Kritik Salafi Yang Mengatakan Al Quran
Mengharamkan Musik dan Lagu
Mereka yang menisbatkan dirinya dengan Salafi
telah menyatakan bahwa Musik dan lagu haram hukumnya. Tentunya mereka
berkata seperti itu dengan dasar dalil dari Al Quran dan Al Hadis. Benarkah
seperti itu? Saya berusaha mengkaji masalah ini dan akhir kajian saya adalah ternyata
Musik dan Lagu tidak haram. Dalil yang mereka katakan dari Al Quran dan
Hadis adalah tidak kuat dan tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah ini.
Mereka yang ngotot sekali dengan pengharaman musik dan
lagu sebenarnya hanya mengikut saja kepada Ulama mereka tanpa menelaah dalilnya
secara kritis. Saya cukup heran dengan mereka yang sekedar mengikut tetapi
berani berteriak di depan orang lain, menguras energinya untuk menunjuk-nunjuk
kepada mereka yang mendengarkan musik dan lagu. Dengan pongahnya mereka akan
menyalahkan setiap pendapat yang membolehkan musik dan lagu walaupun pendapat
tersebut ada dasarnya.
Mereka akan selalu berkata Al Quran dan Hadis telah
mengharamkan musik. Aneh sekali seolah-olah hanya mereka saja yang membaca
Al Quran dan Hadis, saya katakan mereka yang cuma mengikut itu sudah terkena
pengaruh Ulamaisme Salafi. Yang mereka katakan Al Quran dan Hadis itu
sebenarnya adalah pemahaman ulama mereka terhadap Al Quran dan Hadis.
Mereka yang sekedar mengikut itu telah kehilangan kemampuan untuk memahami dan
untuk menutupinya mereka dengan liciknya berlindung dibalik pemahaman
Ulama mereka.
Apa daya mereka tanpa ulama mereka, Anda harus
memahami Al Quran dan Hadis sesuai dengan pemahaman Salafus salih, lucu
apa ulama mereka itu salafus salih. Kita harus ikut Ulama karena mereka
lebih ahli, bohong mereka tidak ikut ulama tetapi ikut ulama mereka,
ulama yang punya cap ulama salafi Itulah ulama ahli. Ulamaisme Salafi,
Ulamaisme demi identitas diri, identitas yang mewah kelas pertama, identitas
dengan kebenaran terpasung di lehernya, identitas yang membuatnya berbangga
diri dengan menunjuk-nunjuk orang lain, identitas yang penuh candu keselamatan
dan kemuliaan. Sungguh Euforia yang tragis demi sebuah identitas.
Tulisan ini akan membahas terlebih dahulu dalil Al
Quran yang mereka jadikan dasar untuk mengharamkan musik. Dalam kesempatan
lain kalau saya masih hidup saya akan membahas dalil Hadis-hadisnya.
Argumen Salafi
Dalil terkuat dari Al Quran yang mereka pakai untuk
mengharamkan musik adalah QS Lukman :6 Wa minannaasi mayyasytarii
lahwal hadiitsi liyudhilla ‘an sabiilillaahi bighayri ‘ilmi wayattakhidza haa
hudzuwa ,Ulaaaika lahum ‘adzaabummuhiin
“Dan diantara manusia ada orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan
Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu
akan memperoleh adzab yang menghinakan”.QS Lukman: 6
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa yang dimaksud
dengan lahwal hadiitsi(perkataan yang tidak berguna) pada ayat
tersebut adalah nyanyian. Dalam hal ini Ibnu Mas’ud bersumpah dengan mengatakan
“Demi Allah, itu adalah lagu”.(Sunan Al Kubra Baihaqi 10 hal 223)
Al Wahidi mengatakan, kebanyakan para mufassir mengatakan
bahwa yang dimaksud lahwal hadiitsi(perkataan tidak berguna)
adalah nyanyian, ini adalah pendapat Mujahid dan Ikrimah. (Sunan Al Kubra
Baihaqi 10 hal 223).
Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan Min
Mashayid Asy Syaithan jilid I hal 258-259 mengatakan bahwa hadis
tersebut(riwayat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar) jika didalamnya telah
diteliti maka tidak diragukan lagi lebih prioritas diterima daripada penafsiran
orang setelah mereka.
Oleh karena itu berdasarkan keterangan di atas jelas bahwa Al Quran
mengharamkan musik sehingga yang melakukannya akan mendapat azab yang
menghinakan.
Pembahasan dan Bantahan
Sepintas lalu kalau kita melihat Al Quran Lukman ayat
6 tersebut kita tidak akan terpikir bahwa ayat tersebut mengharamkan musik
dan lagu karena lahwal hadiitsi diterjemahkan sebagai perkataan yang
tidak berguna atau perkataan yang bersifat permainan. Jadi satu-satunya
sandaran bahwa lahwal hadiitsi adalah nyanyian adalah hadis yang
menerangkan perkataan Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa lahwal
hadiitsi yang dimaksud dalam Lukman ayat 6 adalah nyanyian.
Hadis tersebut dalam Sunan Baihaqi adalah hadis
yang shahih jadi saya tidak akan menolak hadis tersebut. Bahkan hadis ini
disahkan oleh Al Hakim dalam kitabnya Mustadrak As Shahihain. Tetapi
perlu ditekankan bahwa hadis itu tidak bersambung sampai ke Rasulullah SAW
atau tidak marfu’. Hadis itu hanya menjelaskan penafsiran Sahabat Nabi
terhadap lahwal hadiitsi.
Memang ada ulama yang berpendapat penafsiran Sahabat
dihukumi marfu’ atau berasal dari Rasulullah SAW dengan alasan mereka para
Sahabat telah menyaksikan turunnya wahyu. Pendapat ini tidaklah benar karena
kalau memang benar penafsiran Sahabat Nabi itu(dalam hadis Sunan Baihaqi
diatas) berasal dari Rasulullah SAW mereka pasti akan menjelaskan dengan
kata-kata telah berkata Rasulullah SAW atau saya melihat Rasulullah SAW.
Kata-kata itu akan menjelaskan sebab turunnya ayat yang merupakan bukti kalau
mereka Sahabat itu menyaksikan turunnya ayat tersebut. Hadis-hadis dengan
kata-kata yang jelas marfu’nya ini banyak terdapat dalam Kitab Hadis yang
menjadikan hadis tersebut sebagai penafsiran Rasulullah SAW terhadap ayat Al
Quran.
Sedangkan hadis tentang Nyanyian ini tidak terdapat kata
yang jelas bahwa penafsiran itu berasal dari Rasulullah SAW jadi lebih tepat
kalau hadis ini merupakan penafsiran Sahabat Nabi terhadap lahwal hadiitsi. Apakah
dengan begitu penasiran Sahabat itu tidak diterima? Tentu saja diterima,
Bagaimana mungkin kita bisa menerima penafsiran ulama tetapi tidak menerima
penafsiran Sahabat Nabi. Bedanya kalau itu penafsiran dari Rasulullah SAW maka
tidak ada tempat bagi kita untuk mengkritiknya.
Jadi penafsiran sahabat bahwa lahwal hadiitsi itu
nyanyian bisa diterima dalam arti nyanyian itu termasuk salah satu dari lahwal
hadiitsi yang dimaksud tetapi tidak hanya itu. Karena arti sebenarnya lahwal
hadiitsi itu adalah perkataan yang tidak berguna atau perkataan yang
bersifat permainan.
Apakah dengan begitu kita mengakui bahwa nyanyian itu
haram? Ho ho ho tentu saja tidak, nah disinilah letak bantahannya. Lihat
kembali surah Lukman ayat 6 tersebut, nah anda akan tahu bahwa lahwal
hadiitsi yang mendapatkan azab itu adalah lahwal hadiitsi(perkataan
yang tidak berguna) yang digunakan untuk menyesatkan manusia dari jalan
Allah SWT. So yang diharamkan itu adalah menyesatkan manusia dari jalan Allah
SWT dengan perkataan tidak berguna atau main-main termasuk dengan nyanyian.
Sedangkan lahwal hadiitsi sendiri adalah hal yang
biasa saja, kata itu mengandung arti perkataan yang tidak berguna atau perkataan
yang bersifat permainan. Tentu sebagai seorang muslim yang ideal hendaknya
mengeluarkan perkataan yang berguna saja dan Jangan suka main-main. Idealnya
begitu, kalau saya sih jelas tidak ideal, saya masih suka main-main dan
perkataan saya banyak juga yang tidak berguna. Saya tidak setuju kalau hal
seperti ini diharamkan selagi kata-kata itu tidak buruk dan tidak menyakiti
orang lain.
Lahwal hadiitsi, kata hadiitsi
sendiri berarti perkataan sedangkan kata lahwu berarti tidak
berguna atau permainan. Mereka yang ingin mempermasalahkan kata
lahwu dan menyatakannya haram adalah tidak benar. Lihatlah Al Quran Muhammad
ayat 36 Innamal hayaatuddunyaa la’ibun wa lahwu “Sesungguhnya
kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau…”QS Muhmmad :36
Bagaimana mungkin lahwu bisa dikatakan haram,
kalau iya maka kehidupan dunia menjadi haram pula. Ini jelas tidak benar,
lahwu(permainan) itu adalah hal yang biasa saja selagi tidak
memalingkan kita pada kehidupan akhirat. Oleh karena itu kelanjutan ayat itu “Dan
jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia
tidak akan meminta harta-hartamu”.QS Muhammad 36
Kembali kepada Al Quran Lukman ayat 6, ayat ini
sebenarnya ditujukan buat orang-orang kafir. Ini dapat dilihat dari kelanjutan
ayat tersebut Lukman ayat 7. “Dan
diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan
jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan”.QS
Lukman :6
“Dan apabila dibacakan kepadanya
ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia tidak
mendengarnya. Seakan-akan ada penghalang di kedua telinganya, maka berikan
kabar gembira padanya dengan azab yang pedih”.QS Lukman :7
Jelas sekali bahwa yang berpaling dengan menyombongkan
diri ketika dibacakan ayat-ayat Allah adalah orang kafir.
• Ibnu Jarir At Thabary dalan Tafsir
Ath Thabary jilid I hal 41 tafsir surah Lukman menegaskan dari riwayat Ibnu
Wahabyang berkata “Ibnu Zaid mengatakan bahwa Lukman ayat 6 “Dan diantara
manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna” maksudnya
adalah orang-orang kafir.
• Pendapat ini juga dikemukakan Ibnu
Athiyyah dalam Tafsir Ibnu Athiyyah jilid 11 hal 484 yang mengatakan
bahwa yang rajih atau lebih kuat adalah ayat yang diturunkan tentang lahwul
hadis ini untuk orang-orang kafir, karenanya ungkapan tersebut sangat keras
yaitu “untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa pengetahuan dengan menggunakannya
sebagai olok-olokan” dan disertai dengan ancaman siksaan yang sangat hina.
• Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla
jilid 9 hal 10 telah membantah mereka yang menggunakan Lukman ayat 6 ini
sebagai dasar pengharaman musik Beliau berkata “Nash ayat tersebut
membatalkan Argumentasi –argumentasi mereka sendiri, karena dalam ayat tersebut
“Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu olok-olokan” Ini menunjukkan bahwa yang
melakukannya adalah orang kafir,tanpa ikhtilaf jika menjadikan jalan Allah
sebagai olok-olokan. Inilah yang dicela oleh Allah . Sedangkan orang yang
menggunakan perkataan yang sia-sia untuk tujuan hiburan atau menenangkan
dirinya bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tidaklah dicela. Maka
terbantahlah pendapat mereka dengan perkataan mereka sendiri. Bahkan jika
seseorang melalaikan shalat dengan sengaja dikarenakan bacaan Al Quran atau
membaca hadis atau dengan obrolan dan lagu sama saja termasuk kefasikan dan
dosa kepada Allah. Tetapi siapa yang tidak melalaikan kewajiban sebagaimana
yang kami sebutkan maka tetap merupakan kebaikan”
Maaf kalau terlalu panjang mari kita akhiri saja dengan
kesimpulan Ayat Al Quran Lukman ayat 6 adalah lebih tepat ditujukan untuk
orang-orang kafir yang ingin menyesatkan manusia dari jalan Allah dengan
perkataan yang tidak berguna. Jadi Ayat ini tidak benar dijadikan dasar
pengharaman musik dan lagu. Singkatnya Al Quran tidak mengharamkan musik
dan lagu. Salam damai.
Ja'far Shodiq Al-Palembani, di/pada Agustus 20th, 2007 pada 2:04 pm Dikatakan:
Menurutku, musik/nyanyian yang membuat dosa adalah musik
mengumbar hawa nafsu, dan berisi kata-kata yang haram dan menyesatkan. Ini
sangat sesuai dengan :
“Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan
jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang
menghinakan”.QS Lukman: 6
Musik/nyanyian yang model seperti itu adalah salah satu contoh ‘perkataan yang
tidak berguna’.
Musik bisa jadi sarana dakwah (nasyid), musik yang
berharmoni juga bisa meningkatkan kemampuan otak kanan dan mempercepat
penyembuhan penyakit (sbg terapi alternatif), musik juga bisa mengingatkan
seseorang akan suatu sesuatu yang baik melalui bait-bait lagu tsb, musik juga
dapat melembutkan hati…
By the way, menurut saya halal atau haram musik/nyanyian
tsb tergantung dari bagaimana musik tsb. Musik dapat menjadi halal dan musik
juga dapat menjadi haram.
secondprince, di/pada Agustus 21st, 2007 pada 10:42 am Dikatakan:
@ Kustoro
kalau soal manfaat itu relatif Mas, bagi anda yang
mungkin tidak pernah mendengar nyanyian maka anda tidak akan tahu manfaatnya.
Sekedar informasi Mas Musik sudah menjadi salah satu terapi psikis bagi
penyakit psikis tertentu.
Anda bicara dalil, boleh saja tetapi tahukah anda bahwa
setiap dalil mesti ditelaah
1. Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ
عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan “perkataan yang tidak
berguna” untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan
jalan Allah itu olok-olokan.” (Luqmaan:6)
Kebanyakan ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “perkataan yang
tidak berguna” adalah nyanyian.
Berkata Ibnu Mas’ud: “Itu adalah nyanyian. Demi Allah,
yang tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali Dia.” Beliau mengulanginya
tiga kali. Dan berkata Al-Hasan Al-Bashriy: “Ayat ini turun berkaitan dengan
nyanyian dan alat musik.” (Lihat Tafsiir Ibni Katsiir 6/145 cet. Maktabah
Ash-Shafaa)
Bukankah dalil ini sudah dibahas dalam tulisan di atas,aneh berarti anda sama
sekali tidak membaca tulisan saya lihat lagi tulisan di atas
Anda bilang kebanyakan ahli tafsir menyatakan itu
nyanyian, tetapi kenapa anda tidak menyebutkan siapa saja mereka
Mengenai Ibnu Mas’ud kan udah dibahas di atas saya
sepakat hadisnya shahih tetapi itu kan cuma penafsiran sahabat, tidak ada kata
indikasi marfu’ ke Rasulullah SAW
Anda mengutip Hasan Bashri yang notabenenya seorang
tabiin, apakah tabiin menyaksikan turunnya Ayat Al Qur’an
Sebenarnya Mas kalau anda mau menelaah dengan cermat ayat
di atas maka yang diharamkan itu tujuannya untuk menyesatkan manusia, sekali
lagi baca tulisan di atas apa menurut anda saya itu cuma main-main
Dalil no 2 anda, jelas sekali anda tidak menampilkan
referensinya dari mana anda tahu bahwa suara itu adalah nyanyian, seharusnya
maaf anda menampilkan pendapat siapa itu
Dalil hadisnya akan saya bahas nanti, hadis itu terdapat
keraguan pada sanadnya bahkan Bukhari sendiri meriwayatkan secara muallaq
artinya sanadnya terputus, lengkapnya akan saya bahas nanti
Anda menukil pendapat ulama, percayalah saya juga punya
sumber ulama yang membolehkan nyanyian
jadi pendapat ulama tidak menjadi hujjah mati ketika banyak juga ulama yang
membolehkan nyanyian, salah satu yang membolehkan adalah Asy Syaukani, Ibnu
Thahir, dan Ibnu Hazm.
Pendapat Ibnu Taimiyyah yang anda kutip masih janggal
1.Anda mengaitkan dengan syirik maka yang jadi haramnya itu yang syiriknya
bukan musiknya , menurut saya yg seperti ini jelas berlebihan
2 dan 3 Ibnu Taimiyyah mengaitkan hal keji seperti zina
dan pembunuhan dengan musik, ya yang seperti ini kan berarti zina dan
pembunuhannya yang haram. ini generalisasi namanya bagaimana dengan yang
mendengarkan musik sendirian di kamar
4. Musik seperti arak bagi jiwa, mana dalilnya? ini cuma
perkataan Ibnu Taimiyyah saja, bagaimana dengan mereka para ahli psikolog yang
melakukan terapi musik, perkataan itu harus dengan dalil kuat Mas, kalau cuma
pendapat tidak bisa dijadikan dasar pengharaman.
rakhman, di/pada September 5th, 2007 pada 8:02 pm Dikatakan:
Assalamu’alaikum,
Boleh ikutan dong, wah mas jago tafsir ya mengalahkan
Sahabat Rasululloh.
Terus bagaimana dengan hadits ini mas:
“Sungguh, benar-benar akan ada dari ummatku kaum-kaum
yang menghalalkan zina, sutera, khamr (minuman keras) dan ma’aazif.” Ma’aazif
adalah musik. (HR. Al-Bukhariy dan Abu Dawud)
Masalah terapi dengan musik, menurut saya mah kebanyakan
pemusik itu org yg jauh dengan agama (kecuali yg beragama non-muslim- maaf).
Jadi gimana nih? Oh ya ttg efek musik bagi tubuh juga blm
final kok, masih banyak ilmuwan yg menyangkal (iseng2 search di google)
Klo saya mah ngejaga utk tdk dengerin musik. Takut,
soalnya pilihannya cuman 2, klo benar cmn dapat kenikmatan mendengarkan musik,
klo salah padahal sdh tahu hadits-nya dosa dong.
Cari aman ahhhh.
Wallahu a’lam
secondprince, di/pada September 6th, 2007 pada 10:19 am
Dikatakan:
@ Rakhman
Maaf mas anda salah kok, saya gak jago tafsir dibanding
sahabat, apa saya menolak tafsir sahabat,tidak kok. Baca lagi dengan baik saya
menerima tafsir sahabat, tapi pemahamannya tidak seperti yang salafi
katakan.Tapi tafsir sahabat nggak mutlak karena ayat Al Quran nya jelas dan
umum.
Hadis itu terdapat keraguan pada sanadnya, coba anda cek sendiri. Bukhari
meriwayatkan secara muallaq,ntar saya akan bahas anda juga sembarangan
generalisasi masalah pemusik jauh dari agama gak ada hubungan dengan hukum
musik sendiri. Apa anda tidak pernah mendengar musik yang bernuansa agama.
Memang belum final kok, ada ilmuwan yang menyangkal, maaf
Mas baca lagi teliti memang ada yang ragu terapi musik untuk kasus-kasus
tertentu. Bukan menyangkal tetapi mereka berpendapat itu tak terlalu
berpengaruh.
Anehnya anda mengabaikan mereka yang berpendapat terapi musik bermanfaat untuk
kasus-kasus tertentu
Silakan saja Mas, itu kan hak anda, entahlah apa anda pernah mendengar
hadis-hadis yang membolehkan musik.
saya rasa anda hanya mendengar hadis-hadis yang dikatakan salafi mengharamkan
musik, tetapi anehnya luput dari pandangan anda keraguan pada hadis tersebut
ibnu chusaeri, di/pada September 7th, 2007 pada 10:12 am
Dikatakan:
Assalamu’alaikum…
Maaf, saya hanya seorang tholabul ilmi, dan belum mempunyai kemampuan untuk
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist. Saya lebih memilih mencari dan mengikuti
kebenaran yg berdasarkan Al-qur’an dan Assunnah (hadist yg shahih)yg
disampaikan oleh para ulama. Saya tidak akan berpendapat menurut pribadi saya
apalagi mengkritik, karena memang saya merasa belum cukup, bahkan jauh, dari
mampu. Maka berikut ini saya sampaikan beberapa artikel sebagai tambahan, yg
mudah-mudahan bermanfaat.
dan mohon maaf bila terlalu panjang.. l - comment-562
*kabur*
Shelling
Ford, di/pada Oktober 5th, 2007 pada 11:58 am Dikatakan:
@ ahmad abu faza
Sudah jelas hadist-hadist yang melarang
musik :
sudah jelas juga kalo tulisan di sini membantah kalo
hadist2 itu melarang musik http://secondprince.wordpress.com/
@ Mas Joe
ah saya juga heran Mas l
secondprince, di/pada Oktober 25th, 2007 pada 5:35 pm Dikatakan:
@Ifanogoo
ah saya malas nanggepin komen anda,tapi sepertinya sudah ada yang menanggapi
anda. Nah saya sependapat dengan mereka
saya hanya ingin menanggapi kata-kata anda
ingat kawan,… pada akhir zaman
pemahaman terhadap alquran, sunnah, hadist akan menjadi sempit seiring dengan
propaganda yahudi untuk menghancurkan islam….. telaah lah dan kritislah
terhadap permasalahan tersebut. apakah kita pernah aware (waspada) terhadap
propaganda2 yahudi terhadap islam ?,…
percayalah saya bingung dengan anda ini, tulisan saya
yang ada sekarang saja anda memahaminya dengan tidak benar, apalagi yang
jauh-jauh ke akhir zaman dan propaganda yahudi segala. aduh Mas jangan tertipu
dengan pikiran-pikiran sendiri.
Kita kan gak bicara masalah Yahudi, coba lihat tulisan diatas mana ada
sedikitpun tentang yahudi. Yang aneh siapa jadi
@Mas Joe
saya setuju dengan ini
@Difo
ikutan nonton
Bambang
Soebiawak, di/pada Oktober 25th, 2007 pada 6:06 pm Dikatakan:
Berantemnya ga jadi? http://mbelgedez.wordpress.com/
@Tri End
Ah, cara Salafi menggunakan akal benar-benar beda l - comment-742
tukang ngeyel, di/pada Nopember 12th, 2007 pada 12:38 pm
Dikatakan:
Gini aja amalku ya amalku, amalmu ya amalmu wissssssssss
Kholifatul vica cristin, di/pada Nopember 13th, 2007 pada 11:27 am
Dikatakan:
Alah terserah dirimu2 yg tw mslh dalil2,bagi ku hidup di
dunia akan terasa Hampa bila tanpa musik……….
Taufiq, di/pada Desember 6th, 2007 pada 9:16 pm Dikatakan:
Perkataan shahabat anda tolak, ulama pun anda tolak, lalu
pendapat siapa yang anda pegang? pendapat anda sendiri?
“Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina,
sutera, khamr, dan alat-alat musik … .” (HR. Bukhari 10/51/5590-Fath)
secondprince, di/pada Desember 7th, 2007 pada 1:36 pm Dikatakan:
@Taufiq
Perkataan sahabat mana yang saya tolak, maaf kalau baca itu yang benar, lihat
kata-kata saya yang ini
Apakah dengan begitu penasiran Sahabat
itu tidak diterima? Tentu saja diterima, Bagaimana mungkin kita bisa menerima
penafsiran ulama tetapi tidak menerima penafsiran Sahabat Nabi.
baca jangan buru-buru atau terpengaruh dengan emosi
teliti dulu tulisannya
ulama yang saya tolak pendapatnya adalah ulama salafi,
sedangkan Ibnu Thahir, asy Syaukani, Ibnu Hazm, Ibnu Arabi, Syaikh Muhammad al
Ghazali dan Syaikh Yusuf Qardhawi malah saya terima pendapat mereka yang tidak
mengharamkan musik
Saya berpegang dengan hadis Rasulullah yang shahih dan
tidak diperselisihkan sanadnya Mas, lihat tulisan saya ini
http://secondprince.wordpress.com/2007/09/08/kritik-salafi-yang-mengabaikan-hadis-hadis-yang-membolehkan-musik-dan-lagu/
Maaf Mas pengetahuan anda bahwa yang punya dalil hanya salafi itu lebih baik
perlu diperiksa
Yang punya dalil tidak hanya Salafi Mas
bara, di/pada Desember 11th, 2007 pada 7:59 am Dikatakan:
@ second
kata anda
Perkataan sahabat mana yang saya tolak, maaf kalau baca itu yang benar, lihat
kata-kata saya yang ini
Apakah dengan begitu penasiran Sahabat itu tidak
diterima? Tentu saja diterima, Bagaimana mungkin kita bisa menerima penafsiran
ulama tetapi tidak menerima penafsiran Sahabat Nabi.
tuh kan ternyata kita harus menerima penafsiran sahabat,
dari para ulama/imam
J
Algar, di/pada Desember 11th, 2007 pada 7:44 pm Dikatakan:
@bara
Ya jelas dong diterima kalau memang dalilnya shahih
intinya itu Mas dalil shahih dan metode yang benar
bukan dengan taklid
saya menerima penafsiran sahabat dan ulama yang sesuai dengan dalil yang shahih
Perhatikan itu Mas
bara, di/pada Desember 11th, 2007 pada 8:29 pm Dikatakan:
@ second
klo hadits fadak yang dibawa sahabat Abubakar ????? ( kan sahih di kitab
bukhari ) masak lupa
Taufiq, di/pada Desember 12th, 2007 pada 6:13 pm Dikatakan:
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar
bahwa yang dimaksud dengan lahwal hadiitsi (perkataan yang tidak berguna) pada
ayat tersebut adalah nyanyian. Dalam hal ini Ibnu Mas’ud bersumpah dengan
mengatakan “Demi Allah, itu adalah lagu”. (Sunan Al Kubra Baihaqi 10 hal 223)
Sebagaimana yang anda tulis, pendapat Abdullah bin Mas’ud RA, Abdullah bin
‘Abbas RA dan Abdullah bin ‘Umar RA yang anda tolak, bukankan mereka sama
menyatakan bahwa nyanyian itu haram?
Ya, sanadnya memang tidak menyambung kepada Rasulullah SAW, dan bahwa memang
ini penafsiran mereka sendiri, tetapi adakah dalil yang menyatakan para
shahabat lainnya menolak pendapat mereka ini? Kalau ada tolong anda sampaikan!
Dan bukankah anda tahu kedudukan Abdullah bin ‘Abbas diantara para shahabat,
bahwa dialah salah seorang ahli tafsir terbaik diantara mereka.
Maafkan saya kalau saya terbawa emosi.
almirza, di/pada Desember 12th, 2007 pada 8:27 pm Dikatakan:
@bara
Eh pokok bahasan itu udah ada tulisannya
komen disana saja
Gak berani ya
komen kok di tempat yang jauh begini
@Taufiq
Payah nih, anda kan cuma bawa hadis Baihaqi yang udah dibahas diatas
gak ada tuh keterangan Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud mengharamkan nyanyian
mereka cuma bilang lahwal hadisi itu nyanyian
Lagian si second itu udah bilang kok
Apakah dengan begitu kita mengakui
bahwa nyanyian itu haram? Ho ho ho tentu saja tidak, nah disinilah letak
bantahannya. Lihat kembali surah Lukman ayat 6 tersebut, nah anda akan tahu
bahwa lahwal hadiitsi yang mendapatkan azab itu adalah lahwal hadiitsi(perkataan
yang tidak berguna) yang digunakan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah
SWT. So yang diharamkan itu adalah menyesatkan manusia dari jalan Allah SWT
dengan perkataan tidak berguna atau main-main termasuk dengan nyanyian.
Memang orang-orang Salafi gak pernah baca tulisan orang
dengan baik
Nafsunya sih yang bekerja bukan akalnya l
buritan, di/pada Januari 14th, 2008 pada 7:46 am Dikatakan:
@ taufiq
emang semua lagu itu membawa kepada kesesatan, emang semua bikinan kaum kufar
itu membawa kepada kesesatan, klo begitu jangan pake mobol biar gak sesat,
mobil kan bikinan kaum kufar ???
Maz JoEyZt, di/pada Februari 22nd, 2008 pada 9:33 pm Dikatakan:
Sebaiknya yang nulis artikel di atas belajar dulu deh.
Masih bodoh aja sok tau… sok alim……sombong banget….
dikira dirinya lebih alim dari ulama….
dikira dirinya lebih alim dari sahabat yang telah dijamin masuk surga….
dikira dia itu sudah jadi ahli hadits….
dikira …dikira…dikira…..
ente masih bodoh mas, ibarat anak kecil tuh masih jilatin
permen lolipop.
mbok ya belajar dulu to mas…
ngenes gue bacanya….
artikel di atas justru menunjukkan kebodohan penulis
(siapapun dia gw ga tau, cuma satu hal….
BAHWA DIA TAU KALAU GW TAU BAHWA DIA TAU GW MENYADARI BAHWA DIA ITU BODOH SOK
ALIM, SOMBONG)
Kritik Salafi Yang Mengabaikan
Hadis-hadis Yang Membolehkan Musik Dan Lagu
Sekali lagi mari kita bahas soal musik. Kali ini akan
dibahas hadis-hadis yang mengindikasikan bolehnya musik dan lagu. Hadis-hadis
ini menjadi dasar yang kuat sebagai kritikan bagi mereka yang menisbatkan dirinya dengan Salafi.
Juga ditujukan buat mereka yang menanggapi tulisan saya yang lalu. Hadis-hadis ini
membantah anggapan mereka bahwa musik dan lagu itu diharamkan.
Hadis Pertama
Diriwayatkan oleh Buraidah bahwa
Rasulullah SAW hendak menuju perperangan, ketika kembali dari perperangan
seorang Jariyyah hitam datang menghampiri Rasulullah SAW seraya berkata ”wahai
Rasulullah SAW sesungguhnya aku telah bernadzar apabila Engkau kembali dengan
selamat aku akan menabuh Duff dan bernyanyi di hadapanmu, Rasulullah SAW
bersabda ”apabila kau telah bernadzar maka tabuhlah sekarang karena apabila
tidak maka engkau telah melanggar nadzarmu”. Kemudian Jariyyah tersebut menabuh
Duff dan bernyanyi, kemudian Abu Bakar ra masuk ke rumah Rasulullah SAW
ketika Jariyyah itu masih menabuh Duff dan bernyanyi, kemudian ketika Ali ra
masuk dia masih menabuhnya dan ketika Utsman ra masuk dia juga tetap menabuh,
ketika Umar ra masuk beliau langsung melemparkan Duff itu ke arahnya yang
kemudian Jariyyah itu duduk. Lalu Rasulullah SAW bersabda ”wahai Umar sungguh
setan akan takut kepadamu, sungguh ketika Aku duduk, dia menabuh Duff, ketika
Abu Bakar masuk dia juga masih demikian, Ketika Ali masuk juga demikian, ketika
Utsman masuk dia juga tetap menabuhnya akan tetapi ketika engkau masuk wahai Umar
engkau lemparkan Duff itu”. (Hadis Sunan Tirmidzi no 3690 dimana At Tirmidzi
mengatakan hadis ini hasan shahih gharib, hadis ini juga dinyatakan shahih oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi. Juga diriwayatkan dalam Musnad
Ahmad bab Buraidah no 22989 dengan sanad yang kuat, dan diriwayatkan dalam
Shahih Ibnu Hibban hadis no 6892).
Hadis ini adalah bukti jelas dibolehkannya menabuh Duff(sejenis
alat musik tabuh) dan bernyanyi. Tidak boleh bernadzar dalam hal yang
diharamkan atau dalam bermaksiat kepada Allah, hal ini sudah sangat jelas. Izin
Rasulullah SAW melalui kata-kata tunaikanlah nadzarmu menjadi bukti kuat
kebolehan menabuh duff dan bernyanyi. Sedangkan sikap Umar ra itu adalah
kecenderungannya yang tidak suka mendengarkan duff dan nyanyian. Adalah aneh
sekali jika menganggap sikap Umar ra sebagai menunjukkan haramnya menabuh musik
dan bernyanyi karena kalau memang haram tidak mungkin dari awal Rasulullah SAW
membiarkannya termasuk Abu Bakar ra, Ali ra dan Usman ra. Adalah lucu sekali
berpendapat Umar ra tahu itu haram sedangkan Rasulullah SAW tidak, yang seperti
ini jelas tidak benar. Oleh karena itu sikap Umar ra tidak lain adalah
kecenderungan pribadinya.
Hadis Kedua
Diriwayatkan dari Rubayyi’ binti
Mu’awwidz beliau berkata ”Rasulullah SAW datang, pagi-pagi ketika pernikahan
saya kemudian Beliau SAW duduk dikursiku seperti halnya kau duduk sekarang ini
di depanku, kemudian aku menyuruh para Jariyah memainkan Duff,dengan
menyanyikan lagu-lagu balada orang tua kami yang syahid pada perang
Badr, mereka terus bernyanyi dengan syair yang mereka kuasai, sampai salah
seorang dari mereka mengucapkan syair yang berbunyi…”Diantara kita telah hadir
seorang Nabi yang mengetahui hari depan”…Maka Nabi SAW bersabda ”Adapun syair
ini janganlah kamu nyanyikan”.(Hadis Shahih Bukhari Kitab Nikah Bab Dharbal
Duff Al Nikah Wa Al Walimah no 5147, juga diriwayatkan dalam Shahih Ibnu Hibban
no 5878).
Hadis ini juga mengisyaratkan bolehnya memainkan Duff dan
bernyanyi, hal ini berdasarkan taqrir atau diamnya Nabi saat Jariyyah tersebut
memainkan duff dan bernyanyi. Bukhari telah meriwayatkan hadis ini dalam Bab Dharbal
Duff Al Nikah Wa Al Walimah(Memukul Tambur Selama Pernikahan). Perkataan Nabi
SAW ”Adapun syair ini janganlah kamu nyanyikan” merujuk kepada syair
yang berbunyi..”Diantara kita telah hadir seorang Nabi yang mengetahui hari
depan”, Nabi melarang kata-kata dalam syair ini karena Hanya Allah SWT yang
mengetahui hari depan.
Hadis Ketiga
Dari Aisyah ra Suatu hari Abu Bakar ra
masuk ke rumah Rasul SAW disana ada dua jariyah yang sedang bernyanyi dengan
memainkan rebana, mereka sudah biasa bernyanyi, sedangkan Rasulullah SAW
terhalang dengan tirainya. Abu Bakar melarang keduanya sehingga Rasulullah SAW
membuka tirai sambil bersabda ”Wahai Abu Bakar biarkanlah(mereka bernyanyi) karena
hari ini adalah hari Id(hari raya)”. (Hadis Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
sebagaimana disampaikan Syaikh Al Albani dalam Ghayatul Maram Takhrij Al Halal
Wal Haram Fil Islam hadis ke 399Al Maktab Al Islami Al Ula hal 227).
Hadis ini juga menjadi dasar bolehnya bernyanyi dan
memainkan gendang atau rebana. Hal ini tampak jelas dari kata-kata Nabi SAW ”Biarkanlah”.
Tidak mungkin Nabi SAW membiarkan yang haram. Sedangkan anggapan sebagian orang
bahwa yang dibolehkan hanya pada hari raya sedangkan selain hari raya itu
dilarang adalah anggapan yang tidak benar. Pertama sudah jelas dalam dua hadis
sebelumnya nyanyian dibolehkan ketika nadzar dan pernikahan bukankah itu
artinya selain hari raya. Kedua dalam hari raya tidak dibolehkan melakukan
sesuatu yang haram. Bagaimana mungkin sesutu yang haram menjadi halal karena
hari raya. Oleh karena itu tidak beralasan menyatakan nyanyian itu haram.
Hadis Keempat
Diriwayatkan dari Aisyah ra yang
berkata ”di kamarku ada Jariyyah Anshar kemudian aku menikahkannya maka
Rasulullah SAW masuk pada hari pernikahannya itu Beliau SAW sama sekali tidak
mendengar nyanyian ataupun lahwu(permainan) kemudian Beliau SAW bersabda ”wahai
Aisyah apakah engkau tidak memberikan nyanyian untuknya?”. Kemudian Beliau
SAW bersabda lagi ”bukankah di kampung ini kampungnya orang Anshar yang mereka
itu sangat menyukai nyanyian”.(Hadis dalam Shahih Ibnu Hibban no 5875 semua
perawinya tsiqat).
Begitu pula dalam hadis ini yang berkesan adanya anjuran
nyanyian atau hiburan dalam pernikahan. Hal ini setidaknya membuktikan nyanyian
itu tidak haram karena Nabi SAW telah mengizinkannya dalam pernikahan.
Hadis kelima
Dari Amir bin Said dia berkata ”Aku
masuk ke rumah Abi Mas’ud dan Qardhah bin Ka’ab dan diantara mereka ada
beberapa Jariyah yang sedang bernyanyi, kemudian aku bertanya ”Apakah
kalian melakukan semua ini padahal kalian itu sahabat Nabi SAW?” Abu Amir
berkata lalu keduanya menjawab ”duduklah, jika engkau suka dengarkanlah bersama
kami, akan tetapi jika tidak pergilah sungguh kami telah diberikan keringanan
untuk bersuka ria selama walimah pernikahan”(Hadis Sunan An Nasa’i Bab Al Lahwu
Wa Al Ghina ’Inda Al ’Arus hadis no 3168, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al
Albani dalam Shahih An Nasa’i).
Hadis ini juga menjadi dasar dibolehkannya nyanyian
karena para sahabat ra sendiri juga mendengarkan nyanyian. Ketika ditanya
kenapa mendengarkan nyanyian padahal mereka sahabat Rasulullah SAW, maka mereka
menjawab bahwa Rasulullah SAW telah memberikan keringanan dalam hal ini atau
telah dibolehkan oleh Rasulullah SAW yaitu ketika walimah pernikahan.
Kelima hadis tersebut menunjukkan dibolehkannya
nyanyian dan menabuh alat musik seperti duff atau rebana. Jadi bagaimana
mungkin alat musik itu haram. Adalah tidak benar
menyatakan kebolehan itu bersifat khusus dan selain itu haram. Aneh apakah
karena bernadzar, pernikahan dan hari raya maka yang haram menjadi halal. Ini
jelas tidak benar, justru hadis tersebut dipahami sebagai keumuman
pembolehannya. Situasi-situasi yang berlainan yaitu ketika menunaikan nadzar,
ketika ada pernikahan dan ketika hari raya jelas lebih menunjukkan keumuman
dibolehkannya nyanyian. Dibolehkannya sudah pasti tidak menunjukkan haram.
DIarsipkan di bawah: Hadis,
Kritik
Salafi
Hadis Yang Sanadnya Shahih Tetapi
Matannya Tidak Jelas Mengharamkan Musik
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda “Sesungguhnya Allah mengharamkan khamr, judi, Al Kubah dan Al
Ghubaira. Setiap yang memabukkan adalah haram.(Hadis riwayat Abu Dawud dalam
Sunan Abu Dawud no 3685 dan Ahmad dalam Musnad Ahmad)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda Sesungguhnya
Allah mengharamkan kepadaku yaitu mengharamkan khamar, judi dan Al Kubah.
Setiap yang memabukkan adalah haram.(Hadis riwayat Ahmad dalam Musnad Ahmad no
2476)
Hadis pertama telah dikritik Asy Syaukani dalam Nailul
Authar, dia berkata “Al Hafiz Adz Dzahabi tidak berkomentar tentang
hadis ini, dan dalam sanadnya terdapat Walid bin Abduh. Abu Hatim dan Ar Razi
berkata bahwa Walid majhul atau tidak diketahui identitasnya. Al Mundziri
berkata bahwa hadis ini mangandung ‘illat (kecacatan).”
Hadis kedua riwayat Ibnu Abbas telah dinyatakan shahih
oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad hadis no 2476. Hadis
riwayat Ibnu Abbas ini juga dinyatakan shahih oleh Syaikh Syuaib Al Arnauth
dalam Takhrijnya terhadap Musnad Ahmad hadis no 2476. Walaupun begitu
kedua hadis ini matannya tidak jelas mengharamkan musik. Mereka yang
mengharamkan musik dengan dalil hadis ini selalu mengartikan Al Kubah dengan
alat musik perkusi atau tabuh dan Al Ghubaira dengan alat musik petik.
Padahal terjadi perbedaan di kalangan ulama dalam
penafsiran kata Al Kubah dan Al Ghubaira. Ali bin Budzaimah mengatakan bahwa Al
Kubah diartikan sebagai tambur, sedangkan dalam kitab Gharib Al Hadis Ibnu
Arabi, Al Khatib dan Abu Ubaid mengatakan Al Kubah adalah permainan dadu.
Perbedaan pendapat juga terjadi di kalangan ulama dalam menafsirkan Al
Ghubaira, sebagian ada yang mengatakan alat musik sedangkan sebagian yang lain
mengatakan Al Ghubaira adalah khamr yang terbuat dari jagung atau gandum,
begitu pendapat Ibnu Atsir dalam kitab An Nihayah tentang Gharibul
Hadis.
Menurut kami Al Kubah lebih tepat diartikan sebagai
permainan dadu dan Al Ghubaira sebagai minuman khamr dari jagung dan
gandum. Hal ini karena
• Penafsiran seperti ini lebih sesuai
dengan teks hadis yang mengharamkan khamr dan judi. Al Ghubaira berkaitan
dengan khamr dan Al Kubah berkaitan dengan judi.
• Menafsirkan Al Kubah sebagai alat musik tabuh jelas bertentangan dengan hadis
shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW membolehkan menabuh duff(sejenis
alat musik tabuh atau perkusi) dan rebana. Lihat tulisan saya Kritik Salafi
Yang Mengabaikan Hadis-Hadis Yang Membolehkan Musik dan Lagu.
Oleh karena itu menjadikan hadis-hadis ini sebagai dasar
pengharaman musik dan lagu adalah kurang tepat.
Diriwayatkan dari Nafi bahwa Ibnu Umar
mendengar suara seruling pengembara maka beliau memasukkan jarinya ke
telinganya, kemudian beliau menyimpangkan kudanya dari jalanan, ia mengatakan
“hai Nafi apakah kamu mendengar?”. Aku menjawab: ya, maka ia berlalu sampai aku
mengatakannya tidak. Maka beliau mengangkat tangannya dan kembali menunggang ke
jalanan kemudian beliau berkata ”Aku pernah melihat Rasulullah SAW mendengar
suara seruling pengembara maka beliau berbuat seperti ini”(Hadis Sunan Abu
Dawud Bab Adab hadis no 4924).
Tentang hadis ini Abu Dawud berkata “hadis ini
mungkar”. Al Hafidz Al Munziri dalam kitabnya Mukhtasar Lis Sunan
jilid 7 hadis no 4755 tidak mengingkari atas kemunkarannya. Hal ini ditanggapi
oleh Abu Thayyib Muhammad Syamsyulhaq Adzim Abadi dalam Kitabnya Aun Al
Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud yang berkata “tidak mengetahui sisi
keingkarannya tetapi sanadnya kuat dan tidak bertentangan dengan periwayatan
yang tsiqah”. Hadis ini juga dinyatakan shahih oleh Abu Sulaiman Al
Khattabi dan Ibnu Hibban(dalam Shahih Ibnu Hibban).
Walaupun hadis ini shahih juga tidak tepat dijadikan
dasar untuk mengharamkan musik karena matan hadis tidak jelas menyatakan
haramnya suara seruling itu. Pada awalnya Ibnu Umar mendengar suara seruling
kemudian dia menutup telinganya seraya berkata kepada Nafi apakah ia
mendengarnya, Nafi memang mendengarnya dan terus mendengarnya sampai suara
seruling itu tidak terdengar lagi. Ketika Ibnu Umar memastikan kepada Nafi
apakah suara seruling itu tidak terdengar lagi, barulah ia menurunkan
tangannya. Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW berbuat seperti ini. Tindakan
seperti itu hanya menunjukkan ketidaksukaan Rasulullah SAW kepada suara
seruling tersebut dan bukan menunjukkan keharamannya.
Seandainya mendengar suara seruling itu haram maka Ibnu
Umar pasti akan menyuruh Nafi untuk menutup telinganya juga, serta mencari
siapa yang memainkan seruling itu (tidak hanya diam menunggu sampai suara
seruling itu tidak terdengar) untuk memperingatkan bahwa yang dilakukannya
adalah haram. Hal ini juga menyiratkan bahwa Rasulullah SAW ketika bersama Ibnu
Umar ra juga tidak menyuruh Ibnu Umar untuk menutup telinganya ketika mendengar
suara seruling pengembara. Apalagi jika benar Rasulullah SAW mengharamkannya
maka Ibnu Umar pasti akan berkata Rasulullah SAW telah mengharamkan mendengar
suara seruling dan Ibnu Umar akan memberitahu kepada Nafi tentang ini, tapi
yang ada malah Ibnu Umar hanya berkata Rasulullah SAW berbuat seperti ini. Oleh
karena itu hadis ini lebih tepat menunjukkan ketidaksukaan terhadap suara
seruling dan bukan pengharamannya.
Asy Syaukani dalam kitab Nailul Authar jili8 hal
27 menyatakan bahwa Tindakan Rasulullah SAW dan Ibnu Umar yang tidak
melarang pengembala tersebut untuk memainkan serulingnya adalah dalil yang
menunjukkan ketidakharamannya. Selain itu Abu Dawud juga mencantumkan hadis
ini dalam Bab Makruhnya Lagu dan Seruling yang menunjukkan bahwa Abu
Dawud sendiri memahami kalau hadis ini tidak menunjukkan haramnya lagu dan
seruling.
Hadis Yang Dikatakan Shahih Tetapi Terdapat
Keraguan Pada Sanadnya
Diriwayatkan dari Hisyam bin Ammar
dengan sanadnya sampai ke Abu Malik Al Asy’ari, bahwa ia mendengar Rasulullah
SAW bersabda “Akan ada dari umatku yang menghalalkan kemaluan(zina), sutera,
khamr dan al ma’azif (alat-alat musik). Kemudian sebahagian dari ummatku
akan ada yang turun dari gunung. Lalu datang orang yang membawa ternak-ternak
mereka dan mendatangi untuk satu keperluan. Mereka berkata, “Datanglah lagi
kemari besok.” Maka malam itu Allah menghancurkan mereka, Allah meruntuhkan
gunung itu dan merubah sebahagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari
kiamat.”. (Shahih Bukhari Bab Akan Datang Orang Yang Menghalalkan Khamr dan
Menamakan Dengan Bukan Namanya, hadis no 5590).
Hadis ini terdapat dalam Shahih Bukhari, jadi
memiliki sanad yang shahih. Sayangnya terdapat keraguan pada sanad hadis ini.
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari secara Muallaq artinya terputus sanadnya.
Oleh karena itu Ibnu Hazm dalam Al Muhalla menolak hadis ini. Pernyataan
Ibnu Hazm ini ditolak oleh Ibnu Qayyim di dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan
Min Mashaidis Syaithan. Beliau Ibnu Qayyim menjawab keraguan Ibnu Hazm
yaitu beliau menuliskan
Jawaban mengenai kerancuan ini adalah
sebagai berikut:
• Sesungguhnya Al Bukhari telah bertemu Hisyam bin Ammar dan telah mendengarkan
hadits dirinya. Maka jika Al Bukhari mengatakan, “Hisyam telah berkata. ” itu
berarti sama artinya dengan mengatakan, :Dari Hisyam.”
• Seandainya Al Bukhari belum pernah mendengar hadits itu darinya, maka sudah
tentu dia tidak akan membolehkan untuk meyakini hadits itu darinya, kecuali
memang shahih bahwa ia (Hisyam) benar-benar pernah mengatakannya. Hal semacam
ini banyak digunakan saking banyaknya rawi yang meriwayatkannya hadits dari
syaikh tersebut dan karena kemasyhurannya. Lagi pula yang namanya Al Bukhari
itu adalah rawi yang paling jauh dari perbuatan tadlis (pemalsuan).
• Al Bukhari sendiri memasukkan hadits tersebut dalam kitabnya yang diberi nama
Shahih, yang dijadikan hujah oleh beliau. Seandainya hadits ini tidak dianggap
shahih oleh beliau, tentu beliau tidak akan memasukkannya dalam kitab Shahih
beliau.
• Al Bukhari menta’liqnya dengan shighar jazm, bukan shighat tamridh. Ia juga
mengambil sikap tawaquf mengenai suatu hadits atau jika hadits yang ada itu
tidak memenuhi persyaratannya, maka Al Bukhari biasanya mengatakan, “Wa
yurwa’an Rasulullah wa yudzkaru’anhu.” (Diriwayatkan dari Rasulullah dan
disebutkan darinya), atau ungkapan yang sejenisnya. Namun jika Al Bukhari sudah
mengatakan, “Qola Rasulullah ” (Rasulullah telah bersabda), maka berarti ia
telah menetapkan dan memastikan bahwa hal itu benar-benar dari Nabi.
• Kalau saja kita buang alasan di atas, maka hadits ini tetap dianggap shahih
dan muttasil oleh hadits lainnya. Abu Dawud dalam kitab Al Libas mengatakan :
telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab bin Najdah, katanya : Bisyr bin
Bakar telah menceritakan kepada kami Athiyah bin Qais yang mengatakan : Aku
telah mendengar Abdurrahman bin Ghanm Al Asy’ari berkata : Abu Amir atau Abu
Malik telah menceritakan kepada kami, lalu disebutkan hadits seperti di atas
secara ringkas.
Alasan-alasan yang dikemukakan Ibnu Qayyim berpijak pada
kredibilitas Bukhari sebagai perawi yang handal dan kitab Hadis Bukhari yang
disepakati sebagai kitab shahih, alasan ini tentu bisa diterima. Seandainya
begitu maka seharusnya kita juga menerima kalau Bukhari sendiri memasukkan
hadisnya ini dalam Bab Akan Datang Orang Yang Menghalalkan Khamr dan
Menamakan Dengan Bukan Namanya. Beliau tidak menamakan babnya itu
pengharaman lagu atau ma’azif dan dalam kitab Shahihnya itu memang tidak
ada sedikitpun pokok bahasan tentang pengharaman musik dan lagu.
Sedangkan alasan yang terakhir bahwa hadis ini
diriwayatkan secara muttashil dalam Sunan Abu Dawud adalah benar tetapi
beliau Ibnu Qayyim terburu-buru dalam hal ini. Hadis dalam Sunan Abu Dawud
yang dimaksud beliau memiliki matan yang berbeda dengan hadis Shahih Bukhari,
Abu Dawud tidak menyebutkan lafal Al Ma’azif yang menjadi pokok
bahasan dalam masalah ini. Hadis dalam Sunan Abu Dawud memang disebutkan
secara ringkas. Abu Dawud meriwayatkan hadisnya dengan matan “Manusia dari
umatku akan meminum khamr yang mereka namakan bukan dengan namanya” . Tentu
saja hal yang seperti ini haram tetapi dalam hadis ini tidak ada dalil untuk
mengharamkan musik dan nyanyian.
Keraguan pada sanad hadis Bukhari ini tidak hanya
terbatas pada periwayatan yang muallaq. Semua sanad yang bersambung dari hadis
ini bersumber dari perawi tunggal, Hisyam bin Ammar. Dalam Hadi As
Sari jilid 2 hal 218, Mizan Al Itidal jilid 4 hal 302 no 9234, Tahdzib
At Thadzib jilid 11 hal 51-54 dan Tahdzib Al Kamal no 6586 didapat
keterangan tentang Beliau. Hisyam bin Ammar dinyatakan tsiqat oleh Ibnu
Main, Al Ajli, Daruquthni dan An Nasa’i mengatakan “hadisnya tidak
masalah”. Sayangnya terdapat keraguan terhadap beliau yang mesti
dipertimbangkan
• Abu Dawud menyatakan bahwa Hisyam
meriwayatkan empat ratus hadis yang tidak ada dasarnya.
• Abu Hatim berkata “dia shaduq (dipercaya) tetapi kemudian berubah, maka
setiap yang datang darinya mesti dikaji kembali dan setiap yang disampaikannya
mesti dipertanyakan lagi”
• Ibnu Sayyar menyatakan “ini bencana besar yang membuat kita
bertawaqquf(berdiam diri) terhadap apa yang diriwayatkan darinya karena mungkin
apa yang disampaikannya telah terjadi perubahan”
• Ahmad bin Hanbal menyatakan penolakan terhadap Hisyam. Beliau berkata “dia
kurang ingatannya” selain itu Ahmad berkata “ia seorang yang picik dan
sederhana pemikirannya” atau dari kata-kata Ahmad terhadap Hisyam “jika
kalian shalat di belakang Hisyam maka hendaknya kalian mengulangi shalat
kalian”.
• Sebagian Ulama mengecam Hisyam dengan mengatakan bahwa dia tidak
mengeluarkan hadis kecuali menuntut upah.
• Adz Dzahabi berkata “Ia dapat dipercaya tetapi banyak yang mengingkari
hadisnya”. Selain itu Adz Dzahabi berkata “perkataan Hisyam dapat
dipertimbangkan akan tetapi orang tidak dibenarkan memutlakkan perkataannya”.
Oleh karena keraguan terhadap Hisyam bin Ammar maka hadis
ini dipermasalahkan oleh sebagian ulama. Yang jelas dengan keraguan pada
sanadnya maka hadis ini bukanlah hujjah yang kuat dalam mengharamkan musik dan
lagu. Ibnu Qayyim dalam kitab Ighatsatul Lahfan Min Mashaidis Syaithan
membawakan hadis lain dari Sunan Ibnu Majah dan beliau Ibnu Qayyim
menshahihkannya.
Diriwayatkan dari Abu Malik Al Asy’ari
ra bahwa ia berkata : Rasulullah telah bersabda ” Sungguh akan ada
manusia-manusia dari umatku yang meminum khamr yang mereka namakan dengan nama
lain, kepalanya dipenuhi dengan musik dan penyanyi- penyanyi wanita. Maka Allah
akan menenggelamkan mereka ke dalam bumi dan menjadikan di antara mereka kera
dan babi. (Sunan Ibnu Majah Bab Fitan Hadis no 4020 dan Shahih Ibnu Hibban
Hadis no 6758).
Ibnu Qayyim menyatakan hadis ini shahih padahal terdapat
perawi yang majhul dalam sanadnya yaitu Malik bin Abi Maryam. Ibnu Hazm berkata
“Tidak diketahui siapa dia”. Adz Dzahabi juga berkata bahwa Malik bin
Abi Maryam adalah majhul (tidak diketahui). Seandainya hadis ini shahih
maka arti yang benar dari hadis ini adalah mengabarkan sekelompok manusia yang
tenggelam dalam kehidupan hura-hura dan kemaksiatan, meminum khamar diringi
musik dan penyanyi wanita (bisa diperkirakan kalau tipe musiknya adalah
musik yang diiringi maksiat).
Perhatikan, pengharaman dengan lafal Ma’azif hanya diriwayatkan
oleh Hisyam bin Ammar yang terdapat keraguan padanya. Sedangkan hadis-hadis
lain seperti dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan Ibnu Majah matannya
jelas mengharamkan khamar. Oleh karena itu seandainya kita menerima riwayat
Hisyam bin Ammar maka arti yang tepat dari hadis itu adalah sebagaimana yang
dinyatakan oleh Syaikh Muhammad Al Ghazali dalam As Sunnah An Nabawiyah
Baina Ahlul Fiqh Wa Ahlul Hadis Bab Perihal Nyanyian hal 91, yang
berpendapat “Mungkin yang dimaksud Bukhari adalah gambaran yang
menyeluruh dari sebuah pesta yang diisi dengan acara –acara minuman khamr serta
nyanyian-nyanyian yang diiringi dengan perbuatan kefasikan. Pesta seperti ini
jelas haram sesuai ijma’ kaum muslimin”. Pendapat ini bisa diterima dan
cukup menjelaskan kenapa Bukhari sendiri memasukkan hadisnya dalam Bab Akan
Datang Orang Yang Menghalalkan Khamr dan Menamakan Dengan Bukan Namanya dan
beliau tidak sedikitpun menyebutkan tentang pengharaman musik dan lagu. Oleh
karena itu yang lebih tepat dalam masalah ini adalah musik dan lagu haram jika
diiringi dengan perbuatan maksiat(tarian seronok) apalagi disertai
dengan minuman khamr.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Ada dua Suara yang dilaknat, Suara
Seruling ketika ada kenikmatan, dan Suara jeritan ketika datang
bencana”.(Kasyful Atsar ’an Zawaid Musnad Al Bazzar hadis no 795 dinyatakan
shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah As Shahihah hadis no 427).
Hadis ini juga terdapat dalam kitab Ruba’iyyat Abu
Bakar Asy Syafii tetapi dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Yunus yang dikenal
sebagai pemalsu hadis. Syaikh Al Albani ketika menilai hadis ini telah
menguatkan dengan perkataan Al Haitsami dalam Kasyful Atsar’an Zawaid Musnad
Al Bazzar hadis no 795 yang mengikuti pernyataan Al Mundziri bahwa perawi
dalam hadis riwayat Al Bazzar ini semuanya tsiqah. Dalam kitab At Targhib Wa
At Tarhib jilid 4 hal 177, Al Mundziri berkata “diriwayatkan oleh Al
Bazzar dan para periwayatnya tsiqah”. Hadis ini telah dihasankan oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib Wa At Tarhib. Syaikh Al Albani
telah menjadikan hadis ini sebagai dalil pengharaman musik dalam kitabnya Tahrim
Alat At Tharb. Beliau Syaikh Al Albani juga menyebutkan adanya syahid
penguat hadis ini yaitu hadis riwayat Al Hakim dalam Al Mustadrak Ash
Shahihain jilid 4 hal 40 dari Jabir bin Abdurrahman bin Auf.
Mari kita telaah hadis tersebut. Dalam Kasyful
Atsar’an Zawaid Musnad Al Bazzar hadis no 795 karya Al Haitsami, beliau
meriwayatkan berkata kepada kami Amru bin Ali ;berkata Abu Ashim; berkata
kepada kami Syubaib bin Basyar Al Bajali, ia berkata “aku mendengar Anas bin
Malik berkata “(matan hadis di atas)”. Dalam sanad ini terdapat perawi
yang diperselisihkan yaitu Syubaib bin Basyar Al Bajali.
Dalam Al Mughni Fi Adh Dhu’afa no 2735, Tahdzib
Al Kamal no 2689, Al Jarh Wat Ta’dil jili 4 no 1564 dan At Taqrib
Ibnu Hajar no 2748 didapat keterangan tentang Syubaib bin Basyar
• Yahya bin Main menganggapnya tsiqat
• Ibnu Syahin menyatakan Syubaib tsiqat
• Abu Hatim berkata “ia layyin Al Hadis(lemah) dan hadis syuyukh”
• Ibnu Jauzi menyatakan “Syubaib perawi yang dhaif”
• An Nasai berkata “kami tidak mengenal seseorang yang meriwayatkan darinya
kecuali Abu Ashim dan ia salah”.
• Adz Dzahabi memasukkan Syubaib dalam perawi yang dhaif. (lihat Mughni Adh
Dhu’afa no 2735).
Jadi memang ada yang menyatakan Syubaib tsiqat tetapi
banyak pula yang menyatakan beliau dhaif. Oleh karena itu hadis ini juga bukan
hujjah yang kuat sebagai dalil pengharaman musik. Pernyataan Syaikh Al Albani
jelas mengikuti pernyataan Al Munziri dalam masalah ini. Adapun hadis syahid
atau penguat yang disebutkan oleh Syaikh Al Albani juga terdapat keraguan pada
sanadnya sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
Hadis tersebut adalah riwayat Al Hakim dalam Al
Mustadrak jilid 4 hal 40 yang meriwayatkan dari jalan Muhammad bin
Abdurrahman bin Abu Laila dari Atha’ dari Jabir bin Abdurrahman bin Auf, ia
mengatakan Rasulullah SAW menarik tanganku, kemudian saya bersamanya
menghampiri Ibrahim, anaknya(saat ia meninggal). Beliau sangat menyayangi
anaknya, kemudian beliau menggendongnya dalam pelukan. Lalu Rasulullah SAW
meletakkannya dan menangis. Kemudian saya berkata “Engkau menangis ya
Rasulullah SAW, padahal Engkau melarang menangis?”. Beliau menjawab “Aku belum
pernah melarang menangis, tetapi aku melarang dua suara dungu yang menjijikkan
yaitu suara nyanyian yang melalaikan(seruling syaithan) dan suara ketika
tertimpa bencana dengan menampar wajahnya dan merobek pakaiannya. Sedangkan
(menangisku) ini adalah karena kasih saying. Barang siapa yang tidak menyayangi
maka tidak disayangi. Perkataanmu memang benar, namun ssesuai dengan permulaan
dan akhirnya bahkan lebih menyedihkan daripada ini, dan kami sedih dan terharu
atas kepergianmu ya Ibrahim, mata menangis, hati bersedih, sedang kami tidak
dapat berkata sesuatu yang dibenci Tuhan”.
Hadis ini dikatakan oleh Syaikh Al Albani sebagai hadis
syahid atau penguat dan hadis ini juga dijadikan dalil pengharaman musik oleh
Ibnu Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan Min Mashaidis Syaithan, padahal
hadis ini memiliki cacat pada sanadnya. Dalam sanad hadis ini terdapat Muhammad
bin Abdurrahman bin Abu Laila yang walaupun tsiqat sangat buruk hafalannya.
Oleh sebab itu dalam Al Mustadrak Al Hakim tidak menshahihkan hadis ini
begitu juga Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak juga tidak menyatakan
shahih hadis ini. Dalam Mizan Al I’tidal jilid 3 hal 613-616 no 7825 dan
Taqrib At Tahdzib no 6081 terdapat keterangan tentang Muhammad bin
Abdurrahman bin Abu Laila
• Adz Dzahabi berkata “dia itu
shaduq(dapat dipercaya) seorang imam yang buruk ingatannya”.
• Al Ajli menyatakan beliau ahli fiqh, dapat dipercaya dan ahli sunnah
• Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa ia Mudhtharib Al Hadis
• Yahya Al Qathan berkata “hafalannya jelek sekali”
• An Nasa’i berkata “Ibnu Abi Laila tidak kuat”
• Abu Zur’ah juga berkata “riwayatnya tidak kuat”
• Syu’bah berkata “Aku belum pernah melihat yang lebih buruk hafalannya
daripada dia”
• Ad Daruquthni berkata “buruk hafalannya dan banyak samar”
• Yahya bin Ya’la Al Muharribi berkata “Zaidah membuang hadis Ibnu Abi
Laila”
• Ahmad bin Yunus berkata “dia ahli fiqh ternama di dunia”
• Ahmad berkata “Yahya mendhaifkan Ibnu Abi Laila”
• Utsman Ad Darimi dan Muawiyah bin Shalih meriwayatkan dari Ibnu Main yang
berkata “hadisnya dhaif”
• Ibnu Hibban berkata “Beliau buruk hafalannya, banyak salah, banyak
hadisnya yang mungkar maka berhak ditinggalkan”
• Ibnu Hajar berkata “Shaduq(dapat dipercaya) tapi sangat buruk hafalannya”.
Jadi jelas sekali kalau Muhammad bin Abdurrahman
bin Abu Laila sangat buruk hafalannya. Oleh karena itu dalam sanad
hadis ini terdapat salah seorang perawi yang kehilangan unsur dhabith(hafalan)
sehingga hadis ini tidak bisa dikatakan shahih atau dijadikan hujjah.
Kesimpulannya hadis-hadis yang dijadikan dasar untuk
mengharamkan musik, satupun tidak terlepas dari keraguan baik pada sanad maupun
matannya. Pada sanadnya hadis-hadis itu sering dipertikaikan kedudukannya dan
pada matannya tidak jelas menunjukkan pengharaman musik dan lagu.
DIarsipkan di bawah: Hadis,
Kritik
Salafi
Ni, penjelasan singkatnya.
Bukhari => Hisyam bin Ammar => Shadaqah bin Khalid => Abdurrahman bin
Yazid bin Jabir => Athiyah bin Qais al-Kilabi => Abdurrahman bin Gunm
=> Abu Amir / Abi Malik => Rasulullah saw
Hisyam maupun Shadaqah bin Khalid tidaklah sendirian. Ada perawi lain yang
menyertainya.
Abu Dawud dalam Sunan-nya (4039) menyebutkan:
Abdullah bin Najdah => Bisyr bin Bakar => Abdurrahman bin Yazid bin
Jabir…. Selanjutnya seperti sanad di atas. Akan tetapi, dalam matan hadits ini
tidak terdapat lafal Ma’azif seperti yang tersebut dalam riwayat Bukhari
sehingga tidak bisa dijadikan hujjah atas keharaman musik.
Namun, ada dua jalur lain yang menyebutkan secara tegas lafal Ma’azif.
Bunyi matannya adalah:
Akan datang dari umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar,
dan alat-alat musik (Ma’azif)…
JALUR PERTAMA:
Abdurrahman bin Ibrahim (Duhaim) => Bisyr bin Bakar….. (selanjutnya seperti
di atas).
Jalur tersebut disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 10/56 dan
at-Taghliq, 7/19. Ia mendapatkannya dari al-Ismaili dalam al-Mustakhraj. Jalur
ini juga disebutkan oleh Baihaqi di dalam as-Sunan, 3/272.
JALUR KEDUA:
Isa bin Ahmad al-Asqalani => Bisyr bin Bakar……(selanjutnya seperti di atas).
Jalur ini disebutkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 10/156
secondprince, di/pada Februari 7th, 2008 pada 7:03 pm
Dikatakan:
@abduh
Soal jalur pertama, Abdurrahman bin Ibrahim dinyatakan dhaif oleh An Nasai,
Ibnu Main dan Daruquthni
jalur kedua belum cukup jelas menurut saya
syukron masukannya
abduh, di/pada Februari 9th, 2008 pada 5:30 pm Dikatakan:
@second
O, gitu ya Mas. Masalahnya, di samping ada yang menilai dhaif, tetapi ada yang
menilai tsiqah. dalam hal ini kita sering menemukan. terus pedoman yang dipakai
ketika para pakar hadits berselisih mengenai seorang itu apa? apakah pakai
tarjih atau kita tinggalkan begitu saja atau bagaimana? Saya yakin Anda banyak
informasi mengenai masalah ini, tolong jelaskan.
Untuk jalur yang kedua kan sama dengan jalur yang
pertama. maksudnya sama-sama menjadi mutaba’ah terhadap sanad yang dibawakan
Bukhari.
Jika di dalam Shahih Bukhari, Abdurrahman bin Yazid
meriwayatkan hadits kepada Shadaqah bin Khalid, lalu Shadaqah bin Khalid
meriwayatkan kepada Hisyam bin Ammar, maka di dalam Tarikh Ibni Asakir,
Abdurrahman bin Yazid meriwayatkan hadits kepada Bisyr bin Bakar, lalu Bisyr
bin Bakar meriwayatkan kepada Isa bin Ahmad al Asqalani. apakah dalam jalur
kedua ini juga ada perawi yang didhaifkan oleh para ulama hadits?
abduh, di/pada Februari 11th, 2008 pada 3:29 pm Dikatakan:
@second
Dalam Tahdzib at-Tahdzib, 6/119, Ibnu Hajar mengatakan, “Al-’Ijli, Abu Hatim,
Daruquthni,dan Nasa`i berkata, ‘(Duhaim adalah perawi) yang tsiqah.’ Nasa`i
menambahkan bahwa dia adalah orang yang terpercaya, yang tidak mengapa
(haditsnya dijadikan hujjah). Abu Dawud berkata, ‘Dia adalah hujjah
(haditsnya), tidak ada orang di Damaskus seperti dia pada masanya.’ ”
Di dalam Tahdzibul Kamal, juz 16 disebutkan, “Hasan bin
Ali bin Bahar berkata, ‘Duhaim tiba di Baghdad pada tahun 212. Lalu aku melihat
ayahku, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, dan Khalaf bin Salim duduk di
depannya bagai anak-anak kecil (menganggapnya sebagai guru besar).’”
banyak para pakar hadits yang memberikan kesaksian bahwa
dia adalah tsiqah. Bukhari, Abu Hatim, Nasa`i, Ahmad bin Hanbal, Daruquthni,
Abu Dawud, Al ‘Ijli dan lainnya adalah para pakar hadits yang memberikan
penilaian tersebut. Bahkan di dalam kitab tersebut disebutkan bahwa Abdullah
bin Muhammad al-Faryabi pernah ditanya tentang orang yang paling tsiqah yang
pernah ditemuinya di Syam, lalu ia menjawab bahwa Duhaim adalah orangnya.
Duhaim lahir tahun 170 dan meninggal tahun 245.
Mas Second yang terhormat, itu yang saya ketahui. Saya
ingin tahu dari mana Anda mengatakan bahwa Abdurrahman bin Ibrahim dinyatakan
dhaif oleh An Nasai, Ibnu Main dan Daruquthni.
deking, di/pada September 9th, 2007 pada 6:44 am Dikatakan:
Terima kasih atas ilmunya Mas…
Mungkin ada beberapa macam hadits yang menanggapi secara
berbeda untuk suatu hal yang sama (contoh tentang musik). Tetapi menurut saya
kita tidak langsung secara sepihak dan sempit memutuskan sesuatu tanpa mengkaji
lebih lanjut.
Seperti selama ini betapa ada golongan yang meneriakkan haramnya musik
berdasarkan suatu hadits berkaitan dengan pengharaman musik, tetapi ternyata
ada juga hadits lain yang membolehkan bermusik.
Menurut saya adanya perbedaan (yang bertolak belakang) dalam hal musik tsb
bukanlah menunjukkan adanya paradoks dalam ajaran Islam, yang lebih penting
adalah mengkaji latar belakang kedua versi hadits tsb. Apa alasan di balik
pembolehan musik dan apa alasan di balik pengharaman musik. Jadi menurut saya
yang lebih penting bukanlah hasil akhirnya saja (boleh atau tidak boleh),
tetapi alasan di balik semua itu dan bagaimana kita mengaplikasikan alasan2 tsb
untuk menuju pencapaian hasil akhir (boleh atau tidak boleh).
Jadi sepertinya kita sebaiknya tetap menggunakan akal
kan?
black, di/pada September 10th, 2007 pada 9:35 pm
Dikatakan:
Saya setuju sepenuhnya terhadap anda (second prince)
tentang musik. dalam logika saya musik tidak haram karena ciptaan Allah
(merupakan ayat2 Allah),contohnya manusia memilki ryhtm dalam tubuhnya (beat
dalam bahasa musik) yaitu detak jantung (yang dengan konstannya berdetak
menghasilkan bunyi Lub-dub).untuk diketahui, bahwa setiap lagu memiliki beat,
dan setiap band memiliki ryhtm section. jadi, jika jantung saja memilki ryhtm,
yang menurut saya merupakan musik sederhana, mengapa ada yang mengharamkan
musik padahal jelas2 ayat2 Allah (dalam hal ini jantung) juga bermusik ,
berirama.jangan pernah mendustai ayat2 Allah!
haidar, di/pada Desember 19th, 2007 pada 3:32 pm Dikatakan:
assalamu alaikum..
saya rasa kelima hadist diatas yang membolehkannya musik sangat terbatas,coba
kita lihat ulang,setiap hadist menunjukan situasi yang menyenangkan (hari
raya),saya rasa yang di maksud hari raya adalah hari bahagia,dimana semua orang
merasa bahagia dengan kemenangan perang, dengan id, ataupun dengan adanya
pernikahan. kemudian musik yang di pakai untuk mengiringi nyanyian pada saat
itu jelas terbatas pada duff (musik pukul) saja. tidak pada yang lain. padahal
jelas saat itu sudah berbagai jenis alat musik ada walau tak selengkap jaman
sekarang.jadi, halalnya musik menurut kelima hadist di atas tidak mencukupi
untuk menikmati musik pada waktu yang selain hari bahagia. dengan ketidak
tahuan saya masalah hukum, saya harap disajikan lagi hadist yang lebih memenuhi
keyakinan bahwa musik itu memang boleh. misalnya hadist tentang rasul menikmati
alunan musik ketika beliau menunggu waktu shalat atau yang lainnya. saya harap
semua yang disampaikan disini atas dasar upaya lebih mendekatkan diri pada
Allah SWT dan bukan ingin mengunggulkan diri (golongan) pada yang lainnya.
terima kasih atas ilmunya.
secondprince, di/pada Desember 19th, 2007 pada 4:03 pm
Dikatakan:
@haidar
Baik hari bahagia, hari pernikahan dan id sudah jelas diperbolehkan. Sesuatu
yang haram tidak mungkin menjadi halal karena berbeda harinya. Kecuali memang
dinyatakan dengan jelas bahwa kehalalannya terbatas pada hari itu. Lagipula
hadis Sunan Tirmidzi itu tidak terkait dengan hari apapun malah berkaitan
dengan nadzar. Apakah nadzar dengan sesuatu yang haram diperbolehkan? soal alat
musik, coba mas tunjukkan dalilnya bahwa pada saat Nabi SAW masih hidup ada
alat musik lain selain duff.
Keumuman lafal itu sudah jelas Apakah Mas mau ditunjukkan
dalil yang jelas apakah bermain musik dengan gitar itu halal? atau dengan piano
halal? atau dengan harpa halal?memangnya bisa Mas Kalau memang begitu coba
tunjukkan dalil haramnya bermain gitar, harpa dan piano.
Penarikan dalil jelas kok, tidak ada beda bunyi dari yang
dihasilkan alat musik apa saja.
Setidaknya itu pandangan saya. Salam
haidar, di/pada Desember 20th, 2007 pada 5:36 pm Dikatakan:
assalamu alaikum….terima kasih atas tanggapannya..moga
lebih mendekati kebenaran…namun untuk menambah lebih dekatnya kepada kebenaran
saya masih ingin bertanya dari hal yang di sampaikan diatas;
1.”soal alat musik, coba mas tunjukkan dalilnya bahwa pada saat Nabi SAW masih
hidup ada alat musik lain selain duff.”
-saya pernah baca sejarah nabi musa.as & fir’aun.fir’aun
jika sedang mengadakan pesta maka dia mengundang penari-penari cantik yang
diiringi alat musik semacam rebana, trompet dan alat musik petik yang besar
(semacam bass).” nah dari sana saya berpendapat klo alat musik sudah sejak lama
beragam adanya.
2.”Apakah Mas mau ditunjukkan dalil yang jelas apakah
bermain musik dengan gitar itu halal? atau dengan piano halal? atau dengan
harpa halal?”
-masalah musik, menurut saya masuknya masalah muamalah,
saya pikir rasul tidak akan menurunkan dalil halalnya gitar, harfa ataupun
piano, kecuali ditanya (halal/haramnya). kalo mengharamkan sich bisa saja..tapi
yang saya ketahui dari paparan yang ada di atas adalah secara global (musik)
jadi tidak secara rinci (satu persatu). intinya kalo masalah ibadah (mahdah)
atau spiritual dilakukan setelah ada perintah.dan kalo masalah muamalah, tidak
di lakukan setelah ada larangan.misal; tak satupun dalil yang memerintahkan
orang pake kacamata atau peci. tapi tetep aja banyak yang pake. tapi ada dalil
yang melarang laki2 pake sutera,maka ditinggalkanlah hal itu.
3.”Penarikan dalil jelas kok, tidak ada beda bunyi dari
yang dihasilkan alat musik apa saja”.
-terompet jelas ada, tapi tak satu dalilpun menunjukan
bahwa permainan musik yang di bolehkan oleh rasul ada yang di iringi dengan trompet
(mungkin rasul tidak suka dengan trompet).mohon tambah penjelasannya.
jazakallahu khairon katsir…
o ya nambah ni mas;” saya bukan dari aliran apapun, jadi
yang saya cari kebenaran hakiki,bukan pembelaan aliran atau golongan”.smoga
dapat ridha allah swt dalam pencarian jalan yang haq. thank’s
assalamu alaikum…
secondprince, di/pada Desember 21st, 2007 pada 7:01 pm
Dikatakan:
@haidar
Hmm
-saya pernah baca sejarah nabi musa.as
& fir’aun.fir’aun jika sedang mengadakan pesta maka dia mengundang
penari-penari cantik yang diiringi alat musik semacam rebana, trompet dan alat
musik petik yang besar (semacam bass).” nah dari sana saya berpendapat klo alat
musik sudah sejak lama beragam adanya.
Kayaknya yang ini terlalu jauh ya, sampai ke zaman Nabi
Musa AS. Kalau zaman Nabi Muhammad SAW gimana?
-masalah musik, menurut saya masuknya
masalah muamalah, saya pikir rasul tidak akan menurunkan dalil halalnya
gitar,harfa ataupun piano,kecuali ditanya (halal/haramnya).kalo mengharamkan
sich bisa saja..tapi yang saya ketahui dari paparan yang ada di atas adalah
secara global (musik) jadi tidak secara rinci (satu persatu).intinya kalo
masalah ibadah (mahdah) atau spiritual dilakukan setelah ada perintah.dan kalo
masalah muamalah, tidak di lakukan setelah ada larangan.misal; tak satupun
dalil yang memerintahkan orang pake kacamata atau peci. tapi tetep aja banyak
yang pake.
saya sependapat dengan ini :D, ditambahkan juga alat-alat
yang saya sebutkan mungkin belum ada pada zaman Rasulullah SAW, jadi yah mana
bisa ditanya kan.
-terompet jelas ada, tapi tak satu
dalilpun menunjukan bahwa permainan musik yang di bolehkan oleh rasul ada yang
di iringi dengan trompet (mungkin rasul tidak suka dengan trompet).
Ah bolehkah saya tahu dalilnya dengan jelas soal terompet
itu
Hukum Lagu atau Musik
Oleh: Dewan Asatidz
Tanya:
Langsung saja, saya kurang begitu jelas tentang bagaimana sebenarnya hukum
musik atau lagu di dalam Islam, karena selama ini dari yang saya baca ada yang
mentolerir dengan jenis tertentu tetapi ada juga yang tidak membolehkan kecuali
pada saat tertentu.
Muhammad Aziz
Sebagai seorang programmer, saya sering membuat hardware
serta software untuk mengontrol suatu peralatan tertentu. Saat ini saya dapat
tawaran untuk membuat suatu alat yang digunakan untuk mengontrol aktivitas di
suatu studio musik. Yang ingin saya tanyakan, bolehkah saya menerima pekerjaan
tersebut (dan apakah hukumnya halal), padahal dalam Islam mengharamkan segala
jenis musik atau nyanyian yang tidak sesuai syariat. Yang saya takutkan adalah
kalau pekerjaan saya nantinya termasuk dalam perbuatan yang mendukung
kemaksiatan. Sebelumnya saya sampaikan terima kasih atas jawaban Bapak.
Nono Setiawan – Surabaya
Jawab:
"Al-aslu fil asyya' al-ibaahah maa lam yarid nashshun shahiihun
bihurmatiha (Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh/ibahah/halal selama
tak ada nas sahih yang mengharamkannya)".
Para fuqaha saling berbeda pendapat mengenai lagu/musik menurut Islam. Sebagian
mereka mengharamkan sedangkan sebagian lain menghalalkannya.
Landasan-landasan para fuqaha yang mengharamkan
musik/lagu:
Surat Luqman : 6.
Surat al-Qashas :
55.
Ayat-ayat diatas digunakan sebagian sahabat dan tabi'in
untuk mengharamkan musik dan lagu. Tetapi penggunaan ayat tersebut untuk
mengharamkan musik terdapat beberapa kelemahan. Pertama, tidak seorang pun yang
dapat dijadikan panutan dalam menetapkan hukum selain nabi Muhammad. Kedua,
terdapat sebagian sahabat dan tabi'in yang menghalalkan musik dan lagu. Ketiga,
yang dimaksud dengan "lahw al-hadist" di ayat tersebut meliputi
seluruh perkataan (ucapan). Jadi penafsiran ayat itu tidak terbatas hanya
kepada musik dan lagu.
Sedangkan hadis-hadis yang digunakan untuk mengharamkan
musik dan lagu sama sekali tidak dapat diterima, karena mengandung beberapa
"cacat" di dalam periwayatannya. Qodhi Abu Bakar mengatakan dalam
bukunya "al-Ahkam" bahwa "hadis-hadis yang mengharamkan musik
tidak dapat digunakan untuk mengharamkan sesuatu". Ghozali dan Ibnu Hazm
mengatakan bahwa "seluruh hadis yang berkenaan dengan pengharaman musik
adalah hadis bathil dan maudhu'".
Dengan demikian, karena tidak ada landasan kuat yang
mengharamkan musik dan lagu, maka musik dan lagu tetap dihukumi mubah/halal.
Sesuai dengan kaidah di atas: "Hukum asal dari segala sesuatu adalah
boleh/ibahah/halal selama tak ada nas sahih yang mengharamkannya." Hal ini
diperkuat dengan dengan nas shahih yang menerangkan halalnya musik dan lagu.
Seperti yang terdapat di dalam "Shahihain" (Bukhori dan Muslim) yang
artinya:
"Pada suatu hari Abu Bakar pergi kerumah Rasulullah saw, dan di situ
terdapat 2 orang budak milik 'Aisyah yang bernyanyi dengan menggunakan alat
musik. Kemudian Abu Bakar berkata : 'Jangan dengungkan perkataan Syaithan di
rumah Rasulullah'. Kemudian Nabi berkata: 'Biarkanlah mereka berdua wahai Abu
Bakar, karena sekarang adalah hari gembira'.
Kendati begitu terdapat batasan-batasan yang harus diperhatikan:
Musik dan
syair-syair lagu yang dilantunkan hendaknya sejalan dengan ajaran-ajaran Islam
dan sopan-santunnya.
Cara pelantunan
juga jangan sampai melanggar etika.
Tidak
berlebih-lebihan.
Nyanyian atau lagu adalah perkataan yang diiringi dengan musik dalam
penyampaiannya. Ia hanyalah sekedar media atau alat. Jadi tergantung kepada
niat penggunanya: bila niatnya baik maka baik adanya dan insyaallah akan
berdampak pada kebaikan bagi pemain dan pendengarnya, begitu juga sebalikya
bila niatnya jelek, akan membawa mafsadah pada akhirnya.
Dengan demikian, pertanyaannya Saudara Nono juga sudah
terjawab. Pekerjaan Anda sebagai programmer yang berhubungan dengan alat-alat
musik adalah pekerjaan halal. Karena musik itu sendiri pada aslinya halal.
Tengok juga tema yang berkaitan, "Tanya Jawab(111)
Hukum musik/lagu".
Juanda Kusuma
Musik termasuk sesuatu yang dibolehkan karena tidak ada
nas (Qur'an-Hadis) yang secara tegas mengharamkannya. Ada kaidah fikh
"al-ashlu fil asyya' al-ibahah" (asal sesuatu itu boleh-boleh saja).
Adapun silang pendapat di antara ulama, dalam hal ini bermuara pada perbedaan
penafsiran nas-nas yang mendasari masing-masing pendapat.
Para Ulama yang mengharamkan musik, mendasarkan
pendapatnya pada firman Allah swt:
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang
menghinakan. [QS. Luqmaan:6]
Musik/lagu dikategorikan sebagai "perkataan yang tidak berguna" pada
ayat tersebut.
Namun penafsiran ini oleh sebagian ulama tidak
dibenarkan, karena ayat tersebut masih bermuatan umum, ketegasan maknanya
(hingga bisa mengharamkan musik) membutuhkan nas lain untuk menopangnya. Nabi
saw sendiri tidak melarang mendengarkan lagu/musik, demikian juga para sahabat.
Kontek ayat di atas, lebih menegaskan beratnya hukuman,
bahkan sampai kekafiran bagi yang mengolok-olok agama Allah.
Ayat lain yang juga dijadikan dasar pengharaman ini
adalah al-Qashash ayat 55. "Dan apabila mereka mendengar perkataan yang
tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: 'Bagi kami
amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu. Kami tidak
ingin bergaul dengan orang-orang jahil'." (QS. 28:55)
Para ulama menafsirkan "laghw" (perkataan yang
tidak manfaat) pada ayat itu sebagai perkataan yang jelek, olokan, makian dan
semacamnya. Makna ini lebih mendekati kontek ayat sebelumnya. Ayat lain yang
sepadan adalah ayat 63 surat al-Furqan : "Dan apabila orang-orang jahil
menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung)
keselamatan." [QS. 25:63]
Jika musik/lagu dikategorikan sebagai "laghw",
ayat tsb tidak berarti mengharamkan musik/lagu, bahkan boleh-boleh saja
mendengarkannya. Dengan demikian ayat ini tidak cukup kuat dijadikan dasar
pengharaman musik/lagu.
***
Aisyah ra mengisahkan seorang perempuan bernyanyi di samping seorang sahabat
dari Anshar, kemudian Nabi saw berkata. "Hai Aisyah, itu bukanlah
main-main, karena orang-orang Anshar memang mengagumi hal itu." [HR.
Bukhari dan Ahmad]
Demikian juga Sahabat Amir bin Sa'ad mengisahkan.
"Aku mendatangi Qardzah bin Ka'ab dan Abi Mas'ud al-Anshari pada suatu
pesta perkawinan, kulihat beberapa hamba sedang bernyanyi. Kemudian aku
menegurnya. "Adakah sahabat Nabi saw, ahli perang badar melakukan hal ini
di antara kalian?" Mereka menjawab: "Duduklah, kalau suka, dengarkan
bersama kami. Kalau tidak pergilah. Kita telah diberi keringanan dalam pesta
pernikahan." [HR. Nasa'i dan Hakim]
Imam As-Syaukani dalam Naylul Authar menyebutkan, masyarakat Madinah dan para
ulama yang sependapat dengan mereka, serta ahli sufi, memberikan keringanan
dalam hal lagu, meski menggunakan alat musik. Demikian juga Abu Mansour
al-Baghdadi al-Syafi'i dalam bukunya As-Simaa' menyebutkan, Sahabat Abdullah
bin Ja'far berpendapat tidak ada masalah dengan lagu, ia mendengarkan lagu-lagu
yang dipetik hambanya. Hal itu Ia lakukan pada masa kekhalifahan Ali ra. Begitu
juga sahabat lainnya, Kadhi Syureih, Sa'id bin al-Musayyab, Atha' bin Abi
Rabah, Az-Zuhri dan al-Sya'bi.
***
Berdasar pemaparan di atas, saya kira sikap kita terhadap musik yang digunakan
utk merangsang kecerdasan bayi ya tak apa-apa.
Namun yang patut diiangat, meski musik/lagu dibolehkan,
bahwa kita perlu mendudukkan segala sesuatu itu pada batas-batas normalnya.
Sehingga tidak cendrung berlebihan dan bahkan menjerumuskan. Tidak semua
musik/lagu dibenarkan dalam timbangan etika agama, terutama musik/lagu yang
lebih mengesankan nuansa maksiatnya, kata-kata kotor dan purno, dari pada
musik/lagu sebagai seni. Dalam hal ini kita perlu terus merawat hati-nurani
dari hal-hal yang menyebabkan kemerosotan moral. Semua itu kembali pada niat.
Demikian, Wallahua'lam bisshawaab.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Mutamakin Billa
Lagu / Musik Dalam Islam
./viewtopic.php?p=3318&sid=885a5881948f33a9ab58f6d05f876aefoleh
aunisaif pada 28 Jan 2006, 8:13 pm
Secara fitrah manusia menyenangi suara gemercik air yang
turun ke bawah, kicau burung dan suara binatang-binatang di alam bebas,
senandung suara yang merdu dan suara alam lainnya. Nyanyian dan musik merupakan
bagian dari seni yang menimbulkan keindahan, terutama bagi pendengaran.
Allah SWT. menghalalkan bagi manusia untuk menikmati keindahan alam, mendengar
suara-suara yang merdu dan indah, karena memang itu semua itu diciptakan untuk
manusia.
Disisi lain Allah SWT. telah mengharamkan sesuatu dan semuanya telah disebutkan
dalam Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah saw. Allah SWT. menghalalkan yang baik
dan mengharamkan yang buruk. Halal dan haram telah jelas. Rasulullah saw.
bersabda: Artinya: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.
Diantara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang
menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa yang
jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram” (HR Bukhari dan Muslim).
"Halal adalah sesuatu yang Allah halalkan dalam
kitab-Nya. Dan haram adalah sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya.
Sedangkan yang Allah diamkan maka itu adalah sesuatu yang dima’afkan” (HR
at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim )
Pada hukum nyanyian dan musik ada yang disepakati dan ada
yang diperselisihkan. Ulama sepakat mengharamkan nyanyian yang berisi
syair-syair kotor, jorok dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara umum
yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam. Ulama juga sepakat membolehkan
nyanyian yang baik, menggugah semangat kerja dan tidak kotor, jorok dan
mengundang syahwat, tidak dinyanyikan oleh wanita asing dan tanpa alat musik.
Adapaun selain itu para ulama berbeda pendapat, sbb:
Jumhur ulama menghalalkan mendengar nyanyian, tetapi
berubah menjadi haram dalam kondisi berikut:
1. Jika disertai kemungkaran, seperti sambil minum khomr, berjudi dll.
2. Jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti
menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita atau sebaliknya.
3. Jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban,
seperti meninggalkan shalat atau menunda-nundanya dll.
Madzhab Maliki, asy-Syafi’i dan sebagian Hambali
berpendapat bahwa mendengar nyanyian adalah makruh. Jika mendengarnya dari
wanita asing maka semakin makruh. Menurut Maliki bahwa mendengar nyanyian
merusak muru’ah. Adapun menurut asy-Syafi’i karena mengandung lahwu. Dan Ahmad
mengomentari dengan ungkapannya:” Saya tidak menyukai nyanyian karena
melahirkan kemunafikan dalam hati”.
Adapun ulama yang menghalalkan nyanyian, diantaranya:
Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu’bah, Usamah bin
Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar
Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali dll. Sehingga secara umum dapat
disimpulkan bahwa para ulama menghalalkan bagi umat Islam mendengarkan nyanyian
yang baik-baik jika terbebas dari segala macam yang diharamkan sebagaimana
disebutkan diatas.
Sedangkan hukum yang terkait dengan menggunakan alat
musik dan mendengarkannya, para ulama juga berbeda pendapat. Jumhur ulama
mengharamkan alat musik. Sesuai dengan beberapa hadits diantaranya, sbb:
”Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang
menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan". (HR
Bukhari).
”Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling
gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan
kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:”Wahai Nafi’ apakah engkau
dengar?”. Saya menjawab:”Ya”. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya
berkata :”Tidak”. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan
kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw. mendengar
seruling gembala kemudian melakukan seperti ini” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu
Majah).
Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata
tentang umat ini:” Gerhana, gempa dan fitnah. Berkata seseorang dari kaum
muslimin:”Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?” Rasul menjawab:” Jika biduanita,
musik dan minuman keras dominan” (HR At-Tirmidzi).
Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits-hadits tentang haramnya
nyanyian dan musik. Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam
Shahihnya, dari Abi Malik Al Asy'ari ra. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits
shahih Bukhori, tetapi para ulama memperselisihkannya.
Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah mualaq (sanadnya
terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm. Disamping itu diantara para
ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari
kegoncangan (idtirab). Katakanlah, bahwa hadits ini shohih, karena terdapat
dalam hadits shohih Bukhori, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum,
tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya. Batasan yang ada adalah bila
ia melalaikan.
Hadits kedua dikatakan oleh Abu Dawud sebagai hadits mungkar. Kalaupun hadits
ini shohih, maka Rasulullah saw. tidak jelas mengharamkannya. Bahkan Rasulullah
saw mendengarkannya sebagaimana juga yang dilakukan oleh Ibnu Umar. Sedangkan
hadits ketiga adalah hadits ghorib. Dan hadits-hadits lain yang terkait dengan
hukum musik, jika diteliti ternyata tidak ada yang shohih.
Adapun ulama yang menghalalkan musik sebagaimana diantaranya diungkapkan oleh
Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar adalah sbb: Ulama Madinah dan
lainnya, seperti ulama Dzahiri dan jama’ah ahlu Sufi memberikan kemudahan pada
nyanyian walaupun dengan gitar dan biola”. Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur
Al-Bagdadi As-Syafi’i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja’far menganggap bahwa
nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan
beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa
khilafah Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa
pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan
Asy-Sya’bi.
Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil
dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak
wanita dan gitar. Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata disampingnya ada
gitar , Ibnu Umar berkata:” Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw. kemudian Ibnu
Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata:” Ini mizan
Syami (alat musik) dari Syam?”. Berkata Ibnu Zubair:” Dengan ini akal seseorang
bisa seimbang”.
Dan diriwayatkan dari Ar-Rowayani dari Al-Qofaal bahwa
madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik.
Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat
musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta’akhirin yang
mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap waro’(hati-hati). Mereka
melihat kerusakan yang timbul dimasanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan
sahabat dan tabi’in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak
ada dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadits yang jelas mengharamkannya.
Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.
Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan
nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:
Pertama: Lirik Lagu yang Dilantunkan. Hukum yang
berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada setiap
ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara', maka
hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara', maka dilarang.
Kedua: Alat Musik yang Digunakan.
Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar
yang berlaku dalam Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan
kecuali ada larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik
yang digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya
dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama
adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan
untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal
yang disepakati ialah semua alat itu diharamkan jika melalaikan.
Ketiga: Cara Penampilan.
Harus dijaga cara penampilannya tetap terjaga dari
hal-hal yang dilarang syara' seperti pengeksposan cinta birahi, seks,
pornografi dan ikhtilath.
Keempat: Akibat yang Ditimbulkan.
Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat
mengakibatkan hal-hal yang diharamkan seperti melalaikan shalat, munculnya ulah
penonton yang tidak Islami sebagi respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu
tersebut menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi'
(menutup pintu kemaksiatan) .
Kelima: Aspek Tasyabuh. Perangkat khusus, cara penyajian
dan model khusus yang telah menjadi ciri kelompok pemusik tertentu yang
jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus dihindari agar tidak
terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak dibenarkan. Rasulullah
saw. bersabda: Artinya:”Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk
mereka” (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Keenam: Orang yang menyanyikan.
Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan
nyanyian dari wanita yang bukan muhrimnya. Sebagaimana firman Allah SWT.:
Artinya:”Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan
yang baik”(QS Al-Ahzaab 32)
Demikian kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik
dalam Islam semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam
kehidupan mereka. Amiin.
Wallahu A`lam Bish-Showab,
~~~~~~~~~
Untuk rujukan lebih lanjut sila klik di sini :
http://syariahonline.com/konsultasi/?act=view&id=1967
MUSIK MENURUT SYARIAH
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Nyanyian
dan musik sepanjang zaman selalu menjadi wilayah khilaf di antara para ulama.
Dan lebih detail, ada bagiannya yang disepakati keharamannya, namun ada juga
yang diperselishkan. Bagian yang disepakati keharamannya adalah nyanyian yang
berisi syair-syair kotor, jorok dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara
umum yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam. Terutama ketika musik itu
diiringi dengan kemungkaran, seperti sambil minum khamar dan judi. Atau jika
dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada
wanita. Atau jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti
meninggalkan shalat atau menunda-nundanya dan lain-lain. Namun apabila sebuah
nyanyian dan musik tidak seperti itu, barulah kemudian para ulama berbeda
pendapat. Ada yang masih tetap mengharamkannya namun ada juga yang
menghalalkannya. Penyebab perbedaan pendapat itu cukup beragam, namun berkisar
para dua hal. Pertama, dalilnya kuat namun istidlalnya lemah. Kedua, dalilnya
lemah meski istidlalnya kuat.
Contoh 1 Kita ambil contoh penyebab perbedaan dari sisi
dalil yang kuat sanadnya namun lemah istidlalnya. Yaitu ayat Al-Quran
al-Kariem. Kitatahu bahwa Al-Quran itu kuat sanadnya karena semua ayatnya
mutawatir. Namun belum tentu yang kuat sanadnya, kuat juga istidlalnya. Kita
ambil ayat berikut ini: Dan di antara manusia orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh azab yang menghinakan.(QS. Luqman: 5) Oleh kalangan yang
mengharamkan musik, ayat ini sering dijadikan bahan dasar untuk istidlal mereka.
Mereka menafsirkan bahwa lahwal hadits (perkataan yang tidak berguna) adalah
nyanyian, lagu dan musik. Sebenarnya tidak ada masalah dengan ayat ini, karena
secara eksplisit tidak mengandung pengharaman tentang lagu, musik atau
nyanyian. Yang dilarang adalah perkataan yang tidak berguna. Bahwa ada ulama
yang menafsirkannya sebagai nyanyian musik, tentu tidak boleh memaksakan
pandangannya. Kita bisa membaca pandangan Ibnu Hazm tentang ayat di atas.
Beliau mengatakan bahwa yang diancam di ayat ini adalah orang kafir. Dan hal
itu dikarenakan orang-orang kafir itu menjadi agama Allah sebagai ejekan. Meski
seseorangmembeli mushaf lalu menjadikannya ejekan, maka dia pun kafir. Itulah
yang disebutkan oleh Allah SWT dalam ayat ini. Jadi Allah SWT tidak mencela
orang yang membeli alat musik apabila bukan untuk menjadikannya sebagai
penyesat manusia.
Contoh 2: Hadits Nabawi Dalam salah satu hadits yang
shahih ada disebutkan tentang hal-hal yang dianggap sebagai dalil pengharaman
nyanyian dan musik. Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan
zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan`. (HR Bukhari)
Karena hadits ini terdapat di dalam shahih Bukhari, maka
dari sisi keshahihan sudah tidak ada masalah. Sanadnya shahih meski ada juga
sebagian ulama hadits yang masih meragukanya. Namun dari segi istidlal, teks
hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan
namanya secara spesifik dan eksplisit.
Di titik inilah sesungguhnya terjadi selisih pendapat
para ulama. Dalil yang bersifat umum masih mungkin dipersoalkan apabila
langsung dijadikan landasan untuk mengharamkan sesuatu. Batasan yang ada dan
disepakati adalah bila alat itu bersifat melalaikan. Namun apakah bentuknya
alat musik atau bukan, maka para ulama berbeda pendapat.
Contoh 3: Hadits Nabawi Dari Nafi bahwa Ibnu Umar
mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua
jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:`Wahai
Nafi` apakah engkau dengar?`. Saya menjawab:`Ya`. Kemudian melanjutkan
berjalanannya sampai saya berkata:`Tidak`. Kemudian Ibnu Umar mengangkat
tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat
Rasulullah saw. mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini. (HR
Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Hadits ini sudah agak jelas dari segi istidlalnya, yaitu
Rasulullah menutup telinganya saat mendengar suara seruling gembala. Namun dari
segi kekuatan sanadnya, para ulama hadits mengatakan bahwa hadits ini termasuk
hadits mungkar. Dan hadits mungkar kedudukannya lebih parah dari sekedar hadits
dhaif.
Dan memang banyak sekali dalil pengharaman musik yang
derajat haditsnya bermasalah. Dan wajar bila Abu Bakar Ibnul Al-Arabi
mengatakan, "Tidak ada satu pun dalil yang shahih untuk mengharamkan
nyanyian." Dan Ibnu Hazm juga senada. Beliau mengatakan, "Semua
riwayat hadits tentang haramnya nyanyian adalah batil." Dari Umar bin
Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini:` Gerhana, gempa dan
fitnah. Berkata seseorang dari kaum muslimin:`Wahai Rasulullah kapan itu
terjadi?` Rasul menjawab:` Jika biduanita, musik dan minuman keras dominan` (HR
At-Tirmidzi).
Sebagian Shahabat Menghalalkan Musik
Dari banyak riwayat kita mendapatkan keterangan bahwa di
antara para shahabat nabi SAW, tidak sedikit yang menghalakan lagu dan
nyanyian. Misalnya Abdullah bin Ja`far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin
Syu`bah, Usamah bin Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin
Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal. Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul
Authar menuliskan bahwa para ulama Madinah memberikan kemudahan pada nyanyian
walaupun dengan gitar dan biola`. Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi
As-Syafi`i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja`far menganggap bahwa nyanyi
tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau
sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah
Amirul Mukminin Ali ra.
Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada
Qodhi Syuraikh, Said bin Al-Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan
Asy-Sya`bi. Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya
yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki
budak-budak wanita dan gitar. Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata di
sampingnya ada gitar, Ibnu Umar berkata:` Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw.
kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata,
"Ini mizan Syami(alat musik) dari Syam?".Ibnu Zubair menjawab,
"Dengan ini akal seseorang bisa seimbang."
Dan diriwayatkan dari Ar-Rawayani dari Al-Qofaal bahwa
madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik. Dan jika
diteliti dengan cermat, maka ulama muta`akhirin yang mengharamkan alat musik
karena mereka mengambil sikap wara`(hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang
timbul di masanya.
Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi`in
menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari
Al-Qur`an maupun hadits yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada
hukum asalnya yaitu mubah.
Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan
nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:
1. Lirik Lagu yang Dilantunkan. Hukum yang berkaitan
dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada setiap ucapan dan
ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara`, maka hukumnya
dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara`, maka dilarang.
2. Alat Musik yang Digunakan. Sebagaimana telah
diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam adalah bahwa
segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan yang jelas. Dengan
ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi lirik
nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik yang
disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul).
Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda
pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu
diharamkan jika melalaikan.
3. Cara Penampilan. Harus dijaga cara penampilannya tetap
terjaga dari hal-hal yang dilarang syara` seperti pengeksposan cinta birahi, seks,
pornografi dan ikhtilath.
4. Akibat yang Ditimbulkan. Walaupun sesuatu itu mubah,
namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang diharamkan seperti melalaikan
shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami sebagi respon langsung dan
sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah
Saddu Adz dzaroi` (menutup pintu kemaksiatan).
5. Aspek Tasyabuh atau Keserupaan Dengan Orang Kafir.
Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri
kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus
dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak
dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia
termasuk mereka. (HR Abu Dawud)
6. Orang yang menyanyikan. Haram bagi kaum muslimin yang
sengaja mendengarkan nyanyian dari wanita yang bukan muhrimnya. Sebagaimana
firman Allah SWT.: Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti
wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik. (QS Al-Ahzaab 32) Demikian kesimpulan tentang
hukum nyanyian dan musik dalam Islam semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan
menjadi panduan dalam kehidupan mereka. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc (eramuslim.com)
Perbahasan Mengenai Dalil-dalil
Dalil-dalil Yang Membolehkan
Ulama yang
membolehkan menggunakan alat muzik dan nyanyian mengajukan beberapa dalil untuk
memper-kuat pe-ndapat mereka.
Dalil-dalil
dimaksud antara lain sebagai be-rikut.
1. Surah
Luq-man, ayat 19 yang bermak-sud;
“...dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguh-nya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”
Imam
Al-Ghazali me-mahami ayat ini melalui Mafhum Mukhalafah-nya, sehingga Imam
Al-Ghazali berpendapat bahawa Allah taala memuji suara yang baik. Dengan
demikian, tidak terlarang mendengarkan nyanyian yang baik.
2. Hadis
Rasulullah s.a.w yang bermaksud;
Aisyah Bte
Abu Bakar berkata:
“Pada suatu
hari Rasulullah s.a.w masuk ke tempat-ku. Di saat itu ada dua gadis di
sampingku yang sedang menyanyi-kan lagu ‘Hari Bu’ats’ (kisah suatu peperangan
di benteng Bu’ats). Saya melihat Rasulullah S.A.W berbaring sambil memalingkan
mukanya.”Ketika itu Abu Bakar As-Siddiq datang dan marah kepadaku. Kata Abu
Bakar “Di rumah Rasulullah s.a.w ada seruling setan?” Mendengar ucapan Abu
Bakar tersebut Rasulullah s.a.w bersabda “Ya Abu Bakar! Biarkanlah keduanya
menyanyi, sesungguhnya bagi setiap kaum ada ulang tahunnya dan hari ini adalah
ulang tahun kita” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
3. Hadis
Rasulullah s.a.w yang bermaksud;
Aisyah
pernah mengahwinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki Ansar. Ketika itu
Rasulullah s.a.w bersabda kepadanya “Wahai Aisyah, tidak adakah kalian
mempunyai hiburan (nyanyian) sesungguhnya orang-orang Ansar menyukai hiburan
(nyanyian)” (Riwayat Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbal)
4. Hadis
Rasulullah s.a.w yang bermaksud;
Hadis yang
menceritakan bahawa dua orang wanita mendendangkan lagu yang isinya mengenang
para pahlawan yang gugur dalam peristiwa Perang Badr (17 Ramadan 2H) sambil
memukul gendang. Di antara syairnya berbunyi, “Dan kami mempunyai nabi yang
mengetahui apa yang akan terjadi esok hari” (Riwayat Ahmad bin Hanbal).
Dalil-dalil Yang Melarang
Ulama yang
melarang menggunakan alat muzik dan nyanyian antara lain adalah Ibnu Al-Jauzi
(tokoh hadis Mazhab Hanbali), Imam Al-Qurtubi dan Muhammad bin Ali
Asy-Syaukani. Mereka mengajukan beberapa dalil sebagai hujah untuk mendukung
pendapat mereka. Dalil-dalil yang mereka gunakan antara lain sebagai berikut.
1. Firman
Allah taala dalam surah Al-Isra, ayat 64 yang bermaksud;
“Dan
hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu (suaramu -
saut)...”
Dalam terjemahan Al-Quran Departemen Agama Indonesia kata Saut bererti ajakan.
Menurut Mujahid (w.104 H, salah seorang Tabiin), kata Saut (suara) bererti
nyanyian.
Ertinya
syaitan menggunakan nyanyian sebagai salah satu jalan untuk menyelewengkan
manusia. Maka sebab itu nyanyian dilarang.
2. Firman
Allah taala dalam surah An-Najm, ayat 59-61 yang ertinya;
“Maka
apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu menertawakan dan
tidak menangis? Sedangkan kamu melengahkan(nya).”
Ibnu Abbas
mengertikan kata Samidun (dalam terjemahan Al-Quran Departemen Agama Indonesia
diartikan melengah-kan[nya]) dengan makna bernyanyi (dalam keadaan
bernyanyi-nyanyi). Pendapat ini didukung oleh Mujahid dan Ikrimah bin Abu Jahal
(w. 105 H).
3. Firman
Allah taala dalam surah Luqman; ayat 6 yang ertinya;
“Dan di
antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan
jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperolehi azab yang
menghinakan.”
Beberapa
orang sahabat Rasulullah s.a.w, di antaranya Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, dan
tabiin seperti Mujahid, Qatadah bin Di’amah As-Sadusi Al-Basri (w.118H) dan
Ibrahim An-Nakha’i (w.177H) serta sebahagian ahli tafsir seperti Ibnu Katsir
(w.774H) menafsirkan kata Lahwa Al-Hadis (perkataan yang tidak berguna) dalam
ayat di atas dengan makna nyanyian atau menyewakan jasa biduanita.
4. Sabda Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud;
“...Tetapi
saya melarang dua macam suara, yakni suara (tangisan) orang yang ditimpa
“musibah yang disertai dengan mancakar muka dan merobek-robek baju, dan suara
dari orang-orang yang sedang menyanyi dengan menggunakan seruling syaitan
(bunyi seruling yang membisingkan)” (Riwayat At-Tirmizi).
Ungkapan
ini dikemukakan Rasulullah s.a.w dengan suara yang tinggi (marah) sehingga
seruling yang ditiup itu dikatakan sebagai seruling setan.
5. Sabda
Rasulullah s.a.w yang bermaksud;
“Pada umat
ini akan terjadi bencana tanah longsor, pertukaran rupa, dan kerusuhan.”
Mendengar ungkapan Rasulullah s.a.w itu salah seorang dari sahabat bertanya:
“Ya bilakah ia akan terjadi.” Rasulullah s.a.w menjawab “Apabila biduanita,
alat-alat muzik, dan minuman khabar telah muncul di tengah-tengah masyarakat”
(Riwayat At-Tirmizi)
6. Sabda
Rasulullah s.a.w yang bermaksud;
“Sesungguhnya
Allah telah mengharamkan khamar, judi, dan muzik; semua yang memabukkan
hukumnya haram.” (Riwayat Al-Bukhari)
7. Sabda
Rasulullah s.a.w yang bermaksud;
“Sesungguhnya
akan terdapat dalam umatku orang-orang yang menghalalkan zina, sutera, khamar,
judi, dan muzik; semua yang memabukkan hukumnya haram.” (Riwayat Al-Bukhari)5
Ulama Fiqh yang membolehkan muzik dan nyanyian mengajukan sanggahan terhadap
dalil-dalil dan pemahaman yang dikemukakan oleh kelompok ulama yang melarang
muzik dan nyanyian.
Pemahaman kelompok yang melarang kedua hiburan tersebut terhadap dalil yang
mereka ajukan dibantah oleh ulama yang membolehkan kedua hal tersebut. Terhadap
pembatasan makna kata Saut yang terdapat dalam surah Al-Isra’, ayat 64 dengan
erti nyanyian, menurut Ibnu Katsir di dalam kitab Tafsir Al-Quran Al-‘Azim
bahawa sekalipun secara bahasa kata Saut merupakan kata yang mengandung arti
kiasan. Sebab, pada umumnya manusia tidak dapat mendengar suara iblis (Iblis
dan Syaitan). Manusia hanya dapat merasakan bisikan-bisikan iblis yang mengajak
kepada sikap durhaka kepada Allah taala.
Menurut Muhammad
Quraish Shihab (ahli tafsir kontemporeri dari Indonesia) merupakan pembatasan
yang tidak mempunyai dasar. Kalaupun pembatasan tersebut diterima dan kata saut
diertikan dengan makna nyanyian, maka nyanyian yang dimaksud adalah nyanyian
yang didendangkan oleh syaitan sebagaimana yan ditunjuk oleh bunyi ayat
tersebut dan di saat ada nyanyian yang didendangkan oleh bukan setan, maka
belum tentu termasuk yang dikecam oleh ayat tersebut.
Seperti
halnya pemahaman terhadap surah al-Isra’, ayat 64, pemahaman terhadap surah
Luqman, ayat 6 dibantah oleh kelompok yang membolehkan muzik dan nyanyian.
Menurut
mereka kata-kata Lahwa Al-Hadis tidak dapat diertikan dengan nyanyian. Muhammad
Quraish Shihab menjelaskan, seandainya kata tersebut memang diertikan “nyanyian”,
maka yang dikecam oleh Allah taala melalui ayat tersebut adalah kata-kata
dimaksud digunakan sebagai alat untuk menyesatkan manusia. Jadi, bukan terletak
pada nyanyian atau bukan nyanyian. Memang dapat difahami jika nyanyian yang
mengandung kata-kata yang tidak sejalan dengan ajaran Islam harus ditolak.
Ibnu Hazm
mengatakan: “Apabila Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud menafsirkan kata lahwa al-hadis
dengan makna nyanyian, maka sesungguhnya teks ayat itu sendiri-dalam hal ini Li
Yudill’an Sabil Allah (untuk menyesatkan dari jalan Allah) telah menentang
penafsiran tersebut”.
Sebab,
demikian Ibnu Hazm, Lahwa Al-Hadis yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah
lahwa al-hadis yang jika dilakukan akan mengakibatkan kekafiran bagi pelakunya.
Misalnya, seorang membeli mushaf dengan tujuan untuk menyesatkan orang lain dan
memperolok-olok serta mempermainkannya, maka tentu yang bersangkutan akan
tergolong orang-orang yang kafir dan Lahwa Al-Hadis semacam inilah yang dikecam
oleh ayat tersebut. Adapun Lahwa Al-Hadis yang tidak bermaksud menyesatkan
orang lain dan memperolok-olok, tetapi untuk menghibur diri tentu tidak dikecam
oleh ayat tersebut. Artinya, ayat itu tidak ditujukan kepada orang-orang yang
menghibur diri tanpa bermaksud menyesatkan manusia lainnya dari ajaran Allah
taala. Adapun orang yang tidak melalaikan kewajiban agamanya sekalipun dia
sibuk menyanyi, orang dimaksud tetap sebagai orang yang baik (muhsin).
Demikian
juga halnya dengan An-Najm, ayat 59-61 yang didalamnya terdapat kata Samidun
yang oleh ulama yang melarang muzik dan nyanyian diertikan sebagai “dalam
keadaan menyanyi-nyanyi”.
Menurut Quraish Shihab, erti tersebut tidak disepakati oleh ulama tafsir,
kerana kata tersebut sekalipun digunakan oleh suku Humyar (suku bangsa Arab)
dalam erti menyanyi, tetapi di dalam kamus-kamus bahasa Arab seperti Mu’jam
Al-Maqayis Fi Al-Lugah dijelaskan bahawa akar kata Samidun adalah samada yang
maknanya berkisar pada “berjalan bersungguh-sungguh tanpa menoleh ke kiri dan
ke kanan, atau secara majaz (kiasan) dapat diertikan “serius” atau “tidak
mengindahkan selain apa yang dihadapinya”.
Dengan demikian, lanjut Quraish, kata samidun, sebagai yang dikatakan oleh Ibnu
Katsir, dalam ayat tersebut dapat diertikan “orang yang lengah” (Ghafilun).
Terhadap dalil yang berupa hadis Nabi s.a.w juga dikritik oleh ulama yang
membolehkan muzik dan nyanyian. Menurut Ibnu Hazm, hadis-hadis yang dikemukakan
sebagai dalil untuk mengharamkan muzik dan nyanyian adalah hadis-hadis yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan, semuanya Maudu’(hadis rekaan) atau Maqtu’
(sanadnya terputus). Hadis Abu Amir atau Abu Malik Al-Asyjari:
“Sesungguhnya akan terdapat dalam jajaran umatku orang-orang yang menghalalkan
zina, sutera, khamar, judi, dan muzik; semua yang memabukkan hukumnya haram.”
(Riwayat Al-Bukhari)
misalnya, dari segi sanadnya adalah Hadis Munqati’, sebab ada perawi yang tidak
disebutkan, yakni antara Imam Al-Bukhari dan Hisyam. Akan tetapi, anggapan atau
penilaian ini dibantah oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani. Menurut Ibnu Hajar, hadis
tersebut berdasarkan syarat (kategori) Imam Al-Bukhari yang terkenal sebagai
hadis yang bersambung (tidak terputus mata rantai) sanadnya.
Matan (teks hadis) tersebut menjelaskan bahawa azab diturunkan kerana mereka
menghalalkan zina, minuman keras, menghalalkan sutera dan membolehkan tampilnya
biduanita di depan forum yang bercampur laki-laki dan perempuan serta
menghalalkan penggunaan alat muzik di luar batas-batas yang dibenarkan agama.
Jadi bukan nyanyian yang mengakibatkan turunnya azab tersebut.
Berkata Al-Fakihani:
“Aku tidak ketahui dalam kitab Allah dan tidak pula dalam Sunnah satu hadits
sahih yang jelas dalam pengharaman alat hiburan. Sesungguhnya semuanya hanya
bersifat umum dan bukan dalil Qat`ii.6”
Dr Wahbah Az-Zuhaili berpendapat:
“Sesungguhnya lagu-lagu patriotik atau yang mendorong pada kebaikan atau jihad
(perjuangan), tiada halangan (haram) bagi nya dengan syarat tiada percampuran
bebas dan menutup aurat wanita kecuali muka dan tapak tangan. Adapun lagu-lagu
yang mendorong pada kejahatan, tidak syak akan pengharamannya, hatta di
kalangan mereka yang mengharuskan nyanyian, khususnya kemunkaran di radio dan
tv yang banyak terdapat di zaman kita hari ini.
Tidak syak lagi bahawa meninggalkan dari mendengar (muzik & nyanyian) di
zaman ini lebih baik kerana terdapat syubhat di dalamnya. Orang-orang beriman
sentiasa menjauhi syubhat sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits sahih.
Sesiapa yang meniggalkan syubhat, ia telah memelihara agama dan maruahnya.
Sesiapa yang berjalan-jalan di tepi-tepi kawasan larangan, ditakuti ia akan
termasuk di dalamnya........
Tiada mengapa mendengar muzik untuk merawat sakit jiwa.” 7
Kesimpulan
Di kalangan ulama Fiqh dikenal dua macam jenis haram, yaitu: haram zati (kerana
bendanya), dan haram aridi (kerana sifat/penggunaannya). Alat-alat muzik dan
nyanyian tergolong ke dalam jenis kedua, yaitu tergantung pada penggunaan dan
isinya.
Artikel ini dipetik dari Ensiklopedi Hukum Islam, terbitan P.T Ichtiar Baru
Van Hoeve, Jakarta, jld 4, bab Muzik & Nyanyian, ms 1257 berserta suntingan
dan tambahan oleh Muhammad Haniff Hassan.
1 Lihat
juga Nail Al-Autar, jld 8, ms 101; Ihya’ Ulum Ad-Din, jld 2, ms 228; Al-Fiqh
Al-Islami Wa Adillatuhu, jld 3, ms 573.
2 Lihat juga Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, jld 3, ms 575.
3 Lihat Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, jld 3, ms 575; Nail Al-Autar, jld 8,
ms 100 - 105.
4 Lihat juga Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, jld 3, ms 574.
5 Lihat perbahasannya dalam Nailul Autar, jld 8, ms 100 - 105
6 Lihat Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, jld 3, ms 575; juga Nail Al-Autar, jld
8, ms 104.
7 Lihat Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, jld 3, ms 576.
HIBURAN: Menolak Fatwa Utsaimin, Albani, Fauzan & Najmy
Seorang hamba Allah yang prihatin dengan kepentingan umat Islam memaparkan
fatwa-fatwa orang-orang di atas. Sekiranya apa yang terpapar itu benar, kita
berasa sangat sedih kerana fatwa-fatwa tersebut dengan sewenang-wenangnya
menghukum berdosa kepada banyak umat Islam termasuklah para pendakwah yang
terlibat dengan seni nyanyian dan muzik. Sekiranya tidak benar, maka bolehlah
diabaikan saja ulasan di bawah nanti. Saya rasa terpanggil untuk menjelaskan
kedudukan seni nyanyian dan muzik ini kerana saya dapati keputusan yang
dikeluarkan oleh mereka jauh terseleweng. Kebetulan saya ada menjawab persoalan
tentang hukum bermain gitar yang isi kandungannya selaras dengan isu ini. Maka
saya sesuaikan artikel itu untuk menolak keputusan di atas.
Anda
bandingkan keputusannya, kemudian jawab soalan ini:
Berdosakah
orang yang menyanyi dan bermain alat muzik?
Berdosa (Fatwa Utsaimin, Albani, Fauzan & Najmy)
Tidak berdosa selagi tidak bercampur maksiat (pandangan
saya)
ULAMA-ULAMA YANG MENGHARUSKAN PENGGUNAAN SEMUA JENIS ALAT MUZIK , APATAH
LAGI NYANYIAN-NYANYIAN YANG BAIK:
(Secara
langsung atau tidak langsung)
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali
Dr. Yusuf
al-Qaradhawi
Dr. Abdul Karim Zaidan
Abdullah
bin Zubair
Abdullah bin Umar
Imam
asy-Syaukani
al-Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi
Ibnu Hazm
Dr. Mohammad Imarah
Dr. Kaukab
‘Amir
Ibn Tahir Al-Qaisarani
Abdul Ghani
An-Nablusi
Al-Kamal Jaafar Al-Idfawi Asy-Syafie
Al-Imam
Mohd. Asy-Syazili At-Tunisi.
Al Adiib Abu 'Umar Al Andalusi
Abdullah
bin Ja'far
Dato’ Nik Abdul Aziz Nik Mat
Ustaz Abdul
Hadi Awang
Al Mawardi
Muawiyah
Amru al-Ass
Imam Malik
Ibnu Tahir
Imam
al-Haramain
Ulama-ulama Madinah
Ulama-ulama
Zahiri
Disokong oleh:
Wan
Muhammad Wan Sulong, Yarmouk University, Irbid, Jordan,
Fakultas
Ushuluddin IAIN Walisongo, d/a LPK2 (Lembaga Pengembangan Keagamaan dan
Kemasyarakatan) dan Lembkota Jl. Boja Km 1, Ngalian Semarang, Indonesia.
Ustaz Akil
Hayy Rawa
Dr.
Mohammad Deen
Fatwa
Negeri Kedah
*BERIKUT ADALAH HUJAH-HUJAH PARA ULAMA DI ATAS:
HUJJATUL ISLAM IMAM AL-GHAZALI
Menurut Imam Al-Ghazali, tidak ada keterangan yang jelas dari sunnah
Nabi SAW yang melarang penggunaan alat muzik. Menurutnya, setiap instrumen
muzik yang mempunyai bunyi yang baik tidak dilarang, malah ianya tidak lebih
dari kemerduaan suara burung.
Seni muzik yang dilarang kepada umat Islam ialah sekiranya ia bersekongkol di
dalam keadaan yang bercampur dengan kumpulan peminum arak, penzina dan
lain-lain perbuatan dosa.
(Hj. Abd.
Ghani Samsudin, Ishak Hj. Sulaiman, Dr. Engku Ismail Ibrahim, "Seni Dalam
Islam", Intel Multimedia & Publication, P.J, 2001, hal. 34-39.)
*Kesimpulan-
Menurut Imam Ghazali, semua alat muzik boleh digunakan asalkan ia tidak
melibatkan perkara-perkara maksiat.
Al-Imam Hujjatul Islam, Abu Hamid Al-Ghazali telah membincangkan
permasalahan hukum nyanyian dan muzik dengan panjang lebar dalam kitabnya Ihya’
Ulumiddin dalam juzuk yang kelapan bahagian Al-Adat. Al-Ghazali di
dalam perbincangannya telah membahaskan hukum muzik dan alatnya daripada
pelbagai sudut sebelum mengeluarkan pandangannya. Beliau tidak hanya berpegang
dengan zahir nas malah cuba menggali di sebalik nas, sebab dan ‘illah
diharamkan beberapa alat muzik sebagaimana yang disabdakan oleh junjungan besar
Nabi SAW dalam hadith-hadith Baginda. Ini bertitik tolak daripada pegangan
beliau bahawa nyanyian dan muzik adalah kelazatan-kelazatan dunia yang asalnya
adalah halal dan harus.
Al-Ghazali menegaskan sebab pengharaman alatan yang dipetik (seperti
gitar) dan ditiup (seperti serunai) sebagaimana yang disebut dalam
hadith Nabi SAW bukan kerana alatan tersebut menimbulkan kelazatan kepada
pendengar. Sekiranya demikian sudah tentulah diharamkan semua jenis suara atau
irama yang membangkitkan kelazatan kepada pendengar. Kerongkong manusia,
gendang, rebana kecil (duf) dan binatang-binatang seperti burung mempunyai
potensi untuk menghasilkan irama-irama merdu yang mampu membangkitkan
kelazatan di dalam sudut hati pendengar. Walau bagaimanapun Islam tidak
mengharamkan suara-suara tersebut.
Oleh itu Al-Ghazali menyatakan sebab pengharaman alatan yang disebut di dalam
hadith-hadith Nabi SAW adalah kerana alatan-alatan tersebut biasa digunakan
oleh ahli-ahli fasiq, maksiat dan peminum-peminum arak dan menjadi syiar
mereka.
Begitulah pandangan Imam Al-Ghazali tentang hukum penggunaan alat-alat muzik.
Beliau melihat di sana wujudnya sebab diharamkan alat-alat yang disebut
pengharamannya melalui lisan Nabi SAW. Sekiranya hilang (gugur) sebab
tersebut sudah tentulah gugur hukum pengharamannya. Bagi beliau semua
perkara yang baik (At-Thayyibat) adalah halal melainkan perkara-perkara yang
boleh membawa kepada kerosakan.
*Kesimpulan- Imam Ghazali dalam Ihya Ulumiddin mengharuskan
semua jenis alat muzik termasuklah yang dipetik seperti gitar dan yang
ditiup/ berlubang seperti serunai, apatah lagi gendering.
Sebahagian yang lain pula seperti Dr. Abdul Karim Zaidan dan Dr.
Kaukab Amir ’mempunyai pandangan yang sama dengan Al-Ghazali.
Mereka menyatakan pengharaman alat-alat yang disebut di dalam nas-nas hadith
adalah kerana ia merupakan syiar ahli fasiq dan maksiat. Pada pandangan
mereka muzik tidak haram dari sudut irama atau bunyinya. Tetapi yang
menjadikannya haram ialah unsur-unsur luaran yang lain iaitu ia adalah alatan
yang biasa digunakan di dalam majlis-majlis dan tujuan-tujuan yang bertentangan
dengan batas syara’. Justeru itu alat-alat tersebut tunduk kepada perubahan
tempat dan masa. Penggunaan alat-alat ini juga mestilah berlegar dala
lingkungan yang dibenarkan oleh syara’.
(Al-Mufassal
oleh Dr Abdul Karim Zaidan juzuk 4 ms 96)
*Kesimpulan-
Dr. Abdul Karim Zaidan dan Dr. Kaukab Amir juga sependapat dengan Al Ghazali
IMAM ASY-SYAUKANI
Mazhab Ahlul Madinah (ulama-ulama Madinah) dan lainnya seperti ulama
Dzahiri dan jemaah ahli Sufi memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun
dengan gitar dan biola.
(Imām Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR, Jilid VIII, hlm. 100-103)
*Kesimpulan- jelas boleh menyanyi, menggunakan alat-alat muzik
bertali sperti gitar dan biola selagi tidak bercampur maksiat.
IMAM AL-HARAMAIN, ABDULLAH BIN ZUBAIR & ABDULLAH BIN UMAR
Imam Al-Haramain dalam kitabnya,
An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin;
bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak (hamba) wanita dan gitar.
Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata disampingnya ada gitar ,
Ibnu Umar berkata: “Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw?”. Kemudian Ibnu
Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata: “Ini mizan
Syami ( alat muzik) dari Syam?”. Berkata Ibnu Zubair: “Dengan ini akal
seseorang bisa seimbang”.
*Kesimpulan-
ketiga-tiga ulama besar ini mengharuskan bermain gitar- sejenis alat muzik.
PUSAT KONSULTASI SYARIAH ERAMUSLIM
Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam
Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan
yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk
mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan.
Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf
(alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk
mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang
disepakati ialah semua alat itu diharamkan jika melalaikan.
Pusat
Konsultasi Syariah
http://www.eramuslim.com/ks/um/38/7315,2,v.html
DR. MUHAMMAD DEEN
Dr. Mohammad Deen mengambil pendirian bahawa hukum muzik dan
nyanyian dalam Islam adalah HARUS selagi mana tidak disertai dengan
perkara-perkara lain yang haram. Maknanya, muzik dan nyanyian menjadi haram
disebabkan hal-hal lain bukannya sebab zatnya (bentuknya) sendiri. Maka
kaedah fiqh yang bermaksud: “Asal hukum sesuatu perkara adalah harus selagi
mana tiada nas sahih yang mengharamkannya”.
*Kesimpulan- bentuk alat muzik
yang berlubang (seperti seruling dan gendang) ataupun yang bertali (seperti
gitar dan piano) bukanlah penyebab ia menjadi haram.
FAKULTI USULUDDIN IAIN WALISONGO, INDONESIA
- Jika lahwa-al hadits diartikan nyanyian/musik
yang kata-kata/iramanya menjadikan orang tersesat dari jalan Allah, maka bagaimana
sekiranya hal tersebut membawa orang untuk ingat dan dekat dengan Allah,
secara mafhum mukholafah (kebalikannya) adalah diperbolehkan.
- Islam tidak membunuh/mematikan fitrah manusia dan instingnya. Tetapi
mengatur, menyalurkan dan mengarahkannya ke arah yang positif dan tidak sampai
melanggar batas-batas yang telah ditentukan serta diridhai oleh Allah. Misalnya
orang mempunyai bakat seni musik atau seni suara tidak dilarang oleh Islam
bila ia mengembangkan bakatnya. Lalu menekuni musik atau nyanyian,
sehingga menjadi musikus atau penyanyi yang baik.
- Bahkan Islam sangat menghargai bila orang yang mempunyai bakat seni lalu
menggunakannya sebagai sarana dakwah Islam. Para wali yang berdakwah di bumi
Nusantara ini khususnya di Jawa juga menggunakan jasa musik dan nyanyian.
Seperti beduk, kentongan, alat gamelan, wayang kulit yang digubah sesuai dengan
ruh ajaran agama Islam.
Menurut saya musik dan nyanyian sekaligus alatnya adalah masalah duniawiyah
yang harus dilihat dampaknya, positif atau negatif. Bila berdampak menjauhkan
diri kita dari Allah, maka musik dan nyanyian tersebut menjadi maksiat. Tetapi
sebaliknya jika musik dan nyanyian tersebut dapat mendekatkan diri kepada
Allah bahkan dapat menambah keimanan serta ketaqwaan kita kepada-Nya, maka
justru musik dan nyanyian diperintahkan oleh agama.
(Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, d/a LPK2 (Lembaga
Pengembangan Keagamaan dan Kemasyarakatan) dan Lembkota Jl. Boja Km 1, Ngalian
Semarang,Indonesia)
IBNU HAZM & QADI ABU BAKAR AL-ARABI
Adapun hadis-hadis Nabi yang melarang nyanyian, semuanya ada cacat,
tidak ada satupun yang selamat dari celaan oleh kalangan ahli hadis, seperti kata
al-Qadhi Abubakar bin al-Arabi: "Tidak ada satupun hadis yang sah yang
berhubungan dengan diharamkannya nyanyian."
Dan berkata pula Ibnu Hazm: "Semua hadis yang menerangkan tentang
haramnya nyanyian adalah batil dan palsu."
Selanjutnya Ibnu Hazm menolak anggapan orang yang mengatakan; bahwa
nyanyian itu sama sekali tidak dapat dibenarkan, dan termasuk suatu kesesatan,
seperti firman Allah.
"Tidak ada lain sesudah hak kecuali kesesatan." (Yunus: 32)
Maka kata Ibnu Hazm: Rasulullah s.a.w. pernah bersabda "Sesungguhnya semua perbuatan itu harus disertai
dengan niat dan tiap-tiap orang akan dinilai menurut niatnya."
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Adapun nyanyian yang disertai dengan alat musik maka ulama yang
menghalalkannya mengatakan bahwa semua Hadits yang membahas masalah ini
nilainya tidak sampai ke tingkat shahih maupun hasan. Inilah yang dikatakan
oleh Al-Qadhi Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi
(Lihat Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi, AHKAM-UL-QURAN, Jilid
III, hlm. 1053-1054):
FATWA KEDAH
“Harus menggunakan alat – alat muzik sama ada bersifat tradisi atau
moden selagi ia tidak bertentangan dengan Islam dan tidak melalaikan.”
*Kesimpulan-
semua alat muzik harus dimainkan asal kena dengan caranya
DR. YUSUF QARDHAWI & ulama-ulama lain
ASAL SEGALA SESUATU lTU DIPERBOLEHKAN
Suatu kaedah yang ditetapkan oleh para ulama bahwa, "Segala sesuatu itu
asalnya boleh," berdasarkan firman Allah SWT, "Dia-lah Allah,
yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu..." (Al Baqarah: 29). Dan
tidak ada pengharaman kecuali dengan nas yang sharih dari Kitab Allah dan
Sunnah Rasul-Nya atau ijma' yang meyakinkan. Karena itu apabila tidak ada
nash shahih dan tidak sharih tentang haramnya sesuatu, maka tidak akan
mempengaruhi akan halalnya sesuatu itu, dan tetap berada dalam lingkup
dimaafkan yang luas. Allah SWT berfirman:
"Dan sungguh (Allah) telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya."
(Al An'am: 119)
Imam Al Ghazali telah menjawab orang yang mengatakan bahwa
sesungguhnya lagu atau nyanyian itu termasuk permainan yang sia-sia
dengan kata-katanya sebagai berikut, "Memang demikian, tetapi dunia
seluruhnya adalah permainan. Seluruh permainan dengan wanita adalah laghwun,
kecuali bercocok tanam(berjimak) yang itu menjadi penyebab memperoleh anak.
Demikian juga bergurau yang tidak kotor itu hukumnya halal, demikian itu
didapatkan dari Rasulullah SAW dan para sahabatnya."
Cukuplah bagi kita bahwa sesungguhnya Ahli Madinah, dengan
kehati-hatiannya dan golongan Zhahiriyah dengan keteguhannya dalam
memegang zhahir nas serta kaum sufi dengan kekerasan mereka untuk
mengambil 'azimah (semangat), bukan mengambil keringanan-keringanan telah
diriwayatkan dari mereka tentang bolehnya lagu-lagu.
Imam Syaukani berkata di dalam kitabnya "Nailul Authar,"
"Ahlul Madinah berpendapat dan ulama' yang sependapat dengan mereka dari
kalangan Zhahiriyah serta jamaah dari kaum shufi bahwa menyanyi itu
diperbolehkan, meskipun dengan gitar dan biola."
Ustadz Abu Manshur Al Baghdadi Asy-Syafi'i menceritakan di dalam kitabnya mengenai
mendengar lagu, bahwa sesungguhnya Abdullah bin Ja'far berpendapat bahwa
menyanyi itu tidak apa-apa, dan beliau memperbolehkan budak-budak wanitanya
untuk menyanyi, dan beliau sendiri ikut mendengarkan getaran suaranya, itu di
zaman Amirul Mu'minin Ali RA
Ustadz tersebut juga menceritakan hal itu dari Al Qadhi Syuraih, Said bin
Musayyab, 'Atha' bin Abi Rabah, Az-Zuhri, dan Asy-Sya'bi.
Imam Al Haramain dalam kitabnya "An Nihayah" dan Ibnu
Abid Dunya mengatakan, "Telah diikut berita dari ahli sejarah bahwa sesungguhnya
Abdullah bin Zubair pernah mempunyai budak-budak wanita yang terlatih
untuk bermain gitar, dan sesungguhnya Ibnu Umar pernah ke
rumah beliau ternyata di sisinya ada 'ud (gitar). Maka Ibnu Umar bertanya,
"Apa ini wahai sahabat Rasulullah?," maka Abdullah bin Zubair
mengambilkan untuknya, dan Ibnu Umar merenungkannya, dan berkata, "Apakah
ini mizan syami (neraca musik) dari Syam?" Ibnu Zubair berkata,
"Dengan ini akal seseorang bisa dinilai."
Al Hafidz Abu Muhammad bin Hazm meriwayatkan di dalam risalahnya
tentang "mendengarkan nyanyian" dengan sanadnya yang sampai
pada Ibnu Sirin, ia berkata, "Sesungguhnya ada seorang laki-laki datang ke
Madinah dengan membawa budak-budak wanita, maka orang itu singgah di rumah Ibnu
Umar. Di antara budak-budak wanita itu ada yang memukul alat musik, maka
datanglah seorang laki-laki menawarnya, maka ia tidak mempedulikan laki-laki
itu. Ia berkata, "Pergilah untuk menemui seseorang yang lebih baik bagimu
untuk mengadakan jual beli daripada orang ini." la berkata, "Siapakah
orang itu?" Ibnu Umar berkata, "la adalah Abdullah bin Ja'far."
Maka orang tersebut menawarkan budak-budak wanitanya kepada Abdullah bin
Ja'far. Kemudian Abdullah bin Ja'far memerintahkan salah seorang dari budak itu
sambil mengatakan, "Ambillah 'ud (gitar) ini!,"
maka budak itu mengambilnya lalu menyanyi, dan kemudian beliau
membelinya, kemudian datang kepada Ibnu Umar ...." hingga akhir kisah.
Pengarang kitab "Al 'Aqd" Al 'Allaamah Al Adiib Abu 'Umar Al
Andalusi meriwayatkan bahwa Ibnu Umar pernah masuk ke rumah Abdullah
bin Ja'far, ternyata mendapatkan di sisinya ada seorang budak wanita yang
di pangkuannya ada gitar. Kemudian Abdullah bin Ja'far berkata kepada
Ibnu Umar, "Apakah kamu melihat ini ada masalah?," beliau menjawab,
"Tidak ada masalah."
Al Mawardi menceritakan dari Mu'awiyah dan 'Amr bin
'Ash bahwa keduanya pernah mendengar gitar di rumah Abdullah bin
Ja'far.
Abul Faraj Al Ashfahani meriwayatkan bahwa sesungguhnya Hassan bin
Tsabit pernah mendengar dari 'Izzah Al Mila' lagu-lagu dengan gitar
dengan mendendangkan sya'ir. Demikian juga ini diceritakan oleh Abul 'Abbas
Al Mubarrad.
Al Adfuwu menyebutkan bahwa Umar bin Abdul Aziz pernah mendengarkan
budak-budak perempuannya sebelum menjadi khilafah. Ibnus Sam'ani pernah
menukil tarkhis (dispensasi) dari Thawus, demikian juga Ibnu Qutaibah juga
pernah menukil tarkhis dari Qadhi Madinah Sa'ad bin Ibrahim bin Abdur Rahman
Az-Zuhri dari tabi'in. Demikian juga Abu Ya'la juga menukil di dalam "Al
lrsyad" dari Abdul Aziz bin Salamah Al Majsyun, mufti Madinah.
Imam Ar-Rauyani menceritakan dari Al Qaffal, bahwa sesungguhnya madzhabnya
Imam Malik bin Anas itu memperbolehkan menyanyi dengan memakai alat
muzik, demikian juga Ustadz Abu Manshur Al Faurani juga menceritakan
dari Imam Malik tentang bolehnya mempergunakan gitar.
Abu Thalib Al Malik di dalam kitab "Qutil Qulub" menyebutkan dari
Syu'bah bahwa pernah mendengar suara genderang di rumah Minhal bin Amr, seorang
muhaddits masyhur.
Abul Fadhl bin Thahir menceritakan di dalam kitabnya dalam bab "As
Sima'" bahwa sesungguhnya tidak ada khilaf di antara ahli Madinah
dalam memperbolehkan gitar.
Ibnun Nahwi di dalam kitabnya "Al 'Umdah" dan Ibnu Thahir
mengatakan (tentang bolehnya gitar itu) merupakan ijma 'Ahlul Madinah.
Ibnu Thahir mengatakan, "Pendapat itu juga didukung oleh golongan
Zhahiriyah." Al Adfuwi berkata, "Tidak ada perselisihan riwayat dalam
masalah memukul genderang pada Ibrahim bin Sa'ad yang telah kami sebutkan, dia
termasuk perawi yang diriwayatkan haditsnya oleh Ashabus-sittah."
Al Mawardi menceritakan bolehnya menggunakan gitar oleh Abdul
Fadhl bin Thahir dari Abi Ishaq Asy-Syairazi, demikian juga diceritakan
oleh Imam Asnawi di dalam kitab "Al Muhimmat" dari Imam
Ar-Rauyani dan Al Mawardi. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Nahwi dari Ustadz
Abu Manshur, diceritakan juga oleh Ibnu Mulaqqin di dalam kitab "Al
'Umdah" dari Ibnu Thahir, diceritakan juga oleh Al Adfawi dari Syaikh
'Izzuddin bin Abdus Salam, diceritakan juga oleh pemilik kitab "Al
Imta'" dari Abu Bakar Ibnul Arabi, dan Imam Al Adhfawi juga
telah menegaskan tentang bolehnya.
(DR. YUSUF
QARDHAWI dalam bukunya SISTEM MASYARAKAT ISLAM DALAM AL QURAN DAN SUNNAH)
Jadi barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat untuk membantu bermaksiat
kepada Allah, maka jelas dia adalah fasik --termasuk semua hal selain nyanyian.
Dan barangsiapa berniat untuk menghibur hati supaya dengan demikian dia
mampu berbakti kepada Allah dan tangkas dalam berbuat kebajikan, maka dia
adalah orang yang taat dan berbuat baik dan perbuatannya pun termasuk perbuatan
yang benar. Dan barangsiapa tidak berniat untuk taat kepada Allah dan tidak
juga untuk bermaksiat, maka perbuatannya itu dianggap main-main saja yang
dibolehkan, seperti halnya seorang pergi ke kebun untuk berlibur, dan seperti
orang yang duduk-duduk di depan sofa sekedar melihat-lihat, dan seperti orang
yang mengkelir bajunya dengan warna ungu, hijau dan sebagainya.
(Halal dan
Haram dalam Islam- Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi)
Nyanyian yang disertai dengan alat-alat muzik:
Berlaku khilaf di dalam perbincangan mazhab.
Konklusi perbincangan: Harus.
Pendapat ini disokong oleh Dr Yusuf Al-Qaradawi di dalam kitabnya 'Al-Islam
wal-Fan' (Islam dan Kesenian).
Seterusnya ada ulamak-ulamak masa kini yang mengharuskan penggunaan
seluruh alat muzik tanpa ada pengecualian tetapi mereka meletakkan
syarat-syarat dan batas-batas penggunaan alat tersebut agar tidak bertentangan
dengan hukum Allah SWT. Mereka yang berpendapat demikian antaranya ialah:
1. Dr. Yusuf Al-Qardhawi di dalam kitabnya Malamih Al-Mujtama’ Al-Muslim.
2. Dr. Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Al-Mufassal fi Ahkam
Al-Mar’ah wa Baitil Muslim juzuk 4 bab 8 iaitu Babul Lahwi wal La’ab.
3. Dr. Mohammad Imarah di dalam bukunya Al-Islam wal Funun Al-Jamilah.
4. Dr. Kaukab ‘Amir dalam bukunya As-Simaa’ ‘Inda As-Sufiyyah.
Pendapat mereka sama dengan pandangan beberapa ulamak terdahulu seperti Ibnu
Hazm Al-Andalusi, Ibn Tahir Al-Qaisarani, Abdul Ghani An-Nablusi,
Al-Kamal Jaafar Al-Idfawi Asy-Syafie dan Al-Imam Mohd. Asy-Syazili
At-Tunisi.
Sebahagian daripada mereka seperti Al-Qardhawi berpendapat demikian kerana
hadith-hadith yang mengharamkan alat-alat muzik pada pandangan beliau sama ada
sahih ghair sarih (sahih tetapi tidak nyata) ataupun sarih ghair sahih (nyata
tetapi tidak sahih). Nas-nas yang seumpama ini tidak mampu untuk memutuskan
hukum kerana hukum mestilah diputuskan dengan nas yang sahih wa sarih (sahih
dan nyata).[xix]
*Kesimpulan-
Dr. Yusuf Qardhawi mengharuskan nyanyian dan penggunaaan semua
jenis alat muzik termasuklah gitar.
DATO’ NIK ABDUL AZIZ & USTAZ ABDUL HADI AWANG
Pendirian mereka jelas mengharuskan nyanyian, gitar dan lain-lain alat
muzik. Sewaktu sambutan Kota Bharu sebagai bandaraya Islam, Dato’ Nik Aziz
telah menganjurkan konsert alternatif yang melibatkan pelbagai alat muzik termasuklah
gitar. Sekiranya beliau berpandangan perkara itu tidak harus, pasti
tidak dianjurkannya.
Begitu juga dengan konsert-konsert alternatif termasuklah di Terengganu
seperti konsert-konsert Ustaz Akil Hay yang sering melibatkan pemain gitar
kumpulan Blues Gang. Tidak pernah mendapat bantahan daripada Ustaz Abdul Hadi
Awang.
KESIMPULAN BESARNYA (untuk menjawab soalan penanya)-
Islam tidak melarang kita bermain gitar
Wallahualam.
Namun yang jelas haram (tidak ada khilaf) sekiranya alat muzik
tadi dipersembahkan bersama:
lagu-lagu yang tidak mendidik, tidak membawa manfaat dan pengajaran- seperti lagu-lagu
yang liriknya berkisar tentang cinta lelaki wanita, lagu-lagu yang memuja
wanita, menyanjung tokoh-tokoh jahat, lagu-lagu lucah, liriknya berbelit-belit
hingga pendengar lebih khayal dengan muzik drpd mesej lagu
penyanyinya wanita sama ada yang tidak menutup aurat, atau yang bersolek, atau yang beraksi
berlebih-lebihan, atau yang berakhlak buruk yang akan menjadi ikutan orang
lain. Bagi penyanyi wanita yang bersopan (menutup aurat, tidak bersolek,
aksinya sopan, boleh menjadi ikutan yang baik)- ia menjadi khilaf ulama. Yang
mempamerkan rambut dan bertabarruj (menghias wajah dan diri) di depan penonton
seperti artis-artis wanita popular tanah air dewasa ini nyata sangat-sangat
haram.
sebarang tarian kecuali tarian perang (tempur atau seni beladiri), lebih-lebih lagi yang
melibatkan wanita. Khilaf ulama jika wanita menggayakan tarian perang.
majlis yang di dalamnya ada unsur-unsur tidak baik seperti
dihidangkan arak, percampuran lelaki wanita, tari-menari.
Sampai masa
untuk buat keputusan peribadi anda…
Berdosakah
orang yang menyanyi dan bermain alat muzik?
Berdosa (Fatwa Utsaimin, Albani, Fauzan & Najmy)
Tidak berdosa selagi tidak bercampur maksiat (pandangan
saya)
PANDANG GLOBAL, BERGERAK SEBAGAI SATU UMAT
Assalamu`alaykum Wr. Wb
Ustadz, dalam suatu kajian saya pernah diberi tahu bahwa
dari empat mazhab yang ada, kesemuanya mengharamkan musik. Benarkah itu?
Bukankah Sayyidina Umar Ra. pernah melantunkan senandung?
Ari
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Nyanyian dan musik sepanjang zaman selalu menjadi wilayah
khilaf di antara para ulama. Dan lebih detail, ada bagiannya yang disepakati
keharamannya, namun ada juga yang diperselishkan.
Bagian yang disepakati keharamannya adalah nyanyian yang
berisi syair-syair kotor, jorok dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara
umum yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam. Terutama ketika musik itu
diiringi dengan kemungkaran, seperti sambil minum khamar dan judi. Atau jika
dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada
wanita. Atau jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti
meninggalkan shalat atau menunda-nundanya dan lain-lain.
Namun apabila sebuah nyanyian dan musik tidak seperti
itu, barulah kemudian para ulama berbeda pendapat. Ada yang masih tetap
mengharamkannya namun ada juga yang menghalalkannya.
Penyebab perbedaan pendapat itu cukup beragam, namun
berkisar para dua hal.
Pertama, dalilnya kuat namun istidlalnya lemah. Kedua,
dalilnya lemah meski istidlalnya kuat.
Contoh 1
Kita ambil contoh penyebab perbedaan dari sisi dalil yang
kuat sanadnya namun lemah istidlalnya. Yaitu ayat Al-Quran al-Kariem. Kitatahu
bahwa Al-Quran itu kuat sanadnya karena semua ayatnya mutawatir. Namun belum
tentu yang kuat sanadnya, kuat juga istidlalnya. Kita ambil ayat berikut ini:
ومن الناس
من يشتري لهو الحديث ليضل عن سبيل الله بغير علم ويتخذها هزوا أولئك لهم عذاب مهين
Dan di antara manusia orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan dari jalan Allah
tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh azab yang menghinakan.(QS. Luqman: 5)
Oleh kalangan yang mengharamkan musik, ayat ini sering
dijadikan bahan dasar untuk istidlal mereka. Mereka menafsirkan bahwa lahwal
hadits (perkataan yang tidak berguna) adalah nyanyian, lagu dan musik.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan ayat ini, karena
secara eksplisit tidak mengandung pengharaman tentang lagu, musik atau
nyanyian. Yang dilarang adalah perkataan yang tidak berguna. Bahwa ada ulama
yang menafsirkannya sebagai nyanyian musik, tentu tidak boleh memaksakan
pandangannya.
Kita bisa membaca pandangan Ibnu Hazm tentang ayat di
atas. Beliau mengatakan bahwa yang diancam di ayat ini adalah orang kafir. Dan
hal itu dikarenakan orang-orang kafir itu menjadi agama Allah sebagai ejekan.
Meski seseorangmembeli mushaf lalu menjadikannya ejekan, maka dia pun kafir.
Itulah yang disebutkan oleh Allah SWT dalam ayat ini. Jadi Allah SWT tidak
mencela orang yang membeli alat musik apabila bukan untuk menjadikannya sebagai
penyesat manusia.
Contoh 2: Hadits Nabawi
Dalam salah satu hadits yang shahih ada disebutkan
tentang hal-hal yang dianggap sebagai dalil pengharaman nyanyian dan musik.
Sungguh akan ada di antara umatku, kaum
yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan`. (HR Bukhari)
Karena hadits ini terdapat di dalam shahih Bukhari, maka
dari sisi keshahihan sudah tidak ada masalah. Sanadnya shahih meski ada juga
sebagian ulama hadits yang masih meragukanya.
Namun dari segi istidlal, teks hadits ini masih
bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya secara spesifik
dan eksplisit. Di titik inilah sesungguhnya terjadi selisih pendapat para
ulama. Dalil yang bersifat umum masih mungkin dipersoalkan apabila langsung
dijadikan landasan untuk mengharamkan sesuatu.
Batasan yang ada dan disepakati adalah bila alat itu
bersifat melalaikan. Namun apakah bentuknya alat musik atau bukan, maka para
ulama berbeda pendapat.
Contoh 3: Hadits Nabawi
Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar
suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan
mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:`Wahai Nafi` apakah
engkau dengar?`. Saya menjawab:`Ya`. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai
saya berkata:`Tidak`. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya
ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw. mendengar seruling
gembala kemudian melakukan seperti ini. (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Hadits ini sudah agak jelas dari segi istidlalnya,
yaitu Rasulullah menutup telinganya saat mendengar suara seruling gembala.
Namun dari segi kekuatan sanadnya, para ulama hadits mengatakan bahwa hadits
ini termasuk hadits mungkar. Dan hadits mungkar kedudukannya lebih parah dari
sekedar hadits dhaif.
Dan memang banyak sekali dalil pengharaman musik yang
derajat haditsnya bermasalah. Dan wajar bila Abu Bakar Ibnul Al-Arabi
mengatakan, "Tidak ada satu pun dalil yang shahih untuk mengharamkan
nyanyian."
Dan Ibnu Hazm juga senada. Beliau mengatakan, "Semua
riwayat hadits tentang haramnya nyanyian adalah batil."
Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah
saw. berkata tentang umat ini:` Gerhana, gempa dan fitnah. Berkata seseorang
dari kaum muslimin:`Wahai Rasulullah kapan itu terjadi?` Rasul menjawab:` Jika
biduanita, musik dan minuman keras dominan` (HR At-Tirmidzi).
Sebagian Shahabat Menghalalkan Musik
Dari banyak riwayat kita mendapatkan keterangan bahwa di
antara para shahabat nabi SAW, tidak sedikit yang menghalakan lagu dan
nyanyian.
Misalnya Abdullah bin Ja`far, Abdullah bin Zubair,
Al-Mughirah bin Syu`bah, Usamah bin Zaid, Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi
Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal.
Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar
menuliskan bahwa para ulama Madinahmemberikan kemudahan pada nyanyian walaupun
dengan gitar dan biola`.
Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi`i
dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja`far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa,
bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri
mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul
Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi
Syuraikh, Said bin Al-Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya`bi.
Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi
Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair
memiliki budak-budak wanita dan gitar.
Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata di sampingnya
ada gitar, Ibnu Umar berkata:` Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw. kemudian
Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata,
"Ini mizan Syami(alat musik) dari Syam?".Ibnu Zubair menjawab,
"Dengan ini akal seseorang bisa seimbang."
Dan diriwayatkan dari Ar-Rawayani dari Al-Qofaal bahwa
madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik.
Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta`akhirin
yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap wara`(hati-hati).
Mereka melihat kerusakan yang timbul di masanya. Sedangkan ulama salaf dari
kalangan sahabat dan tabi`in menghalalkan alat musik karena mereka melihat
memang tidak ada dalil baik dari Al-Qur`an maupun hadits yang jelas
mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.
Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan
nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:
1. Lirik Lagu yang Dilantunkan.
Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada
setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut
syara`, maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut syara`, maka
dilarang.
2. Alat Musik yang Digunakan.
Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam
adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan yang
jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk
mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat
musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik
yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para
ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua
alat itu diharamkan jika melalaikan.
3. Cara Penampilan.
Harus dijaga cara penampilannya tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara`
seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.
4. Akibat yang Ditimbulkan.
Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang
diharamkan seperti melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami
sebagi respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang
pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi` (menutup pintu kemaksiatan).
5. Aspek Tasyabuh atau Keserupaan
Dengan Orang Kafir.
Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri
kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus
dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak
dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda:
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ, فَهُوَ مِنْهُمْ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ,
وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
Siapa yang menyerupai suatu kaum maka
ia termasuk mereka. (HR Abu Dawud)
6. Orang yang menyanyikan.
Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan nyanyian dari wanita yang
bukan muhrimnya. Sebagaimana firman Allah SWT.:
يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ
اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ
وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian
tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu
tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam
hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS Al-Ahzaab 32)
Demikian kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik
dalam Islam semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam
kehidupan mereka.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc