tahrim Alat At Tharb. Beliau Syaikh Al Albani juga menyebutkan adanya syahid penguat hadis ini yaitu hadis riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak Ash Shahihain jilid 4 hal 40 dari Jabir bin Abdurrahman bin Auf.
Mari kita telaah hadis tersebut. Dalam Kasyful Atsar’an Zawaid Musnad Al Bazzar hadis no 795 karya Al Haitsami, beliau meriwayatkan berkata kepada kami Amru bin Ali ;berkata Abu Ashim; berkata kepada kami Syubaib bin Basyar Al Bajali, ia berkata “aku mendengar Anas bin Malik berkata “(matan hadis di atas)”. Dalam sanad ini terdapat perawi yang diperselisihkan yaitu Syubaib bin Basyar Al Bajali.
Dalam Al Mughni Fi Adh Dhu’afa no 2735, Tahdzib Al Kamal no 2689, Al Jarh Wat Ta’dil jili 4 no 1564 dan At Taqrib Ibnu Hajar no 2748 didapat keterangan tentang Syubaib bin Basyar

• Yahya bin Main menganggapnya tsiqat
• Ibnu Syahin menyatakan Syubaib tsiqat
• Abu Hatim berkata “ia layyin Al Hadis(lemah) dan hadis syuyukh”
• Ibnu Jauzi menyatakan “Syubaib perawi yang dhaif”
• An Nasai berkata “kami tidak mengenal seseorang yang meriwayatkan darinya kecuali Abu Ashim dan ia salah”.
• Adz Dzahabi memasukkan Syubaib dalam perawi yang dhaif. (lihat Mughni Adh Dhu’afa no 2735).
Jadi memang ada yang menyatakan Syubaib tsiqat tetapi banyak pula yang menyatakan beliau dhaif. Oleh karena itu hadis ini juga bukan hujjah yang kuat sebagai dalil pengharaman musik. Pernyataan Syaikh Al Albani jelas mengikuti pernyataan Al Munziri dalam masalah ini. Adapun hadis syahid atau penguat yang disebutkan oleh Syaikh Al Albani juga terdapat keraguan pada sanadnya sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
Hadis tersebut adalah riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak jilid 4 hal 40 yang meriwayatkan dari jalan Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Laila dari Atha’ dari Jabir bin Abdurrahman bin Auf, ia mengatakan Rasulullah SAW menarik tanganku, kemudian saya bersamanya menghampiri Ibrahim, anaknya(saat ia meninggal). Beliau sangat menyayangi anaknya, kemudian beliau menggendongnya dalam pelukan. Lalu Rasulullah SAW meletakkannya dan menangis. Kemudian saya berkata “Engkau menangis ya Rasulullah SAW, padahal Engkau melarang menangis?”. Beliau menjawab “Aku belum pernah melarang menangis, tetapi aku melarang dua suara dungu yang menjijikkan yaitu suara nyanyian yang melalaikan(seruling syaithan) dan suara ketika tertimpa bencana dengan menampar wajahnya dan merobek pakaiannya. Sedangkan (menangisku) ini adalah karena kasih saying. Barang siapa yang tidak menyayangi maka tidak disayangi. Perkataanmu memang benar, namun ssesuai dengan permulaan dan akhirnya bahkan lebih menyedihkan daripada ini, dan kami sedih dan terharu atas kepergianmu ya Ibrahim, mata menangis, hati bersedih, sedang kami tidak dapat berkata sesuatu yang dibenci Tuhan”.
Hadis ini dikatakan oleh Syaikh Al Albani sebagai hadis syahid atau penguat dan hadis ini juga dijadikan dalil pengharaman musik oleh Ibnu Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan Min Mashaidis Syaithan, padahal hadis ini memiliki cacat pada sanadnya. Dalam sanad hadis ini terdapat Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Laila yang walaupun tsiqat sangat buruk hafalannya. Oleh sebab itu dalam Al Mustadrak Al Hakim tidak menshahihkan hadis ini begitu juga Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak juga tidak menyatakan shahih hadis ini. Dalam Mizan Al I’tidal jilid 3 hal 613-616 no 7825 dan Taqrib At Tahdzib no 6081 terdapat keterangan tentang Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Laila

• Adz Dzahabi berkata “dia itu shaduq(dapat dipercaya) seorang imam yang buruk ingatannya”.
• Al Ajli menyatakan beliau ahli fiqh, dapat dipercaya dan ahli sunnah
• Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa ia Mudhtharib Al Hadis
• Yahya Al Qathan berkata “hafalannya jelek sekali”
• An Nasa’i berkata “Ibnu Abi Laila tidak kuat”
• Abu Zur’ah juga berkata “riwayatnya tidak kuat”
• Syu’bah berkata “Aku belum pernah melihat yang lebih buruk hafalannya daripada dia”
• Ad Daruquthni berkata “buruk hafalannya dan banyak samar”
• Yahya bin Ya’la Al Muharribi berkata “Zaidah membuang hadis Ibnu Abi Laila”
• Ahmad bin Yunus berkata “dia ahli fiqh ternama di dunia”
• Ahmad berkata “Yahya mendhaifkan Ibnu Abi Laila”
• Utsman Ad Darimi dan Muawiyah bin Shalih meriwayatkan dari Ibnu Main yang berkata “hadisnya dhaif”
• Ibnu Hibban berkata “Beliau buruk hafalannya, banyak salah, banyak hadisnya yang mungkar maka berhak ditinggalkan”
• Ibnu Hajar berkata “Shaduq(dapat dipercaya) tapi sangat buruk hafalannya”.
Jadi jelas sekali kalau Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Laila sangat buruk hafalannya. Oleh karena itu dalam sanad hadis ini terdapat salah seorang perawi yang kehilangan unsur dhabith(hafalan) sehingga hadis ini tidak bisa dikatakan shahih atau dijadikan hujjah.
Kesimpulannya hadis-hadis yang dijadikan dasar untuk mengharamkan musik, satupun tidak terlepas dari keraguan baik pada sanad maupun matannya. Pada sanadnya hadis-hadis itu sering dipertikaikan kedudukannya dan pada matannya tidak jelas menunjukkan pengharaman musik dan lagu.
DIarsipkan di bawah: Hadis, Kritik Salafi

Ni, penjelasan singkatnya.
Bukhari => Hisyam bin Ammar => Shadaqah bin Khalid => Abdurrahman bin Yazid bin Jabir => Athiyah bin Qais al-Kilabi => Abdurrahman bin Gunm => Abu Amir / Abi Malik => Rasulullah saw
Hisyam maupun Shadaqah bin Khalid tidaklah sendirian. Ada perawi lain yang menyertainya.

Abu Dawud dalam Sunan-nya (4039) menyebutkan:
Abdullah bin Najdah => Bisyr bin Bakar => Abdurrahman bin Yazid bin Jabir…. Selanjutnya seperti sanad di atas. Akan tetapi, dalam matan hadits ini tidak terdapat lafal Ma’azif seperti yang tersebut dalam riwayat Bukhari sehingga tidak bisa dijadikan hujjah atas keharaman musik.
Namun, ada dua jalur lain yang menyebutkan secara tegas lafal Ma’azif. Bunyi matannya adalah:
Akan datang dari umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar, dan alat-alat musik (Ma’azif)…

JALUR PERTAMA:
Abdurrahman bin Ibrahim (Duhaim) => Bisyr bin Bakar….. (selanjutnya seperti di atas).
Jalur tersebut disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 10/56 dan at-Taghliq, 7/19. Ia mendapatkannya dari al-Ismaili dalam al-Mustakhraj. Jalur ini juga disebutkan oleh Baihaqi di dalam as-Sunan, 3/272.

JALUR KEDUA:
Isa bin Ahmad al-Asqalani => Bisyr bin Bakar……(selanjutnya seperti di atas).
Jalur ini disebutkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 10/156
secondprince, di/pada Februari 7th, 2008 pada 7:03 pm Dikatakan:

@abduh
Soal jalur pertama, Abdurrahman bin Ibrahim dinyatakan dhaif oleh An Nasai, Ibnu Main dan Daruquthni
jalur kedua belum cukup jelas menurut saya
syukron masukannya
abduh, di/pada Februari 9th, 2008 pada 5:30 pm Dikatakan:

@second
O, gitu ya Mas. Masalahnya, di samping ada yang menilai dhaif, tetapi ada yang menilai tsiqah. dalam hal ini kita sering menemukan. terus pedoman yang dipakai ketika para pakar hadits berselisih mengenai seorang itu apa? apakah pakai tarjih atau kita tinggalkan begitu saja atau bagaimana? Saya yakin Anda banyak informasi mengenai masalah ini, tolong jelaskan.
Untuk jalur yang kedua kan sama dengan jalur yang pertama. maksudnya sama-sama menjadi mutaba’ah terhadap sanad yang dibawakan Bukhari.
Jika di dalam Shahih Bukhari, Abdurrahman bin Yazid meriwayatkan hadits kepada Shadaqah bin Khalid, lalu Shadaqah bin Khalid meriwayatkan kepada Hisyam bin Ammar, maka di dalam Tarikh Ibni Asakir, Abdurrahman bin Yazid meriwayatkan hadits kepada Bisyr bin Bakar, lalu Bisyr bin Bakar meriwayatkan kepada Isa bin Ahmad al Asqalani. apakah dalam jalur kedua ini juga ada perawi yang didhaifkan oleh para ulama hadits?
abduh, di/pada Februari 11th, 2008 pada 3:29 pm Dikatakan:

@second
Dalam Tahdzib at-Tahdzib, 6/119, Ibnu Hajar mengatakan, “Al-’Ijli, Abu Hatim, Daruquthni,dan Nasa`i berkata, ‘(Duhaim adalah perawi) yang tsiqah.’ Nasa`i menambahkan bahwa dia adalah orang yang terpercaya, yang tidak mengapa (haditsnya dijadikan hujjah). Abu Dawud berkata, ‘Dia adalah hujjah (haditsnya), tidak ada orang di Damaskus seperti dia pada masanya.’ ”
Di dalam Tahdzibul Kamal, juz 16 disebutkan, “Hasan bin Ali bin Bahar berkata, ‘Duhaim tiba di Baghdad pada tahun 212. Lalu aku melihat ayahku, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, dan Khalaf bin Salim duduk di depannya bagai anak-anak kecil (menganggapnya sebagai guru besar).’”
banyak para pakar hadits yang memberikan kesaksian bahwa dia adalah tsiqah. Bukhari, Abu Hatim, Nasa`i, Ahmad bin Hanbal, Daruquthni, Abu Dawud, Al ‘Ijli dan lainnya adalah para pakar hadits yang memberikan penilaian tersebut. Bahkan di dalam kitab tersebut disebutkan bahwa Abdullah bin Muhammad al-Faryabi pernah ditanya tentang orang yang paling tsiqah yang pernah ditemuinya di Syam, lalu ia menjawab bahwa Duhaim adalah orangnya.
Duhaim lahir tahun 170 dan meninggal tahun 245.
Mas Second yang terhormat, itu yang saya ketahui. Saya ingin tahu dari mana Anda mengatakan bahwa Abdurrahman bin Ibrahim dinyatakan dhaif oleh An Nasai, Ibnu Main dan Daruquthni.
deking, di/pada September 9th, 2007 pada 6:44 am Dikatakan:
Terima kasih atas ilmunya Mas…

Mungkin ada beberapa macam hadits yang menanggapi secara berbeda untuk suatu hal yang sama (contoh tentang musik). Tetapi menurut saya kita tidak langsung secara sepihak dan sempit memutuskan sesuatu tanpa mengkaji lebih lanjut.
Seperti selama ini betapa ada golongan yang meneriakkan haramnya musik berdasarkan suatu hadits berkaitan dengan pengharaman musik, tetapi ternyata ada juga hadits lain yang membolehkan bermusik.
Menurut saya adanya perbedaan (yang bertolak belakang) dalam hal musik tsb bukanlah menunjukkan adanya paradoks dalam ajaran Islam, yang lebih penting adalah mengkaji latar belakang kedua versi hadits tsb. Apa alasan di balik pembolehan musik dan apa alasan di balik pengharaman musik. Jadi menurut saya yang lebih penting bukanlah hasil akhirnya saja (boleh atau tidak boleh), tetapi alasan di balik semua itu dan bagaimana kita mengaplikasikan alasan2 tsb untuk menuju pencapaian hasil akhir (boleh atau tidak boleh).
Jadi sepertinya kita sebaiknya tetap menggunakan akal kan?

black, di/pada September 10th, 2007 pada 9:35 pm Dikatakan:
Saya setuju sepenuhnya terhadap anda (second prince) tentang musik. dalam logika saya musik tidak haram karena ciptaan Allah (merupakan ayat2 Allah),contohnya manusia memilki ryhtm dalam tubuhnya (beat dalam bahasa musik) yaitu detak jantung (yang dengan konstannya berdetak menghasilkan bunyi Lub-dub).untuk diketahui, bahwa setiap lagu memiliki beat, dan setiap band memiliki ryhtm section. jadi, jika jantung saja memilki ryhtm, yang menurut saya merupakan musik sederhana, mengapa ada yang mengharamkan musik padahal jelas2 ayat2 Allah (dalam hal ini jantung) juga bermusik , berirama.jangan pernah mendustai ayat2 Allah!

haidar, di/pada Desember 19th, 2007 pada 3:32 pm Dikatakan:

assalamu alaikum..
saya rasa kelima hadist diatas yang membolehkannya musik sangat terbatas,coba kita lihat ulang,setiap hadist menunjukan situasi yang menyenangkan (hari raya),saya rasa yang di maksud hari raya adalah hari bahagia,dimana semua orang merasa bahagia dengan kemenangan perang, dengan id, ataupun dengan adanya pernikahan. kemudian musik yang di pakai untuk mengiringi nyanyian pada saat itu jelas terbatas pada duff (musik pukul) saja. tidak pada yang lain. padahal jelas saat itu sudah berbagai jenis alat musik ada walau tak selengkap jaman sekarang.jadi, halalnya musik menurut kelima hadist di atas tidak mencukupi untuk menikmati musik pada waktu yang selain hari bahagia. dengan ketidak tahuan saya masalah hukum, saya harap disajikan lagi hadist yang lebih memenuhi keyakinan bahwa musik itu memang boleh. misalnya hadist tentang rasul menikmati alunan musik ketika beliau menunggu waktu shalat atau yang lainnya. saya harap semua yang disampaikan disini atas dasar upaya lebih mendekatkan diri pada Allah SWT dan bukan ingin mengunggulkan diri (golongan) pada yang lainnya. terima kasih atas ilmunya.
secondprince, di/pada Desember 19th, 2007 pada 4:03 pm Dikatakan:

@haidar
Baik hari bahagia, hari pernikahan dan id sudah jelas diperbolehkan. Sesuatu yang haram tidak mungkin menjadi halal karena berbeda harinya. Kecuali memang dinyatakan dengan jelas bahwa kehalalannya terbatas pada hari itu. Lagipula hadis Sunan Tirmidzi itu tidak terkait dengan hari apapun malah berkaitan dengan nadzar. Apakah nadzar dengan sesuatu yang haram diperbolehkan? soal alat musik, coba mas tunjukkan dalilnya bahwa pada saat Nabi SAW masih hidup ada alat musik lain selain duff.
Keumuman lafal itu sudah jelas Apakah Mas mau ditunjukkan dalil yang jelas apakah bermain musik dengan gitar itu halal? atau dengan piano halal? atau dengan harpa halal?memangnya bisa Mas Kalau memang begitu coba tunjukkan dalil haramnya bermain gitar, harpa dan piano.

Penarikan dalil jelas kok, tidak ada beda bunyi dari yang dihasilkan alat musik apa saja.
Setidaknya itu pandangan saya. Salam

haidar, di/pada Desember 20th, 2007 pada 5:36 pm Dikatakan:

assalamu alaikum….terima kasih atas tanggapannya..moga lebih mendekati kebenaran…namun untuk menambah lebih dekatnya kepada kebenaran saya masih ingin bertanya dari hal yang di sampaikan diatas;
1.”soal alat musik, coba mas tunjukkan dalilnya bahwa pada saat Nabi SAW masih hidup ada alat musik lain selain duff.”
-saya pernah baca sejarah nabi musa.as & fir’aun.fir’aun jika sedang mengadakan pesta maka dia mengundang penari-penari cantik yang diiringi alat musik semacam rebana, trompet dan alat musik petik yang besar (semacam bass).” nah dari sana saya berpendapat klo alat musik sudah sejak lama beragam adanya.
2.”Apakah Mas mau ditunjukkan dalil yang jelas apakah bermain musik dengan gitar itu halal? atau dengan piano halal? atau dengan harpa halal?”
-masalah musik, menurut saya masuknya masalah muamalah, saya pikir rasul tidak akan menurunkan dalil halalnya gitar, harfa ataupun piano, kecuali ditanya (halal/haramnya). kalo mengharamkan sich bisa saja..tapi yang saya ketahui dari paparan yang ada di atas adalah secara global (musik) jadi tidak secara rinci (satu persatu). intinya kalo masalah ibadah (mahdah) atau spiritual dilakukan setelah ada perintah.dan kalo masalah muamalah, tidak di lakukan setelah ada larangan.misal; tak satupun dalil yang memerintahkan orang pake kacamata atau peci. tapi tetep aja banyak yang pake. tapi ada dalil yang melarang laki2 pake sutera,maka ditinggalkanlah hal itu.
3.”Penarikan dalil jelas kok, tidak ada beda bunyi dari yang dihasilkan alat musik apa saja”.
-terompet jelas ada, tapi tak satu dalilpun menunjukan bahwa permainan musik yang di bolehkan oleh rasul ada yang di iringi dengan trompet (mungkin rasul tidak suka dengan trompet).mohon tambah penjelasannya. jazakallahu khairon katsir…

o ya nambah ni mas;” saya bukan dari aliran apapun, jadi yang saya cari kebenaran hakiki,bukan pembelaan aliran atau golongan”.smoga dapat ridha allah swt dalam pencarian jalan yang haq. thank’s
assalamu alaikum…

secondprince, di/pada Desember 21st, 2007 pada 7:01 pm Dikatakan:

@haidar
Hmm
-saya pernah baca sejarah nabi musa.as & fir’aun.fir’aun jika sedang mengadakan pesta maka dia mengundang penari-penari cantik yang diiringi alat musik semacam rebana, trompet dan alat musik petik yang besar (semacam bass).” nah dari sana saya berpendapat klo alat musik sudah sejak lama beragam adanya.
Kayaknya yang ini terlalu jauh ya, sampai ke zaman Nabi Musa AS. Kalau zaman Nabi Muhammad SAW gimana?
-masalah musik, menurut saya masuknya masalah muamalah, saya pikir rasul tidak akan menurunkan dalil halalnya gitar,harfa ataupun piano,kecuali ditanya (halal/haramnya).kalo mengharamkan sich bisa saja..tapi yang saya ketahui dari paparan yang ada di atas adalah secara global (musik) jadi tidak secara rinci (satu persatu).intinya kalo masalah ibadah (mahdah) atau spiritual dilakukan setelah ada perintah.dan kalo masalah muamalah, tidak di lakukan setelah ada larangan.misal; tak satupun dalil yang memerintahkan orang pake kacamata atau peci. tapi tetep aja banyak yang pake.
saya sependapat dengan ini :D, ditambahkan juga alat-alat yang saya sebutkan mungkin belum ada pada zaman Rasulullah SAW, jadi yah mana bisa ditanya kan.
-terompet jelas ada, tapi tak satu dalilpun menunjukan bahwa permainan musik yang di bolehkan oleh rasul ada yang di iringi dengan trompet (mungkin rasul tidak suka dengan trompet).
Ah bolehkah saya tahu dalilnya dengan jelas soal terompet itu

Hukum Lagu atau Musik
Oleh: Dewan Asatidz

Tanya:

Langsung saja, saya kurang begitu jelas tentang bagaimana sebenarnya hukum musik atau lagu di dalam Islam, karena selama ini dari yang saya baca ada yang mentolerir dengan jenis tertentu tetapi ada juga yang tidak membolehkan kecuali pada saat tertentu.
Muhammad Aziz

Sebagai seorang programmer, saya sering membuat hardware serta software untuk mengontrol suatu peralatan tertentu. Saat ini saya dapat tawaran untuk membuat suatu alat yang digunakan untuk mengontrol aktivitas di suatu studio musik. Yang ingin saya tanyakan, bolehkah saya menerima pekerjaan tersebut (dan apakah hukumnya halal), padahal dalam Islam mengharamkan segala jenis musik atau nyanyian yang tidak sesuai syariat. Yang saya takutkan adalah kalau pekerjaan saya nantinya termasuk dalam perbuatan yang mendukung kemaksiatan. Sebelumnya saya sampaikan terima kasih atas jawaban Bapak.

Nono Setiawan – Surabaya

Jawab:

"Al-aslu fil asyya' al-ibaahah maa lam yarid nashshun shahiihun bihurmatiha (Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh/ibahah/halal selama tak ada nas sahih yang mengharamkannya)".

Para fuqaha saling berbeda pendapat mengenai lagu/musik menurut Islam. Sebagian mereka mengharamkan sedangkan sebagian lain menghalalkannya.
Landasan-landasan para fuqaha yang mengharamkan musik/lagu:
Surat Luqman : 6.
Surat al-Qashas : 55.
Ayat-ayat diatas digunakan sebagian sahabat dan tabi'in untuk mengharamkan musik dan lagu. Tetapi penggunaan ayat tersebut untuk mengharamkan musik terdapat beberapa kelemahan. Pertama, tidak seorang pun yang dapat dijadikan panutan dalam menetapkan hukum selain nabi Muhammad. Kedua, terdapat sebagian sahabat dan tabi'in yang menghalalkan musik dan lagu. Ketiga, yang dimaksud dengan "lahw al-hadist" di ayat tersebut meliputi seluruh perkataan (ucapan). Jadi penafsiran ayat itu tidak terbatas hanya kepada musik dan lagu.
Sedangkan hadis-hadis yang digunakan untuk mengharamkan musik dan lagu sama sekali tidak dapat diterima, karena mengandung beberapa "cacat" di dalam periwayatannya. Qodhi Abu Bakar mengatakan dalam bukunya "al-Ahkam" bahwa "hadis-hadis yang mengharamkan musik tidak dapat digunakan untuk mengharamkan sesuatu". Ghozali dan Ibnu Hazm mengatakan bahwa "seluruh hadis yang berkenaan dengan pengharaman musik adalah hadis bathil dan maudhu'".

Dengan demikian, karena tidak ada landasan kuat yang mengharamkan musik dan lagu, maka musik dan lagu tetap dihukumi mubah/halal. Sesuai dengan kaidah di atas: "Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh/ibahah/halal selama tak ada nas sahih yang mengharamkannya." Hal ini diperkuat dengan dengan nas shahih yang menerangkan halalnya musik dan lagu. Seperti yang terdapat di dalam "Shahihain" (Bukhori dan Muslim) yang artinya:
"Pada suatu hari Abu Bakar pergi kerumah Rasulullah saw, dan di situ terdapat 2 orang budak milik 'Aisyah yang bernyanyi dengan menggunakan alat musik. Kemudian Abu Bakar berkata : 'Jangan dengungkan perkataan Syaithan di rumah Rasulullah'. Kemudian Nabi berkata: 'Biarkanlah mereka berdua wahai Abu Bakar, karena sekarang adalah hari gembira'.

Kendati begitu terdapat batasan-batasan yang harus diperhatikan:
Musik dan syair-syair lagu yang dilantunkan hendaknya sejalan dengan ajaran-ajaran Islam dan sopan-santunnya.
Cara pelantunan juga jangan sampai melanggar etika.
Tidak berlebih-lebihan.


Nyanyian atau lagu adalah perkataan yang diiringi dengan musik dalam penyampaiannya. Ia hanyalah sekedar media atau alat. Jadi tergantung kepada niat penggunanya: bila niatnya baik maka baik adanya dan insyaallah akan berdampak pada kebaikan bagi pemain dan pendengarnya, begitu juga sebalikya bila niatnya jelek, akan membawa mafsadah pada akhirnya.
Dengan demikian, pertanyaannya Saudara Nono juga sudah terjawab. Pekerjaan Anda sebagai programmer yang berhubungan dengan alat-alat musik adalah pekerjaan halal. Karena musik itu sendiri pada aslinya halal.
Tengok juga tema yang berkaitan, "Tanya Jawab(111) Hukum musik/lagu".
Juanda Kusuma

Musik termasuk sesuatu yang dibolehkan karena tidak ada nas (Qur'an-Hadis) yang secara tegas mengharamkannya. Ada kaidah fikh "al-ashlu fil asyya' al-ibahah" (asal sesuatu itu boleh-boleh saja). Adapun silang pendapat di antara ulama, dalam hal ini bermuara pada perbedaan penafsiran nas-nas yang mendasari masing-masing pendapat.

Para Ulama yang mengharamkan musik, mendasarkan pendapatnya pada firman Allah swt:
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. [QS. Luqmaan:6] 

Musik/lagu dikategorikan sebagai "perkataan yang tidak berguna" pada ayat tersebut.
Namun penafsiran ini oleh sebagian ulama tidak dibenarkan, karena ayat tersebut masih bermuatan umum, ketegasan maknanya (hingga bisa mengharamkan musik) membutuhkan nas lain untuk menopangnya. Nabi saw sendiri tidak melarang mendengarkan lagu/musik, demikian juga para sahabat.
Kontek ayat di atas, lebih menegaskan beratnya hukuman, bahkan sampai kekafiran bagi yang mengolok-olok agama Allah.
Ayat lain yang juga dijadikan dasar pengharaman ini adalah al-Qashash ayat 55. "Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: 'Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu. Kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil'." (QS. 28:55)
Para ulama menafsirkan "laghw" (perkataan yang tidak manfaat) pada ayat itu sebagai perkataan yang jelek, olokan, makian dan semacamnya. Makna ini lebih mendekati kontek ayat sebelumnya. Ayat lain yang sepadan adalah ayat 63 surat al-Furqan : "Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan." [QS. 25:63]
Jika musik/lagu dikategorikan sebagai "laghw", ayat tsb tidak berarti mengharamkan musik/lagu, bahkan boleh-boleh saja mendengarkannya. Dengan demikian ayat ini tidak cukup kuat dijadikan dasar pengharaman musik/lagu.

***
Aisyah ra mengisahkan seorang perempuan bernyanyi di samping seorang sahabat dari Anshar, kemudian Nabi saw berkata. "Hai Aisyah, itu bukanlah main-main, karena orang-orang Anshar memang mengagumi hal itu." [HR. Bukhari dan Ahmad]

Demikian juga Sahabat Amir bin Sa'ad mengisahkan. "Aku mendatangi Qardzah bin Ka'ab dan Abi Mas'ud al-Anshari pada suatu pesta perkawinan, kulihat beberapa hamba sedang bernyanyi. Kemudian aku menegurnya. "Adakah sahabat Nabi saw, ahli perang badar melakukan hal ini di antara kalian?" Mereka menjawab: "Duduklah, kalau suka, dengarkan bersama kami. Kalau tidak pergilah. Kita telah diberi keringanan dalam pesta pernikahan." [HR. Nasa'i dan Hakim] 

Imam As-Syaukani dalam Naylul Authar menyebutkan, masyarakat Madinah dan para ulama yang sependapat dengan mereka, serta ahli sufi, memberikan keringanan dalam hal lagu, meski menggunakan alat musik. Demikian juga Abu Mansour al-Baghdadi al-Syafi'i dalam bukunya As-Simaa' menyebutkan, Sahabat Abdullah bin Ja'far berpendapat tidak ada masalah dengan lagu, ia mendengarkan lagu-lagu yang dipetik hambanya. Hal itu Ia lakukan pada masa kekhalifahan Ali ra. Begitu juga sahabat lainnya, Kadhi Syureih, Sa'id bin al-Musayyab, Atha' bin Abi Rabah, Az-Zuhri dan al-Sya'bi.

***
Berdasar pemaparan di atas, saya kira sikap kita terhadap musik yang digunakan utk merangsang kecerdasan bayi ya tak apa-apa.
Namun yang patut diiangat, meski musik/lagu dibolehkan, bahwa kita perlu mendudukkan segala sesuatu itu pada batas-batas normalnya. Sehingga tidak cendrung berlebihan dan bahkan menjerumuskan. Tidak semua musik/lagu dibenarkan dalam timbangan etika agama, terutama musik/lagu yang lebih mengesankan nuansa maksiatnya, kata-kata kotor dan purno, dari pada musik/lagu sebagai seni. Dalam hal ini kita perlu terus merawat hati-nurani dari hal-hal yang menyebabkan kemerosotan moral. Semua itu kembali pada niat.
Demikian, Wallahua'lam bisshawaab.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Mutamakin Billa

Lagu / Musik Dalam Islam
./viewtopic.php?p=3318&sid=885a5881948f33a9ab58f6d05f876aefoleh aunisaif pada 28 Jan 2006, 8:13 pm

Secara fitrah manusia menyenangi suara gemercik air yang turun ke bawah, kicau burung dan suara binatang-binatang di alam bebas, senandung suara yang merdu dan suara alam lainnya. Nyanyian dan musik merupakan bagian dari seni yang menimbulkan keindahan, terutama bagi pendengaran. 

Allah SWT. menghalalkan bagi manusia untuk menikmati keindahan alam, mendengar suara-suara yang merdu dan indah, karena memang itu semua itu diciptakan untuk manusia. 

Disisi lain Allah SWT. telah mengharamkan sesuatu dan semuanya telah disebutkan dalam Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah saw. Allah SWT. menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk. Halal dan haram telah jelas. Rasulullah saw. bersabda: Artinya: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram” (HR Bukhari dan Muslim).
"Halal adalah sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya. Dan haram adalah sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedangkan yang Allah diamkan maka itu adalah sesuatu yang dima’afkan” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim )
Pada hukum nyanyian dan musik ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Ulama sepakat mengharamkan nyanyian yang berisi syair-syair kotor, jorok dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara umum yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam. Ulama juga sepakat membolehkan nyanyian yang baik, menggugah semangat kerja dan tidak kotor, jorok dan mengundang syahwat, tidak dinyanyikan oleh wanita asing dan tanpa alat musik. Adapaun selain itu para ulama berbeda pendapat, sbb:

Jumhur ulama menghalalkan mendengar nyanyian, tetapi berubah menjadi haram dalam kondisi berikut: 

1. Jika disertai kemungkaran, seperti sambil minum khomr, berjudi dll.
2. Jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita atau sebaliknya.
3. Jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau menunda-nundanya dll.
Madzhab Maliki, asy-Syafi’i dan sebagian Hambali berpendapat bahwa mendengar nyanyian adalah makruh. Jika mendengarnya dari wanita asing maka semakin makruh. Menurut Maliki bahwa mendengar nyanyian merusak muru’ah. Adapun menurut asy-Syafi’i karena mengandung lahwu. Dan Ahmad mengomentari dengan ungkapannya:” Saya tidak menyukai nyanyian karena melahirkan kemunafikan dalam hati”.
Adapun ulama yang menghalalkan nyanyian, diantaranya: Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu’bah, Usamah bin Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali dll. Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa para ulama menghalalkan bagi umat Islam mendengarkan nyanyian yang baik-baik jika terbebas dari segala macam yang diharamkan sebagaimana disebutkan diatas.
Sedangkan hukum yang terkait dengan menggunakan alat musik dan mendengarkannya, para ulama juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengharamkan alat musik. Sesuai dengan beberapa hadits diantaranya, sbb:
”Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan". (HR Bukhari).
”Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:”Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?”. Saya menjawab:”Ya”. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata :”Tidak”. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw. mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini:” Gerhana, gempa dan fitnah. Berkata seseorang dari kaum muslimin:”Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?” Rasul menjawab:” Jika biduanita, musik dan minuman keras dominan” (HR At-Tirmidzi). 

Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits-hadits tentang haramnya nyanyian dan musik. Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al Asy'ari ra. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits shahih Bukhori, tetapi para ulama memperselisihkannya. 

Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah mualaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm. Disamping itu diantara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idtirab). Katakanlah, bahwa hadits ini shohih, karena terdapat dalam hadits shohih Bukhori, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya. Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan. 

Hadits kedua dikatakan oleh Abu Dawud sebagai hadits mungkar. Kalaupun hadits ini shohih, maka Rasulullah saw. tidak jelas mengharamkannya. Bahkan Rasulullah saw mendengarkannya sebagaimana juga yang dilakukan oleh Ibnu Umar. Sedangkan hadits ketiga adalah hadits ghorib. Dan hadits-hadits lain yang terkait dengan hukum musik, jika diteliti ternyata tidak ada yang shohih. 

Adapun ulama yang menghalalkan musik sebagaimana diantaranya diungkapkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar adalah sbb: Ulama Madinah dan lainnya, seperti ulama Dzahiri dan jama’ah ahlu Sufi memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola”. Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi’i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja’far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya’bi. 

Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan gitar. Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata disampingnya ada gitar , Ibnu Umar berkata:” Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw. kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata:” Ini mizan Syami (alat musik) dari Syam?”. Berkata Ibnu Zubair:” Dengan ini akal seseorang bisa seimbang”.
Dan diriwayatkan dari Ar-Rowayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik.
Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta’akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap waro’(hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul dimasanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.
Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:

Pertama: Lirik Lagu yang Dilantunkan. Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara', maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara', maka dilarang. 

Kedua: Alat Musik yang Digunakan.
Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu diharamkan jika melalaikan.
Ketiga: Cara Penampilan.
Harus dijaga cara penampilannya tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara' seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.
Keempat: Akibat yang Ditimbulkan.
Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang diharamkan seperti melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami sebagi respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi' (menutup pintu kemaksiatan) .
Kelima: Aspek Tasyabuh. Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda: Artinya:”Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka” (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Keenam: Orang yang menyanyikan.
Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan nyanyian dari wanita yang bukan muhrimnya. Sebagaimana firman Allah SWT.: Artinya:”Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”(QS Al-Ahzaab 32)
Demikian kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam kehidupan mereka. Amiin.
Wallahu A`lam Bish-Showab,

~~~~~~~~~ 
Untuk rujukan lebih lanjut sila klik di sini : http://syariahonline.com/konsultasi/?act=view&id=1967 

MUSIK MENURUT SYARIAH
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Nyanyian dan musik sepanjang zaman selalu menjadi wilayah khilaf di antara para ulama. Dan lebih detail, ada bagiannya yang disepakati keharamannya, namun ada juga yang diperselishkan. Bagian yang disepakati keharamannya adalah nyanyian yang berisi syair-syair kotor, jorok dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara umum yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam. Terutama ketika musik itu diiringi dengan kemungkaran, seperti sambil minum khamar dan judi. Atau jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita. Atau jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau menunda-nundanya dan lain-lain. Namun apabila sebuah nyanyian dan musik tidak seperti itu, barulah kemudian para ulama berbeda pendapat. Ada yang masih tetap mengharamkannya namun ada juga yang menghalalkannya. Penyebab perbedaan pendapat itu cukup beragam, namun berkisar para dua hal. Pertama, dalilnya kuat namun istidlalnya lemah. Kedua, dalilnya lemah meski istidlalnya kuat.
Contoh 1 Kita ambil contoh penyebab perbedaan dari sisi dalil yang kuat sanadnya namun lemah istidlalnya. Yaitu ayat Al-Quran al-Kariem. Kitatahu bahwa Al-Quran itu kuat sanadnya karena semua ayatnya mutawatir. Namun belum tentu yang kuat sanadnya, kuat juga istidlalnya. Kita ambil ayat berikut ini: Dan di antara manusia orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.(QS. Luqman: 5) Oleh kalangan yang mengharamkan musik, ayat ini sering dijadikan bahan dasar untuk istidlal mereka. Mereka menafsirkan bahwa lahwal hadits (perkataan yang tidak berguna) adalah nyanyian, lagu dan musik. Sebenarnya tidak ada masalah dengan ayat ini, karena secara eksplisit tidak mengandung pengharaman tentang lagu, musik atau nyanyian. Yang dilarang adalah perkataan yang tidak berguna. Bahwa ada ulama yang menafsirkannya sebagai nyanyian musik, tentu tidak boleh memaksakan pandangannya. Kita bisa membaca pandangan Ibnu Hazm tentang ayat di atas. Beliau mengatakan bahwa yang diancam di ayat ini adalah orang kafir. Dan hal itu dikarenakan orang-orang kafir itu menjadi agama Allah sebagai ejekan. Meski seseorangmembeli mushaf lalu menjadikannya ejekan, maka dia pun kafir. Itulah yang disebutkan oleh Allah SWT dalam ayat ini. Jadi Allah SWT tidak mencela orang yang membeli alat musik apabila bukan untuk menjadikannya sebagai penyesat manusia.
Contoh 2: Hadits Nabawi Dalam salah satu hadits yang shahih ada disebutkan tentang hal-hal yang dianggap sebagai dalil pengharaman nyanyian dan musik. Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan`. (HR Bukhari)
Karena hadits ini terdapat di dalam shahih Bukhari, maka dari sisi keshahihan sudah tidak ada masalah. Sanadnya shahih meski ada juga sebagian ulama hadits yang masih meragukanya. Namun dari segi istidlal, teks hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya secara spesifik dan eksplisit.
Di titik inilah sesungguhnya terjadi selisih pendapat para ulama. Dalil yang bersifat umum masih mungkin dipersoalkan apabila langsung dijadikan landasan untuk mengharamkan sesuatu. Batasan yang ada dan disepakati adalah bila alat itu bersifat melalaikan. Namun apakah bentuknya alat musik atau bukan, maka para ulama berbeda pendapat.
Contoh 3: Hadits Nabawi Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:`Wahai Nafi` apakah engkau dengar?`. Saya menjawab:`Ya`. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata:`Tidak`. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw. mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini. (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Hadits ini sudah agak jelas dari segi istidlalnya, yaitu Rasulullah menutup telinganya saat mendengar suara seruling gembala. Namun dari segi kekuatan sanadnya, para ulama hadits mengatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mungkar. Dan hadits mungkar kedudukannya lebih parah dari sekedar hadits dhaif.
Dan memang banyak sekali dalil pengharaman musik yang derajat haditsnya bermasalah. Dan wajar bila Abu Bakar Ibnul Al-Arabi mengatakan, "Tidak ada satu pun dalil yang shahih untuk mengharamkan nyanyian." Dan Ibnu Hazm juga senada. Beliau mengatakan, "Semua riwayat hadits tentang haramnya nyanyian adalah batil." Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini:` Gerhana, gempa dan fitnah. Berkata seseorang dari kaum muslimin:`Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?` Rasul menjawab:` Jika biduanita, musik dan minuman keras dominan` (HR At-Tirmidzi).
Sebagian Shahabat Menghalalkan Musik
Dari banyak riwayat kita mendapatkan keterangan bahwa di antara para shahabat nabi SAW, tidak sedikit yang menghalakan lagu dan nyanyian. Misalnya Abdullah bin Ja`far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu`bah, Usamah bin Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal. Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar menuliskan bahwa para ulama Madinah memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola`. Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi`i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja`far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra.
Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al-Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya`bi. Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan gitar. Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata di sampingnya ada gitar, Ibnu Umar berkata:` Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw. kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata, "Ini mizan Syami(alat musik) dari Syam?&quot.Ibnu Zubair menjawab, "Dengan ini akal seseorang bisa seimbang."
Dan diriwayatkan dari Ar-Rawayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta`akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap wara`(hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul di masanya.
Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi`in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur`an maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.
Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:
1. Lirik Lagu yang Dilantunkan. Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara`, maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara`, maka dilarang.
2. Alat Musik yang Digunakan. Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu diharamkan jika melalaikan.
3. Cara Penampilan. Harus dijaga cara penampilannya tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara` seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.
4. Akibat yang Ditimbulkan. Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang diharamkan seperti melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami sebagi respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi` (menutup pintu kemaksiatan).
5. Aspek Tasyabuh atau Keserupaan Dengan Orang Kafir. Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka. (HR Abu Dawud)
6. Orang yang menyanyikan. Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan nyanyian dari wanita yang bukan muhrimnya. Sebagaimana firman Allah SWT.: Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS Al-Ahzaab 32) Demikian kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam kehidupan mereka. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc (eramuslim.com)


Perbahasan Mengenai Dalil-dalil
Dalil-dalil Yang Membolehkan
Ulama yang membolehkan menggunakan alat muzik dan nyanyian mengajukan beberapa dalil untuk memper-kuat pe-ndapat mereka.
Dalil-dalil dimaksud antara lain sebagai be-rikut.
1. Surah Luq-man, ayat 19 yang bermak-sud;
“...dan lunakkanlah suaramu. Sesungguh-nya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”
Imam Al-Ghazali me-mahami ayat ini melalui Mafhum Mukhalafah-nya, sehingga Imam Al-Ghazali berpendapat bahawa Allah taala memuji suara yang baik. Dengan demikian, tidak terlarang mendengarkan nyanyian yang baik.
2. Hadis Rasulullah s.a.w yang bermaksud;
Aisyah Bte Abu Bakar berkata:
“Pada suatu hari Rasulullah s.a.w masuk ke tempat-ku. Di saat itu ada dua gadis di sampingku yang sedang menyanyi-kan lagu ‘Hari Bu’ats’ (kisah suatu peperangan di benteng Bu’ats). Saya melihat Rasulullah S.A.W berbaring sambil memalingkan mukanya.”Ketika itu Abu Bakar As-Siddiq datang dan marah kepadaku. Kata Abu Bakar “Di rumah Rasulullah s.a.w ada seruling setan?” Mendengar ucapan Abu Bakar tersebut Rasulullah s.a.w bersabda “Ya Abu Bakar! Biarkanlah keduanya menyanyi, sesungguhnya bagi setiap kaum ada ulang tahunnya dan hari ini adalah ulang tahun kita” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
3. Hadis Rasulullah s.a.w yang bermaksud;
Aisyah pernah mengahwinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki Ansar. Ketika itu Rasulullah s.a.w bersabda kepadanya “Wahai Aisyah, tidak adakah kalian mempunyai hiburan (nyanyian) sesungguhnya orang-orang Ansar menyukai hiburan (nyanyian)” (Riwayat Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbal)
4. Hadis Rasulullah s.a.w yang bermaksud;
Hadis yang menceritakan bahawa dua orang wanita mendendangkan lagu yang isinya mengenang para pahlawan yang gugur dalam peristiwa Perang Badr (17 Ramadan 2H) sambil memukul gendang. Di antara syairnya berbunyi, “Dan kami mempunyai nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari” (Riwayat Ahmad bin Hanbal).
Dalil-dalil Yang Melarang
Ulama yang melarang menggunakan alat muzik dan nyanyian antara lain adalah Ibnu Al-Jauzi (tokoh hadis Mazhab Hanbali), Imam Al-Qurtubi dan Muhammad bin Ali Asy-Syaukani. Mereka mengajukan beberapa dalil sebagai hujah untuk mendukung pendapat mereka. Dalil-dalil yang mereka gunakan antara lain sebagai berikut.
1. Firman Allah taala dalam surah Al-Isra, ayat 64 yang bermaksud;

“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu (suaramu - saut)...” 

Dalam terjemahan Al-Quran Departemen Agama Indonesia kata Saut bererti ajakan. Menurut Mujahid (w.104 H, salah seorang Tabiin), kata Saut (suara) bererti nyanyian.
Ertinya syaitan menggunakan nyanyian sebagai salah satu jalan untuk menyelewengkan manusia. Maka sebab itu nyanyian dilarang.
2. Firman Allah taala dalam surah An-Najm, ayat 59-61 yang ertinya;
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kamu melengahkan(nya).”
Ibnu Abbas mengertikan kata Samidun (dalam terjemahan Al-Quran Departemen Agama Indonesia diartikan melengah-kan[nya]) dengan makna bernyanyi (dalam keadaan bernyanyi-nyanyi). Pendapat ini didukung oleh Mujahid dan Ikrimah bin Abu Jahal (w. 105 H).
3. Firman Allah taala dalam surah Luqman; ayat 6 yang ertinya;
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperolehi azab yang menghinakan.”

Beberapa orang sahabat Rasulullah s.a.w, di antaranya Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, dan tabiin seperti Mujahid, Qatadah bin Di’amah As-Sadusi Al-Basri (w.118H) dan Ibrahim An-Nakha’i (w.177H) serta sebahagian ahli tafsir seperti Ibnu Katsir (w.774H) menafsirkan kata Lahwa Al-Hadis (perkataan yang tidak berguna) dalam ayat di atas dengan makna nyanyian atau menyewakan jasa biduanita.

4. Sabda Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud;
“...Tetapi saya melarang dua macam suara, yakni suara (tangisan) orang yang ditimpa “musibah yang disertai dengan mancakar muka dan merobek-robek baju, dan suara dari orang-orang yang sedang menyanyi dengan menggunakan seruling syaitan (bunyi seruling yang membisingkan)” (Riwayat At-Tirmizi).
Ungkapan ini dikemukakan Rasulullah s.a.w dengan suara yang tinggi (marah) sehingga seruling yang ditiup itu dikatakan sebagai seruling setan.
5. Sabda Rasulullah s.a.w yang bermaksud;
“Pada umat ini akan terjadi bencana tanah longsor, pertukaran rupa, dan kerusuhan.” Mendengar ungkapan Rasulullah s.a.w itu salah seorang dari sahabat bertanya: “Ya bilakah ia akan terjadi.” Rasulullah s.a.w menjawab “Apabila biduanita, alat-alat muzik, dan minuman khabar telah muncul di tengah-tengah masyarakat” (Riwayat At-Tirmizi)
6. Sabda Rasulullah s.a.w yang bermaksud;
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamar, judi, dan muzik; semua yang memabukkan hukumnya haram.” (Riwayat Al-Bukhari)
7. Sabda Rasulullah s.a.w yang bermaksud;

“Sesungguhnya akan terdapat dalam umatku orang-orang yang menghalalkan zina, sutera, khamar, judi, dan muzik; semua yang memabukkan hukumnya haram.” (Riwayat Al-Bukhari)5

Ulama Fiqh yang membolehkan muzik dan nyanyian mengajukan sanggahan terhadap dalil-dalil dan pemahaman yang dikemukakan oleh kelompok ulama yang melarang muzik dan nyanyian.

Pemahaman kelompok yang melarang kedua hiburan tersebut terhadap dalil yang mereka ajukan dibantah oleh ulama yang membolehkan kedua hal tersebut. Terhadap pembatasan makna kata Saut yang terdapat dalam surah Al-Isra’, ayat 64 dengan erti nyanyian, menurut Ibnu Katsir di dalam kitab Tafsir Al-Quran Al-‘Azim bahawa sekalipun secara bahasa kata Saut merupakan kata yang mengandung arti kiasan. Sebab, pada umumnya manusia tidak dapat mendengar suara iblis (Iblis dan Syaitan). Manusia hanya dapat merasakan bisikan-bisikan iblis yang mengajak kepada sikap durhaka kepada Allah taala.
Menurut Muhammad Quraish Shihab (ahli tafsir kontemporeri dari Indonesia) merupakan pembatasan yang tidak mempunyai dasar. Kalaupun pembatasan tersebut diterima dan kata saut diertikan dengan makna nyanyian, maka nyanyian yang dimaksud adalah nyanyian yang didendangkan oleh syaitan sebagaimana yan ditunjuk oleh bunyi ayat tersebut dan di saat ada nyanyian yang didendangkan oleh bukan setan, maka belum tentu termasuk yang dikecam oleh ayat tersebut.
Seperti halnya pemahaman terhadap surah al-Isra’, ayat 64, pemahaman terhadap surah Luqman, ayat 6 dibantah oleh kelompok yang membolehkan muzik dan nyanyian.
Menurut mereka kata-kata Lahwa Al-Hadis tidak dapat diertikan dengan nyanyian. Muhammad Quraish Shihab menjelaskan, seandainya kata tersebut memang diertikan “nyanyian”, maka yang dikecam oleh Allah taala melalui ayat tersebut adalah kata-kata dimaksud digunakan sebagai alat untuk menyesatkan manusia. Jadi, bukan terletak pada nyanyian atau bukan nyanyian. Memang dapat difahami jika nyanyian yang mengandung kata-kata yang tidak sejalan dengan ajaran Islam harus ditolak.
Ibnu Hazm mengatakan: “Apabila Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud menafsirkan kata lahwa al-hadis dengan makna nyanyian, maka sesungguhnya teks ayat itu sendiri-dalam hal ini Li Yudill’an Sabil Allah (untuk menyesatkan dari jalan Allah) telah menentang penafsiran tersebut”.
Sebab, demikian Ibnu Hazm, Lahwa Al-Hadis yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah lahwa al-hadis yang jika dilakukan akan mengakibatkan kekafiran bagi pelakunya. Misalnya, seorang membeli mushaf dengan tujuan untuk menyesatkan orang lain dan memperolok-olok serta mempermainkannya, maka tentu yang bersangkutan akan tergolong orang-orang yang kafir dan Lahwa Al-Hadis semacam inilah yang dikecam oleh ayat tersebut. Adapun Lahwa Al-Hadis yang tidak bermaksud menyesatkan orang lain dan memperolok-olok, tetapi untuk menghibur diri tentu tidak dikecam oleh ayat tersebut. Artinya, ayat itu tidak ditujukan kepada orang-orang yang menghibur diri tanpa bermaksud menyesatkan manusia lainnya dari ajaran Allah taala. Adapun orang yang tidak melalaikan kewajiban agamanya sekalipun dia sibuk menyanyi, orang dimaksud tetap sebagai orang yang baik (muhsin).

Demikian juga halnya dengan An-Najm, ayat 59-61 yang didalamnya terdapat kata Samidun yang oleh ulama yang melarang muzik dan nyanyian diertikan sebagai “dalam keadaan menyanyi-nyanyi”. 

Menurut Quraish Shihab, erti tersebut tidak disepakati oleh ulama tafsir, kerana kata tersebut sekalipun digunakan oleh suku Humyar (suku bangsa Arab) dalam erti menyanyi, tetapi di dalam kamus-kamus bahasa Arab seperti Mu’jam Al-Maqayis Fi Al-Lugah dijelaskan bahawa akar kata Samidun adalah samada yang maknanya berkisar pada “berjalan bersungguh-sungguh tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, atau secara majaz (kiasan) dapat diertikan “serius” atau “tidak mengindahkan selain apa yang dihadapinya”. 

Dengan demikian, lanjut Quraish, kata samidun, sebagai yang dikatakan oleh Ibnu Katsir, dalam ayat tersebut dapat diertikan “orang yang lengah” (Ghafilun).

Terhadap dalil yang berupa hadis Nabi s.a.w juga dikritik oleh ulama yang membolehkan muzik dan nyanyian. Menurut Ibnu Hazm, hadis-hadis yang dikemukakan sebagai dalil untuk mengharamkan muzik dan nyanyian adalah hadis-hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, semuanya Maudu’(hadis rekaan) atau Maqtu’ (sanadnya terputus). Hadis Abu Amir atau Abu Malik Al-Asyjari: 

“Sesungguhnya akan terdapat dalam jajaran umatku orang-orang yang menghalalkan zina, sutera, khamar, judi, dan muzik; semua yang memabukkan hukumnya haram.” (Riwayat Al-Bukhari)

misalnya, dari segi sanadnya adalah Hadis Munqati’, sebab ada perawi yang tidak disebutkan, yakni antara Imam Al-Bukhari dan Hisyam. Akan tetapi, anggapan atau penilaian ini dibantah oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani. Menurut Ibnu Hajar, hadis tersebut berdasarkan syarat (kategori) Imam Al-Bukhari yang terkenal sebagai hadis yang bersambung (tidak terputus mata rantai) sanadnya.

Matan (teks hadis) tersebut menjelaskan bahawa azab diturunkan kerana mereka menghalalkan zina, minuman keras, menghalalkan sutera dan membolehkan tampilnya biduanita di depan forum yang bercampur laki-laki dan perempuan serta menghalalkan penggunaan alat muzik di luar batas-batas yang dibenarkan agama. Jadi bukan nyanyian yang mengakibatkan turunnya azab tersebut.

Berkata Al-Fakihani:

“Aku tidak ketahui dalam kitab Allah dan tidak pula dalam Sunnah satu hadits sahih yang jelas dalam pengharaman alat hiburan. Sesungguhnya semuanya hanya bersifat umum dan bukan dalil Qat`ii.6

Dr Wahbah Az-Zuhaili berpendapat:

“Sesungguhnya lagu-lagu patriotik atau yang mendorong pada kebaikan atau jihad (perjuangan), tiada halangan (haram) bagi nya dengan syarat tiada percampuran bebas dan menutup aurat wanita kecuali muka dan tapak tangan. Adapun lagu-lagu yang mendorong pada kejahatan, tidak syak akan pengharamannya, hatta di kalangan mereka yang mengharuskan nyanyian, khususnya kemunkaran di radio dan tv yang banyak terdapat di zaman kita hari ini.

Tidak syak lagi bahawa meninggalkan dari mendengar (muzik & nyanyian) di zaman ini lebih baik kerana terdapat syubhat di dalamnya. Orang-orang beriman sentiasa menjauhi syubhat sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits sahih. Sesiapa yang meniggalkan syubhat, ia telah memelihara agama dan maruahnya. Sesiapa yang berjalan-jalan di tepi-tepi kawasan larangan, ditakuti ia akan termasuk di dalamnya........

Tiada mengapa mendengar muzik untuk merawat sakit jiwa.” 7

Kesimpulan
Di kalangan ulama Fiqh dikenal dua macam jenis haram, yaitu: haram zati (kerana bendanya), dan haram aridi (kerana sifat/penggunaannya). Alat-alat muzik dan nyanyian tergolong ke dalam jenis kedua, yaitu tergantung pada penggunaan dan isinya.

Artikel ini dipetik dari Ensiklopedi Hukum Islam, terbitan P.T Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, jld 4, bab Muzik & Nyanyian, ms 1257 berserta suntingan dan tambahan oleh Muhammad Haniff Hassan.

1 Lihat juga Nail Al-Autar, jld 8, ms 101; Ihya’ Ulum Ad-Din, jld 2, ms 228; Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, jld 3, ms 573.

2 Lihat juga Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, jld 3, ms 575.

3 Lihat Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, jld 3, ms 575; Nail Al-Autar, jld 8, ms 100 - 105.

4 Lihat juga Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, jld 3, ms 574.

5 Lihat perbahasannya dalam Nailul Autar, jld 8, ms 100 - 105

6 Lihat Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, jld 3, ms 575; juga Nail Al-Autar, jld 8, ms 104.

7 Lihat Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, jld 3, ms 576.


HIBURAN: Menolak Fatwa Utsaimin, Albani, Fauzan & Najmy

Seorang hamba Allah yang prihatin dengan kepentingan umat Islam memaparkan fatwa-fatwa orang-orang di atas. Sekiranya apa yang terpapar itu benar, kita berasa sangat sedih kerana fatwa-fatwa tersebut dengan sewenang-wenangnya menghukum berdosa kepada banyak umat Islam termasuklah para pendakwah yang terlibat dengan seni nyanyian dan muzik. Sekiranya tidak benar, maka bolehlah diabaikan saja ulasan di bawah nanti. Saya rasa terpanggil untuk menjelaskan kedudukan seni nyanyian dan muzik ini kerana saya dapati keputusan yang dikeluarkan oleh mereka jauh terseleweng. Kebetulan saya ada menjawab persoalan tentang hukum bermain gitar yang isi kandungannya selaras dengan isu ini. Maka saya sesuaikan artikel itu untuk menolak keputusan di atas.

Anda bandingkan keputusannya, kemudian jawab soalan ini:

Berdosakah orang yang menyanyi dan bermain alat muzik?
Berdosa (Fatwa Utsaimin, Albani, Fauzan & Najmy)
Tidak berdosa selagi tidak bercampur maksiat (pandangan saya)


ULAMA-ULAMA YANG MENGHARUSKAN PENGGUNAAN SEMUA JENIS ALAT MUZIK , APATAH LAGI NYANYIAN-NYANYIAN YANG BAIK:
(Secara langsung atau tidak langsung)


Hujjatul Islam Imam al-Ghazali

Dr. Yusuf al-Qaradhawi 
Dr. Abdul Karim Zaidan

Abdullah bin Zubair
Abdullah bin Umar

Imam asy-Syaukani
al-Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi

Ibnu Hazm
Dr. Mohammad Imarah

Dr. Kaukab ‘Amir 
Ibn Tahir Al-Qaisarani

Abdul Ghani An-Nablusi
Al-Kamal Jaafar Al-Idfawi Asy-Syafie

Al-Imam Mohd. Asy-Syazili At-Tunisi.
Al Adiib Abu 'Umar Al Andalusi

Abdullah bin Ja'far
Dato’ Nik Abdul Aziz Nik Mat

Ustaz Abdul Hadi Awang
Al Mawardi

Muawiyah
Amru al-Ass

Imam Malik
Ibnu Tahir

Imam al-Haramain
Ulama-ulama Madinah

Ulama-ulama Zahiri

Disokong oleh:
Wan Muhammad Wan Sulong, Yarmouk University, Irbid, Jordan,
Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, d/a LPK2 (Lembaga Pengembangan Keagamaan dan Kemasyarakatan) dan Lembkota Jl. Boja Km 1, Ngalian Semarang, Indonesia.
Ustaz Akil Hayy Rawa
Dr. Mohammad Deen
Fatwa Negeri Kedah


*BERIKUT ADALAH HUJAH-HUJAH PARA ULAMA DI ATAS:


HUJJATUL ISLAM IMAM AL-GHAZALI

Menurut Imam Al-Ghazali, tidak ada keterangan yang jelas dari sunnah Nabi SAW yang melarang penggunaan alat muzik. Menurutnya, setiap instrumen muzik yang mempunyai bunyi yang baik tidak dilarang, malah ianya tidak lebih dari kemerduaan suara burung. 
Seni muzik yang dilarang kepada umat Islam ialah sekiranya ia bersekongkol di dalam keadaan yang bercampur dengan kumpulan peminum arak, penzina dan lain-lain perbuatan dosa.
(Hj. Abd. Ghani Samsudin, Ishak Hj. Sulaiman, Dr. Engku Ismail Ibrahim, "Seni Dalam Islam", Intel Multimedia & Publication, P.J, 2001, hal. 34-39.)
*Kesimpulan- Menurut Imam Ghazali, semua alat muzik boleh digunakan asalkan ia tidak melibatkan perkara-perkara maksiat.


Al-Imam Hujjatul Islam, Abu Hamid Al-Ghazali telah membincangkan permasalahan hukum nyanyian dan muzik dengan panjang lebar dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin dalam juzuk yang kelapan bahagian Al-Adat. Al-Ghazali di dalam perbincangannya telah membahaskan hukum muzik dan alatnya daripada pelbagai sudut sebelum mengeluarkan pandangannya. Beliau tidak hanya berpegang dengan zahir nas malah cuba menggali di sebalik nas, sebab dan ‘illah diharamkan beberapa alat muzik sebagaimana yang disabdakan oleh junjungan besar Nabi SAW dalam hadith-hadith Baginda. Ini bertitik tolak daripada pegangan beliau bahawa nyanyian dan muzik adalah kelazatan-kelazatan dunia yang asalnya adalah halal dan harus.
Al-Ghazali menegaskan sebab pengharaman alatan yang dipetik (seperti gitar) dan ditiup (seperti serunai) sebagaimana yang disebut dalam hadith Nabi SAW bukan kerana alatan tersebut menimbulkan kelazatan kepada pendengar. Sekiranya demikian sudah tentulah diharamkan semua jenis suara atau irama yang membangkitkan kelazatan kepada pendengar. Kerongkong manusia, gendang, rebana kecil (duf) dan binatang-binatang seperti burung mempunyai potensi untuk menghasilkan irama-irama merdu yang mampu membangkitkan kelazatan di dalam sudut hati pendengar. Walau bagaimanapun Islam tidak mengharamkan suara-suara tersebut.
Oleh itu Al-Ghazali menyatakan sebab pengharaman alatan yang disebut di dalam hadith-hadith Nabi SAW adalah kerana alatan-alatan tersebut biasa digunakan oleh ahli-ahli fasiq, maksiat dan peminum-peminum arak dan menjadi syiar mereka. 
Begitulah pandangan Imam Al-Ghazali tentang hukum penggunaan alat-alat muzik. Beliau melihat di sana wujudnya sebab diharamkan alat-alat yang disebut pengharamannya melalui lisan Nabi SAW. Sekiranya hilang (gugur) sebab tersebut sudah tentulah gugur hukum pengharamannya. Bagi beliau semua perkara yang baik (At-Thayyibat) adalah halal melainkan perkara-perkara yang boleh membawa kepada kerosakan. 

*Kesimpulan- Imam Ghazali dalam Ihya Ulumiddin mengharuskan semua jenis alat muzik termasuklah yang dipetik seperti gitar dan yang ditiup/ berlubang seperti serunai, apatah lagi gendering.

Sebahagian yang lain pula seperti Dr. Abdul Karim Zaidan dan Dr. Kaukab Amir ’mempunyai pandangan yang sama dengan Al-Ghazali. Mereka menyatakan pengharaman alat-alat yang disebut di dalam nas-nas hadith adalah kerana ia merupakan syiar ahli fasiq dan maksiat. Pada pandangan mereka muzik tidak haram dari sudut irama atau bunyinya. Tetapi yang menjadikannya haram ialah unsur-unsur luaran yang lain iaitu ia adalah alatan yang biasa digunakan di dalam majlis-majlis dan tujuan-tujuan yang bertentangan dengan batas syara’. Justeru itu alat-alat tersebut tunduk kepada perubahan tempat dan masa. Penggunaan alat-alat ini juga mestilah berlegar dala lingkungan yang dibenarkan oleh syara’.
(Al-Mufassal oleh Dr Abdul Karim Zaidan juzuk 4 ms 96)
*Kesimpulan- Dr. Abdul Karim Zaidan dan Dr. Kaukab Amir juga sependapat dengan Al Ghazali
IMAM ASY-SYAUKANI
Mazhab Ahlul Madinah (ulama-ulama Madinah) dan lainnya seperti ulama Dzahiri dan jemaah ahli Sufi memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola.

(Imām Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR, Jilid VIII, hlm. 100-103)
*Kesimpulan- jelas boleh menyanyi, menggunakan alat-alat muzik bertali sperti gitar dan biola selagi tidak bercampur maksiat.
IMAM AL-HARAMAIN, ABDULLAH BIN ZUBAIR & ABDULLAH BIN UMAR
Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak (hamba) wanita dan gitar. Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata disampingnya ada gitar , Ibnu Umar berkata: “Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw?”. Kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata: “Ini mizan Syami ( alat muzik) dari Syam?”. Berkata Ibnu Zubair: “Dengan ini akal seseorang bisa seimbang”.
*Kesimpulan- ketiga-tiga ulama besar ini mengharuskan bermain gitar- sejenis alat muzik.
PUSAT KONSULTASI SYARIAH ERAMUSLIM


Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu diharamkan jika melalaikan.
Pusat Konsultasi Syariah

http://www.eramuslim.com/ks/um/38/7315,2,v.html
DR. MUHAMMAD DEEN


Dr. Mohammad Deen mengambil pendirian bahawa hukum muzik dan nyanyian dalam Islam adalah HARUS selagi mana tidak disertai dengan perkara-perkara lain yang haram. Maknanya, muzik dan nyanyian menjadi haram disebabkan hal-hal lain bukannya sebab zatnya (bentuknya) sendiri. Maka kaedah fiqh yang bermaksud: “Asal hukum sesuatu perkara adalah harus selagi mana tiada nas sahih yang mengharamkannya”.

*Kesimpulan- bentuk alat muzik yang berlubang (seperti seruling dan gendang) ataupun yang bertali (seperti gitar dan piano) bukanlah penyebab ia menjadi haram.
FAKULTI USULUDDIN IAIN WALISONGO, INDONESIA


- Jika lahwa-al hadits diartikan nyanyian/musik yang kata-kata/iramanya menjadikan orang tersesat dari jalan Allah, maka bagaimana sekiranya hal tersebut membawa orang untuk ingat dan dekat dengan Allah, secara mafhum mukholafah (kebalikannya) adalah diperbolehkan.
- Islam tidak membunuh/mematikan fitrah manusia dan instingnya. Tetapi mengatur, menyalurkan dan mengarahkannya ke arah yang positif dan tidak sampai melanggar batas-batas yang telah ditentukan serta diridhai oleh Allah. Misalnya orang mempunyai bakat seni musik atau seni suara tidak dilarang oleh Islam bila ia mengembangkan bakatnya. Lalu menekuni musik atau nyanyian, sehingga menjadi musikus atau penyanyi yang baik.
- Bahkan Islam sangat menghargai bila orang yang mempunyai bakat seni lalu menggunakannya sebagai sarana dakwah Islam. Para wali yang berdakwah di bumi Nusantara ini khususnya di Jawa juga menggunakan jasa musik dan nyanyian. Seperti beduk, kentongan, alat gamelan, wayang kulit yang digubah sesuai dengan ruh ajaran agama Islam.
Menurut saya musik dan nyanyian sekaligus alatnya adalah masalah duniawiyah yang harus dilihat dampaknya, positif atau negatif. Bila berdampak menjauhkan diri kita dari Allah, maka musik dan nyanyian tersebut menjadi maksiat. Tetapi sebaliknya jika musik dan nyanyian tersebut dapat mendekatkan diri kepada Allah bahkan dapat menambah keimanan serta ketaqwaan kita kepada-Nya, maka justru musik dan nyanyian diperintahkan oleh agama.


(Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, d/a LPK2 (Lembaga Pengembangan Keagamaan dan Kemasyarakatan) dan Lembkota Jl. Boja Km 1, Ngalian Semarang,Indonesia)


IBNU HAZM & QADI ABU BAKAR AL-ARABI

Adapun hadis-hadis Nabi yang melarang nyanyian, semuanya ada cacat, tidak ada satupun yang selamat dari celaan oleh kalangan ahli hadis, seperti kata al-Qadhi Abubakar bin al-Arabi: "Tidak ada satupun hadis yang sah yang berhubungan dengan diharamkannya nyanyian."
Dan berkata pula Ibnu Hazm: "Semua hadis yang menerangkan tentang haramnya nyanyian adalah batil dan palsu."
Selanjutnya Ibnu Hazm menolak anggapan orang yang mengatakan; bahwa nyanyian itu sama sekali tidak dapat dibenarkan, dan termasuk suatu kesesatan, seperti firman Allah.
"Tidak ada lain sesudah hak kecuali kesesatan." (Yunus: 32)
Maka kata Ibnu Hazm: Rasulullah s.a.w. pernah bersabda "Sesungguhnya semua perbuatan itu harus disertai dengan niat dan tiap-tiap orang akan dinilai menurut niatnya." 
(Riwayat Bukhari dan Muslim)


Adapun nyanyian yang disertai dengan alat musik maka ulama yang menghalalkannya mengatakan bahwa semua Hadits yang membahas masalah ini nilainya tidak sampai ke tingkat shahih maupun hasan. Inilah yang dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi 


(Lihat Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi, AHKAM-UL-QURAN, Jilid III, hlm. 1053-1054):
FATWA KEDAH

“Harus menggunakan alat – alat muzik sama ada bersifat tradisi atau moden selagi ia tidak bertentangan dengan Islam dan tidak melalaikan.”

*Kesimpulan- semua alat muzik harus dimainkan asal kena dengan caranya
DR. YUSUF QARDHAWI & ulama-ulama lain

ASAL SEGALA SESUATU lTU DIPERBOLEHKAN
Suatu kaedah yang ditetapkan oleh para ulama bahwa, "Segala sesuatu itu asalnya boleh," berdasarkan firman Allah SWT, "Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu..." (Al Baqarah: 29). Dan tidak ada pengharaman kecuali dengan nas yang sharih dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya atau ijma' yang meyakinkan. Karena itu apabila tidak ada nash shahih dan tidak sharih tentang haramnya sesuatu, maka tidak akan mempengaruhi akan halalnya sesuatu itu, dan tetap berada dalam lingkup dimaafkan yang luas. Allah SWT berfirman:
"Dan sungguh (Allah) telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya."
(Al An'am: 119)

Imam Al Ghazali telah menjawab orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya lagu atau nyanyian itu termasuk permainan yang sia-sia dengan kata-katanya sebagai berikut, "Memang demikian, tetapi dunia seluruhnya adalah permainan. Seluruh permainan dengan wanita adalah laghwun, kecuali bercocok tanam(berjimak) yang itu menjadi penyebab memperoleh anak. Demikian juga bergurau yang tidak kotor itu hukumnya halal, demikian itu didapatkan dari Rasulullah SAW dan para sahabatnya." 
Cukuplah bagi kita bahwa sesungguhnya Ahli Madinah, dengan kehati-hatiannya dan golongan Zhahiriyah dengan keteguhannya dalam memegang zhahir nas serta kaum sufi dengan kekerasan mereka untuk mengambil 'azimah (semangat), bukan mengambil keringanan-keringanan telah diriwayatkan dari mereka tentang bolehnya lagu-lagu.
Imam Syaukani berkata di dalam kitabnya "Nailul Authar," "Ahlul Madinah berpendapat dan ulama' yang sependapat dengan mereka dari kalangan Zhahiriyah serta jamaah dari kaum shufi bahwa menyanyi itu diperbolehkan, meskipun dengan gitar dan biola."
Ustadz Abu Manshur Al Baghdadi Asy-Syafi'i menceritakan di dalam kitabnya mengenai mendengar lagu, bahwa sesungguhnya Abdullah bin Ja'far berpendapat bahwa menyanyi itu tidak apa-apa, dan beliau memperbolehkan budak-budak wanitanya untuk menyanyi, dan beliau sendiri ikut mendengarkan getaran suaranya, itu di zaman Amirul Mu'minin Ali RA
Ustadz tersebut juga menceritakan hal itu dari Al Qadhi Syuraih, Said bin Musayyab, 'Atha' bin Abi Rabah, Az-Zuhri, dan Asy-Sya'bi.
Imam Al Haramain dalam kitabnya "An Nihayah" dan Ibnu Abid Dunya mengatakan, "Telah diikut berita dari ahli sejarah bahwa sesungguhnya Abdullah bin Zubair pernah mempunyai budak-budak wanita yang terlatih untuk bermain gitar, dan sesungguhnya Ibnu Umar pernah ke rumah beliau ternyata di sisinya ada 'ud (gitar). Maka Ibnu Umar bertanya, "Apa ini wahai sahabat Rasulullah?," maka Abdullah bin Zubair mengambilkan untuknya, dan Ibnu Umar merenungkannya, dan berkata, "Apakah ini mizan syami (neraca musik) dari Syam?" Ibnu Zubair berkata, "Dengan ini akal seseorang bisa dinilai."
Al Hafidz Abu Muhammad bin Hazm meriwayatkan di dalam risalahnya tentang "mendengarkan nyanyian" dengan sanadnya yang sampai pada Ibnu Sirin, ia berkata, "Sesungguhnya ada seorang laki-laki datang ke Madinah dengan membawa budak-budak wanita, maka orang itu singgah di rumah Ibnu Umar. Di antara budak-budak wanita itu ada yang memukul alat musik, maka datanglah seorang laki-laki menawarnya, maka ia tidak mempedulikan laki-laki itu. Ia berkata, "Pergilah untuk menemui seseorang yang lebih baik bagimu untuk mengadakan jual beli daripada orang ini." la berkata, "Siapakah orang itu?" Ibnu Umar berkata, "la adalah Abdullah bin Ja'far." Maka orang tersebut menawarkan budak-budak wanitanya kepada Abdullah bin Ja'far. Kemudian Abdullah bin Ja'far memerintahkan salah seorang dari budak itu sambil mengatakan, "Ambillah 'ud (gitar) ini!," maka budak itu mengambilnya lalu menyanyi, dan kemudian beliau membelinya, kemudian datang kepada Ibnu Umar ...." hingga akhir kisah. 
Pengarang kitab "Al 'Aqd" Al 'Allaamah Al Adiib Abu 'Umar Al Andalusi meriwayatkan bahwa Ibnu Umar pernah masuk ke rumah Abdullah bin Ja'far, ternyata mendapatkan di sisinya ada seorang budak wanita yang di pangkuannya ada gitar. Kemudian Abdullah bin Ja'far berkata kepada Ibnu Umar, "Apakah kamu melihat ini ada masalah?," beliau menjawab, "Tidak ada masalah."
Al Mawardi menceritakan dari Mu'awiyah dan 'Amr bin 'Ash bahwa keduanya pernah mendengar gitar di rumah Abdullah bin Ja'far.
Abul Faraj Al Ashfahani meriwayatkan bahwa sesungguhnya Hassan bin Tsabit pernah mendengar dari 'Izzah Al Mila' lagu-lagu dengan gitar dengan mendendangkan sya'ir. Demikian juga ini diceritakan oleh Abul 'Abbas Al Mubarrad.
Al Adfuwu menyebutkan bahwa Umar bin Abdul Aziz pernah mendengarkan budak-budak perempuannya sebelum menjadi khilafah. Ibnus Sam'ani pernah menukil tarkhis (dispensasi) dari Thawus, demikian juga Ibnu Qutaibah juga pernah menukil tarkhis dari Qadhi Madinah Sa'ad bin Ibrahim bin Abdur Rahman Az-Zuhri dari tabi'in. Demikian juga Abu Ya'la juga menukil di dalam "Al lrsyad" dari Abdul Aziz bin Salamah Al Majsyun, mufti Madinah.
Imam Ar-Rauyani menceritakan dari Al Qaffal, bahwa sesungguhnya madzhabnya Imam Malik bin Anas itu memperbolehkan menyanyi dengan memakai alat muzik, demikian juga Ustadz Abu Manshur Al Faurani juga menceritakan dari Imam Malik tentang bolehnya mempergunakan gitar.
Abu Thalib Al Malik di dalam kitab "Qutil Qulub" menyebutkan dari Syu'bah bahwa pernah mendengar suara genderang di rumah Minhal bin Amr, seorang muhaddits masyhur.
Abul Fadhl bin Thahir menceritakan di dalam kitabnya dalam bab "As Sima'" bahwa sesungguhnya tidak ada khilaf di antara ahli Madinah dalam memperbolehkan gitar.
Ibnun Nahwi di dalam kitabnya "Al 'Umdah" dan Ibnu Thahir mengatakan (tentang bolehnya gitar itu) merupakan ijma 'Ahlul Madinah. Ibnu Thahir mengatakan, "Pendapat itu juga didukung oleh golongan Zhahiriyah." Al Adfuwi berkata, "Tidak ada perselisihan riwayat dalam masalah memukul genderang pada Ibrahim bin Sa'ad yang telah kami sebutkan, dia termasuk perawi yang diriwayatkan haditsnya oleh Ashabus-sittah."
Al Mawardi menceritakan bolehnya menggunakan gitar oleh Abdul Fadhl bin Thahir dari Abi Ishaq Asy-Syairazi, demikian juga diceritakan oleh Imam Asnawi di dalam kitab "Al Muhimmat" dari Imam Ar-Rauyani dan Al Mawardi. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Nahwi dari Ustadz Abu Manshur, diceritakan juga oleh Ibnu Mulaqqin di dalam kitab "Al 'Umdah" dari Ibnu Thahir, diceritakan juga oleh Al Adfawi dari Syaikh 'Izzuddin bin Abdus Salam, diceritakan juga oleh pemilik kitab "Al Imta'" dari Abu Bakar Ibnul Arabi, dan Imam Al Adhfawi juga telah menegaskan tentang bolehnya.
(DR. YUSUF QARDHAWI dalam bukunya SISTEM MASYARAKAT ISLAM DALAM AL QURAN DAN SUNNAH)


Jadi barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat untuk membantu bermaksiat kepada Allah, maka jelas dia adalah fasik --termasuk semua hal selain nyanyian. Dan barangsiapa berniat untuk menghibur hati supaya dengan demikian dia mampu berbakti kepada Allah dan tangkas dalam berbuat kebajikan, maka dia adalah orang yang taat dan berbuat baik dan perbuatannya pun termasuk perbuatan yang benar. Dan barangsiapa tidak berniat untuk taat kepada Allah dan tidak juga untuk bermaksiat, maka perbuatannya itu dianggap main-main saja yang dibolehkan, seperti halnya seorang pergi ke kebun untuk berlibur, dan seperti orang yang duduk-duduk di depan sofa sekedar melihat-lihat, dan seperti orang yang mengkelir bajunya dengan warna ungu, hijau dan sebagainya.
(Halal dan Haram dalam Islam- Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi)


Nyanyian yang disertai dengan alat-alat muzik:
Berlaku khilaf di dalam perbincangan mazhab.
Konklusi perbincangan: Harus
Pendapat ini disokong oleh Dr Yusuf Al-Qaradawi di dalam kitabnya 'Al-Islam wal-Fan' (Islam dan Kesenian).


Seterusnya ada ulamak-ulamak masa kini yang mengharuskan penggunaan seluruh alat muzik tanpa ada pengecualian tetapi mereka meletakkan syarat-syarat dan batas-batas penggunaan alat tersebut agar tidak bertentangan dengan hukum Allah SWT. Mereka yang berpendapat demikian antaranya ialah:
1. Dr. Yusuf Al-Qardhawi di dalam kitabnya Malamih Al-Mujtama’ Al-Muslim.
2. Dr. Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Al-Mufassal fi Ahkam Al-Mar’ah wa Baitil Muslim juzuk 4 bab 8 iaitu Babul Lahwi wal La’ab.
3. Dr. Mohammad Imarah di dalam bukunya Al-Islam wal Funun Al-Jamilah.
4. Dr. Kaukab ‘Amir dalam bukunya As-Simaa’ ‘Inda As-Sufiyyah.
Pendapat mereka sama dengan pandangan beberapa ulamak terdahulu seperti Ibnu Hazm Al-Andalusi, Ibn Tahir Al-Qaisarani, Abdul Ghani An-Nablusi, Al-Kamal Jaafar Al-Idfawi Asy-Syafie dan Al-Imam Mohd. Asy-Syazili At-Tunisi.
Sebahagian daripada mereka seperti Al-Qardhawi berpendapat demikian kerana hadith-hadith yang mengharamkan alat-alat muzik pada pandangan beliau sama ada sahih ghair sarih (sahih tetapi tidak nyata) ataupun sarih ghair sahih (nyata tetapi tidak sahih). Nas-nas yang seumpama ini tidak mampu untuk memutuskan hukum kerana hukum mestilah diputuskan dengan nas yang sahih wa sarih (sahih dan nyata).[xix]
*Kesimpulan- Dr. Yusuf Qardhawi mengharuskan nyanyian dan penggunaaan semua jenis alat muzik termasuklah gitar.
DATO’ NIK ABDUL AZIZ & USTAZ ABDUL HADI AWANG

Pendirian mereka jelas mengharuskan nyanyian, gitar dan lain-lain alat muzik. Sewaktu sambutan Kota Bharu sebagai bandaraya Islam, Dato’ Nik Aziz telah menganjurkan konsert alternatif yang melibatkan pelbagai alat muzik termasuklah gitar. Sekiranya beliau berpandangan perkara itu tidak harus, pasti tidak dianjurkannya.

Begitu juga dengan konsert-konsert alternatif termasuklah di Terengganu seperti konsert-konsert Ustaz Akil Hay yang sering melibatkan pemain gitar kumpulan Blues Gang. Tidak pernah mendapat bantahan daripada Ustaz Abdul Hadi Awang.


KESIMPULAN BESARNYA (untuk menjawab soalan penanya)- Islam tidak melarang kita bermain gitar

Wallahualam.
Namun yang jelas haram (tidak ada khilaf) sekiranya alat muzik tadi dipersembahkan bersama:
lagu-lagu yang tidak mendidik, tidak membawa manfaat dan pengajaran- seperti lagu-lagu yang liriknya berkisar tentang cinta lelaki wanita, lagu-lagu yang memuja wanita, menyanjung tokoh-tokoh jahat, lagu-lagu lucah, liriknya berbelit-belit hingga pendengar lebih khayal dengan muzik drpd mesej lagu
penyanyinya wanita sama ada yang tidak menutup aurat, atau yang bersolek, atau yang beraksi berlebih-lebihan, atau yang berakhlak buruk yang akan menjadi ikutan orang lain. Bagi penyanyi wanita yang bersopan (menutup aurat, tidak bersolek, aksinya sopan, boleh menjadi ikutan yang baik)- ia menjadi khilaf ulama. Yang mempamerkan rambut dan bertabarruj (menghias wajah dan diri) di depan penonton seperti artis-artis wanita popular tanah air dewasa ini nyata sangat-sangat haram.
sebarang tarian kecuali tarian perang (tempur atau seni beladiri), lebih-lebih lagi yang melibatkan wanita. Khilaf ulama jika wanita menggayakan tarian perang.
majlis yang di dalamnya ada unsur-unsur tidak baik seperti dihidangkan arak, percampuran lelaki wanita, tari-menari.
Sampai masa untuk buat keputusan peribadi anda…
Berdosakah orang yang menyanyi dan bermain alat muzik?
Berdosa (Fatwa Utsaimin, Albani, Fauzan & Najmy)
Tidak berdosa selagi tidak bercampur maksiat (pandangan saya)
PANDANG GLOBAL, BERGERAK SEBAGAI SATU UMAT
Assalamu`alaykum Wr. Wb
Ustadz, dalam suatu kajian saya pernah diberi tahu bahwa dari empat mazhab yang ada, kesemuanya mengharamkan musik. Benarkah itu? Bukankah Sayyidina Umar Ra. pernah melantunkan senandung?
Ari
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Nyanyian dan musik sepanjang zaman selalu menjadi wilayah khilaf di antara para ulama. Dan lebih detail, ada bagiannya yang disepakati keharamannya, namun ada juga yang diperselishkan.
Bagian yang disepakati keharamannya adalah nyanyian yang berisi syair-syair kotor, jorok dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara umum yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam. Terutama ketika musik itu diiringi dengan kemungkaran, seperti sambil minum khamar dan judi. Atau jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita. Atau jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau menunda-nundanya dan lain-lain.
Namun apabila sebuah nyanyian dan musik tidak seperti itu, barulah kemudian para ulama berbeda pendapat. Ada yang masih tetap mengharamkannya namun ada juga yang menghalalkannya.
Penyebab perbedaan pendapat itu cukup beragam, namun berkisar para dua hal.
Pertama, dalilnya kuat namun istidlalnya lemah. Kedua, dalilnya lemah meski istidlalnya kuat.
Contoh 1
Kita ambil contoh penyebab perbedaan dari sisi dalil yang kuat sanadnya namun lemah istidlalnya. Yaitu ayat Al-Quran al-Kariem. Kitatahu bahwa Al-Quran itu kuat sanadnya karena semua ayatnya mutawatir. Namun belum tentu yang kuat sanadnya, kuat juga istidlalnya. Kita ambil ayat berikut ini:
ومن الناس من يشتري لهو الحديث ليضل عن سبيل الله بغير علم ويتخذها هزوا أولئك لهم عذاب مهين
Dan di antara manusia orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.(QS. Luqman: 5)
Oleh kalangan yang mengharamkan musik, ayat ini sering dijadikan bahan dasar untuk istidlal mereka. Mereka menafsirkan bahwa lahwal hadits (perkataan yang tidak berguna) adalah nyanyian, lagu dan musik.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan ayat ini, karena secara eksplisit tidak mengandung pengharaman tentang lagu, musik atau nyanyian. Yang dilarang adalah perkataan yang tidak berguna. Bahwa ada ulama yang menafsirkannya sebagai nyanyian musik, tentu tidak boleh memaksakan pandangannya.
Kita bisa membaca pandangan Ibnu Hazm tentang ayat di atas. Beliau mengatakan bahwa yang diancam di ayat ini adalah orang kafir. Dan hal itu dikarenakan orang-orang kafir itu menjadi agama Allah sebagai ejekan. Meski seseorangmembeli mushaf lalu menjadikannya ejekan, maka dia pun kafir. Itulah yang disebutkan oleh Allah SWT dalam ayat ini. Jadi Allah SWT tidak mencela orang yang membeli alat musik apabila bukan untuk menjadikannya sebagai penyesat manusia.
Contoh 2: Hadits Nabawi
Dalam salah satu hadits yang shahih ada disebutkan tentang hal-hal yang dianggap sebagai dalil pengharaman nyanyian dan musik.
Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan`. (HR Bukhari)
Karena hadits ini terdapat di dalam shahih Bukhari, maka dari sisi keshahihan sudah tidak ada masalah. Sanadnya shahih meski ada juga sebagian ulama hadits yang masih meragukanya.
Namun dari segi istidlal, teks hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya secara spesifik dan eksplisit. Di titik inilah sesungguhnya terjadi selisih pendapat para ulama. Dalil yang bersifat umum masih mungkin dipersoalkan apabila langsung dijadikan landasan untuk mengharamkan sesuatu.
Batasan yang ada dan disepakati adalah bila alat itu bersifat melalaikan. Namun apakah bentuknya alat musik atau bukan, maka para ulama berbeda pendapat.
Contoh 3: Hadits Nabawi
Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:`Wahai Nafi` apakah engkau dengar?`. Saya menjawab:`Ya`. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata:`Tidak`. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw. mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini. (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Hadits ini sudah agak jelas dari segi istidlalnya, yaitu Rasulullah menutup telinganya saat mendengar suara seruling gembala. Namun dari segi kekuatan sanadnya, para ulama hadits mengatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mungkar. Dan hadits mungkar kedudukannya lebih parah dari sekedar hadits dhaif.
Dan memang banyak sekali dalil pengharaman musik yang derajat haditsnya bermasalah. Dan wajar bila Abu Bakar Ibnul Al-Arabi mengatakan, "Tidak ada satu pun dalil yang shahih untuk mengharamkan nyanyian."
Dan Ibnu Hazm juga senada. Beliau mengatakan, "Semua riwayat hadits tentang haramnya nyanyian adalah batil."
Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini:` Gerhana, gempa dan fitnah. Berkata seseorang dari kaum muslimin:`Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?` Rasul menjawab:` Jika biduanita, musik dan minuman keras dominan` (HR At-Tirmidzi).
Sebagian Shahabat Menghalalkan Musik
Dari banyak riwayat kita mendapatkan keterangan bahwa di antara para shahabat nabi SAW, tidak sedikit yang menghalakan lagu dan nyanyian.
Misalnya Abdullah bin Ja`far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu`bah, Usamah bin Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal.
Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar menuliskan bahwa para ulama Madinahmemberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola`.
Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi`i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja`far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al-Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya`bi.
Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan gitar.
Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata di sampingnya ada gitar, Ibnu Umar berkata:` Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw. kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata, "Ini mizan Syami(alat musik) dari Syam?&quot.Ibnu Zubair menjawab, "Dengan ini akal seseorang bisa seimbang."
Dan diriwayatkan dari Ar-Rawayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik.
Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta`akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap wara`(hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul di masanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi`in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur`an maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.
Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:

1. Lirik Lagu yang Dilantunkan. 

Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara`, maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara`, maka dilarang.

2. Alat Musik yang Digunakan. 

Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu diharamkan jika melalaikan.

3. Cara Penampilan. 

Harus dijaga cara penampilannya tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara` seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.

4. Akibat yang Ditimbulkan. 

Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang diharamkan seperti melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami sebagi respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi` (menutup pintu kemaksiatan).

5. Aspek Tasyabuh atau Keserupaan Dengan Orang Kafir. 

Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda:
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ, فَهُوَ مِنْهُمْ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka. (HR Abu Dawud)

6. Orang yang menyanyikan. 

Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan nyanyian dari wanita yang bukan muhrimnya. Sebagaimana firman Allah SWT.:
يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS Al-Ahzaab 32)
Demikian kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam kehidupan mereka.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc